"Eh, Tante Hana," ucap Shanum sambil tersenyum hangat. Hana diterpa rasa canggung. Untung saja sang ayah tengah tertidur di ranjangnya. Husni tertidur setelah meminum obat pereda nyeri sore tadi. Terdapat balutan perban cukup besar di bagian kaki, tangan dan bagian pelipisnya. "Nenek di mana?" tanya Hana dengan senyum yang dibuat semanis mungkin. "Nenek tadi shalat magrib dulu. Tante duduk dulu," tawar Shanum sambil bangkit dari duduknya. Ia kemudian naik ke pangkuan sang ayah. "Shanum udah lama sampai?" tanya Hana demi mengurai perasaan tak biasa yang semakin pekat terasa. Hana meletakkan barang bawaannya di atas lemari pasien. Lalu duduk tepat di samping Hakim. "Sekitar lima bela menit lalu, Tante. Eh, kenapa Ira sama Ica nggak ikut? Kan bisa main bareng," celetuk Shanum. Tangannya merangkul lengan sang ayah. "Ira sama Ica ngaji, jadi nggak bisa ikut," jawab Hana dengan senyum manis. Shanum terdiam sejenak."Pa, kalau Shanum ngaji sama-sama Ira boleh nggak?" tanya Shanum tib
Hana berusaha menguasai diri. Sesaat kemudian ia tersenyum tipis."Shanum mau panggil 'mama' juga?" tanya Hana lembut. Ia tengah duduk berhadapan dengan Shanum di lantai beralaskan karpet. Shanum menganggup pelan. "Boleh. Mulai sekarang silakan panggi mama," ucap Hana dengan senyum lembut. Terlalu jahat rasanya bila ia sampai melarang Shanum memanggilnya dengan panggilan demikian. Panggilan yang sama sekali tak merugikan baginya, sebaliknya menambah sayangnya pada anak piatu itu. Tanpa Hana kira sebelumnya, tiba-tiba Shanum memeluknya erat. Membuat Hana dan Diana saling bertatapan, lalu saling melempar senyum canggung. Sedang Hakim kini menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. *Pagi mulai beranjak meninggi. Bau asap knalpon kendaraan beroda menghiasi sepanjang jalan yang Hana lalui. Sesekali debu berterbangan bersama dedaunan kering tanaman penyejuk yang ditanam di pinggir jalan karena tiupan angin. Hana tengah mengendarai mobilnya menuju rumah sakit. Siang ini sang ayah su
Pagi ini terasa hangat. Sinar matahari nampak cerah menembus celah dedaunan pohon akasia berukuran cukup besar di depan sana. Kicauan burung-burung kecil sesekali terdengar di antara deru mesin kendaraan yang melaju melewati jalan di sebelahnya. Hari ini tepat di hari peresmian rumah makan yang dibangun Hakim bersama Hana. Tepuk tangan membahana dari para tamu yang hadir, kala pita peresmian terpotong menjadi dua. Tangan Hana nampak sedikit gemetaran sambil menjepit gagang gunting di sela jadinya. Wajah cantik berdagu lancip itu menampakkan gurat haru yang luar biasa. Hakim yang sedari tadi berdiri di samping Hana kini berucap, "Selamat, Na. Semoga usaha bersama kita bisa sukses." Bibirnya tersenyum manis. Jauh di relung hati, ia berharap suatu saat dirinya akan berdiri bersisian persis sekarang dengan Hana, untuk kedua, ketiga, bahkan tak terhitung jumlahnya. "Aamiin. Terima kasih untuk kepercayaannya, Bang," lirih Hana dengan bibir bergetar. Haru yang memuncak membuat kedua bol
Hakim tersentak. Degub jantungnya berlompatan."Mama Hana siapa, Sayang?" tanya sang nenek dengan rasa penasaran. "Itu, Nek. Yang pake jilbab ungu itu Mama Hana namanya," ucap Shanum dengan entengnya. Telunjuknya terarah pada Hana yang tengah sibuk berbagi kisah dengan keluarga besarnya. Marwah menelisik wajah Hana, berpindah pada anak-anak yang duduk di dekatnnya. Setelahnya berpindah menatap Hakim, yang ditatap berusaha membuang muka.Ingatannya kembali pada ucapan Hakim beberapa bulan lalu. "Bagaimana kalau janda dengan tiga anak?" Kalimat yang hingga sekarang masih lekat di kepalanya. "Hakim," panggilnya pelan. Hakim terpaksa menoleh. "I—iya, Ma," jawabnya dengan terbata-bata. Desi dan Irham kini ikut menatap lekat pada Hakim. Setelahnya keduanya saling tatap, lalu melempar senyum. "Nggak jadi. Biar nanti sampai rumah kita bicarakan," ucap Marwah membuat Hakim seketika menghela napas lega. "Boleh, kan, Pa, Shanum nemuin Mama Hana," rengek Shanum untuk kedua kalinya. "Kasi
Malam baru saja datang. Rintik hujan sisa tadi sore masih terlihat turun perlahan, menciptakan aroma dingin dan lembab. Hakim melangkah masuk setelah membuka pagar besi setinggi dada orang dewasa. Di belakangnya Shanum mengekor dengan langkah riang. "Assalamu'alaikum," ucap Hakim sambil memutar gagang pintu utama. Di jam seperti ini pintu itu rumah memang belum dikunci. Terdengar jawaban salah dari ruang tengah. Hakim berjalan masuk, sedangkan Shanum kini berjalan mendahuluinya. "Eh, ada cucu Nenek," ucap Marwah sambil mengusap pucuk kepala Shanum. Dengan manjanya Shanum duduk di samping Marwah. Menyandarkan kepalanya di pundak sang nenek. "Eh, Kak Shanum," ujar Fiona yang berjalan dari arah dapur. "Main, yuk, Kak. Fiona ada mainan baru," ajak anak perempuan itu sambil duduk di samping Shanum. "Mainan apaan?" Wajah Shanum menampakkan rasa penasaran. "Fiona baru dibeliin Mama kutek kuku yang bisa di lepas itu," ucapnya sumringah. "Yuk," balas Shanum dengan mata berbinar. Den
"Mantan suami Hana telah berselingkuh dengan mantan pacarnya dulu, Ma. Dan sekarang mereka sudah menikah. Lima bulan mereka menikah, Hana bahkan tak pernah menerima sepeserpun dari uang nafkah untuk anak-anaknya. Hana yang harus putar otak untuk menafkahi 3 orang anaknya. Syukurnya Hana dikelilingi keluarga yang begitu peduli terhadap dirinya. Bulan keenam pernikahan suaminya, laki-laki itu datang, ingin kembali pada Hana dengan alasan ingin menghapus semua kesalahannya. Namun, Hana menolak keras. Bahkan untuk melihat wajah laki-laki itu saja ia muak." Hakim meluah semua yang ia tahu tentang Hana. Berharap sang mama memberi restu padanya. Marwah ikut geram mendengar penjelasan Hakim tentang mantan suami Hana. Namun, ia berusaha bersikap sebiasa mungkin. Ini bukan waktunya untuk turut berduka atas rasa sakit perempuan lain yang dikhianati suaminya. "Apakah Hana yang menceritakannya padamu?" tanya Marwah dengan ekspresi datar. Hakim menggeleng pelan. Detik selanjutnya ia menceritaka
*Malam sudah sejak 2 jam lalu dari puncaknya, kini beranjak menuju pagi. Angin dingin terasa menelusup tulang ketika Hana membasuh wajah hingga berakhir di kaki. Ia berwudhu untuk melaksanakan shalat malam, merangkap istikharah. Satu per satu gerakan tubuh diiringi bacaan dzikir dan do'a dalam shalatnya. Mengagungkan Sang Pemilik Singgasana. Meruntuhkan harga dirinya sebagai hamba di hadapan Sang Pencipta. Damai menelusup relung hati. Mengikis semua prasangka buruk atas segala takdir. Menyisakan syukur atas semua nikmat ketika tangan menengadah. "Ya, Rabb, terima kasih atas segala karunia-Mu. Terima kasih atas takdir baik yang Engkau tuliskan untukku. Engkau satu-satunya yang tak pernah lelah untuk memberi atas segala pinta.""Ya Allah, sesungguhnya aku meminta pilihan yang tepat kepada-Mu, dengan ilmu pengetahuan-Mu. Engkau mengetahui segala sesuatu yang tidak hamba ketahui.""Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa jalan ini lebih baik untukku dan agamaku, mudahkan jalannya. B
Rembulan bulat di atas cakrawala memancarkan sinar terang. Persis hati Hakim yang kini dihujani cahaya cinta. Semua harap dan pinta dalam sujud-sujud terakhirnya akhir-akhir ini menemukan titik terang. Hati Hana yang semula redup, kini mulai menampakkan sinar dan memancarkan cahaya demi menerangi hatinya. Hakim menatap lekat wajah Hana. Wajah yang masih terus menunduk. Wajah yang selalu ia rindu akhir-akhir ini. Wajah yang kerap membuat Hakim bersemangat. Namun, terkadang sebaliknya. "Na …," panggil Hakim pelan setelah beberapa saat berusaha menetralkan degub jantungnya. Hana mendongak. Menatap wajah tampan itu dengan hati berdesir. Entah sejak kapan rasa itu tumbuh, yang pasti semua bermula dari rasa kagumkagum yang akhir-akhir ini berubah jadi rindu. "Apa kau merasakan tekanan dari pihak lain?" tanya Hakim dengan suara bergetar. Perasaannya sekarang jauh lebih besar dari kemarin, ketika tahu rasanya bersambut. Hana menggeleng pelan. Bibirnya terkunci rapat. Ini mutlak keinginan
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent