Rembulan bulat di atas cakrawala memancarkan sinar terang. Persis hati Hakim yang kini dihujani cahaya cinta. Semua harap dan pinta dalam sujud-sujud terakhirnya akhir-akhir ini menemukan titik terang. Hati Hana yang semula redup, kini mulai menampakkan sinar dan memancarkan cahaya demi menerangi hatinya. Hakim menatap lekat wajah Hana. Wajah yang masih terus menunduk. Wajah yang selalu ia rindu akhir-akhir ini. Wajah yang kerap membuat Hakim bersemangat. Namun, terkadang sebaliknya. "Na …," panggil Hakim pelan setelah beberapa saat berusaha menetralkan degub jantungnya. Hana mendongak. Menatap wajah tampan itu dengan hati berdesir. Entah sejak kapan rasa itu tumbuh, yang pasti semua bermula dari rasa kagumkagum yang akhir-akhir ini berubah jadi rindu. "Apa kau merasakan tekanan dari pihak lain?" tanya Hakim dengan suara bergetar. Perasaannya sekarang jauh lebih besar dari kemarin, ketika tahu rasanya bersambut. Hana menggeleng pelan. Bibirnya terkunci rapat. Ini mutlak keinginan
Hana menghela napas panjang. Benar kata orang tuanya, selagi masih sendiri, Rio akan terus berusaha mendekatinya dengan berbagai alasan. "Tolong jangan membuatku murka. Kita kembali menjadi orang asing sekarang. Hargai aku sebagai ibu dari anak-anakmu. Jangan memaksaku untuk meminta mereka membencimu," ucap Hana dengan napas menderu. "Sudah kukatakan itu hanya alasanmu agar aku menjauh. Kita baru talak satu, Na. Kembalilah. Akan aku perbaiki semuanya." Rio tertunduk dalam. Rasa malu pekat terasa ketika kalimat barusan kembali terucap. "Kau melupakan sesuatu, Na."Hana terperangah. Sedetik kemudian ia menggaungkan syukur dalam hati. Hakim tak ubah seorang pahlawan penyelamatnya saat ini. Hakim berjalan mendekat. Mengulur tangan yang berisi kotak cincin pada Hana, tanpa peduli Rio yang kini membeku di tempat dengan rasa cemburu membakar dadanya. Tangan kekar itu terulur ke arah Hana. Beberapa saat tatapan kesuanya bertemu. Senyum menguar, menciptakan luka di hati Rio. "Aku ingin k
Pagi menyapa meninggalkan pekat dan dinginnya malam. Adzan subuh mengalun sejak lima belas menit yang lalu. Shanum mengucek mata demi menghilangkan kantuk. Ingatannya kembali pada janji sang ayah semalam. Lekas ia beranjak dengan rasa kantuk yang masih meninggalkan sisa. Ia berjalan menuju kamar Hakim. Kamar yang letaknya bersisian dengan kamarnya. Nihil, tak ada Hakim di sana. Shanum kembali ke luar. "Papa masih di masjid, Nek?" tanya Shanum pada Marwah yang baru saja keluar kamar. "Iya kayaknya. Kenapa pagi-pagi sudah bangun?" Marwah balik bertanya setelah memberi jawaban. "Papa sudah janji—""Assalamualaikum," salam dari arah luar membuat Shanum tak meneruskan kalimatnya. Kini ia menyongsong kedatangan sang ayah. "Janji, semalem mau ngasih surprise pada Shanum." Todong Shanum sambil mencium punggung tangan sang ayah. Hakim yang kini masih berada di ruang tamu berjongkok. Menatap lekat wajah putrinya dengan senyum geli. "Sudah shalat?" tanya Hakim. Tangannya membingkai wajah
"Baiklah, kau bisa turun dulu. Aku akan nyusul," ucapnya tanpa beranjak. Hakim terdiam beberapa saat sambil menghirup sisa-sisa aroma parfum Hana yang masih tertinggal. Hana mengerutkan dahi. Namun, kakinya tetap menuruni anak tangga persis perintah Hakim. Ia berjalan menuju dapur, memesan 2 porsi makan siang untuk dirinya dan Hakim. Setelahnya berjalan menuju meja di sudut ruangan. Dari sini jalanan nampak jelas dari dinding kaca berukuran lebar di hadapannya. Kurang dari lima menit Hakim datang dengan tangan menenteng sebuah album foto. Duduk persis di depan Hana. Penciuman Hana dimanjakan dari aroma maskulin dari parfum Hakim yang menguar. "Rencananya besok malam Mama akan datang bersama keluarga lainnya. Kemarin bahkan Mama sudah memintaku untuk membawa ini padamu," ucap Hakim membuka pembicaraan. Tangannya mengangsur sebuah album foto. Laki-laki itu nampak sempurna dalam balutan kaos polos putih serta celana denim selututnya. "Ini apa?" Hana mengerutkan dahi. "Buka aja."
Beberapa detik kemudian mobil yang Hakim kemudi kian oleng. Shanum bahkan sempat terpental menghantam senderan kursi di depannya, membuat dahinya terasa nyeri. Beruntungnya Shanum duduk di kursi belakang. Suara ban mobil berderit karena tuas rem yang diinjak kuat-kuat. Tubuh Hakim sempat tergoncang dan menghantam setir. Namun, cepat ia menguasai keadaan. Beberapa detik suara ban mobil beradu dengan aspal, hingga akhirnya mobil Hakim berhenti dengan ban sebelah kiri berada di berem jalan. Sedang mobil yang menyerempet berhenti di jarak sekitar sepuluh meter di hadapannya. Shanum nampak Syok. Tubuh anak perempuan itu bergetar dengan air mata meleleh di pipi. Tak ada kalimat yang ke luar, pun suara tangis. Ia menikmati degub jantung yang membuat kaki dan tangannya berkeringat dingin. Hakim mematung dengan degub jantung berlompatan. Tubuh laki-laki itu ikut bergetar. Lama ia mematung di belakang kemudi, bibirnya sibuk mengumandangkan istigfar, hingga ingatannya tertuju pada Shanum. Spo
Sony hendak berbalik. Namun, Inez sekuat tenaga menyeret tangannya menuju mobil. "Apa-apaan, sih, mobil ini butuh biaya besar buat memperbaikinya. Enak saja dia mau minta ganti rugi," gerutu Sony tanpa mau disalahkan. "Kita perlu bicara," ucap Inez dengan gigi merapat karena kesal "Tanyakan berapa harus ganti rugi. Aku tak ingin Rio mengetahui keberadaanku jika ini berlanjut," ucap Inez kala mereka berada di sisi mobil yang mereka tumpangi. Sony berdecak kesal. "Masuk sekarang!"Sony tancap gas meski jalan mobil nampak tak stabil. Tak ia pedulikan bemper mobil sebelah kiri penyok akibat gesekan dengan mobil Hakim. Ia tak ingin rugi lebih banyak lagi jika harus mengganti kerusahan mobil Hakim. "Kenapa malah kabur? Apa kau tak takut laki-laki itu melaporkan kita ke polisi?" Inez nyerocos dengan jengkel. Tak ada jawaban dari laki-laki itu. Kepalanya sibuk menerka apa yang akan menimpanya setelah ini karena peristiwa sore ini. *Hakim menatap punggung mobil yang Sony kendarai kian
"Oh, baiklah. Bentar, ya." Hakim beranjak masuk ke dalam. Mencari Hana di dapur resto. Tempat yang menjadi langganan keberadaan Hana. Tak menemukan Hana di dapur, Hakim melangkah menuju ruangan Hana di lantai dua. Ruangan itu tertutup rapat.Tok! Tok! Tok! "Na …," panggil Hakim pelan. Beberapa saat menunggu tak ada jawaban, hingga saat mengetuk untuk kedua kalinya pintu terbuka. Hana menyembul dengan mukena masih melekat di kepala. "Iy, Bang," jawab Hana dari pintu yang terbuka setengahnya. "Masih sibuk?" "Ada apa? Hana baru selesai ashar, tadi belum sempat.""Oh, ya udah, ada yang mau ketemu di bawah. Bisa?" Hakim kembali bertanya. Matanya menatap bangga. Sejak masih gadis Hana memang termasuk taat agama. Di manapun ia berada shalat tetaplah keharusan baginya. Itu yang Hakim simpulkan dari kebersamaan mereka sejak dulu. Hana mengangguk dengan senyum tipis. "Ya, udah, aku turun dulu. Nanti nyusul, ya."Hakim kembali ke bawah, sedang Hana masuk untuk menggantikan mukena dengan
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent