"Kenapa, sih, nggak belajar masak sama mamanya Ira, Pa? Pasti Papa masaknya nggak gosong kayak gini," gerutu Shanum dengan bibir mengerucut. Laki-laki bertubuh tinggi itu kini berjongkok. Tangannya membingkai wajah mungil putri semata wayangnya itu. Pagi ini Shanum minta dibuatkan burger. Karena sibuk menyiapkan perlengkapan lainnya, akhirnya roti yang Hakim bakar di atas wajan sedikit menghitam. "Kan, nggak enak, Sha, kalau Papa belajar sama Tante Hana," ucap Hakim beralasan. "Kenapa? Kan, Tante Hana baik," ucap Shanum polos. "Tante Hana perempuan, Sayang, sedangkan Papa laki-laki. Nggak enak, kan, kalau belajar masak sama Tante Hana. Mendingan nanti kita cari yang sama-sama laki-laki saja, ya," bujuk Hakim. "Tapi nanti masakannya bakal beda," protes Shanum. "Ya, kita cari yang masakannya enak dong. Sekarang, Papa bakar lagi rotinya, ya. Shanum mandi dulu nanti mau ke sekolah," bujuk Hakim. "Tapi, nanti siang makan di tempat Tante Hana, ya." Ia mengajukan syarat. Hakim berpi
"Semoga enggak, Na." Hakim terkekeh. "Gini, Na, tadi pagi Shanum merengek ngajak makan siang di tempat kamu, tapi akunya sibuk. Bisa nggak kira-kira kalo ke sananya Shanum ikut kamu, nanti aku yang jemput. Kalau nggak, nanti aku share lock, biar yang kerja di rumah nanti jemput Shanum?" "Nggak apa-apa, Bang. Kalau sibuk, biar Shanum di rumah Hana saja sampai Abang pulang kerja. Di sana 'kan, bisa sama Ira. Shanum bukan anak bayi lagi yang harus ekstra diperhatiin," jawab Hana sambil tersenyum lebar. "Atau Shanum ada les?" "Nggak, sih. Hari ini free. Serius nggak apa-apa, Na?" tanya Hakim meyakinkan. Hana mengangguk cepat. "Biar nanti Hana yang jemput sekalian jemput Ira. Ira pasti seneng banget kalo sampe pulang bareng Shanum." "Oke, Na. Makasih banyak, ya. Kalau begitu aku berangkat dulu, ya." Hakim memohon diri. Keduanya akhirnya berpisah di depan gerbang. Masuk ke mobil masing-masing. Dari sekolah Ira Hana melajukan mobilnya ke pasar terdekat. Membeli beberapa jenis stok say
"Jaga kelakuanmu!" seru Hakim dengan wajah dingin. Ia dapat menebak siapa perempuan di hadapannya itu.Entah sejak kapan laki-laki itu sampai di sini, yang pasti, Hana merasa tertolong atas kedatangan Hakim. Inez menatap lekat laki-laki tampan dengan setelan rapi itu. "Apa urusanmu membela perempuan ini?" tanya Inez dengan sudut bibir terangkat. "Tak perlu kau tau siapa aku. Pantas saja suamimu kembali mengejar Hana, jika perbuatanmu mencerminkan kalau kau istri yang kurang adab.""Jaga ucapanmu! Perempuan ini yang kurang adab. Berani-beraninya dia mau merebut suamiku." Inez membentak. "Hah? Apa aku tak salah dengar? Yang aku tau, justru suamimu yang tak tahu malu datang untuk meminta Hana kembali, bahkan berkali-kali ditolak pun tetap tak tahu malu. Sekarang tinggalkan tempat ini. Hana calon istriku dan aku tak akan segan-segan memenjarakanmu dengan tuduhan tindakan tak menyenangkan. Satu lagi, katakan pada suamimu agar tak lagi mendekati Hana dengan cara apapun, dan katakan padan
Hakim membingkai wajah putrinya, merapikan anak rambut di kening sang putri. "Loh, kan udah lewat jam 4, Sayang." Hakim menautkan alis. "Tapi Shanum masih mau main di sini," ucapnya dengan wajah sendu. Hana hanya menatap gadis kecil itu dengan senyum lembut. Sedangkan Ica dan Ira hanya diam mengamati. "Emangnya nggak kangen sama Papa?" goda Hakim. "Kangen, sih, tapi Shanum suka di sini, banyak temen." Shanum beralasan. "Sayang, sekarang kita pulang dulu, ya, lain hari Shanum boleh main lagi kalau Tante Hana ngizinin." Hakim berucap sambil melirih ke arah Hana, seolah meminta persetujuan. Hana berjongkok di antara dua putrinya. Kedua tangannya menggenggam tangan Shanum, serta mata menatap lembut pada gadis kecil itu. "Iya, Sayang. Sekarang ikut Papa pulang dulu, nanti kalau mau main ke sini silakan. Kapan saja Shanum mau main di sini, boleh, kok," ucap Hana lembut. "Serius, Tante?" tanya Shanum dengan binar bahagia. Hana mengangguk pelan. "Baiklah, sekarang Shanum pulang dul
Sinar matahari mulai menghangat kulit. Angin pagi berhembus pelan menyapu jalanan, ditambah lagi lalu lalang kendaraan mulai ramai, menciptakan debu yang berterbangan di udara.Hana sudah sejak selesai subuh berkutat di warung makannya. Dirinya memang disibukkan di pagi hari. Sedangkan di siang hari ia hanya membantu di meja kasir, atau sesekali mengantar makanan ke meja pelanggan. "Assalamu'alaikum," ucap suara yang begitu familiar di telinga Hana. Hana yang sejak tadi sibuk menyusun uang pecahan untuk kembalian, kini mendongak. "Eh, Shanum. Pagi Anak Baik," ucap Hana dengan senyum lebar. "Pagi Tante Hana," balas Hanum dengan wajah sumringah. "Maaf, Na, Shanum maksa buat ke sini, katanya bosan di rumah," ucap Hakim dengan perasaan tak enak. Hana berjalan mendekat. "Nggak apa-apa, Bang," ucap Hana. "Ya, udah, sekarang Shanum masuk aja, di dapur ada Bang Abi, Ica sama Ira. Shanum udah sarapan?" tanya Hana pada gadis kecil. "Udah, Tante," ucap Shanum sumringah. "Ya, sudah, Sha
"Kemaren aku kenalin Syaila, malah Mama nggak setuju," ucap Hakim sambil terkekeh. "Ya, iya lah, perempuan pecicilan gitu diajak ke sini. Mana Shanum juga nggak suka. Mama itu bukan mau perempuan cantik dan kaya, Mama maunya perempuan yang punya jiwa keibuan," balas Maria. Sejujurnya Hakim tak berniat membawa Syaila ke rumah ibunya kala itu, melainkan perempuan itulah yang memaksa untuk ikut dengan alasan ingin dekat dengan keluarga Hakim. Hakim sendiri tak memiliki rasa padanya. "Kalau janda dengan anak 3, gimana menurut Mama?" tanya Hakim dengan suara setengah berbisik. Senyum di bibirnya merekah kala mengucapkan kalimat barusan. "Hah? Yang benar saja. Yang ada Shanum tambah tersisih," cibir Maria. "Kalau sebaliknya?" tanya Hakim dengan alis terangkat. Maria menghela napas panjang. "Menghidupi 3 anak sambung bukan hal yang mudah. Mama nggak mau kamu gagal dalam berumah tangga," ucap Maria dengan suara berat. Hakim membenarkan kalimat sang mama barusan. Namun, Hana terlalu b
Hakim mengusap wajah, kemudian menggeleng pelan. Rena cukup cantik. Karirnya pun cukup baik. Ia merupakan pegawai bank swasta di kota mereka. Namun, rasa tetap tak bisa dipaksa. "Apa yang kau cari? Rena cantik dengan karir bagus. Rena juga sudah sangat kenal keluarga kita. Bahkan Shanum sudah sangat dekat dengan Rena." Marwah terus membujuk, meski ia sendiri sudah bisa menebak akan seperti apa jawaban Hakim. "Biarkan Hakim mencari pengganti Mala sendiri, Ma. Meski Rena adik Mala, tapi mereka berdua adalah dua orang yang berbeda. Hakim tak ingin membuat hubungan baik antara kita dan keluarga almarhum istriku keruh, hanya karena aku terpaksa menerima Rena." Hakim berucap lirih. Marwah terdiam. Kali ini jawaban anak sulungnya itu membuat lidahnya kelu. Jika biasanya Hakim hanya akan menjawab, 'Hakim tak memiliki rasa pada Rena, Ma'. Namun, kali ini terdengar lebih dalam. "Baiklah, Mama tak bisa memaksamu. Mama hanya bisa berdo'a semoga kamu berjodoh dengan perempuan baik yang bisa
"Iya, nanti tunggu mamamu saja," jawab Rio. Matanya masih terarah pada layar ponsel. Rafa beranjak dengan wajah masam. Ini bukan kali pertama dirinya dicuekin oleh suami baru mamanya itu. Rio kembali disibukkan dengan kesibukannya semula. Tiga bulan menikahi Inez, Rio mulai merasakan hambar. Ia kini lebih memilih bermain ponsel di waktu yang seharusnya ia habiskan bersama keluarga. Entah ke mana perginya cinta yang menggebu-gebu waktu itu. Entah ke mana perginya rindu yang seakan setiap detik meminta bertemu beberapa bulan lalu. Entah ke mana perginya rasa sayang yang dulu tercurah seutuhnya pada perempuan itu. Semua terasa berbeda sekarang, bahkan cenderung berbanding terbalik. Kini, rindu itu bertukar posisi. Rindu pada Hana lah yang kerap kali berbisik di lubuk hatinya. Persis detik ini. Jari-jemari laki-laki itu terhenti sejenak, ketika matanya menangkap wajah Hana di ponselnya. Senyum manis mengurai di bibir perempuan itu. Foto empat orang ibu dan anak itu nampak sederhan
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent