'Berpikir, Rio. Berpikirlah,' gumam Rio pada diri sendiri. Kepalanya penuh sesak dengan emosi. Melihat Inez merebahkan kepala di bahu laki-laki lain membuat amarahnya tersulut. Sempat Rio ingin mengikuti mobil yang ditumpangi Inez. Namun, arah yang berlawanan membuat laki-laki itu akhirnya mengurungkan niatnya. Ia memilih tetap pada rencana awal. Tentang Inez, aka ia pikirkan nanti. Sepanjang perjalanan yang masih tersisa, hati Rio tetap disesaki amarah. Ia merutuki sikap istrinya itu yang dengan enteng memintanya menjaga Rafa, sedangkan Inez malah bersenang-senang dengan laki-laki lain.'Akan kubuat kau sekarat jika memang kau punya laki-laki lain,' gumam Rio sambil mencengkeram kuat setir mobil. Jarak ke rumah Hana kian dekat. Rio berusaha mengenyahkan bayangan Inez. Bersikap sebaik yang ia bisa. "Kita mau ke mana, Pa?" tanya Rafa. Tangannya sibuk memainkan robot-robotan yang tadi ia beli. Rio bergeming. Tak berniat sama sekali untuk menjawab pertanyaan anak sambungnya itu.
"Ica di mana, Na?" tanya Rio ketika sudah duduk di ruang tamu Hana. "Di kamar," jawab Hana singkat. Rio menatap lekat wajah Hana yang nampak begitu dingin. Hatinya berdesir hebat. Jika saja sesal mampu mengubah semuanya. Jika saja sesal mampu menghapus luka. Jika saja sesal mampu mengulang semuanya dari awal. Namun, semua hanya ada dalam angan Rio. Nyatanya luka di hati Hana tetap menganga dengan rasa perih yang luar biasa. Semua membekas dan begitu sulit untuk disembuhkan, terlebih oleh si penoreh luka. "Bisa tolong panggilkan?" tanya sekaligus pinta Rio dengan lembut. Hana tak menjawab. Ia bangkit lalu berjalan masuk. Beberapa menit setelahnya kembali ke luar bersama Ica. Ira dan Shanum mengekor di belakang. Dengan malas Hana kembali duduk di tempat semula. Awalnya ia menyuruh Ira saja yang menemani Ica bertemu sang ayah. Namun, Ica enggan ke luar jika Hana tak ikut serta. Ketiga bocah perempuan itu duduk berderet di samping Hana. Ica dan Ira terdiam, sedangkan Shanum sibuk
Sejak kepergian Hana dari ruangannya, entah sudah berapa kali Hakim melirik jam di pergelangan tangannya. Berharap penunjuk waktu itu berjalan lebih cepat, atau mungkin berlari, agar waktu pertemuan yang dijanjikan segera datang. Tak sabar rasanya untuk segera bertemu, meski yang akan mereka bincangkan bukanlah tentang rasa. Hakim merasa dirinya bertambah tak waras. Cinta terkadang memang sangat rahasia. Dulu, bertahun-tahun bersama. Namun, rasa yang tumbuh antara dirinya dan Hana hanyalah sebatas teman, atau mungkin yang sering orang-orang bilang, sahabat. Namun, rasa berlebih itu baru datang sekarang, di saat deretan pujian Shanum terhadap Hana yang kerap ia dengar. 'Fokus, Hakim! Fokus. Lihatlah tumpukan laporan yang harus segera kau selesaikan,' gumam Hakim pada dirinya sendiri. Sesaat ia memjamkan mata. Menarik napas panjang, menghembusnya ke luar. Berusaha mengenyahkan bayangan yang membuat dirinya susah fokus. Tepat jam 12 lewat 3 menit adzan zuhur mengalun merdu ke setia
Hana berpikir sejenak. Dirinya tak bisa begitu saja menerima tawaran Hakim, terlebih bagi hasil yang menurut Hana akan memberatkan Hakim. "Baiklah. Tapi, jangan sampai memendamnya jika pada kenyataannya kelak Abang merasa dirugikan," ucap Hana akhirnya. Hakim tak langsung menjawab, hingga isi piringnya yang memang tinggal suapan terakhir tandas. Tangannya meraih air mineral kemasan botol yang masih disegel. Memutarnya hingga tutup botol terbuka. Memasukan sesotan pelastik, lalu menyedotnya hingga menyisakan separuhnya saja. "Jangan khawatir, Na. Nyatanya selama ini kita memang terbuka untuk hal-hal di luar privasi." Hakim tersenyum lembut. Hatinya begitu lega setelah Hana setuju dengan kerja sama yang akan mereka jalani. Hana membalas senyum Hakim sambil mengangguk pelan. Lalu menyelesaikan makannya hingga piringnya kosong dari butiran nasi. Tak ada istilah gengsi baginya untuk menghabiskan makanan hingga butiran terakhir sekalipun. Itu merupakan salah satu didikan sang ayah sej
Inez kembali tertawa pelan. Tangan Rio mengepal kuat dengan gigi bergemelutuk. Ia paham jika kalimat itu dimaksudkan Inez untuknya. Entah dengan siapa Inez berbicara. Namun, isi percakapannya mampu membuat Rio dikuasai emosi. "Ya, enggaklah. Kalau dia mau marah, ya, sudah, tinggalin aja sekalian. Lagi pula banyak, kok, yang mau antre."Inez kembali diam, fokus mendengar balasan kalimatnya dari seberang sana. "Aku nggak sebodoh itu, kali. Mana mau aku berpisah tanpa bawa apa-apa. Sudahlah, tenang aja, aku sama sekali nggak takut Rio bakal menceraikanku kapanpun."Suara kekehan pelan kembali terdengar, membuat darah di tubuh Rio kian mendidih. Ia tak tahu siapa lawan bicara Inez di seberang sana. Namun, kecurigaannya jika Inez benar-benar berkhianat kian terasa. Rio berusaha keras untuk berpikir, bagaimana menyikapi semuanya. Namun, tetap saja emosi yang berada di atas segalanya. Ia hanya matang dari segi usia. Namun, sama sekali tak matang dalam pemecahan masalah. Ia tak mampu l
Tanpa menunggu lama, Rio meraih ponsel itu. Menggenggamnya erat. Seolah berniat melumat benda keras itu dalam genggamannya. Kepalang basah. Itulah yang dirasakan Inez. Wajah getir perempuan itu kini berubah datar. "Berikan ponsel itu padaku," ucap Inez dengan tangan terulur. "Katakan pola ponsel ini jika tak ingin nasibnya hanya sebatas ini,“ancam Rio dengan tatapan bak belati menghunus. Inez bergeming. Sama saja dengan bunuh diri jika ia memberikan pola ponselnya pada Rio. Di dalam ponsel itu bertebaran bukti-bukti yang mampu membuat laki-laki itu bertambah murka. "Cepat katakan!" Kali ini suara Rio serupa bentakan. Tak tersisa lagi rasa malu suaranya akan didengar para tetangga. Inez menghindar tatapan Rio. Detik ini posisinya serba salah. Maju kena, mundur lebih lagi. Tak ada yang bisa ia lakukan selain pasrah pada apa yang akan Rio lakukan pada ponselnya. Toh, dirinya tak akan rugi jika Rio segera mentalaknya malam ini juga. Namun, Rio-lah yang akan rugi banyak. "Sudah kuka
"Jemput aku sekarang," ucapnya dengan deru napas memburu. Setelahnya ponsel kembali dimatikan. Dengan malas Rafa bangkit. Duduk di sisi tempat tidur. "Ayo, cepetan!" seru Inez sambil menggeret koper dengan buru-buru. Di bahu kirinya tersampir tas kecil berwarna abu muda. Tanpa menunggu lebih lama, ia melangkah ke luar. Tangan kanannya menarik paksa lengan sang anak. Entah akan ke mana perempuan itu di tengah malam kelam seperti sekarang ini. Inez segera ke luar. Menutup pintu utama tanpa menguncinya. Ia tak tahu dan tak mau tahu apa yang terjadi dengan Rio di lantai atas. Yang terpenting baginya saat ini adalah, pergi sejauh mungkin dari tempat ini untuk menghindari kemarahan Rio. "Kita akan ke mana, Ma?" tanya Rafa dengan kantuk yang mulai sirna. Kini berganti wajah penasaran. "Kita pergi," jawab Inez singkat. "Pergi ke mana?" tanyanya dengan polos."Udah, jangan banyak nanya. Nanti juga tau sendiri," jawab Inez ketus. Keduanya berjalan hingga ke ujung gang. Inez hanya beran
"Mana janjinya kalian akan membayar lunas dalam waktu sebulan saja? Ini sudah lebih dari sebulan. Segera lunasi atau rumah ini akan aku sita," ucap laki-laki dengan rambut plontos itu tegas. "Hah! Ini apa-apaan?" tanya Rio dengan mata membelalak. Alex tak menjawab. Ia memberi isyarat melalui gerakan kecil pada telunjuknya pada salah satu anak buahnya. Laki-laki berwajah sangar dengan rambut sebahu, yang sedari tadi berdiri di sebelah kanan Alex, kini mengulurkan sebuah map berwarna maroon yang sejak tadi di tangannya pada Rio."A—apa ini?" tanya Rio sambil mengedar pandangan ke arah tiga orang itu secara bergantian. Tangannya bergetar menerima map dari laki-laki itu. "Buka saja. Harusnya kalian sudah melunasinya sejak 3 hari lalu," ucap Alex dengan suara khas barithon. Laki-laki kaya yang dikenal sebagai rentenir dengan banyak anak buah itu hanya menampakkan wajah datar tanpa sedikitpun iba. Rio kembali tersentak. Keringat dingin mulai membanjiri dahinya. Jantungnya berdegub cepa
Mendengar pertanyaan dari Inez, Marwan terdiam. Bersamaan dengan itu perempuan yang tadi mengantar minum untuk Inez kembali datang. Perempuan berwajah manis dengan kulit kuning langsat itu memilih duduk tepat di samping Marwan. Bibir merah mudanya tersenyum ramah ke arah Inez lalu berpindah melirik Marwan. Susah payah Inez menelan ludah. Prasangka buruknya membuat keringat dingin berjejalan di sela-sela jari dan telapak tangannya. "Kenalin, ini Sarah istriku," ucap Marwan sambil melempar senyum tipis ke arah sang istri. Perempuan berusia awal 30 tahun itu mengulurkan tangannya ke arah Inez. Jika dibandingkan dengan Inez, perempuan bernama Sarah itu masih kalah cantik. Inez nyatanya jauh lebih cantik jika dinilai dari fisik. Namun, bukan itu yang Marwan lihat. Ia tak ingin cinta yang dulu berawal dari kepuasan mata membuat dirinya harus menjalani kehidupan serupa seperti dulu lagi. Inez seketika terhenyak. Jawaban yang keluar dari bibir Marwan tak ubah seperti palu godam yang men
Inez kembali terperangah dengan mata membulat sempurna. Sony ternyata ditangkap karena telah membunuh pacar yang telah ia pacari setahun terakhir, dengan cara membekapnya dengan bantal hingga menghembuskan napas terakhir, lalu melarikan motor serta ponsel milik sang pacar. Inez segera berlari ke kamar. Rasa sesal dan kecewa memenuhi rongga dadanya. Air mata kembali meleleh ketika sadar betapa bodoh dirinya karena telah luluh dengan janji manis serta tampang rupawan laki-laki brengsek itu. Ternyata saat bersamanya Sony sudah memiliki pacar. Berkali-kali inez memukuli dadanya yang kini terasa sesak. Satu per satu kebodohan yang pernah ia lakukan kini berputar di kepala, membuat rasa bersalah pada Marwan kian bertumpuk. *Malam datang bersama aroma damai ketenangan bersama rintik hujan yang luruh ke bumi. Namun, tidak dengan hati Inez. Malam ini ia kian gamang. Hatinya berkeinginan untuk datang meminta maaf pada Marwan. Namun, ia terlalu malu untuk menampakkan wajah hinanya di hadapan
Hana menautkan alis seraya menggeleng pelan. Bibirnya mengulum senyum manis, bahkan sangat manis. "Sejak kapan?" Ia balik bertanya. "Jauh sebelum kau kenal mantan suamimu," jawab Hakim dengan raut wajah nampak serius. "Hah? Serius?" Hana kembali bertanya. Hakim mengangguk pasti. Hana menatap lekat wajah sang suami. Selama ini Hana tak pernah menganggap Hakim lebih dari teman, atau mungkin sahabat. Yang ia tahu Hakim sangat nyaman untuk dijadikan teman bercerita sekaligus rekan kerja. Sejak dulu Hakim dikenal suka membantu, bahkan hampir semua teman-teman di kantor lama mereka dulu dekat dengan Hakim. "Apa kau merasa Abang mempunyai teman dekat perempuan saat itu selain kamu?" tanya Hakim memastikan. Hana nampak berpikir sejenak, lalu menggeleng pelan. "Setiap kedekatan antara laki-laki dan perempuan, sudah pasti salah satu di antara keduanya memiliki rasa, Na. Nggak usah munafik. Pada kedekatan kita dulu, Abang lah yang memiliki rasa padamu," ucap Hakim jujur. Kini tatapan mat
Dua minggu berlalu. Hana menatap bangga laki-laki yang kini tengah menjabat tangan Pak Penghulu dengan wajah serius. Laki-laki yang kini tengah mengikrarkan janji suci di depan saksi. Wajah penuh riasan itu kini berubah sendu manakala kata 'sah' mengawang di udara. Memecah khidmatnya acara pagi ini. Tepat beberapa detik yang lalu, dirinya kembali sah bergelar istri setelah delapan bulan menyandang status janda. Mungkin bagi sebagian orang ini terlalu singkat. Namun, Hana tak ingin menunda saat laki-laki baik datang padanya, persis seperti apa yang dikatakan sang ayah kala itu. Binar bahagia nampak pada wajah keduanya ketika Hana dan Hakim bersanding di atas pelaminan untuk menyambut kedatangan para tamu. Anak-anak mereka berkumpul menyaksikan kebahagiaan orang tua mereka. Kini Ira dan Shanum nampak tak ingin berjauhan. Dua anak perempuan itu kini menikmati hubungan yang kian dekat dari sekedar sahabat. Kedua orang tua Hana nampak lebih muda dalam riasan serta pakaian yang mereka
Bayangan kematian kian menghantui Inez. Keringat dingin meluncur di dahi hingga jemari perempuan itu. Ines mengangguk cepat, matanya kian gencar mengeluarkan butiran bening. "Bagus," ucap laki-laki itu dengan senyum menyeringai. "Jangan sampai kau berteriak seperti tadi, jika tak mau pisau ini menembus perutmu." Sony kembali mengancam.Rasa takut yang membuncah membuat Inez akhirnya kembali mengangguk. Sigap sony melepaskan ikatan kain di mulut perempuan itu. "Aku mohon, setelah ini lepaskan aku," lirih Inez dengan air mata kian deras membanjiri wajahnya. Berharap masih tersisa empati di hati laki-laki itu. "Pasti, pasti akan kubebaskan setelah mengatakannya, aku janji," ucap sony dengan wajah meyakinkan. Laki-laki itu merogoh ponsel di saku celananya. Sekarang ia siap mengetik deretan nomor yang akan Inez katakan. Dengan bibir bergetar karena ketakutan akhirnya Inez mengatakan kode pin ATM-nya. Akhirnya ia menyerah, mengingat nyawa yang jauh lebih berharga dari segalanya. "Kata
Wajah Inez kian memerah. Impian yang dijanjikan Sony selama mereka bersama pupus sudah. Harapannya tentang hidup bahagia bersama laki-laki impiannya telah kandas. Tangan Inez mendorong kuat tubuh laki-laki itu hingga Sony terjengkang. "Aku tidak butuh penjelasan tentang kebodohanmu, yang aku butuhkan sekarang adalah uangku kembali!" pekik Inez membabi buta. "Sekarang juga kembalikan uangku!" Inez kembali membentak dengan wajah merah padam. "Uang itu sudah lenyap, Nez. Percuma saja kau memintanya. Bahkan sampai kau nangis darah pun uang itu tak akan pernah kembali," jawab Sony sambil berusaha bangkit. Ia ikut meninggikan suara. Wajah Inez kian memerah. Perempuan itu kalap, ia meraih vas bunga di atas meja melempar kuat ke arah Sony, hingga vas cantik berwarna putih itu tercecar di lantai berhamburan. Setelahnya ia kembali meraih sebuah hiasan keramik yang diletakkan di samping kursi. Melempar benda itu ke sembarang arah.
"Lagian bisnis kamu sampai sekarang masih belum jelas. Pakai saja uang 200 juta yang aku kasih waktu itu, aku sudah nggak punya simpanan banyak lagi. Lagi pula uang hasil penjualan rumah itu hanya tinggal sedikit. Aku memberi 80 persennya untuk kau kelola. Tapi sampai detik ini tak ada kabar. Setiap aku membahas masalah itu kamu selalu bilang, sabar, ya'. Aku capek, Son, capek nanyain kejelasan semuanya." Inez beranjak ke dalam sambil menghentak-hentakkan kaki ke lantai. Laki-laki itu tersulut emosi. Namun, semampunya ia meredamnya. Jika bukan Inez, siapa lagi yang bisa diandalkan saat ini. Sony menguyar rambut kasar. Pikirannya penuh sesak tentang kerusakan mobil hingga bisnis yang dijanjikan temannya. Benar kata Inez, dirinya memang hanya dijanjikan tanpa ada kepastian.Ia beranjak masuk, berniat membujuk perempuan itu agar mau membantunya. Nampak Inez tengah tiduran di sofa mewah di depan TV bersama Rafa. Rafa sibuk memainkan leggo, mem
"Abang memiliki rasa padanya?" Selidik Hana. Hakim menggeleng pelan. "Menganggapnya sebatas adik. Tak lebih," aku Hakim. "Kalau begitu, aku tak memiliki alasan untuk cemburu," jawab Hana berusaha menutupi rasanya. Ya, sejujurnya rasa cemburu itu tetap ada. Namun, melihat sikap Hakim tadi membuatnya merasa tak pantas menunjukkan rasa dengan cara berlebihan. "Kau yakin?" tanya Hakim dengan menaikkan sebelah alis. Hana hanya tersenyum simpul. "Syukurlah …." Hakim nampak lega. "Oh, ya, boleh aku berbicara tentang kita?" tanya Hakim kemudian. "Tentang kita?" Hana mengulang pertanyaan Hakim sambil tersenyum geli. "Jangan tertawa!" Hakim terkekeh. "Siapa yang tertawa?" "Barusan?" Telunjuk itu terarah pada Hana. "Itu senyum. Apakah seorang dengan pangkat manager di perusahaan besar tak bisa membedakan mana senyum dan mana tertawa?" ledek Hana. "Baiklah … ya, kau barusan hanya tersenyum. Aku sadar karena lelaki memang tempatnya salah, terlepas dari apa jabatan pekerjaan maupun tite
Cincin yang fotonya bulan lalu di kirim Dewi padanya. Ya, Dewi mengatakan jika Hakim memintanya memilih model yang paling bagus. Dan pilihan Dewi jatuh pada cincin yang kini melingkar di jari manis Hana. "Aamiin," ucap Hakim dan Hana bersamaan sambil melempar senyum. Susah payah Rena menelan ludah sendiri. Melihat raut wajah dua orang di hadapannya itu saat saling tersenyum, mampu membuat hatinya meringis. Ada beban yang tiba-tiba menghimpit dada, menciptakan sesak. Hayalannya tentang bagaimana cincin itu melingkar indah di jari manisnya kini pupus sudah. Semua mimpi-mimpinya tentang masa depan bersama Hakim seketika kandas. Ada luka yang baru saja tergores di hati, luka karena perasaan berlebih pada orang yang salah. Jika saja ia tengah sendiri, ingin rasanya meluahkan rasa lewat air mata. Sekian lama ia berusaha menampilkan yang terbaik di hadapan Hakim maupun keluarganya. Namun, semua hanya kesia-siaan. Dua tahun waktunya menjaga hati untuk Hakim sama sekali tak dihargai. Ent