Hari demi hari aku lalui dengan mencari jawaban untuk semua pertanyaanku, tapi nyatanya Allah belum memberiku jawaban untuk semuanya. Aku semakin bingung diputarkan oleh semua teka teki ini.
Aku teringat dengan kotak yang tadi kubawa dari rumah ibu, aku kembali membuka isinya. Kulihat satu persatu foto kecilku juga foto yang sebagian rusak.“Siapa yang ada di dalam foto ini?” gumamku lirih.Beralih dengan memori yang sudah usang.“Semoga masih bisa di pasang.”Berkali-kali mencoba memasang memori tersebut, tetapi tetap saja tak mau masuk di ponselku. Kembali kulepas.“Bismillahirohmanirohim.”Kupejamkan mata sambil memasukan memory card tersebut.“Subhanallah sudah bisa," ucapku girang.Mulai memeriksa setiap file di dalam memori itu, tak ada yang spesial hanya beberapa foto ibu bersama teman-teman, sepertinya diambil secara tidak sengaja. AkuPonselku terus bedering, panggilan dari Amara membnagukanku. Sengaja habis Subuh aku tidur kembali karena kepalaku masih sangat pusing.Tawa ricuh putra kembarku yang berebut ingin melihatku membuatku sadar sepenuhnya, bahasa kecilnya yang selalu bisa membuat bibir ini tersenyum mengembang walau hanya beberapa saat. Dari semua ini yang paling kusyukuri adalah mendapat anak dan keluarga baru, keluarga yang menerimaku dengan tulus, keluarga yang selalu mengingatkanku dengan kesalahan, dan aku sangat beruntung mendapatkan itu semua.Setelah berbincang dan bercanda dengan Amara serta kedua putraku rasa hati ini memiliki sedikit kekuatan untuk kembali mencari tahu. Aku menyambar handuk dan membasuh tubuhku, kesegaran walau sesaat setidaknya bisa memberi otak sedikit ruang sebelum kembali dipenuhi dengan berbagai pertanyaan.Aku menatap diriku dalam cermin, diri yang terombang ambing hanya ingin mencari kebenaran dan keadilan. Menghela nafas berat kemudian mengucap basmalah, berharap hari in
“Kamu dengar tadi kan Ra, mereka merencanakan ini buat keuntungan mereka. Mereka buat ibuku seolah orang jahat di mata Nana, bagaimana kamu bisa nyuruh aku pergi gitu aja?”tanyaku kesal pada Nara yang masih terlihat tenang.“Udah kamu jangan terbawa emosi dulu, kita main cantik dong. Katanya kamu pengen usut tuntas ini semua, kita gak boleh terbawa emosi yang ada kita gak tahu titik terangnya, yang penting sekarang aku akan temui Koko, kita balik dulu ke kota.”Dengan perasaan yang berkecamuk akhirnya aku tetap menuruti Nara yang memaksaku untuk kembali ke kota, ia mengantarku pulang lebih dulu.“Kamu jangan ke mana-mana, ya? d5an jangan lakukan hal bodoh. Ingat kita belum punya bukti yang kita pegang, jaman sekarang gak ada bukti orang akan lebih mudah lolos, sedangkan yang punya bukti saja dengan mudah lolos.”Aku mengangguk mendengarkan penuturan Nara, dia anak hukum pasti tahu semuanya. Aku percayakan semuanya kepada Nara.Setelah kepergian Nara sku berdiam diri di halaman rumah,
Perlahan kupaksa mata untuk terbuka, meski kepala masih terasa sangat sakit, tetapi aku harus memaksa mata ini agar terbuka sepenuhnya. Menatap langit-langit putih.“Di mana aku?”Pandanganku mengedar ke seluruh ruangan, apa ini surga? Ah, sepertinya aku bermimpi jika ini surga, aku masih di sini di dunia yang imitasi.Kupaksa tubuh untuk kuat, berdiri perlahan meski masih sempoyongan, aku berjalan pelan menuju jendela, membuka tirai penutup jendela dengan perlahan dan mengamati seluruh keadaan luar.Aku beralih menuju pintu, menarik perlahan daun pintu, rupanya tidak terkunci, berjalan pelan menuruni tangga, di mana sebenarnya kini aku?“Nona sudah bangun?”Hampir saja aku melonjak karena kaget mendengar suara yang menyapaku dari belakang.“Siapa anda?” tanyaku kepada wanita dengan pakaian sangat rapi itu, ia tersenyum manis menatapku.“Saya orang yang dipercaya Tuan Roy
Aku menatap wanita yang duduk di kursi roda itu, ia memberiku senyum yang amat teduh, senyum yang berbeda sekali sejak terakhir kita bertemu.“Selamat datang Bulan?” ucapnya.Aku masih tidak mengerti apa sebenarnya yang mereka rencanakan di belakangku.“Maaf.”Sepatah kata yang diucapkan oleh Nana.“Maaf ucapmu? Setelah melakukan itu kepada ibuku?”“Bulan, aku tak pernah berpikir untuk menyingkirkan ibumu, aku tak pernah berpikir akan membunuhmu. Aku memang ingin membalas perbuatan ibumu yang dengan tega mengambil suamiku dariku, tapi itu sebelum aku tahu yang sebenarnya, sebelum aku tahu itu hanya akal-akalan Ningsih yang memanfaatkanku.”Aku menatapnya tak mengerti. Apa sekarang otakku semakin bodoh sehingga tidak semudah dulu mencerna ucapan orang lain.“Ningsih mengatakan kepadaku Yusuf berselingkuh dengan ibumu hingga lahirlah kamu. Saat aku mengetahui dari Barja bahwa kamu benar-benar anak biologis Yusuf aku semakin murka, aku ingin menghabisi kalian aku ingin membuat Lilis mend
Sekarang aku memetik banyak hikmah dari perjalanan penuh air mata ini. Perjalanan yang membuatku semakin lumpuh memberi kepercayaan kepada insan manusia. Sekarang yang terpenting bagiku adalah Tuhan berada di hatiku, menemani setiap langkahku meski seluruh keluarga meninggalkanku sekalipun.Bukankah Allah tak akan mengambil sesuatu dari kita melainkan akan menggantinya dengan yang lebih baik?Aku masih terus bertanya kenapa dan mengapa meski sekarang orang yang telah merenggut nyawa ibuku telah mengatakan semuanya. Aku masih tak percaya. Ya, bagaimana aku akan percaya sementara selama ini dia bertopeng kelembutan di depanku.“Apa kamu mengerti sekarang Bulan? Kamu tak pantas bahagia!” seru Teh Salma.Aku masih tidak bergeming, banyak penyesalan yang merajai hatiku saat ini. Di saat yang bersamaan Nara datang bersama Roy membawa beberapa polisi juga Nana sebagai saksi sekaligus ingin mengaku, mereka menangkap bibi dan Teh Salma termasuk Juragan Barja yang merencanakan ini semua. Aku ha
Menyusuri jalanan mulus di pinggiran Gunungkidul. Tujuan utamaku adalah Drini Beach, pantai penuh ketenangan cocok sekali untuk melepaskan waktu bersama keluarga menikmati sunset dan fajar selama beberapa hari. Setidaknya keindahan alam ciptaan Tuhan memberi otak jeda untuk memikirkan hal yang membuat otak hampir gila.Pantai Drini menjadi salah satu pantai istimewa di pesisir Gunungkidul karena sebuah pulau kecil di tengahnya membagi pantai menjadi dua bagian. Konon di pulau tersebut banyak ditumbuhi santigi (Pemphis acidula), atau masyarakat di sini biasa menyebutnya drini. Itulah kenapa pantai dan pulau ini diberi nama drini. Bila laut sedang surut, kita bisa pergi ke pulau. Tak perlu menjadi climber untuk memanjat karang, karena tangga beton rela dipijak demi mengantar kita ke atas. Dari sini, pandangan kita bisa menyisir seluruh Pantai Drini, melihat gunungan alang-alang atap gazebo hingga deretan perahu nelayan. Semua tampak mungil, seperti miniatur bikinan kurcaci. K
Aku mencoba menarik bibir membuat simpul senyum, aku tidak ingin pertemuan ini menjadi sebuah masalah. Aku tidak ingin keadaan yang baik-baik saja akan menimbulkan perkara yang menyakiti.“Loh Bulan, kamu di sini sama siapa?” tanya Nara, gadis itu sudah berdiri di sampingku dan menggandeng tanganku.“Sama keluarga.”“Si kecil juga?”“He'uum.…”“Wah besok bisa dong kita main di pantai sama-sama, pasti seru deh liburan kali ini.”Aku hanya tersenyum menanggapi ocehan Nara. Ia mengajak kami jalan-jalan mengelilingi resort, Nara berjalan lebih dulu menggandeng Azen, sementara aku berjalan membuntutinya bersama Roy. Tidak ada percakapan berarti diantara kami selain sesekali menjawab ucapan Nara.Hingga malam semakin larut, aku berpamitan untuk kembali ke kamar lebih dulu takut jika Amara mencariku.…..Sampai di kamar aku duduk di depan jendela, melihat ponselku y
“Nara?” ucapku lirih, entah sejak kapan dia sudah berdiri di situ.“Jadi kalian… apa kalian bermain di belakangku?” ucap Nara dengan suara bergetar. Mata yang sudah mengembun hanya menunggu detik tetesan bening itu jatuh.“Nara ini gak seperti yang kamu pikirin, aku bisa jelasin,” ucapku mencoba mendekati Nara. Namun, ia menepis tanganku.“Maaf Nara, aku memang mencintai Bulan,” ucap Azen mempertegas semuanya.“Azen kamu apa-apaan!” seruku.“Jadi selama ini kamu tak mencintaiku? Kamu tak memiliki perasaan apapun kepadaku?”Nara melangkah mundur dan akhirnya berlari meninggalkan kami dengan linangan air mata.Ya Rabb, apa lagi ini? Aku datang kemari untuk mencari kedamaian dan juga ketenangan, bukan perkara seperti ini.“Kamu keterlaluan Azen, sudah aku katakan aku tidak mencintaimu!” Aku meninggalkan yang masih mematung berniat ingin menemui dan menjelaskan semuanya kepada Nara. Berlari cepat menuju kamar N
Setelah puas menuntaskan aktivitas tidak masuk akal yang kulakukan di samping gundukan tanah, aku dan Bayu kembali ke rumah umi. Tiga jam terasa cepat sekali, lelah dan letih tak kuhiraukan. Biasanya aku akan berangkat setelah Magrib menginap semalam di rumah Bandung kemudian seharian berada di makam dan kembali setelah Azhar.“Umi.” Zakir dan Zafar berlari, berebut ingin memelukku. Kusambut keduanya dalam pelukan dan menciumi kedua pipinya.Perasaan bersalah kepada mereka semakin besar karena aku terlalu sibuk dengan sakitku dan tak memikirkan perasaan anakku.“Bagaimana hafalannya?”“Zakir sudah hafal al baqoroh,”“Zafar juga.”Aku mengacak gemas pucuk kepala mereka.“Alhamdulillah, pintar anak Umi.”“Zafar sama Abang bakalan rajin ngaji, tapi umi janji jangan nangis lagi, ya?”Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Zakir dan Zafar tak lagi menanyakan Roy setelah abi menjelaskan panjang lebar kepada mereka da
Kalau saja hati ini, tubuh ini buatan Jepang atau China mungkin sudah tak dapat digunakan dan sudah berada di tumpukan sampah. Kalau saja pikiran ini sebuah chip dengan memori terbatas mungkin sudah tak terpakai lagi. Namun, semuanya ciptaan yang maha agung, ciptaan yang maha sempurna sehingga sampai detik ini aku masih menggunakannya dengan baik. Meski sudah remuk berkali-kali, patah tak terhitung.Setelah satu minggu berada di rumah sakit menjalani perawatan, saat itu kondisi tubuhku sudah mulai membaik, tetapi tidak dengan keadaan otakk yang mulai terganggu, psikologis mulai tak beres dan aku harus melakukan terapi sekali seminggu. Aku senang berdiam diri di bawah jendela menatap awan berjam-jam, kadang menangis seorang diri, tertawa dan berbicara dengan fot Roy atau Bang Amar yang sengaja kutaruh di bawah jendela tempat ternyamanku saat ini, entah itu pagi, siang atau malam.Kadang aku tak mengenali kedua putraku, kadang aku mengenali mereka. Kadang aku me
“Roy!” Aku hendak berlari menghampiri Roy yang tergeletak tak berdaya di bawah kaki Azen. Namun, tanganku dicekal kuat oleh Azen.“Jangan dekati dia atau aku akan menembaknya.” Azen mengeluarkan pistol dan memperlihatkan di depan wajahku.Bayang-bayang malam pilu dimana Bang Amar kehilangan nyawa kembali berputar di otakku. Aku bersimpuh di bawah kaki Azen “Apa maumu?” tanyaku dengan uraian air pala pilu.“Menikahlah denganku.” Seringai setan terukir di bibir Azen.“Jika aku menikah denganmu maka lepaskan Roy dan anak-anakku.”Azen berlutut di depanku membelai wajahku. “Tentu saja.”“Tapi bukankah kamu masih ingat ilmu agama? Aku baru saja menikahi Roy, dan jika Roy menjatuhkan talak kepadaku kau perlu waktu empat bulan untuk mengucap ijab.”Azen kembali berdiri dan tersenyum.“Tentu saja aku paham, aku akan menunggu masa idahmu dan kau tinggal di tempat yang telah kutentukan.”“Tidak, aku tak
“Mang lebih cepat,” pintaku tak sabar. “Ramai kendaraan Mbak Bulan, entah kenapa malam ini ramai sekali,” jawab mamang.Aku semakin tak tenang, berkali-kali kuhubungi nomor Azen, tetapi ia tetap tak menjawab panggilan teleponku.“Aku akan naik ojek saja, Mamang pulang saja.”“Loh, Mbak Bulan mau naik ojek pakai baju seperti itu, ribet Mbak.”Aku tak menghiraukan ucapan Mang sopir dan segera turun melambai kepada siapapun yang menggunakan motor. Tidak aku pikirkan entah itu orang baik atau jahat, yang ada dalam pikiranku sekarang adalah anak-anakku dan juga Roy, ketakutan yang luar biasa tak dapat kusembunyikan. Aku takut Azen akan bertindak seperti dulu. Bagaimana jika ia sampai menyakiti Roy atau kedua putraku?“Cepat sedikit Mas,” ucapku kepada pemuda yang mengendarai motor.“Mana alamatnya Mbak?” tanya pemuda tersebut, aku memperlihatkan alamat pada ponselku. Pemuda itu menancap gas dengan kecepatan tinggi.“Itu
Bagaimana aku bisa berjalan di atas altar dengan hati tenang? Sementara aku tahu musuh mungkin akan datang begitu saja. Menjelang hari pernikahanku, sejak Roy datang melamar bersamaan dengan Azen ketenangan hatiku kembali terusik. Namun, aku mencoba menyampingkan semuanya demi orang-orang yang mencintaiku, demi anakku yang begitu dekat dengan Roy.“Mbak, sudah siap?” Amara membuka pintu kamarku perlahan dengan senyum di bibirnya.“Duduk sebentar,” pintaku.Amara mengikuti keinginanku dan duduk tepat di sebelahku.“Meski Mbak sudah menikah kalian tetap keluarga Mbak, kan?” Kugenggam jari-jemari Amara, aku takut kehilangan, aku takut ditinggalkan.“Mbak ini ngomong apa? Kan kita sudah sepakat gak bahas ini lagi. Kita tetap keluarga sampai kapanpun, dan aku tetap adikmu yang manja dan selalu merepotkan,” ucapnya sambil memelukku.Kuusap titikan air mata yang sempat lolos.“Terimakasih, Mara.”“Aduh, kenapa nangis? Nanti make up l
“Ada apa Bulan?” tanya umi yang melihatku begitu tegang.Aku kembali membaca pesan dari Azen.[Jangan pernah menikahi Roy!] Pesan dengan sebuah emo iblis mampu membuat jantungku berpacu layaknya pacuan kuda.Di saat yang bersamaan masuk pesan dari Roy.[Jangan pikirkan apapun, pikirkan saja kebahagiaan kita dan Zakir juga Zafar.]Bisakah aku hanya memikirkan itu? Bisakah aku mengabaikan pesan dari Azen? Bagaimana jika ia berbuat nekat lagi? Ya Rabb, kuserahkan semuanya kepadamu.Memasukan nasi dengan sedikit memaksa, aku harus terlihat baik-baik saja agar umi dan abi tak berpikir aku tengah menyembunyikan sesuatu.Setelah sarapan umi mengajakku untuk langsung berangkat menuju butik Mommy Nana, sebenarnya aku ingin pernikahan yang sederhana saja. Namun, umi dan abi ingin menggelar pesta mengingat dulu aku dan Bang Amar tak melakukannya. Umi bilang ingin sekali saja melihatku memakai baju selayar putih walaupun tak bersama dengan Bang Am
Aku memandang jari jemariku yang mengepal kuat, aku harus mengambil keputusan agar Azen tak terus menggangguku, setidaknya aku harus memiliki pendamping agar dia tak terus mengharapkanku.“Terimakasih telah datang untuk melamarku Azen, dulu memang aku mengharapkan itu berbagi shaf shalat bersamamu." Azen tersenyum lebar, kepercayaan semakin meningkat dan menyunggingkan senyum sinis kepada Roy. “Tetapi aku menerima lamaran Roy.” Seketika Azen terdiam mengepalkan tangannya, wajahnya berubah menyiratkan kemarahan.“Aku mempunyai alasan untuk itu, terutara anak-anakku begitu dekat dengan Roy, dan yang kedua dia datang lebih dulu untuk mengkhitbahku, jadi mohon maaf jika aku lebih memilihnya.” Kali ini Roy yang tersenyum menatap Azen.“Tidak, aku tak terima Bulan, sampai kapanpun kamu milikku!” seru Azen sebelum pergi meninggalkan kediaman kami tanpa pamit.“Maaf Bulan dan semuanya atas sikap anak saya,” ucap Nyonya B
Seringkali aku beratnya, kadang di subuh yang sunyi, atau malam yang berbalut bintang. Apakah ini sebuah kenyamanan yang hakiki, atau sebuah kesesakan yang dibungkus dengan indah oleh sebuah narasi? Pasalnya aku tak pernah mengerti bagaimana adam bisa melakukan apapun untuk mendapatkan seorang hawa. Aku tak pernah mengerti itu, dan saat ini setelah kulakukan shalat subuh Roy mengirimiku pesan akan membawa mommynya mengunjungiku bertemu dengan abi dan juga umi. Entah apa yang akan mereka lakukan, ia bilang hanya ingin berdamai dengan keadaan hatinya yang terus mengusik.Aku tak ambil pusing, mungkin dia hanya ingin memperbaiki hubunganku dengan mommynya. Kusiapkan makanan untuk Zafar dan Zakir, sementara abi dan umi akan tiba siang ini. Aku masih menemani kedua putraku yang sedang menyantap makanan di meja makan, sesekali bercanda bersama mereka. Hari ini aku full menikmati me time bersama kedua anak kesayanganku.Selalu kuucapkan maaf berkali-kali karena aku tak bisa selalu bersama
Kutarik dengan pasti gagang daun pintu mobil milik Roy, di dalam putraku sudah duduk dengan manis, meminum sebotol teh. Aku mengamati keduanya, masih menikmati sesekali menggoyangkan kaki dan kepalanya mengikuti irama shalawat yang diputar oleh Roy.“Makan dulu, ya?” tanya Roy kepada keduanya, yang langsung dijawab oleh anggukan semangat.Mungkin Allah mempertemukan kami agar kedua putraku bisa mendapatkan sedikit kasih sayang layaknya seorang ayah. Meski tak dipungkiri pertemuan kami penuh dengan derita dan air mata, mengalahkan salah satu diantara kami, hingga Allah memberikan setitik cinta di hati Roy untukku dan kedua putraku.Namun, kehadirannya tak akan bisa menggantikan Bang Amar, kehadirannya, mungkin jika Allah mengizinkan akan mempunyai tempat yang sama di hatiku seperti milik Bang Amar, tetapi sekali lagi aku tegaskan bukan untuk menggantikan Bang Amar. Jika dia mampu menerima dan mau bersebelahan dengan milik Bang Amar kenapa aku tidak menerimanya? Karena hidup memang haru