Terbangun kala adzan subuh berkumandang, panggilan yang diserukan agar insan segera melakukan kewajibannya.
Aku terbangun, mengerjapkan mata. Melihat ke samping kanan dan kiri, sudah tidak ada ibu. Butiran bening kembali menetes, ibu benar-benar meninggalkanku. Kejadian buruk malam tadi terlintas kembali, itu tidak mimpi.Kepala terasa berat sekali, sempoyongan berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Sebaiknya kuadukan gundah gulana hatiku kepada sang maha mengetahui.Kuambil telekung lusuh milik ibu, bersiap mengenakannya dan bersujud kepada pemberi hidup.Aku duduk bersimpuh setelah melakukan kewajibanku. Menadahkan tangan berharap kekuatan besar merasuk dalam jiwa agar nestapa kehilangan ini dapat tergantikan dengan kesabaran yang begitu besar.Sajadah yang tak lagi sempurna gambarnya basah oleh air mataku, kembali menangis seorang diri. Aku harus bagaimana? Apa yang harus kulakukan? Aku tak tahu arah jalan. Kemana aku harus pulang saat rumahku tak ada lagi ibu, orang yang selalu menunggu kepulanganku.Ilahi ya Rabb, jika bunuh diri itu tidak dosa pasti sudah kulakukan. Sayangnya agamaku, tuhanku melarangnya, hal yang mendahuluinya itu sebuah syirik dan dilaknat.Kulipat kembali sajadah lusuh, dan menaruhnya dalam ember baju kotor bersama beberapa potong baju ibu yang belum di cuci.Apa yang terjadi dengan ibu, apakah dia sakit? Kenapa ia tak pernah mengeluh?Aku harus mencari tahu? Mungkin Teh Salma atau mamang bisa memberitahukan sesuatu, atau mungkin bibi.Fajar mulai menyingsing, memberikan kehangatan dan cahaya pagi yang begitu menyejukkan sebagai pelengkap di setiap hidup dan tumbuhnya berbagai macam spesies dan tumbuhan yang ada di dunia ini.Cahaya yang amat berarti bagi kelangsungan hidup, cahaya yang sangat berarti untuk kelangsungan metamorfosa, cahayanya bak cinta ibu yang menghantar kehidupan bagi anaknya.Segera aku mengenakan hijab dan cadar, tak ingin dan tak sabar menunggu lama untuk seger bertanya apa yang terjadi tiga bulan lalu.Belum sempat tangan menarik daun pintu kayu yang sedikit rapuh itu, ketukan dari luar sudah mendahuluinya. Dari balik pintu Teh Salma datang membawa rantang berisi makanan."Assalamualaikum, Neng."Aku tersenyum dan menjawab salamnya, meski bibir terasa kaku saat memaksa menarik dan membuat simpul senyum."Makan dulu Neng, Teteh buatkan makanan kesukaan Eneng."Kembali aku hanya tersenyum, mulutku terasa terkunci rapat, malas hanya untuk sekedar bicara.Bagaimana aku bisa makan sementara tak ada kejelasan kenapa ibu bisa meninggal, tak ada yang buka mulut sejak semalam. Apakah aku harus menunggu sementara bisik-bisik tetangga sempat terdengar mengganggu telinga yang cukup pekan ini."Teh, ada apa? Kenapa ibu bisa ninggalin Bulan? Apa ibu teh sakit?"tanyaku lirih, kutatap Teh Salma yang masih sibuk membuka rantang bawaannya, tangannya cekatan memindah sayur yang telah ia bawa."Sudah takdir allah, Neng."Bukan jawaban yang aku inginkan, itu tak menjawab semuanya, apa Teh Salma menyembunyikan sesuatu dariku?"Bulan tahu Teh, kematian mah emang udah takdir Allah, yang Bulan tanyain apa ibu teh sakit? Selama ini ibu tak pernah ngeluh jeung Bulanulan, apa ibu beneran sakit?"Teh Salma tampak menghentikan gerakan tangannya, ia beralih duduk di sebelahku, memelukku dengan erat."Teteh tahu Neng terpukul, tapi ini mah udah takdir embu, Neng harus ikhlas dan fokus sama kuliah Neng. Teteh juga tidak tahu kenapa embu bisa ninggalin kita secepat ini, kemarin teteh masih melihat embu baik-baik saja nteu kenapa-kenapa, malahan bantuin Teteh manen singkong."Teh Salma menghela nafas panjang, mengusap punggungku perlahan."Paginya embu masih bantuin Teteh, tapi sore menjelang Magrib, bapak datang nengok embu, embu teh udah gak ada. Bapak lihat embu baring di lantai teriak panggil warga, mulut embu berbusa. Sebenarnya teteh curiga kenapa embu bisa seperti itu, kayak orang keracunan. Tapi, Pak RT mah enteu ngebolehin bocor sampai luar desa, takutnya jadi fitnah dan kasihan embu," terang Teh Salma lagi.Aku menyimak dengan dada naik turun tak beraturan. Ritme jantung seolah terpacu lima kali lebih cepat, banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada Teh Salma."Maksudnya, ibu bunuh diri?"Mulutku terasa bergetar mengucapkan kata-kata itu.Tidak mungkin, tidak mungkin kan, ibu melakukan itu. Meski masalalu ibu kelam, tetapi aku tahu ibu, mengerti agama tak mungkin melanggar laknat Allah. Ibu bahkan mengajariku keagamaan yang begitu besar selalu menuntutku menaati peraturan agama yang kami anut, agama Islam."Teteh gak ngerti, embu tak pernah kasih tau Teteh."Teh Salma ini memang pandai menggunakan bahasa isyarat tangan, Teh salma sedikit banyaknya belajar dari ponsel jadul bekas punyaku dulu yang sengaja kuberi untuk ibu agar bisa saling video call, karena keterbatasan biaya ia hanya sekolah sampai SD, padahal mimpinya ingin jadi interpreter."Menurut Teteh apa ada orang berniat jahat sama ibu?"Teh Salma mengedikkan bahunya tanda tak tahu."Apa Teteh percaya kalau ibu bunuh diri, apa Teteh yakin?"Kami saling tatap, mungkinkah Teh Salma sepemikiran denganku?"Teteh sangat kenal embu, teteh tahu embu tak mungkin melakukan itu. Embu semangat sekali nunggu Neng wisuda enam bulan lagi."Diam, mencerna ucapan Teh Salma. Harus mulai darimana aku mencari tahu dan jejak masalah ini, sementara aku tak tahu apa yang ibu lakukan selama aku pergi. Aku pun terlalu sibuk bekerja sambil kuliah hingga hanya bisa menghubungi ibu saat fajar, terkadang selepas waktu Magrib, itupun hanya sebentar."Mamang di mana, Teh?""Aya di rumah, nanti kesini. Ayo sarapan dulu, Neng. Semalam Neng tak makan dan langsung tidur. Teteh balik lagi, gak tega bangunin Neng."Aku mengangguk, meski harus memaksa sekuat tenaga agar nasi tertelan masuk dan berubah menjadi energi. Aku harus mengumpulkan banyak energi untuk mencari tahu kenapa ibu meninggal mendadak.Mamang datang membawa seorang pemuda, pemuda yang pernah beberapa saat mengisi hatiku, dia masih sama tatapan tajam, alis sedikit tebal, senyum dengan lesung di kedua pipinya.Zehan, anak dari juragan sawah. Pernah menitipkan cintanya untukku Rembulan si rakyat jelata. Cinta kubalas dengan suka cita, tetapi orang tuanya, keluarganya, menolak. Menolak kehadiranku yang tak sepadan denganya. Itu terjadi beberapa tahun lalu, saat aku belum memutuskan pergi merantau ke Jakarta. Menimbun perasaan yang tak akan pernah bisa menyatu. Dia melepasku di bawah tebing cadas gantung, disaksikan indahnya bentangan alam."Jangan menangis," ucapnya kala itu, padahal jelas di matanya berlinang air mata."Turut berdukacita, Ulan," ucap Zehan membuyarkan lamunanku.Aku tersenyum dan mengangguk."Nak Zehan memaksa ikut, padahal teh Mamang takut kalau sampai ketahuan juragan Barda Zehan ketemu Bulan,"ucap mamang dengan nafas memburu.Aku kembali tersenyum, kami sudah tahu siapa Juragan Barda dan anak buahnya. Dia begitu membenci aku dan ibu juga keluarga kami, apalagi istrinya.Entah apa yang kami lakukan sehingga mereka bisa melakukan apapun untuk mengganggu kami.Tiga hari kepergian ibu, aku masih betah di rumah kecil kami. belum berniat kembali ke Jakarta meski Nara sudah berkali-kali mengirimkan pesan untuk menjemputku.Aku belum berniat kembali ke Jakarta, entah sampai kapan. Aku masih setia meratapi rindu yang tak selesai kepada ibu.Ku tatap indahnya pandangan dari atas tebing cadas gantung, sawah-sawah nan hijau, pohon yang tumbuh tak beraturan, burung-burung yang berterbangan menjadi temanku hari ini.Aku seorang diri, duduk berteman sepi. Kenapa aku tak mencari tahu soal ayahku? Pertanyaan itu terlintas di benakku.Untuk apa? Toh dia orang jahat.sisi hati kembali memberikan penolakan.Ya, mencari tahu sama saja menggali sakit hati."Neng? Hayuk pulang, udah sore." Panggilan membuatku tak kuasa ingin segera menoleh melihat Teh Salma yang sudah berdiri di sampingku."Sini heula Teh."Aku menepuk kayu tempat aku duduk, mengisyaratkan agar Teh Salma duduk di sampingku.Teh Salma sepuluh tahun lebih tua dariku, tetapi ia belum menikah. E
Bergandengan tangan menuruni bukit, aku dan teh Salma.Sebelum magrib kami telah sampai di depan gubuk kecilku. namun, langkah kami terhenti saat melihat di depan rumah terparkir mobil sedan berwarna merah.Kami saling pandang, siapa yang datang?"Cari siapa tuan?" tanyaku heran. "Permisi Nak, bukankah ini rumah Lilis Wati?"Aku mengernyitkan dahi, tamu ibu? Siapa dia mencari ibu?Aku menatapnya tajam, lelaki yang belum terlalu tua, mungkin sekitar 40 tahunan lebih, tapi gayanya masih necis mungkin karena ia orang kaya. Rambut yang tertata rapi meski sudah sedikit beruban, dasi biru tua, kemeja putih perpaduan dengan celana slim fit mahal, sepatu kantor yang begitu mengkilap."Anda siapa, dan untuk apa mencari ibuku?"Lelaki itu membuka kaca matanya, menatapku tajam, hidung mancung, mata amber seperti milikku."Apa kamu anaknya?" ucapnya penuh penekanan.Aku hanya mengangguk, teh Salma memegang erat jemariku hingga terasa sakit."Ayo, Bulan!"Teh Salma menarik cepat tanganku. ada ap
Enam bulan sudah aku seorang diri menghadapi dunia yang penuh dengan fiksi, kenyataan yang tak sesuai harapan, impian yang tak lagi memiliki tuan, semuanya membuatku seolah berjalan tanpa arah tujuan. Hanya mengikuti arus yang telah Tuhan beriakn.Aku datang memakai baju toga wisuda, dilengkapi dengan slaber dan medali. Aku datang membawa ijazah wisudaku duduk di samping nisan ibu."Lihatlah ibu, Bulan teh udah wisuda. Bulan teh udah lulus, ibu pasti bangga."Kembali titikan air mata jatuh tepat di tanah tempat tubuh ibu bersemayam, semakin sering hingga tanpa jeda. Aku masih setia duduk, bercerita seorang diri layaknya orang yang sedang kehilangan akal, menunggu senja datang dengan ocehan sambil terkadang disiringi senyum.Aku begitu merindukan ibu, rindu yang tak akan pernah bisa terobati rindu yang tak akan pernah bisa bilang, rindu hanya pertemuan lah yang mengobatinya.Cahaya orange senja mulai memeluk malam, aku beranjak berpamitan kepada nisan ib
Kami sampai di Jakarta, lebih dulu mengantarkan Nara karena dia harus bersiap hendak kembali ke Jepang malam ini, omanya sakit.Kupeluk Nara, walau berat melepasnya, gadis yang selalu menghibur dan menemaniku selama ini."Balik lagi, kan?" ucapku meyakinkan."Iya, kuliahku aja belum selesai." Nara tertawa kecil.Aku kembali memeluk Nara, melambai tangan.Tinggalah aku berdua dengan Ustad Amar, padahal aku bisa naik angkot, tetapi Ustad Amar memaksa mengantarkan karena hari sudah hampir Magrib, aku tak kuasa menolak.Saling diam walau di dalam mobil yang sama. Aku asyik menatap jalanan, senja di kota Batavia tak begitu indah seperti di desaku, batinku."Berta'aruf lah denganku."Aku berpaling, memandang bahu yang masih sibuk menyetir. Masih diam membisu tak menanggapi ucapanya."Aku serius Bulan, berta'aruf lah denganku," ucapnya mengulang.Jujur saja aku ingin tersenyum, dialah yang membuat hatiku lepas dari Azen."tapi... aku.... "Aku tak melanjutkan ucapanku. "Aku tahu semuanya, a
PERNIKAHANPelukan hangat dari bibi dan mamang juga Teh Salma setelah kuberi tahu Ahad ini keluarga Ustad Amar akan datang mengkhitbah sekaligus melangsungkan pernikahan.Bibi dengan tergesa memberitahukan warga. Tak hanya itu, ia bahkan menjual lembunya untukku. Aku berkali-kali menolak, tetapi ia bilang ingin menebus semua kesalahannya dulu. Alhamdulillah... bibi sudah benar-benar berubah.Duduk berdua bersama Teh Salma memandang Bulan purnama."Selamat ya, Neng, Allah teh kirim lelaki yang baik buat jagain Neng."Aku tersenyum, benar kata Teh Salma, aku butuh lelaki seperti Ustad Amar......Jantungku berdegup tidak karuan, sudah pasti aku gugup karena pagi ini kami akan melangsungkan pernikahan. Menatap diri di cermin kecil yang ada di pojok kamar, di sebelahnya kugantung gamis milik ibu, satu-satunya gamis yang belum pudar warnanya."Ibu, Bulan teh udah mau nikah. Seharusnya ibu ada di samping Bulan, masangin hijab buat Bulan, megang tangan Bulan buat datang kepada Ustad Amar."K
Kami sampai di rumah Bang Amar, setelah lebih dulu mampir ke rumah umi dan abi. Mata menyapu sekeliling rumah berwarna abu dengan perpaduan putih tersebut, ada taman bunga di sepanjang jalan masuk halaman, bunga mawar tumbuh subur. Aku mengikuti Bang Amar masuk ke rumah setelah mengucap salam dan disambut oleh wanita paruh baya, mungkin asisten rumah tangganya. Sementara barang-barang sudah di bawakan satpam. Bang Amar masuk ke kamar lebih dulu, aku berjalan pelan bersama wanita tadi, namanya Mbok Darmi. Dia yang membersihkan rumah ini."Neng, mau minum apa?'' tanya Mbok Darmi memecah keheningan kami."Gak usah Mbok, nanti aku bisa ambil sendiri.""Oh, ya Neng, nanti Mbok pulang sebelum Maghrib dan besok balik lagi jam enam."Aku mengangguk dan tersenyum, aku pikir Mbok Darmi juga ikut tinggal di sini.Aku berlalu, meninggalkan Mbok Darmi menuju kamar atas di mana tadi sempat kulihat dari bawah Bang Amar memasukinya, tetapi sampai di pintu langkahku terhenti, mataku menyapu seluruh r
Duduk termenung menatap foto ijab kabulku bersama Bang Amar."Tangis ayolah, sekali saja jangan keluar," gumamku lirih.Sayang, bahkan air mata tak menganggap ucapanku sebuah harapan. Ia tetap keluar bersama luka. Kembali menaruh ponsel setelah membalas pesan Nara yang mengatakan rindu kepadaku. Suara burung sudah terdengar riuh bersahutan dengan suara kendaraan. Kulepas mukena yang masih menempel di kepala dan berganti dengan hijab, tak lupa cadar juga kusematkan untuk menutupi wajah.Turun perlahan sambil terus menghitung anak tangga, sepertinya ini sekarang sudah menjadi hobiku.Memulai aktivitas dapur dengan bismillah. Mbok Darmi belum datang karena memang baru setengah enam. Fajar pun belum sepenuhnya menampakkan dirinya.Setengah jam kemudian semua masakan matang, aku hanya perlu menyajikan di atas meja. Berharap dari masakan aku bisa meluluhkan hati Bang Amar.Ketukan dari pintu utama, diiringi salam. Aku menjawabnya dan sedikit berlari untuk membuka pintu."Maaf ya Neng, Mbok
Kutepis semua perasaan yang tidak pada tempatnya, wanita mana yang tahan jika diperlakukan seperti ini, wanita mana yang kuat diabaikan setelah tiga hari menikah?Tidak ada wanita yang begitu tegar, tidak ada wanita yang memiliki hati sekuat baja saat melihat suaminya memperlakukannya sedingin es.Kuremas kuat berkas yang ada dalam pelukanku, menghembuskan nafas berat. Ini awal aku akan mengajar, aku tak ingin masalah keluarga menggangguku ketika mengajar.Mengayun kaki dengan semangat 45 ke pesantren terbesar di Jakarta, ramai suara santri mengaji benar-benar membuat hati yang semula dilanda gundah ini terasa sedikit tentram. Suara sholawat yang menggema di salah satu ruangan yang kulewati membuatku tersenyum sendiri. Betapa damainya, betapa indahnya syair yang memuji para rosul itu.Aku masih berdiri menatap santriwati yang terus bershalawat dengan sedikit menggoyangkan badan ke kanan dan kiri. Bibir terasa ingin ikut mengucap dengan lantang."Assalamualaikum Ustadzah?" Aku menoleh
Setelah puas menuntaskan aktivitas tidak masuk akal yang kulakukan di samping gundukan tanah, aku dan Bayu kembali ke rumah umi. Tiga jam terasa cepat sekali, lelah dan letih tak kuhiraukan. Biasanya aku akan berangkat setelah Magrib menginap semalam di rumah Bandung kemudian seharian berada di makam dan kembali setelah Azhar.“Umi.” Zakir dan Zafar berlari, berebut ingin memelukku. Kusambut keduanya dalam pelukan dan menciumi kedua pipinya.Perasaan bersalah kepada mereka semakin besar karena aku terlalu sibuk dengan sakitku dan tak memikirkan perasaan anakku.“Bagaimana hafalannya?”“Zakir sudah hafal al baqoroh,”“Zafar juga.”Aku mengacak gemas pucuk kepala mereka.“Alhamdulillah, pintar anak Umi.”“Zafar sama Abang bakalan rajin ngaji, tapi umi janji jangan nangis lagi, ya?”Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Zakir dan Zafar tak lagi menanyakan Roy setelah abi menjelaskan panjang lebar kepada mereka da
Kalau saja hati ini, tubuh ini buatan Jepang atau China mungkin sudah tak dapat digunakan dan sudah berada di tumpukan sampah. Kalau saja pikiran ini sebuah chip dengan memori terbatas mungkin sudah tak terpakai lagi. Namun, semuanya ciptaan yang maha agung, ciptaan yang maha sempurna sehingga sampai detik ini aku masih menggunakannya dengan baik. Meski sudah remuk berkali-kali, patah tak terhitung.Setelah satu minggu berada di rumah sakit menjalani perawatan, saat itu kondisi tubuhku sudah mulai membaik, tetapi tidak dengan keadaan otakk yang mulai terganggu, psikologis mulai tak beres dan aku harus melakukan terapi sekali seminggu. Aku senang berdiam diri di bawah jendela menatap awan berjam-jam, kadang menangis seorang diri, tertawa dan berbicara dengan fot Roy atau Bang Amar yang sengaja kutaruh di bawah jendela tempat ternyamanku saat ini, entah itu pagi, siang atau malam.Kadang aku tak mengenali kedua putraku, kadang aku mengenali mereka. Kadang aku me
“Roy!” Aku hendak berlari menghampiri Roy yang tergeletak tak berdaya di bawah kaki Azen. Namun, tanganku dicekal kuat oleh Azen.“Jangan dekati dia atau aku akan menembaknya.” Azen mengeluarkan pistol dan memperlihatkan di depan wajahku.Bayang-bayang malam pilu dimana Bang Amar kehilangan nyawa kembali berputar di otakku. Aku bersimpuh di bawah kaki Azen “Apa maumu?” tanyaku dengan uraian air pala pilu.“Menikahlah denganku.” Seringai setan terukir di bibir Azen.“Jika aku menikah denganmu maka lepaskan Roy dan anak-anakku.”Azen berlutut di depanku membelai wajahku. “Tentu saja.”“Tapi bukankah kamu masih ingat ilmu agama? Aku baru saja menikahi Roy, dan jika Roy menjatuhkan talak kepadaku kau perlu waktu empat bulan untuk mengucap ijab.”Azen kembali berdiri dan tersenyum.“Tentu saja aku paham, aku akan menunggu masa idahmu dan kau tinggal di tempat yang telah kutentukan.”“Tidak, aku tak
“Mang lebih cepat,” pintaku tak sabar. “Ramai kendaraan Mbak Bulan, entah kenapa malam ini ramai sekali,” jawab mamang.Aku semakin tak tenang, berkali-kali kuhubungi nomor Azen, tetapi ia tetap tak menjawab panggilan teleponku.“Aku akan naik ojek saja, Mamang pulang saja.”“Loh, Mbak Bulan mau naik ojek pakai baju seperti itu, ribet Mbak.”Aku tak menghiraukan ucapan Mang sopir dan segera turun melambai kepada siapapun yang menggunakan motor. Tidak aku pikirkan entah itu orang baik atau jahat, yang ada dalam pikiranku sekarang adalah anak-anakku dan juga Roy, ketakutan yang luar biasa tak dapat kusembunyikan. Aku takut Azen akan bertindak seperti dulu. Bagaimana jika ia sampai menyakiti Roy atau kedua putraku?“Cepat sedikit Mas,” ucapku kepada pemuda yang mengendarai motor.“Mana alamatnya Mbak?” tanya pemuda tersebut, aku memperlihatkan alamat pada ponselku. Pemuda itu menancap gas dengan kecepatan tinggi.“Itu
Bagaimana aku bisa berjalan di atas altar dengan hati tenang? Sementara aku tahu musuh mungkin akan datang begitu saja. Menjelang hari pernikahanku, sejak Roy datang melamar bersamaan dengan Azen ketenangan hatiku kembali terusik. Namun, aku mencoba menyampingkan semuanya demi orang-orang yang mencintaiku, demi anakku yang begitu dekat dengan Roy.“Mbak, sudah siap?” Amara membuka pintu kamarku perlahan dengan senyum di bibirnya.“Duduk sebentar,” pintaku.Amara mengikuti keinginanku dan duduk tepat di sebelahku.“Meski Mbak sudah menikah kalian tetap keluarga Mbak, kan?” Kugenggam jari-jemari Amara, aku takut kehilangan, aku takut ditinggalkan.“Mbak ini ngomong apa? Kan kita sudah sepakat gak bahas ini lagi. Kita tetap keluarga sampai kapanpun, dan aku tetap adikmu yang manja dan selalu merepotkan,” ucapnya sambil memelukku.Kuusap titikan air mata yang sempat lolos.“Terimakasih, Mara.”“Aduh, kenapa nangis? Nanti make up l
“Ada apa Bulan?” tanya umi yang melihatku begitu tegang.Aku kembali membaca pesan dari Azen.[Jangan pernah menikahi Roy!] Pesan dengan sebuah emo iblis mampu membuat jantungku berpacu layaknya pacuan kuda.Di saat yang bersamaan masuk pesan dari Roy.[Jangan pikirkan apapun, pikirkan saja kebahagiaan kita dan Zakir juga Zafar.]Bisakah aku hanya memikirkan itu? Bisakah aku mengabaikan pesan dari Azen? Bagaimana jika ia berbuat nekat lagi? Ya Rabb, kuserahkan semuanya kepadamu.Memasukan nasi dengan sedikit memaksa, aku harus terlihat baik-baik saja agar umi dan abi tak berpikir aku tengah menyembunyikan sesuatu.Setelah sarapan umi mengajakku untuk langsung berangkat menuju butik Mommy Nana, sebenarnya aku ingin pernikahan yang sederhana saja. Namun, umi dan abi ingin menggelar pesta mengingat dulu aku dan Bang Amar tak melakukannya. Umi bilang ingin sekali saja melihatku memakai baju selayar putih walaupun tak bersama dengan Bang Am
Aku memandang jari jemariku yang mengepal kuat, aku harus mengambil keputusan agar Azen tak terus menggangguku, setidaknya aku harus memiliki pendamping agar dia tak terus mengharapkanku.“Terimakasih telah datang untuk melamarku Azen, dulu memang aku mengharapkan itu berbagi shaf shalat bersamamu." Azen tersenyum lebar, kepercayaan semakin meningkat dan menyunggingkan senyum sinis kepada Roy. “Tetapi aku menerima lamaran Roy.” Seketika Azen terdiam mengepalkan tangannya, wajahnya berubah menyiratkan kemarahan.“Aku mempunyai alasan untuk itu, terutara anak-anakku begitu dekat dengan Roy, dan yang kedua dia datang lebih dulu untuk mengkhitbahku, jadi mohon maaf jika aku lebih memilihnya.” Kali ini Roy yang tersenyum menatap Azen.“Tidak, aku tak terima Bulan, sampai kapanpun kamu milikku!” seru Azen sebelum pergi meninggalkan kediaman kami tanpa pamit.“Maaf Bulan dan semuanya atas sikap anak saya,” ucap Nyonya B
Seringkali aku beratnya, kadang di subuh yang sunyi, atau malam yang berbalut bintang. Apakah ini sebuah kenyamanan yang hakiki, atau sebuah kesesakan yang dibungkus dengan indah oleh sebuah narasi? Pasalnya aku tak pernah mengerti bagaimana adam bisa melakukan apapun untuk mendapatkan seorang hawa. Aku tak pernah mengerti itu, dan saat ini setelah kulakukan shalat subuh Roy mengirimiku pesan akan membawa mommynya mengunjungiku bertemu dengan abi dan juga umi. Entah apa yang akan mereka lakukan, ia bilang hanya ingin berdamai dengan keadaan hatinya yang terus mengusik.Aku tak ambil pusing, mungkin dia hanya ingin memperbaiki hubunganku dengan mommynya. Kusiapkan makanan untuk Zafar dan Zakir, sementara abi dan umi akan tiba siang ini. Aku masih menemani kedua putraku yang sedang menyantap makanan di meja makan, sesekali bercanda bersama mereka. Hari ini aku full menikmati me time bersama kedua anak kesayanganku.Selalu kuucapkan maaf berkali-kali karena aku tak bisa selalu bersama
Kutarik dengan pasti gagang daun pintu mobil milik Roy, di dalam putraku sudah duduk dengan manis, meminum sebotol teh. Aku mengamati keduanya, masih menikmati sesekali menggoyangkan kaki dan kepalanya mengikuti irama shalawat yang diputar oleh Roy.“Makan dulu, ya?” tanya Roy kepada keduanya, yang langsung dijawab oleh anggukan semangat.Mungkin Allah mempertemukan kami agar kedua putraku bisa mendapatkan sedikit kasih sayang layaknya seorang ayah. Meski tak dipungkiri pertemuan kami penuh dengan derita dan air mata, mengalahkan salah satu diantara kami, hingga Allah memberikan setitik cinta di hati Roy untukku dan kedua putraku.Namun, kehadirannya tak akan bisa menggantikan Bang Amar, kehadirannya, mungkin jika Allah mengizinkan akan mempunyai tempat yang sama di hatiku seperti milik Bang Amar, tetapi sekali lagi aku tegaskan bukan untuk menggantikan Bang Amar. Jika dia mampu menerima dan mau bersebelahan dengan milik Bang Amar kenapa aku tidak menerimanya? Karena hidup memang haru