"Bunuh diri? Siapa yang bunuh diri Ma?" tanya Lisa heran. 'Ada apa dengan nada suaranya yang terdengar kesal?' tanya Lisa dalam hati dan baru tersadar bahwa dia sudah menyinggung menantu favorit ibu mertuanya. "Ya kamu." jawab ibu mertua Lisa tajam. Lisa memicingkan mata tanda bingung. "Mama! Apa harus membicarakan itu saat ini?" senggak Steven yang tidak habis pikir dengan tingkah ibunya sambil melihat sekelilingnya. Anak-anak ada di situ, Bu Gayatri juga masih berdiri di samping Lisa. "Jangan kamu berani kasar sama mama gara-gara orang lain ya." balas mertua Lisa dengan mata melotot. "Aku bukan kasar, tapi Mama sebaiknya lihat situasi kalau bicara. Disini ada anak-anak dan mertuaku." jawab Steven merendahkan nada suaranya. Dia tidak ingin memancing keributan saat Lisa baru saja tiba di rumah. "Anak-anak tahu kok. Mereka yang bertanya ke Mama kenapa mamanya mau meninggalkan mereka dengan cara bunuh diri." cetus Ibu mertua Lisa yang membuat Steven melongo. Tiba-tiba Scott berla
"Tidak." jawab Lisa tegas. Aulia terlihat kecewa lalu segera keluar menyusul suami dan mertuanya. "Steven, aku mau istirahat." teriak Lisa sekeras mungkin begitu melihat Aulia berbicara serius dengan Steven. 'Dia pasti mau mempengaruhi Steven agar membiarkan anak-anak tinggal di rumahnya.' gerutu Lisa dalam hati. Steven yang mendengar teriakan Lisa segera masuk dan membiarkan Bu Gayatri sendiri yang mengantar keluarga Steven. "Aulia bilang apa?" tanya Lisa segera begitu Steven masuk. "Dia cuma minta kalau bisa anak-anak menginap di rumahnya untuk beberapa hari, sampai keadaan kamu lebih baik." jelas Steven santai. "Terus kamu bilang apa?" cecar Lisa "Yah boleh aja. Biar mamamu juga bisa pulang ke rumahnya dan beristirahat." "Enggak boleh. Anak-anak harus tetap disini. Aku akan minta mamaku untuk tinggal lebih lama disini supaya bisa membantu mengurus anak-anak." jawab Lisa cepat. Steven tampak heran. "Kamu lebih memilih mamamu menjaga anak-anak daripada Aulia? Selama ini aku
"Kakak Sylvia yang ngasih tau Scott." jawab Scott singkat dengan tangan yang masih memeluk Lisa erat. "Siapa yang kasih tahu Kakak Syl?" tanya Lisa lagi. Scott menggelengkan kepala. "Enggak tahu." jawab Scott sambil menutup mata. Lisa diam sambil terus memeluk Scott yang duduk di pangkuannya. Jelas terlihat bertapa Scott sangat merindukan ibunya dan Lisa menyesali setiap detik perpisahan mereka. Steven masuk ke kamar Scott dan menyaksikan Scott yang sudah tertidur nyenyak di pangkuan Lisa. Perlahan Steven mengambil Scott dan meletakkannya di atas tempat tidur. Steven menutup pintu kamar Scott sepelan mungkin setelah dia terlebih dahulu mendorong kursi roda Lisa keluar. "Ayo ke kamar Sylvia." ajak Lisa. "Istirahatlah dulu. Kamu enggak capek setelah memangku Scott hampir sejam?" tanya Steven khawatir. Lisa menggelengkan kepala. Steven kembali menghembuskan nafas lalu mengantarkan Lisa ke kamar Sylvia. Tidak ada yang bisa menghalangi Lisa kalau dia sudah menginginkan sesuatu. "Syl,
"Opa." "Ha! Opa? Sylvia tahu dari Opa?" tanya Lisa bingung. Untuk apa ayah mertuanya memberitahu anak-anaknya.Steven segera masuk ke kamar Sylvia. "Oke, sekarang mamanya mau istirahat dulu ya. Nanti ngobrol lagi." potong Steven yang juga sedang kebingungan mendengar jawaban Sylvia. Ayah Steven adalah orang yang paling hati-hati. Steven berpikir memberitahu anak-anaknya tentang percobaan bunuh diri Lisa tidak terdengar seperti ayahnya."Sylvia bilang Papa yang memberitahu dia." ucap Lisa begitu Steven dan Lisa masuk ke dalam kamar mereka."Iya, aku juga dengar. Tapi kenapa ya? Untuk apa?" tanya Steven bingung. Lisa mengangkat bahunya tanda dia juga tidak mengerti."Aku akan telepon Papa." ucap Steven sambil meraih telepon genggamnya. Lisa membiarkan Steven menelepon ayahnya. Lisa juga penasaran, apa tujuan ayah mertuanya melakukan tindakan gegabah seperti itu."Halo Pa, sudah dirumah?" tanya Steven sambil menghidupkan pengeras suara di telepon genggamnya."Sudah dari tadi. Tapi Gera
"Hi Steven, Lisa. Kebetulan aku libur hari ini. Jadi daripada bengong di rumah, aku pikir lebih baik kalau aku kesini menemani kalian." Aulia menjawab Steven dengan senyuman palsu dan gerakan tubuh yang berlebihan."Tapi-" Lisa baru akan bicara ketika dia dipanggil untuk segera masuk ke dalam ruang fisioterapi."Sudah masuk dulu sana. Jadwal Mas Gunawan padat loh." ucap Aulia setelah mendengar nama Lisa dipanggil. Fisioterapis Lisa adalah sejawat Aulia yang juga praktik di rumah sakit yang sama dengannya."Anak-anak biar aku yang temani." lanjutnya sambil membuat gerakan tangan mengusir."Mereka-" Lisa masih berusaha mengatakan sesuatu tapi Steven segera memutar kursi roda Lisa dan membawanya masuk."Kenapa kamu membiarkan Aulia sendirian bersama anak-anak?" tanya Lisa kesal."Sebaiknya kamu memulai terapimu dulu. Nanti aku akan segera membawa anak-anak kesini dan meminta Aulia meninggalkan kita." jawab Steven tenang."Bagaimana dia bisa tahu hari ini aku terapi?" tanya Lisa pelan pad
"Apa maksud Mama? Kok Mama tega manggil Lisa seperti itu?" tanya Steven kaget. Dia bisa melihat Aulia sedang berjalan perlahan ke arah mereka. "Berhenti disana. Tidak usah ikut campur urusan kami." teriak Steven dengan marah sambil menunjuk Aulia. Ibunya semakin histeris melihat tingkah Steven. "Kurang ajar kamu. Berani-beraninya kamu membentak kakak iparmu sendiri." jerit Ibu Mertua Lisa dengan panik. "Mama juga berani-beraninya memanggil istriku tidak waras." balas Steven berteriak. "Aku cuma ingin anak-anakku menjauh dari dia. Karena aku yakin dia ingin menguasai mereka." lanjut Steven kembali menunjuk Aulia. Dia enggan memanggil Aulia kakak karena apa yang sudah terjadi. "Benar. Mama setuju kalau anak-anakmu dikuasai oleh Gerard dan Aulia. Apa kamu tidak sadar diri? Lihatlah orangtua macam apa kalian ini. Istrimu mencoba bunuh diri. Kamu hanya memperhatikan istrimu dan tidak memedulikan anak-anakmu. Bahkan sekarang kamu itu pengangguran. Lalu mau jadi apa anak-anakmu? Aulia da
"Aku tahu semuanya?" ulang Lisa bingung. Dia baru menyadari kata-kata yang dia ucapkan tadi memang terdengar aneh. "Bukan keluargamu, aku hanya menebak saja." jawabnya cepat karena tidak ada alasan yang masuk akal untuk jawabannya tadi. "Jangan bohongi aku. Katakan yang sebenarnya, apa keluargaku yang memberitahu semuanya dan mereka meminta untuk merahasiakan semuanya dari aku?" cecar Steven dengan kesal. "Bukan, bukan keluargamu."jawab Lisa kalut. "Lalu siapa? Siapa yang memberitahu?" "Aku tidak tahu. Ada begitu banyak informasi yang tanpa sadar muncul di kepalaku. Entah dari mana tapi itu juga membuat aku bingung dan ketakutan." jawab Lisa sedikit panik dan Steven bisa melihat kepanikan Lisa. "Oke, tenang." Steven mulai khawatir melihat wajah Lisa yang memerah, napasnya berpacu cepat dan matanya yang mulai berair. Lisa memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. "Kepalaku sakit." rintih Lisa sambil menarik pelan rambutnya. Steven segera keluar dari mobil dan berlari ke sisi
"Jangan sampai kamu berani keluar." ancam Lisa dengan suara yang dalam. "Ok." jawab Steven sambil mengangkat kedua tangannya. Dia teringat peristiwa sebelum Lisa koma. Mereka bertengkar karena Angel. "Tamunya sudah pergi. Ini dia kasih buah-buahan." Bu Gayatri memperlihatkan plastik berisi parcel buah. Lisa mengangguk lalu meminta Steven mengantarnya ke kamar. "Aku benar-benar tidak punya hubungan atau perasaan apapun terhadap Angel." jelas Steven setelah menutup pintu kamar. "Aku tahu." jawab Lisa singkat. Steven duduk di pinggir tempat tidur tepat di hadapan Lisa. "Terus kenapa tadi kamu marah waktu aku mau menyapa dia?" tanya Steven lembut. "Karena aku tidak tahu bagaimana perasaannya. Bagaimana kalau ini bagian dari usahanya untuk mencuri perhatian kamu? Memikirkannya bikin hatiku enggak tenang." Steven meraih tangan Lisa. "Oke, aku akan menjauh dari dia supaya hatimu tenang." jawab Steven dengan senyum hangat. Dia cukup kaget karena Lisa banyak sekali berubah. Beberapa tah
"Dari situ aja sebenarnya lo bisa mengambil kesimpulan, kenapa kami menjauh," lanjut Donna memandang Lisa dengan tajam. "Karena pada dasarnya lo cuma mikirin diri lo sendiri. Bersahabat dengan kami pun itu demi diri lo sendiri," jelas Donna dengan gamblang. "Kenapa kalian bisa mengambil kesimpulan begitu? Gue tulus sayang sama kalian sebagai sahabat. Tapi kalau kalian menjauh, gue bisa apa? Kalau kalian memang nggak mau bersahabat lagi, untuk apa gue peduli?" jawab Lisa yang ikut terpicu amarahnya mendengar kata-kata Donna. "Karena itu bukan sekedar kesimpulan yang kami buat, tapi kenyataan. Kita berteman sejak masuk kuliah sampai hampir lulus. Lu tahu enggak kalau Rebekha pernah hampir diperkosa bapak tirinya? Lo tahu enggak kalau Ersa sering nangis karena sampai dewasa pun masih dimarahi orangtuanya kalau nilai ujiannya jelek? Enggak tahu kan?" Lisa diam. Dia memang tidak tahu semua kejadian itu. "Tapi lo pasti tahu dong kalau gue pernah naksir Steven? Tapi lo pura-pura enggak t
"Gue ngerti dan lagi-lagi gue iri dengan apa yang lo punya. Tapi yah, namanya hidup. Yang gue punya lo enggak punya, begitu juga sebaliknya. Sekarang mari kita nikmati hidup kita masing-masing dan melakukan yang terbaik dengannya," ujar Rebekha sebelum mereka saling berpelukan dan berpisah ke arah tujuan mereka masing-masing. Setelah berbicara banyak dan terbuka dengan Rebekha, Lisa merasa sangat lega. Dia menyesal mengapa selama ini terkurung dalam pikiran yang negatif. Dia selalu merasa sebagai korban, menyalahkan orang lain, tidak mempercayai siapapun bahkan dirinya sendiri dan terbenam dalam ketidak percayaan diri. Ternyata, kematian ibunya meski memunculkan rasa sakit baru, namun telah menjadi obat untuk semua rasa sakitnya selama ini. Lisa membayangkan andaikan dia bisa memandang hidup dari sudut yang lebih positif bersama ibunya, pasti semuanya lebih sempurna. *** "Bang Gerard mau menikah dengan Donna, rencananya besok dia mau membicarakan dengan papa dan mama," lapor Steve
"Lisa, sorry gue baru dengar kabar tentang tante Gayatri. Turut berdukacita ya," ucap Rebekha tulus. Lisa membuang napas panjang."Thank you," jawab Lisa singkat."Boleh enggak kita ketemu? Sejak kita bertengkar, gue ngerasa enggak tenang. Sepertinya kita harus bicara dan membereskan semuanya. Bagaimana?" Lisa diam sejenak."Oke, kapan? Dimana?" "Kalau sekarang? Di Kafe Kofee aja dekat rumah lo, gimana?" Lisa setuju lalu segera bersiap-siap setelah menutup teleponnya.Lisa tiba duluan karena tempat mereka bertemu sangat dekat dengan rumahnya. Dia segera memesan minuman coklat dingin dan beberapa camilan untuk menemaninya menunggu Rebekha. Ternyata Lisa tidak menunggu terlalu lama."Hai," sapa Rebekha. Lisa hanya menganggukkan kepalanya. Rebekha duduk di hadapan Lisa dengan canggung."Elo udah tahu belum kalo Donna udah dilamar?" tanya Rebekha mencoba mencari bahan pembicaraan."Belum," jawab Lisa singkat."Rencananya mereka mau menikah secepatnya, secara sederhana." Lisa menganggukan
"Mama ...," raung Lisa setelah video itu berakhir. Steven menutup matanya berusaha menahan tangis. Hatinya benar-benar hancur melihat airmata Lisa. "Mama, maafkan aku. Maafkan aku karena hanya memikirkan diriku sendiri." Lisa terus meraung. Steven tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menggenggam tangan Lisa dan membiarkan istrinya mengeluarkan semua kesedihan, kemarahan dan penyesalannya. Lisa berusaha keras menghentikan tangisnya. Dia mengumpulkan semua sisa kekuatannya untuk menahan rasa kehilangan yang sangat menyakitkan. Lisa kembali membereskan barang-barang ibunya. Dia memasukkan baju-baju ibunya ke dalam kardus. Rencananya Lisa akan menyumbangkan semua pakaian ibunya. Sementara Steven membereskan barang-barang lain dan menyusunnya dengan rapi agar Lisa dapat memilih dan memutuskan akan melakukan apa dengan barang-barang itu. "Lisa, sepertinya kamu harus baca ini." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Lisa. Kertas dengan tulisan tangan ibu Lisa yang dibuat terburu-buru.
"Ada apa bang?" tanya Steven kaget."Bu Gayatri meninggal dunia," jawab Gerard dengan wajah menyesal. Steven tidak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut dan langsung berlari menuju mobilnya dan bergegas pulang ke rumah.Dia sudah meminta Gerard untuk menghubungi papa dan mamanya agar mereka bersiap-siap. Steven juga minta papa dan mamanya untuk merahasiakan berita ini. Steven ingin Lisa mendengar kabar ini dari mulutnya.Steven merasa sangat terpukul dengan kematian mertuanya. Membayangkan reaksi istri dan anak-anaknya, membuat Steven lebih tertekan lagi. Steven tahu anak-anaknya lebih dekat dengan mertuanya daripada dengan orangtua Steven, selain itu mereka yang menemukan omanya tidak sadarkan diri. Anak-anaknya pasti akan sangat sedih. Sementara Lisa dia pasti akan menyesali kemarahan yang masih dia simpan, hingga tidak mau mengunjungi ibunya."Aaah!" teriak Steven, kepalanya terasa mau pecah membayangkan apa yang akan terjadi."Mana Lisa?" tanya Steven kepada ayah dan ibunya yang
"Anak-anak bagaimana?" tanya Steven yang membayangkan kepanikan anak-anaknya karena ibu dan omanya sama-sama berada di rumah sakit."Mereka ketakutan, apalagi mereka yang pertama kali menemukan bu Gayatri," jawab Ibu Steven dengan nada sedih."Kalau bisa, tolong antarkan mereka kesini. Lebih baik mereka bersama aku disini, supaya mereka tidak terlalu ketakutan," pinta Steven. Berada di samping ayah mereka pasti akan membuat kedua anaknya tenang."Oke, kami hanya akan memastikan keadaan mertuamu, lalu segera kesana." Bu Gayatri mematikan teleponnya, lalu memeluk kedua cucunya agar mereka tidak terlalu ketakutan.***"Kamu sudah enakkan?" tanya Steven kepada Lisa yang sudah sadar. Steven diperbolehkan masuk sebentar, sebelum diadakan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui alasan kepala Lisa tadi terasa sangat sakit."Iya, tadi kepalaku tiba-tiba sakit sekali. Tapi sekarang rasa sakitnya benar-benar hilang." Lisa memegang kepalanya dengan tangan yang tidak diinfus."Tapi kamu tetap harus
Lisa bersikeras untuk tinggal. Dia sama sekali tidak menggerakkan kakinya. Dia tidak akan pernah lari lagi dari pertengkaran mereka. "Aku bilang tidak. Aku tidak akan pernah pergi, sebelum aku semuanya selesai," jawab Lisa keras kepala. "Apa yang mau kamu selesaikan? Semua kemarahan yang ada di kepalamu selama ini? Baik, silakan. Keluarkan saja semua makian yang kau punya. Lalu kalau sudah selesai, segera tinggalkan rumah ini." "Aku tidak ingin memaki, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi ibu yang kejam?" ucap Lisa tanpa ampun. Bu Gayatri memandang Lisa dengan marah. "Kali ini kamu sudah keterlaluan. Bagaimana kamu bisa mengatakan mama kejam, setelah semua yang mama lakukan untukmu dan keluargamu? Apakah kamu ibu yang baik? Apakah kamu lebih baik dari mama?" "Aku berusaha agar tidak menjadi seperti mama. Tapi trauma yang mama timbulkan membuat emosiku tidak stabil. Kalau aku terkadang tidak bisa mengendalikan diri, itu karena apa yang sudah mama buat di masa lalu," ja
"Memangnya apa yang sudah mama lakukan? Mama tidak pernah memukulmu. Mama selalu memenuhi semua kebutuhanmu bahkan melebihi kebutuhanmu. Mama selalu merawat kamu ketika sakit. Mama juga yang selalu mengurusmu sejak kecil. Lalu dimana kesalahannya? Apa yang kamu benci? Bahkan sekarang anak-anakmu pun mama yang urus. Tapi mereka bahagia, tidak seperti kamu yang selalu menyalahkan sekelilingmu," sahut Bu Gayatri sambil melemparkan benang dan jarum rajitannya ke samping."Hidupmu terlalu enak. Kamu kurang bersyukur dengan semua yang sudah kamu miliki. Sekarang kamu mau menyalahkan mama untuk kesalahan yang kamu buat?" bentak Bu Gayatri. Lisa merasa tiba-tiba dia kembali menjadi gadis muda yang membenci ibunya."Kamu terluka karena mama? Kamu terluka karena keputusan-keputusan yang kamu buat tanpa berpikir. Mama sudah memberitahu apa yang harus kamu lakukan, tapi kamu memberontak. Sekarang kamu menerima konsekuensi dari keputusanmu dan kamu menuduh Mama yang merusak masa lalumu?" sambung B
"Udah gila lo!" seru Lisa tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Rebekha tersenyum mengejek dengan penuh percaya diri. Sudah lama dia menyimpan kata-kata itu. Tapi tidak pernah sanggup mengatakannya karena Lisa adalah sahabatnya. "Mulai hari ini kita adalah orang asing. Jangan pernah lagi sebut gue temen lo!" lontar Lisa dengan marah. Lisa tidak menyangka Rebekha sahabatnya yang paling pengertian diatara mereka berempat kini berubah menjadi seseorang yang sanggup berkata sekejam itu."Sebenarnya memang sudah lama lo bukan temen gue, bahkan bukan bagian dari empat sekawan. Cuma Ersa yang masih pasang badan demi elo. Demi Ersa juga gue dan Donna masih mau berhubungan sama lo." Rebekha terus menyerang Lisa dengan kata-kata tajamnya."Kalau sudah tidak ada lagi yang mau lo omongin, silakan keluar dan bereskan semua barang-barang lo. Mulai hari ini lo gue pecat!" tegas Rebekha lalu membalikkan badan. Lisa segera meninggalkan ruangan Rebekha dengan sangat marah."Kamu mau kemana?" tan