"Aku tahu semuanya?" ulang Lisa bingung. Dia baru menyadari kata-kata yang dia ucapkan tadi memang terdengar aneh. "Bukan keluargamu, aku hanya menebak saja." jawabnya cepat karena tidak ada alasan yang masuk akal untuk jawabannya tadi. "Jangan bohongi aku. Katakan yang sebenarnya, apa keluargaku yang memberitahu semuanya dan mereka meminta untuk merahasiakan semuanya dari aku?" cecar Steven dengan kesal. "Bukan, bukan keluargamu."jawab Lisa kalut. "Lalu siapa? Siapa yang memberitahu?" "Aku tidak tahu. Ada begitu banyak informasi yang tanpa sadar muncul di kepalaku. Entah dari mana tapi itu juga membuat aku bingung dan ketakutan." jawab Lisa sedikit panik dan Steven bisa melihat kepanikan Lisa. "Oke, tenang." Steven mulai khawatir melihat wajah Lisa yang memerah, napasnya berpacu cepat dan matanya yang mulai berair. Lisa memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. "Kepalaku sakit." rintih Lisa sambil menarik pelan rambutnya. Steven segera keluar dari mobil dan berlari ke sisi
"Jangan sampai kamu berani keluar." ancam Lisa dengan suara yang dalam. "Ok." jawab Steven sambil mengangkat kedua tangannya. Dia teringat peristiwa sebelum Lisa koma. Mereka bertengkar karena Angel. "Tamunya sudah pergi. Ini dia kasih buah-buahan." Bu Gayatri memperlihatkan plastik berisi parcel buah. Lisa mengangguk lalu meminta Steven mengantarnya ke kamar. "Aku benar-benar tidak punya hubungan atau perasaan apapun terhadap Angel." jelas Steven setelah menutup pintu kamar. "Aku tahu." jawab Lisa singkat. Steven duduk di pinggir tempat tidur tepat di hadapan Lisa. "Terus kenapa tadi kamu marah waktu aku mau menyapa dia?" tanya Steven lembut. "Karena aku tidak tahu bagaimana perasaannya. Bagaimana kalau ini bagian dari usahanya untuk mencuri perhatian kamu? Memikirkannya bikin hatiku enggak tenang." Steven meraih tangan Lisa. "Oke, aku akan menjauh dari dia supaya hatimu tenang." jawab Steven dengan senyum hangat. Dia cukup kaget karena Lisa banyak sekali berubah. Beberapa tah
"Boleh." jawab Ersa lalu memberikan tangan Lisa kepada Steven. Lisa bisa melihat raut wajah memohon dari air muka Aulia. Dia berbicara sangat panjang dan Ersa hanya mengangguk tanda mengerti. Entah apa yang mereka bicarakan tapi perasaan Lisa mengatakan ini pasti sesuatu yang sangat penting untuk Aulia. Gerard juga tampak penasaran. Beberapa kali dia melirik ke arah Aulia dan Ersa. Hanya Steven yang tampak tidak peduli. Dia lebih memikirkan keadaan Lisa yang menurutnya sudah terlalu lama berdiri. Ersa dan Aulia kembali ke tempat Lisa berdiri. Ersa kembali meraih tangan Lisa lalu mengajaknya berjalan ke arah teman-teman mereka. "Ternyata lo kenal Aulia?" tanya Lisa setengah berbisik. Ersa mengangguk. "Dia nikah sama abangnya Steven loh. Jadi dia itu sebenarnya sodara gue." lanjut Lisa masih berbisik. Ersa kembali menggangguk. "Enggak banyak yang diundang Rebekha, hanya yang benar-benar dekat saja." ucap Ersa berusaha mengalihkan topik pembicaraan sambil berjalan santai. Dia berus
"Kapan? Aulia itu udah lama pacaran dan nikah sama Gerard." jawab Lisa bingung. Dia tidak menyangka akan mendengar kabar ini. "Gue ga ingat pastinya, Tapi dia hamil sebelum nikah." sahut Ersa setengah berbisik. "Anaknya meninggal sebelum dilahirkan karena kecelakaan. Yang paling kasihan sepertinya dia punya masalah dengan rahimnya jadi enggak bisa punya anak lagi." Lisa tercengang. "Semalam dia bilang kalau keluarga suaminya nggak tahu tapi mereka mau menerima keadaannya yang nggak bisa punya anak. Gue bingung, mereka enggak tahu tapi bisa menerima? Bertentangan nggak sih menurut lo?" tanya Ersa dengan nada meninggi. "Iya." jawab Lisa singkat sambil mencerna semua informasi yang dia dapatkan dari Ersa. "Gue ga tahu bagaimana sebenarnya hubungan Aulia dengan suami dan mertuanya. Tapi gue ngerasa aneh aja denger dia ngomong semalam." "Hubungannya baik kok sama suami dan mertua. Bahkan mertua gue jauh lebih sayang sama dia daripada sama gue." jawab Lisa sedikit mencurahkan isi hati
"Gue enggak tahu pastinya. Tapi kalau menurut cerita sodara-sodara gue, kayaknya dia stres karena kehilangan anak. Jadi dia minum obat tidur melebihi dosis yang seharusnya." jelas Ersa dengan hati-hati."Jadi keluarganya nerima kenyataan kalau sepupu lo memang bunuh diri?" tanya Lisa lagi."Iya lah, emang ada kemungkinan apa lagi? Dibunuh?" jawab Ersa sambil tertawa kecil.'Mungkin saja.' jawab Lisa dalam hati."Oh oke. Biasanya kan suka ada keluarga yang enggak yakin anaknya bunuh diri." sahut Lisa tidak yakin."Udahlah enggak usah ngomongin kematian orang. Gue masih sedih soalnya kalau ingat dia. Sepupu paling akrab sama gue. Orang yang paling positif dan kuat yang pernah gue kenal. Enggak nyangka aja kalau dia bisa sejatuh itu sampai bunuh diri, hanya karena kehilangan anak yang belum pernah dia lihat." Lisa sedang mendengar kata-kata Ersa dengan seksama ketika terdengar suara mobil Steven yang memasuki garasi."Ersa, kita lanjut lagi kapan-kapan ya. Steven udah pulang." sahut Lisa
"Sebenarnya dia melarang aku untuk membantu dan menemui kalian. Dia tidak mau menceritakan detailnya tapi katanya dia sangat sakit hati dengan kata-katamu ketika kalian bertengkar hebat di rumah Mama." jelas Gerard. Lisa bingung, dia tidak ingat mengatakan apapun kepada Aulia pada saat itu. Bahkan seingatnya bukan mereka yang bertengkar tapi Steven dan ibunya."Tapi aku tidak mungkin melakukan itu. Aku tidak mungkin mengacuhkan keluargaku. Karena itu aku membantu kalian diam-diam." lanjut Steven yang diikuti dengan hembusan napas Lisa. Dia sangat ingin menceritakan semua rahasia Aulia kepada Steven, tapi menahan diri."Iya bang. Terima kasih sudah memperhatikan kami." sahut Lisa pelan, hanya itu yang bisa dia katakan.Setibanya di gedung tempat reuni berlangsung, Gerard segera memarkir mobilnya. Lisa sebenarnya berharap Gerard hanya akan mengantarkannya lalu pulang. Tapi ternyata Steven jelas berpesan agar Gerard juga menemani dan menjaga Lisa sampai Steven tiba di lokasi reuni. Lisa
"Apa?" tanya Andrew dengan marah lalu membalikkan tubuhnya dan melihat Donna yang sedang berdiri sambil menahan kursi Andrew tadi."Apa?" balas Donna sambil melipat tangannya di depan dada.Andrew yang selalu merasa takut setiap kali berhadapan dengan Donna, hanya bisa membuang nafas panjang lalu segera meninggalkan Lisa dan Donna sambil menggerutu karena kesal."Thank you Don." ucap Lisa pelan."Ngapain lu duduk disini sendirian? Cari kek orang untuk ngobrol. Segitu penuhnya ruangan ini, masa enggak ada yang lo kenal?" omel Donna sambil menarik kursi lalu duduk tidak jauh dari Lisa."Gue belum kuat berdiri terlalu lama. Apalagi dengan bodohnya tadi gue make wedges supaya gaya. Sekarang kaki gue sakit banget." jawab Lisa sambil meringis."Steven datang jam berapa? Kalau dia datang langsung ajak pulang aja. Istirahat biar cepat sembuh." sahut Donna dengan acuh tapi hati Lisa terasa sangat hangat. Dia tahu kalau Donna masih memedulikannya meski caranya berbeda dengan yang lain."Enggak
"Pertanyaan macam apa itu?" tanya Steven kaget. Dia tidak menyangka Lisa akan membicarakan kematian lagi. "Jawab saja, aku tidak akan mempermasalahkannya, aku hanya penasaran." sahut Lisa manja. "Kalau kamu mati, aku titipkan anak-anak ke mamamu lalu aku ikut mati!" jawab Steven tegas. Lalu segera menyalakan mesin mobil dan pulang. Lisa diam tapi tanpa sadar tersenyum bahagia. *** "Kalau Mama mengusir kami bagaimana bang?" tanya Steven kepada Gerard yang memaksanya untuk hadir dalam perayaan ulang tahun ayah mereka. "Nanti aku yang bicara dengan Mama, lagipula ini kan ulang tahun Papa bukan Mama. Papa tidak ingin mengundang siapapun, dia hanya ingin makan malam dengan anak-anak dan cucu-cucunya." bujuk Gerard melalui panggilan telepon. "Tapi bang nanti kami pasti merusak suasana kalau hadir." Steven kembali mengajukan alasan. Sebenarnya dia dan Lisa sudah memutuskan untuk tidak menghadiri makan malam perayaan ulang tahun ayahnya begitu mereka menerima pesan dari Gerard kemarin.
"Dari situ aja sebenarnya lo bisa mengambil kesimpulan, kenapa kami menjauh," lanjut Donna memandang Lisa dengan tajam. "Karena pada dasarnya lo cuma mikirin diri lo sendiri. Bersahabat dengan kami pun itu demi diri lo sendiri," jelas Donna dengan gamblang. "Kenapa kalian bisa mengambil kesimpulan begitu? Gue tulus sayang sama kalian sebagai sahabat. Tapi kalau kalian menjauh, gue bisa apa? Kalau kalian memang nggak mau bersahabat lagi, untuk apa gue peduli?" jawab Lisa yang ikut terpicu amarahnya mendengar kata-kata Donna. "Karena itu bukan sekedar kesimpulan yang kami buat, tapi kenyataan. Kita berteman sejak masuk kuliah sampai hampir lulus. Lu tahu enggak kalau Rebekha pernah hampir diperkosa bapak tirinya? Lo tahu enggak kalau Ersa sering nangis karena sampai dewasa pun masih dimarahi orangtuanya kalau nilai ujiannya jelek? Enggak tahu kan?" Lisa diam. Dia memang tidak tahu semua kejadian itu. "Tapi lo pasti tahu dong kalau gue pernah naksir Steven? Tapi lo pura-pura enggak t
"Gue ngerti dan lagi-lagi gue iri dengan apa yang lo punya. Tapi yah, namanya hidup. Yang gue punya lo enggak punya, begitu juga sebaliknya. Sekarang mari kita nikmati hidup kita masing-masing dan melakukan yang terbaik dengannya," ujar Rebekha sebelum mereka saling berpelukan dan berpisah ke arah tujuan mereka masing-masing. Setelah berbicara banyak dan terbuka dengan Rebekha, Lisa merasa sangat lega. Dia menyesal mengapa selama ini terkurung dalam pikiran yang negatif. Dia selalu merasa sebagai korban, menyalahkan orang lain, tidak mempercayai siapapun bahkan dirinya sendiri dan terbenam dalam ketidak percayaan diri. Ternyata, kematian ibunya meski memunculkan rasa sakit baru, namun telah menjadi obat untuk semua rasa sakitnya selama ini. Lisa membayangkan andaikan dia bisa memandang hidup dari sudut yang lebih positif bersama ibunya, pasti semuanya lebih sempurna. *** "Bang Gerard mau menikah dengan Donna, rencananya besok dia mau membicarakan dengan papa dan mama," lapor Steve
"Lisa, sorry gue baru dengar kabar tentang tante Gayatri. Turut berdukacita ya," ucap Rebekha tulus. Lisa membuang napas panjang."Thank you," jawab Lisa singkat."Boleh enggak kita ketemu? Sejak kita bertengkar, gue ngerasa enggak tenang. Sepertinya kita harus bicara dan membereskan semuanya. Bagaimana?" Lisa diam sejenak."Oke, kapan? Dimana?" "Kalau sekarang? Di Kafe Kofee aja dekat rumah lo, gimana?" Lisa setuju lalu segera bersiap-siap setelah menutup teleponnya.Lisa tiba duluan karena tempat mereka bertemu sangat dekat dengan rumahnya. Dia segera memesan minuman coklat dingin dan beberapa camilan untuk menemaninya menunggu Rebekha. Ternyata Lisa tidak menunggu terlalu lama."Hai," sapa Rebekha. Lisa hanya menganggukkan kepalanya. Rebekha duduk di hadapan Lisa dengan canggung."Elo udah tahu belum kalo Donna udah dilamar?" tanya Rebekha mencoba mencari bahan pembicaraan."Belum," jawab Lisa singkat."Rencananya mereka mau menikah secepatnya, secara sederhana." Lisa menganggukan
"Mama ...," raung Lisa setelah video itu berakhir. Steven menutup matanya berusaha menahan tangis. Hatinya benar-benar hancur melihat airmata Lisa. "Mama, maafkan aku. Maafkan aku karena hanya memikirkan diriku sendiri." Lisa terus meraung. Steven tidak mengatakan apa-apa, dia hanya menggenggam tangan Lisa dan membiarkan istrinya mengeluarkan semua kesedihan, kemarahan dan penyesalannya. Lisa berusaha keras menghentikan tangisnya. Dia mengumpulkan semua sisa kekuatannya untuk menahan rasa kehilangan yang sangat menyakitkan. Lisa kembali membereskan barang-barang ibunya. Dia memasukkan baju-baju ibunya ke dalam kardus. Rencananya Lisa akan menyumbangkan semua pakaian ibunya. Sementara Steven membereskan barang-barang lain dan menyusunnya dengan rapi agar Lisa dapat memilih dan memutuskan akan melakukan apa dengan barang-barang itu. "Lisa, sepertinya kamu harus baca ini." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Lisa. Kertas dengan tulisan tangan ibu Lisa yang dibuat terburu-buru.
"Ada apa bang?" tanya Steven kaget."Bu Gayatri meninggal dunia," jawab Gerard dengan wajah menyesal. Steven tidak punya waktu untuk bertanya lebih lanjut dan langsung berlari menuju mobilnya dan bergegas pulang ke rumah.Dia sudah meminta Gerard untuk menghubungi papa dan mamanya agar mereka bersiap-siap. Steven juga minta papa dan mamanya untuk merahasiakan berita ini. Steven ingin Lisa mendengar kabar ini dari mulutnya.Steven merasa sangat terpukul dengan kematian mertuanya. Membayangkan reaksi istri dan anak-anaknya, membuat Steven lebih tertekan lagi. Steven tahu anak-anaknya lebih dekat dengan mertuanya daripada dengan orangtua Steven, selain itu mereka yang menemukan omanya tidak sadarkan diri. Anak-anaknya pasti akan sangat sedih. Sementara Lisa dia pasti akan menyesali kemarahan yang masih dia simpan, hingga tidak mau mengunjungi ibunya."Aaah!" teriak Steven, kepalanya terasa mau pecah membayangkan apa yang akan terjadi."Mana Lisa?" tanya Steven kepada ayah dan ibunya yang
"Anak-anak bagaimana?" tanya Steven yang membayangkan kepanikan anak-anaknya karena ibu dan omanya sama-sama berada di rumah sakit."Mereka ketakutan, apalagi mereka yang pertama kali menemukan bu Gayatri," jawab Ibu Steven dengan nada sedih."Kalau bisa, tolong antarkan mereka kesini. Lebih baik mereka bersama aku disini, supaya mereka tidak terlalu ketakutan," pinta Steven. Berada di samping ayah mereka pasti akan membuat kedua anaknya tenang."Oke, kami hanya akan memastikan keadaan mertuamu, lalu segera kesana." Bu Gayatri mematikan teleponnya, lalu memeluk kedua cucunya agar mereka tidak terlalu ketakutan.***"Kamu sudah enakkan?" tanya Steven kepada Lisa yang sudah sadar. Steven diperbolehkan masuk sebentar, sebelum diadakan pemeriksaan radiologi untuk mengetahui alasan kepala Lisa tadi terasa sangat sakit."Iya, tadi kepalaku tiba-tiba sakit sekali. Tapi sekarang rasa sakitnya benar-benar hilang." Lisa memegang kepalanya dengan tangan yang tidak diinfus."Tapi kamu tetap harus
Lisa bersikeras untuk tinggal. Dia sama sekali tidak menggerakkan kakinya. Dia tidak akan pernah lari lagi dari pertengkaran mereka. "Aku bilang tidak. Aku tidak akan pernah pergi, sebelum aku semuanya selesai," jawab Lisa keras kepala. "Apa yang mau kamu selesaikan? Semua kemarahan yang ada di kepalamu selama ini? Baik, silakan. Keluarkan saja semua makian yang kau punya. Lalu kalau sudah selesai, segera tinggalkan rumah ini." "Aku tidak ingin memaki, aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi ibu yang kejam?" ucap Lisa tanpa ampun. Bu Gayatri memandang Lisa dengan marah. "Kali ini kamu sudah keterlaluan. Bagaimana kamu bisa mengatakan mama kejam, setelah semua yang mama lakukan untukmu dan keluargamu? Apakah kamu ibu yang baik? Apakah kamu lebih baik dari mama?" "Aku berusaha agar tidak menjadi seperti mama. Tapi trauma yang mama timbulkan membuat emosiku tidak stabil. Kalau aku terkadang tidak bisa mengendalikan diri, itu karena apa yang sudah mama buat di masa lalu," ja
"Memangnya apa yang sudah mama lakukan? Mama tidak pernah memukulmu. Mama selalu memenuhi semua kebutuhanmu bahkan melebihi kebutuhanmu. Mama selalu merawat kamu ketika sakit. Mama juga yang selalu mengurusmu sejak kecil. Lalu dimana kesalahannya? Apa yang kamu benci? Bahkan sekarang anak-anakmu pun mama yang urus. Tapi mereka bahagia, tidak seperti kamu yang selalu menyalahkan sekelilingmu," sahut Bu Gayatri sambil melemparkan benang dan jarum rajitannya ke samping."Hidupmu terlalu enak. Kamu kurang bersyukur dengan semua yang sudah kamu miliki. Sekarang kamu mau menyalahkan mama untuk kesalahan yang kamu buat?" bentak Bu Gayatri. Lisa merasa tiba-tiba dia kembali menjadi gadis muda yang membenci ibunya."Kamu terluka karena mama? Kamu terluka karena keputusan-keputusan yang kamu buat tanpa berpikir. Mama sudah memberitahu apa yang harus kamu lakukan, tapi kamu memberontak. Sekarang kamu menerima konsekuensi dari keputusanmu dan kamu menuduh Mama yang merusak masa lalumu?" sambung B
"Udah gila lo!" seru Lisa tidak percaya dengan apa yang di dengarnya. Rebekha tersenyum mengejek dengan penuh percaya diri. Sudah lama dia menyimpan kata-kata itu. Tapi tidak pernah sanggup mengatakannya karena Lisa adalah sahabatnya. "Mulai hari ini kita adalah orang asing. Jangan pernah lagi sebut gue temen lo!" lontar Lisa dengan marah. Lisa tidak menyangka Rebekha sahabatnya yang paling pengertian diatara mereka berempat kini berubah menjadi seseorang yang sanggup berkata sekejam itu."Sebenarnya memang sudah lama lo bukan temen gue, bahkan bukan bagian dari empat sekawan. Cuma Ersa yang masih pasang badan demi elo. Demi Ersa juga gue dan Donna masih mau berhubungan sama lo." Rebekha terus menyerang Lisa dengan kata-kata tajamnya."Kalau sudah tidak ada lagi yang mau lo omongin, silakan keluar dan bereskan semua barang-barang lo. Mulai hari ini lo gue pecat!" tegas Rebekha lalu membalikkan badan. Lisa segera meninggalkan ruangan Rebekha dengan sangat marah."Kamu mau kemana?" tan