"Gospodin, apa yang kamu cari?" tanya Isma tidak sabar lagi. Semenjak memasuki kamar hotel, Alexei sibuk memeriksa setiap jengkal ruangan. Laki-laki itu menarik napas lega karena tidak menemukan hal yang mencurigakan.Di atas tempat tidur, Aruna ikut menatap ke arah Alexei. Setelah memastikan kamar dalam keadaan aman, Alexei menghempaskan tubuhnya di sofa. Isma langsung menyingkir. Gadis itu memilih duduk di atas tempat tidur bersama Aruna."Biarkan barang-barang tetap di dalam koper, Isma, Milyy!" ucap Alexei tiba-tiba.Aruna langsung menatap Alexei. "Memangnya kenapa, Alex?" tanyanya tidak mengerti."Kamu akan tahu nanti. Sudahlah, jangan banyak bertanya seperti Isma, Milyy!" jawab Alexei santai.Isma melotot tak terima karena selalu menjadi bahan sindiran. "Gospodin Alexei Yevgeny! Perasaan hari ini aku nggak tanya apa-apa!" sahutnya kesal.Alexei mengangkat bahu tak acuh. "Iya, heran saja. Biasanya kamu banyak bertanya, Isma!" Alexei kembali meledek.Aruna terkekeh. Gadis itu bang
Alexei melirik malas pada Isma. Sementara itu, Aruna langsung mencubit lengan Isma gemas. Alexei kembali membuka handphone sambil memasuki lift.Aruna dan Isma menatap protes karena lift bergerak turun. "Milyy, kenapa kita ke basement?" tanya Aruna heran. "Lepas high heels-mu, Milyy," titah Alexei.Aruna hanya menurut. Di sebelahnya, Isma juga tidak kalah heran, tetapi memilih diam daripada disembur oleh mulut kalajengking Alexei. Alexei mengambil high heels Aruna dan menentengnya.Pintu lift berhenti di under ground parking B-2. Alexei tidak melepaskan tangannya dari tangan Aruna, sedangkan sebelahnya menentang sepatu gadis itu. Alexei segera memerintahkan keduanya memasuki mobil yang sudah menunggu."Alexei, kita mau ke mana?" tanya Aruna lagi."Kita pindah hotel, Milyy!" jawab Alexei sedikit memutar tubuh.Aruna dan Isma kompak ternganga. Mereka tidak mengerti apa yang terjadi. Mobil melaju cukup kencang menuju hotel berbintang tiga yang berjarak sekitar 25 menit dari tempat acara.
Aruna menatap dua laki-laki yang dia cintai itu sambil senyum-senyum sendiri. Tidak disangka, Alexei mau duduk semeja dengan Bagaskara. Semenjak pulang dari Jepang dan semakin mendekati hari pernikahan sang anak, Bagaskara sering meluangkan waktu untuk Aruna.Kedua orang laki-laki beda usia itu duduk berhadapan menghadap papan catur. Alexei dengan sikap tenangnya menghadapi permainan catur Bagaskara yang lumayan jago.Bagaskara menghentikan aktivitas sejenak hanya untuk menatap Alexei. "Jadi, kapan orang tua kamu datang ke Indonesia, Alex?" tanyanya.Alexei langsung menatap Bagaskara. "Apa itu sebuah keharusan, Tuan? Bukankah pernikahan kami tidak memerlukan pesta?" tanya balik Alexei. Bagaskara mengangguk-angguk. "Iya, aku paham keinginan kalian, Alex. Tapi, kalau orang tua kamu datang ke sini, suasana akan lebih khidmat!" dalih laki-laki itu sembari memindahkan pion.Alexei mengikuti arah pergerakan tangan Bagaskara dengan pandangannya. "Saya rasa mereka tidak perlu datang sekarang
"Alex, open the door!"Ketukan pintu berkali-kali disertai suara panik Aruna membuat Alexei bergegas bangkit. Laki-laki itu mengabaikan beberapa benda berserakan di bawah meja. "What happened?" Alexei menatap khawatir Aruna yang berdiri di depan pintu.Aruna menyeruak masuk. Gadis itu menatap benda-benda yang berserakan. Laptop Alexei teronggok di atas meja dalam posisi menyala. Aruna mengamati beberapa foto yang berserak di lantai.Gadis itu berlutut dan mengambilnya. Lalu mengamati satu persatu. Aruna membekap mulut dengan mata berkaca-kaca. Itu adalah foto-foto jasad Alenadra ketika polisi melakukan olah TKP.Aruna mengusap bagian samping tulang selangka Alenadra yang berdarah. "Alex, ini ..." Air mata Aruna jatuh.Alexei mengambil foto-foto itu dan menyimpannya kembali di dalam tas laptop. Laki-laki itu duduk bersandar di sisi tempat tidur."Aku bodoh, Aruna. Aku mengabaikan dia. Tidak seharusnya kubiarkan dia pergi sendirian. Aku biarkan Alenadra melawan para pencabut nyawanya it
Aruna mendorong tubuh Alexei sedikit kasar. Tentu saja dengan ocehan yang tidak dimengerti oleh Alexei. Laki-laki itu membalikkan badan tepat di depan pintu."Keluar Alex, pergi dari sini!" usir Aruna lagi."Hanya karena baju-baju kurang bahan itu kamu mengusirku, Milyy?" tanya Alexei tidak mengerti.Aruna menatap tajam Alexei. "Get out, Alex!" sentaknya lagi.Alexei mengangguk-angguk. Laki-laki itu mendekat sekali lagi dan memeluk tubuh kekasihnya yang menangis. Aruna semakin histeris. Dia memukuli pelan lengan Alexei."Kamu tahu, Milyy? Tubuhmu sangat indah dan aku tidak rela jika dilihat orang lain, Milyy. Aku mencintaimu," ucap Alexei sembari mengusap-usap rambut gadis dalam pelukannya.Aruna tidak menjawab. Ucapan cinta dan perlakuan Alexei semakin merobek hatinya. Meskipun Alexei awalnya menyebalkan, tak bisa dipungkiri, itu yang membuat Aruna jatuh cinta.Alexei memegang wajah Aruna dan mengusap pipi basah gadis itu. "Aku sudah kehilangan Alenadra. Aku tidak ingin kehilangan ka
Aruna berganti mencari keberadaan Bagaskara. Di saat seperti ini, Aruna butuh kehadiran laki-laki itu. Isma terus membuntuti Aruna dengan tatapan miris."Papa, kenapa Papa juga nggak pulang, sih?" Aruna geram sendiri.Beberapa kali mencoba menelepon Bagaskara, tetapi laki-laki itu tidak mengangkat teleponnya. Aruna berhenti pada kontak aplikasi Alexei. Tatapan matanya kembali mengembun melihat foto profil laki-laki itu. "Mbak, sudah! Hari ini Mbak ada dua schedule!" tegur Isma.Aruna mengangguk. Dia mengikuti Isma kembali ke kamar. Susah payah, Isma mendandani Aruna supaya sembab di wajah gadis itu tersamarkan. Isma menarik napas pelan, melihat tumpukan baju-baju yang dibelikan Alexei kemarin.Meskipun tim MUA membubuhkan make up nyaris sempurna, toh tidak bisa menyamarkan kedua mata Aruna yang membengkak. Tidak seperti biasa, hari ini artis itu irit bicara dan senyum."Apa ada sesuatu, Run?" tanya seorang host, ketika tanpa sengaja tidak melihat keberadaan cincin di jari manis Aruna
"Tuan, petinggi polisi itu tidak bisa disuap. Mereka tetap bersikukuh melanjutkan penyelidikan!"Mendengar ucapan Coky, Bagaskara memijit pelipisnya. Kedua mata lelaki itu terpejam. "Tidak ada jalan lain, selain membayar kerugian dan membiarkan barang itu disita negara, Coky. Lebih baik aku kehilangan salah satu asetku daripada harus berurusan dengan polisi. Coba apa yang terjadi dengan karir Aruna jika aku di penjara?" ucapnya lirih. Isi kepala Bagaskara sudah kosong.Coky mengangguk-angguk. Laki-laki itu sedikit mencondongkan badan ke arah Bagaskara. Bagaskara menatapnya penuh arti. Laki-laki tua itu sudah tidak memiliki jalan keluar lagi. Bagaskara juga heran. Tawaran uang yang cukup besar tidak menarik perhatian petinggi kepolisian itu."Tuan!" Coky memanggil pelan. "Bagaimana kalau saya tamatkan saja dia," cetusnya."Coky!" sentak Bagaskara tidak suka. "Kalau kamu lakukan itu, sama saja membawaku ke penjara! Jangan main-main kamu!" lanjutnya marah.Coky nyengir kecil. Jiwa preman
"Aku nggak bisa mengatakan sama kamu, Neng!" jawab Aruna.Isma menarik napas pelan, lalu mengangguk berusaha memahami keputusan bosnya. Sedangkan Aruna kembali termenung di sisi tempat tidur. Hatinya semakin sakit teringat Alexei tadi. Hati dan egonya bertentangan. Berusaha keras melepaskan, tetapi semakin sulit melupakan."Hmm, ya, baiklah. Kalau memang Mbak Runa nggak mau cerita. Tapi, setidaknya kasih kesempatan Gospodin Alexei menjelaskan kesalahannya, Mbak!""Dia nggak salah, Neng. Alexei nggak pernah salah," ucap Aruna lesu.Isma menggaruk pelipis semakin tidak mengerti. "Ya, kalau gitu kalian balikan, Mbak. Apa pun masalahnya, bisa dibicarakan baik-baik, Mbak!" Isma mulai bersikeras.Aruna menggeleng berkali-kali. "Nggak, nggak! Kami lebih baik nggak bersama. Ada hal besar yang menghalangi kami bersama!" jelasnya, lalu mulai menangis.Rasanya, sudah cukup banyak air mata itu membasahi pipinya. Aruna juga lelah menangis. Dia berharap bisa melupakan semua kenangan indahnya bersama