"Oh jadi seperti itu ya," sahut Mas Andre."Iya, Mas, seperti itu," sahutku.Saat aku dan Mas Andre sedang asyik ngobrol bersama, ada suara benda jatuh. Seperti suara kaca pecah dan sumber suaranya terdengar dari arah belakang. Kami berdua pun langsung menoleh untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi."Mbak Maya, kamu lagi ngapain di situ?" tanya kami serempak."Mbak, kenapa? Apa yang pecah, ok sampai kencang begitu suaranya?" tanya Mas Andre lagi, ia bertnya tentang apa yang terjadi saat ini."Oh ... i-ini, Ndre. Pas bunga jatuh, kesenggol sama Mbak." Mbak Maya menjawab dengan gugup.Entah apa yang disembunyikan Mbak Maya, sehingga ia menjawab saja sampai gugup seperti itu."Lho, kenapa bisa pecah, Mbak?" tanyaku, sambil menatap wajah Mbak Maya."Namanya juga tidak sengaja, Nisa," sahut Mbak Maya sinis."Makanya, Mbak, kamu itu mesti hati-hati dong. Lagian, sedang apa coba Mbak di sini? Apa jangan-jangan, tadi Mbak lagi nguping ya? Hingga Mbak menyenggol pas bunga," tuduhku.Aku
"Nggak kok, Mas, untuk apa aku cemburu!" Aku berkata sambil memalingkan muka, merasa malu mendapat pertanyaan seperti itu. Karena sebenarnya, aku mulai merasakan rasa itu, ya aku mulai cemburu."Ya barangkali aja, kamu nggak suka, jika ada cewek lain, yang deketin Suamimu ini." Mas Andre terus mendesak, supaya aku jujur padanya."Sudah ah Mas, nggak usah bahas Mbak Maya lagi." Aku menghentikan percakapan, dengan suamiku itu. Terasa menghangat pipi ini, saat di goda suamiku."Ih, ada yang gak mau jujur dengan perasaannya, itu kenapa lagi pipinya memerah begitu. Ada yang sedang malu ni ... ye ...." Mas Andre menggodaku, sambil menyentil hidungku. Ia berlari ke arah ayunan, yang ada di tempat itu.Disaat aku sedang mengejar, Mas Andre dan aku pun sebentar lagi sampai padanya. Dia, malah berhenti berlari dan akhirnya, aku pun menabraknya. Tetapi, Mas Andre membalikan badan dan dengan sigap memelukku.Akhirnya, kami malah saling berpelukan, membuat mukaku tambah panas saja, sebab merasa ma
Gio sangat berbeda sekali dengan sifat Mbak Maya, Mamahnya. Sejak, kedatanganku kerumah ini, ia tidak memberiku sikap yang baik. Ia, malah menyambutnya, dengan sikapnya yang dingin, dan ucapannya yang menyakitkan."Ini, Tante Anisa, Gio. Dia, telah menjadi istrinya Om, sekarang. Kamu, suka 'kan, sama Tante Anisa?" jawab Mas Andre, memberitahu Gio, siapa aku. Ia pun bertanya kepada Gio, apa dia menyukaiku atau tidak."Om, sudah menikah? Tapi, kenapa Om. Kok, aku nggak dikasih tahu?" tanya Gio. Gio berkata, sambil memanyunkan bibirnya. Sepertinya dia kecewa, sebab tidak diberitahu dan tidak menyaksikan Omnya menikah."Maafin, Om ya sayang, semuanya serba mendadak." Mas Andre meminta maaf."Iya, Om nggak papa kok, yang penting tantenya itu baik dan juga cantik. Gio, suka kok, sama pilihannya Om Andre." Gio berkata, sambil mengerlingkan matanya padaku.Membuat aku tersipu, ya ampun, anak sekecil ini sudah pandai merayu. Ini pasti ajaran dari Om ya, yaitu Mas Andre. Mas Andre malah ters
"Ada, apa Nis!" Mas Andre berlari dari kamar, dan segera menghampiriku."Itu, Mas!" Aku menunjuk ke arah sosok yang tadi kulihat, namun ternyata sudah tidak ada.Aku tidak tau, jika ia menghilang entah kemana. Mungkin sudah pergi, pada saat tadi aku memalingkan muka, karena aku tidak mau melihatnya lagi."Heh, Anisa! Kamu ngapain sih teriak-teriak, malam-malam. Sudah seperti sedang berada di hutan saja, kamu itu." Mbak Maya menghardikku, ia mengganti kontak lampu dengan yang lebih terang. Ia baru saja keluar dari kamar, dan menghampiriku. Ia mengatai jeritanku, sudah seperti berada di hutan. Padahal aku seperti itu, karena ekspresi rasa kagetku."Itu Mbak, tadi ada perempuan pake baju putih duduk di kursi meja makan. Rambutnya pun panjang tergerai, jadi aku kaget. Tapi kok sekarang gak ada," ucapku. Aku menceritakan, apa yang tadi aku lihat, kepada Mbak Maya."Ah kamu itu ngigau kali, Anisa. Gak ada apa-apa juga, itu mungkin cuma halusinasi kamu saja. Selama aku tinggal di sini, gak
Pov MayaAku adalah Maya seorang Istri, dari Mas Andra saudara kandung Andre. Namun mereka berdua seperti kembaran, karena cuma berjarak tiga tahun saja. Aku berasal dari panti asuhan, dan di angkat anak oleh suami istri bernama Pak Jaka dan Bu Meri. Aku di angkat anak oleh Bu Meri dan Pak Jaka, sejak kelas tiga Sekolah Menengah Pertama. Namun sayang, mereka memperlakukanku tidak manusiawi. Aku hanya dijadikan pembantu gratisan, di rumahnya.Tidak jarang pula, aku disiksa semau mereka. Aku jarang dikasih makan, dan tidak segan menyiksaku, kalau aku mengambil makanan tanpa sepengetahuan mereka.Aku juga disiksa, jika pekerjaan rumah belum terselesaikan saat mereka pulang kerja. Aku di sekolahkan, tetapi aku jarang masuk sekolah, karena aku harus menyelesaikan pekerjaan rumah dulu.Selama empat tahun, aku berada di rumah itu. Aku kalau melanjutkan sekolah, sudah lulus dari Sekolah Menengah Atas. Tetapi aku tidak melanjutkannya, karena didiskualifikasi dari sekolah tersebut. Alasannya k
Setelah mengambil air minum botol kemasan, kami pun kembali menuju kamar. Mas Andre pun segera mematikan kembali lampu ruang tengah. Lampu ruangan, yang tadinya terang menjadi kembali temaram. Aku bergidik ngeri mengingat apa yang aku lihat tadi. Setelah itu Mas Andre menutup pintu kamar, kemudian menguncinya.*****"Mas, kamu percaya kan sama aku! Beneran deh Mas, aku tadi melihat sesosok perempuan. Ia, memakai pakaian serba putih, serta rambutnya digerai. Tapi, aku nggak tahu itu manusia, atau bukan." Aku berkata, sambil duduk di pinggir kasur. Aku ingin tahu, Mas Andre mempercayai ucapanku, atau tidak. Aku berharap, Mas Andre akan percaya terhadapku, atas apa yang telah aku lihat tadi."Iya, Mas percaya kok sama kamu, Nisa. Tapi, kalaupun itu ulah manusia, terus siapa yang melakukannya?" Mas Andre bertanya padaku.Mas Andre pun memberi jawaban yang memuaskan. Namun, ia juga malah balik bertanya kepadaku."Entahlah, Mas, aku juga nggak tahu. Aku tidak mengerti, apa motifnya me
"Om sama Tante, habis membuat nasi goreng, Gio. Ayo, Gio, kita sarapan bareng," ajakku."Iya, Tante, aku mau. Karena sudah lama, Gio belum merasakan nasi goreng lagi. Semenjak Bi Asih pulang kampung, Mama kalau pagi jarang banget bikinin aku sarapan. Aku hanya dibeliin nasi uduk, atau nasi kuning. Bosen aku, Om, Tante, jika harus sarapan itu-itu melulu. Aku juga pernah minta sama Mama, supaya dia membuatkan nasi goreng untukku. Tapi ia malah marah-marah, Om sama Gio," ungkap Gio.Gio mengadu tentang kelakuan Mamanya, yang malas membuatkan sarapan untuknya."Masa sih, Gio, Mama seperti itu?" tanyaku."Iya tante, betul. Gio nggak bohong, kok Tante," jawabnya.Gio pun membenarkan ucapannya, jika dia tidak berbohong mengatakan semuanya itu."Ya sudah, kalau begitu sekarang kamu makan nasi gorengnya yang banyak ya? Tuh Om kamu sudah membuatnya," tunjukku."Iya, Tante," ujarnya.Setelah semuanya terhidang di meja, kami pun segera sarapan bersama. Kami sarapan dengan tenang, begitupun denga
"Iya Mbak, kami ada urusan soalnya. Permisi, assalamualaikum," ucapku serempak dengan Mas Andre"Waalaikumsalam," sahur Mbak Maya."Ndre, itu nasi gorengnya, boleh dihabiskan semua?" Mbak Maya bertanya lagi, kepada Mas Andre."Iya, Mbak, terserah Mbak Maya saja. Kami buru-buru ya, Mbak. Permisi, takut telat. Assalamualaikum," ucap Mas Andre. Mas Andre pun kembali mengucap salam.Mbak Maya pun menjawab salam Mas Andre, sambil menatap wajahnya dengan begitu intens. Sedangkan yang ditatap sedang memperhatikan Gio keponakannya yang baru keluar dari kamarnya."Gio, kamu berangkat bareng sama Om saja sekolahnya! 'Kan kalian searah," pinta Mbak Maya, saat Gio menghampiri kami. "Ayo, Gio, berangkat bareng Om!" Mas Andre, mengajak Gio untuk berangkat bareng."Iya, Om," sahut Gio, sambil menghampiri kami."Mbak, kami permisi dulu ya. Ayo Gio salam dulu sama Mamanya!" perintah Mas Andre. Ia, pamit untuk kesekian kalinya. Mas Andre pun, menyuruh Gio untuk berpamitan kepada Ibunya. Setelah berp
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k