Mereka berdua pun, langsung menatap layar pipih, yang aku sandarkan ke vas bunga yang ada di atas meja. Aku sengaja melakukannya, supaya mereka berdua bisa bersama-sama melihatnya. Mereka berdua, begitu serius memperhatikan rekaman tersebut. Aku melihat, wajah mereka memerah serta tangan mereka mengepal. Sepertinya mereka merasa kecewa bercampur marah, melihat apa yang tertera di layar handphone tersebut."Kurang ajar sekali, mereka bertiga. Bisa-bisanya mereka mau menghancurkan keluarga kita! Apalagi Si Maya, dia sengaja ingin mendekati Papa, hanya untuk menguras harta bendanya saja. Setelah berhasil menguasai, Anisa akan disingkirkan! Lihat saja nanti, tidak akan aku biarkan itu terjadi. Ayo, siapa diantara kita yang lebih pandai dalam mengatur strategi," sungut Papa.Ia berkata dengan penuh emosi karena melihat vidio tadi."Iya, Pah, Mbak Maya ini tidak bisa dikasih hati, ia malah minta jantung! Lihat saja, apa yang akan aku lakukan untuk kalian bertiga!" Mas Andre pun sama sepert
"Lho, kenapa Mbak bertanya begitu? Ya wajar dong, kalau kami ada di sini, orang ini kan rumah Papaku mertuanya Mas Andre. Seharusnya, kami yang bertanya kepada Mbak Maya. Mbak Maya mau ngapain datang ke rumah Papa? Apa Mbak Maya punya kontrak kerja dengan Papa," tanyaku membalikan pertanyaan, kepada Mbak Maya.Pertanyaanku barusan, membuat muka Mbak Maya memerah. Entah menyapa ia begitu, saat mendengar ucapanku barusan. Mungkin karena ia malu, entah karena emosi."Mbak datang kesini, hanya sedang bersilaturahmi saja, Anisa! Nggak apa kan, kalau Mbak berkunjung ke rumah Papamu?" Mbak Maya menjawab pertanyaanku, tetapi ia juga bertanya balik kepadaku. "Ya nggak apalah, Mbak. Selama silaturahmi itu murni, tanpa ada embel-embel." Aku, menyahut ucapan Mbak Maya. "Ya, iya lah, Anisa. Mbak murni kok, cuma mau bersilaturahmi ke rumah Papamu, nggak ada niatan apa pun. Oh iya, ini Mbak bawain kue basah. Itu buatan Mbak sendiri, lho," ujarnya, sambil memberikan satu buah kotak berisi kue basa
Ia malah bertanya, aku sebenarnya suka atau tidak jika dia berada dirumah Papa. Dan memang sebenarnya, aku tidak suka dengan kehadirannya di rumah Papaku. Apalagi, dengan maksudnya hanya mau merayu Papa. Tapi demi terwujudnya rencana kami, aku pun berpura-pura suka saja kepadanya."Nggak kok, Mbak. Masa iya, aku nggak suka sama ipar suamiku sendiri." Aku menjawab pertanyaannya dari Mbak Maya, sambil berpura-pura menyukai keberadaannya.Setelah itu, kami kembali mengobrol bersama, hingga tidak terasa telah sampai waktu ashar. Sedangkan, Mbak Maya tidak ada ciri-cirinya, akan segera pulang dari rumah Papa. Aku pun berniat tidak mau pulang, jika ia masih berada di rumah ini. Suara adzan ashar pun berkumandang, dari masjid dekat rumah Papa. Mas Andre dan Papa pun pamit untuk salat di mesjid.Sedangkan aku pergi ke kamarku untuk melaksanakan salat, sedangkan Mbak Maya bilang dia lagi datang bulan. Selesai salat, aku kembali ke ruang keluarga. Aku merasa tidak nyaman jika Maya masih berad
"Iya, Sayang, apapun yang membuatmu senang akan Mas turuti." Mas Andre menyetujui keinginanku.Ternyata Mas Andre tidak melarangku, ketika aku minta sama dia untuk menginap di rumah Papa."Apa yang dikatakan Nisa benar, kalian berdua sekali-kali nginep di sini. Biar Papa nggak kesepian," ujar Papa."Iya, Pah, " sahutku dan juga Mas Andre mentahut serempak.***Setelah salat subuh kami pun berniat pulang karena Mas Andre akan pergi ke kantor. Jarak dari rumah Papa ke rumahku lumayan jauh, jadi takut terkena macet dan Mas Andre kesiangan masuk kantor. Bahkan katanya ada meeting pagi, sedangkan perlengkapan ngantornya berada di rumah kami. Seusai pamit sama Papa dan Bi Sumi kami pun segera pulang, ke rumah pemberian Papa."Pah, Anisa sama Mas Andre pamit dulu, ya. Soalnya Mas Andrenya mau kerja, sedangkan perlengkapan kerjanya ada di rumah." Aku berpamitan kepada Papa."Iya, Nis, kalian hati-hati di jalan ya." Papa mengizinkan aku untuk pulang."Iya, Pah," sahutku.Kemudian aku pamit k
Tapi dari nada bicaranya, aku yakin kalau itu bukanlah suara Mas Andre suamiku, melainkan suaranya Mas Arya. Aku, terus berontak dan kaki ini berhasil menginjak kakinya, dengan sekuat tenaga. Hingga ia mengaduh kesakitan dan akhirnya pelukannya melonggar. Kemudian akhirnya, aku berhasil keluar, dari pelukan orang tersebut."Mas Arya, kamu ini apa-apaan sih, main peluk-peluk saja! Kamu itu 'kan tau, kalau aku ini sudah punya suami, aku ini istrinya orang, Mas! Apa kamu mau, aku laporkan kamu ke pihak yang berwajib, dengan tuduhan melakukan pelecehan? Kamu juga bisa dituntut, dengan tuduhan perbuatan yang tidak menyenangkan," ancamku. "Jangan seperti itu juga dong, Nisaku Sayang. Biar bagaimana pun juga, aku ini kan sayang banget sama kamu. Aku benar-benar tulus, sayang sama kamu," ucapnya."Mas Arya, maaf ya. Aku harus berapa kali lagi mengatakan, kalau aku tidak mencintai Mas! Aku ini sudah menjadi istri orang, istrinya Mas Andre. Jadi kamu jangan mengganggu aku, atau pun rumah ta
Pada saat, aku sedang bersantai di ruang keluarga, sambil menonton televisi. Gawaiku yang disimpan di atas meja berdering, segera aku meraih benda pipih itu dan ternyata, yang meneleponku adalah Papa. Aku pun segera mengangkat telepon dari Papa tersebut."Assalamualaikum, Pah," sapaku."Waalaikumsalam," sahut Papa. "Ada perlu apa, Pah? Tumben, masih pagi Papa sudah telpon Anisa. Apa ada yang urgent," tanyaku. Aku, bertanya kepada Papa, tentang maksud dan tujuan Papa menelponku. Padahal baru tadi pagi, aku pulang dari rumahnya. Tetapi sekarang Papaku sudah menelpon lagi."Nggak apa-apa kok, Nisa. Papa cuma mau mgasih tahu kamu, kalau tadi Maya datang ke rumah lagi. Dia berterus terang, ingin menjadi istrinya Papa. Papa sangat kaget mendengarnya. Karena Papa baru mendengar, ada seorang wanita yang melamar laki-laki." Papa memberitahuku tentang alasannya kenapa ia menelponku."Terus bagaimana jawaban Papa," tanyaku penasaran."Sesuai, dengan rencana kamu, Papa berpura-pura menerimanya.
"Itu, Non, Mak Maya. Dia sudah ada di ruang tamu, Mbak Maya datang bersama Sindi. Mereka bilang ada hal yang mau diobrolin sama, Neng." Bi Ijah datang dan memberitahuku, bahwa tamu tersebut adalah Mbak Maya dan juga Sindi."Memangnya mereka mau ada urusan apa, ya Bi, sama aku. Ngapain mereka datang kesini?" Aku bertanya kepada Bi Ijah, tentang keperluan Mbak Maya dan Sindi datang ke rumahku."Bibi juga, tidak tahu Non. Lebih baik,m sekarang kita temuin saja duku, biar nanti kita tau, mereka ada urusan apa. Biar Bibi yang akan menemani, Non Anisa. Bibi takut, jika mereka datang karena mau mencelakai Non. Ayo Non, kita samperin," ajak Bi Ijah.Kemudian aku bangkit dari duduk, aku dan Bi Ijah, mendampingiku untuk menemui mereka berdua. Bi Ijah takut, jika Mbak Maya dan Sindi akan berbuat jahat padaku. Apalagi sekarang aku sedang mengandung. Makanya, Bi Inah bersikap ekstra waspada."Iya, Bi, ayo! Terima kasih, ya Bi, sudah mengkhawatirkan Nisa." Aku mengucapkan terima kasih, kepada Bi I
"Maaf, ya Mbak Maya. Kebetulan, kalau aku sekarang belum bisa memberi keputusan, antara setuju ataupun tidak. Aku akan membicarakannya dulu, dengan Mas Andre dan juga Papa. Mbak nggak apa-apa 'kan?" Tanyaku. Aku ingin melihat apakah Mbak Maya mau menunggu keputusanku atau tidak."Iya, Anisa, Mbak akan menunggunya kok, sebab semua ini juga demi keluarga kita nantinya." Mbak Maya berkata sok bijak. "Ok, lah, Mbak kalau begitu," sahutku.Aku berpura pura menyetujui, dengan semua yang diinginkan Mbak Maya'Mbak Maya, Mbak Maya. Kamu pikir aku tidak tau rencana busuk kamu? Aku yakin, kalau sekarang ini, kamu sedang mengesampingkan ego kamu. Kamu rela merendah meminta izin kepadaku, demi misi kamu agar berhasil. Tapi sayang, sampai kapanpun aku tidak akan tinggal diam, Mbak. Jika maksud kamu mendekati keluargaku, hanya demi menguras hartanya saja. Tunggu saja tanggal mainnya ya,' ucapku dalam hati."Oh iya, Nis, Mbak mau minta minum dong! Boleh nggak, minta jus jeruk sama jus mangganya?"
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k