Pada saat, aku sedang bersantai di ruang keluarga, sambil menonton televisi. Gawaiku yang disimpan di atas meja berdering, segera aku meraih benda pipih itu dan ternyata, yang meneleponku adalah Papa. Aku pun segera mengangkat telepon dari Papa tersebut."Assalamualaikum, Pah," sapaku."Waalaikumsalam," sahut Papa. "Ada perlu apa, Pah? Tumben, masih pagi Papa sudah telpon Anisa. Apa ada yang urgent," tanyaku. Aku, bertanya kepada Papa, tentang maksud dan tujuan Papa menelponku. Padahal baru tadi pagi, aku pulang dari rumahnya. Tetapi sekarang Papaku sudah menelpon lagi."Nggak apa-apa kok, Nisa. Papa cuma mau mgasih tahu kamu, kalau tadi Maya datang ke rumah lagi. Dia berterus terang, ingin menjadi istrinya Papa. Papa sangat kaget mendengarnya. Karena Papa baru mendengar, ada seorang wanita yang melamar laki-laki." Papa memberitahuku tentang alasannya kenapa ia menelponku."Terus bagaimana jawaban Papa," tanyaku penasaran."Sesuai, dengan rencana kamu, Papa berpura-pura menerimanya.
"Itu, Non, Mak Maya. Dia sudah ada di ruang tamu, Mbak Maya datang bersama Sindi. Mereka bilang ada hal yang mau diobrolin sama, Neng." Bi Ijah datang dan memberitahuku, bahwa tamu tersebut adalah Mbak Maya dan juga Sindi."Memangnya mereka mau ada urusan apa, ya Bi, sama aku. Ngapain mereka datang kesini?" Aku bertanya kepada Bi Ijah, tentang keperluan Mbak Maya dan Sindi datang ke rumahku."Bibi juga, tidak tahu Non. Lebih baik,m sekarang kita temuin saja duku, biar nanti kita tau, mereka ada urusan apa. Biar Bibi yang akan menemani, Non Anisa. Bibi takut, jika mereka datang karena mau mencelakai Non. Ayo Non, kita samperin," ajak Bi Ijah.Kemudian aku bangkit dari duduk, aku dan Bi Ijah, mendampingiku untuk menemui mereka berdua. Bi Ijah takut, jika Mbak Maya dan Sindi akan berbuat jahat padaku. Apalagi sekarang aku sedang mengandung. Makanya, Bi Inah bersikap ekstra waspada."Iya, Bi, ayo! Terima kasih, ya Bi, sudah mengkhawatirkan Nisa." Aku mengucapkan terima kasih, kepada Bi I
"Maaf, ya Mbak Maya. Kebetulan, kalau aku sekarang belum bisa memberi keputusan, antara setuju ataupun tidak. Aku akan membicarakannya dulu, dengan Mas Andre dan juga Papa. Mbak nggak apa-apa 'kan?" Tanyaku. Aku ingin melihat apakah Mbak Maya mau menunggu keputusanku atau tidak."Iya, Anisa, Mbak akan menunggunya kok, sebab semua ini juga demi keluarga kita nantinya." Mbak Maya berkata sok bijak. "Ok, lah, Mbak kalau begitu," sahutku.Aku berpura pura menyetujui, dengan semua yang diinginkan Mbak Maya'Mbak Maya, Mbak Maya. Kamu pikir aku tidak tau rencana busuk kamu? Aku yakin, kalau sekarang ini, kamu sedang mengesampingkan ego kamu. Kamu rela merendah meminta izin kepadaku, demi misi kamu agar berhasil. Tapi sayang, sampai kapanpun aku tidak akan tinggal diam, Mbak. Jika maksud kamu mendekati keluargaku, hanya demi menguras hartanya saja. Tunggu saja tanggal mainnya ya,' ucapku dalam hati."Oh iya, Nis, Mbak mau minta minum dong! Boleh nggak, minta jus jeruk sama jus mangganya?"
"Ayo kita masuk, Mas! Kamu, pasti sudah haus dan juga laper 'kan? Aku sudah minta Bi Inah, buat masakin kesukaan Mas. Maaf ya, Mas, aku belum bisa memasak makanan untukmu. Aku masih terasa mual, jika mencium bumbu dapur secara langsung," ujarku.Aku mengajak Mas Andre masuk dan akan segera aku ajak dia untuk makan. Agar tenaganya kembali pulih, tidak loyo seperti saat ini."Iya nggak apa, Sayang. Ayo kita masuk! Mas, memang sudah kehausan dan kelaparan ini. Apalagi, saat melihatmu sudah wangi dan cantik begini. Membuat Mas tambah laper saja ingin segera memakanmu," kelakar Mas Andre, saat mengomentari ucapanku."Ih, Mas, kamu kira aku ini makanan apa! Sampai bilang lapar saat melihatku," protesku, sambil memajukan bibirku, berpura-pura kesal. Padahal sebaliknya, aku sangat senang jika di gombalin oleh suami sendiri. Biarpun Mas Andre dulu terlihat jutek dan juga tegas, tetapi ternyata ia berjiwa romantis. Ia sangat pintar untuk membuat aku menjadi seorang istri yang bucin. "Ih i
"Kalau menurut, Mas, mendingan disetujui saja, Sayang. Ini juga termasuk cara, supaya misi kita berhasil kan," ujar Mas Andre."Oh ... begitu, ya Mas. Ya sudahlah, biar nanti aku setujui saja maksud Mbak Maya menjadi istri Papa. Aku akan membuat dia bahagia terlebih dulu, dengan cara aku menyetujui maksudnya. Aku akan membuat dia berbunga-bunga dulu hatinya, sebelum aku buat dia menangis darah," sungutku. Aku berkata dengan terbawa emosi, walaupun pada akhirnya menyetujui saran dari Mas Andre."Ya sudah, kalau begitu sana telpon dulu Papanya! Beritahu beliau, kalau kita setuju dengan maksud Mbak Maya," perintah Mas Andre.Ia menyuruhku untuk memberitahu Papa, tentang keputusan kami berdua. Aku pun segera mengambil handphone, yang tergeletak di atas meja, yang ada dihadapan kami. Aku pun kemudian mencari kontak atas nama Papa. Setelah ketemu, aku segera menghubungi beliau. Setelah menunggu beberapa saat, hubungan telpon pun tersambung. Aku pun segera memberi tahu maksudku menghubungi
"Mas, kamu mau masuk dulu nggak," tanyaku."Nggak usah, Sayang, Mas mau langsung ke tempat klien saja, takut ditungguin. Mas titip salam saja buat Papa ya," sahut Mas Andre."Iya, Mas, nanti akan aku sampaikan. Oh iya, Mas, nanti mau jemput aku atau nggak?" Aku bertanya kepada suamiku, saat ia akan kembali melajukan mobilnya. Kerena Mas Andre mengantar aku, cuma sampai depan pintu gerbang. Sehingga ia tidak perlu memarkirkan mobilnya lagi."Nanti biar Mas yang jemput, ya Sayang. Kamu tunggu saja, jangan pulang naik taksi, ataupun ngerepotin Papa!" "Ok, deh, Mas. Aku, akan menunggumu di sini. Ya sudah, kalau memang Mas tidak mau mampir dulu, barangkali kliennya sudah menunggu. Mas, hati-hati dijalan ya," pesanku."Iya, Sayang. Ya sudah, Mas pergi dulu ya. Assalamualaikum," pamit Mas Andre. "Waalaikumsalam," sahutku. Aku mengantar kepergian suamiku, sampai mobil yang ia bawa tidak terlihat lagi dari pandanganku. Mobil Mas Andre menghilang, saat mobil melewati belokan sana. Aku pun
"Iya, Pah. Aku juga, sudah menyiapkan kejutan manis untuk kedua kaki tangannya Mbak Maya itu. Biar mereka nggak bisa berkutik lagi, jangan pernah nenganggap Anisa akan diam saja, jika dioerlskujan tidak baik. Apalagi mereka duluan, yang telah menabuh genderang perang. Makanya aku pun telah siap untuk melawannya," sahutku. "Iya, Nis, Papa akan mendukungmu. Papa, nggak akan biarin, kalau anak Papa disakitin oleh siapa pun." Papa juga mendukungku, bahkan iaberkata, kalau dia tidak rela jika ada orang yang akan menyakitiku.Lagian, mana ada orang tua yang rela, jika anaknya disakiti oleh orang lain. Orang tua mana pun pasti akan membela anaknya apalagi dalam jika sang anak dalam keadaan benar."Ya sudah, kita sarapan dulu yuk, Nis! Setelah itu, Papa ke kantor dulu ya, cuma sebentar kok. Kamu nggak akan pulang dulu kan," tanya Papa, sambil berdiri mengajakku sarapan bareng."Nggak, Pah. Aku masih mau di sini kok, Pah. Aku di suruh Mas Andre, supaya menunggu dijemput olehnya sepulang nga
"Nggak apa-apa, Non. Kalau Non Anisa beneran bisa terbang, nanti Bibi ikut, ya Non! Biar kita bisa keliling kota, nanti kalau Bibi mau pulang kampung, Non Anisa bisa anterin Bibi pulang kampung. Enak kalau lewat udara karena nggak akan terkena macet di jalan." Bi Sumi menimpali kelakarku, kemudian kami berdua tertawa bersama."Ya sudah, kita sudahkan dulu bercandanya Bi. Ayo kita segera masak, kalau bercanda terus kapan matangnya?" Aku pun akhirnya mengakhiri canda tawa bersama Bi Sumi."Iya, Non, ayo kita masak yang enak!" Bi Sumi menyahut ucapanku.Kemudusb kami pun kembali serius, dengan masakan yang sedang kami buat. Karena dengan keseriusan kami berdua, akhirnya masakan pun sudah selesai."Alhamdulillah, Non, akhirnya masakan kita sudah jadi. Coba Non cicip, bumbunya kira-kira ada yang kurang nggak?" Bi Sumi menyuruhku untuk mencicipi masakan yang barusan kami buat."Iya, Bi, coba Anisa nyicip ya," ucapku.Aku menyahut, sambil mengambil mangkok serta sendok."Bagaimana, Non? Apa
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k