Aku bertanya kepada Ratna, kenapa dia sampai tega ingin menjauhiku. Aku juga memberi saran kepadanya, kenapa Ratna tidak pacaran saja sama si cowok tersebut. Padahal selama ini, aku juga belum pernah melihat Ratna memiliki pasangan. Sebab tidak ada satu orang pun cowok, yang Ratna perkenalkan denganku. Sungguh aku merasa tersinggung, dengan sikap Ratna saat ini."Anies, kamu itu kangan ngaco! Kamu jangan menyuruh aku untuk berpacaran dengan Bagas, sebab aku sudah mempunyai cowok tau! Asal kamu tau, Nisa. Aku sudah memiliki cowok, sejak lama. Tapi, cowokku sedang mengejar S dua, di luar negeri. Makanya, si Bagas, aku mau kenalin sama kamu. Kalau aku belum punya cowok, sudah pasti aku yang akan menjadikan Bagas sebagai pacarku. Aku nggak perlu repot-repot untuk memperkenalkannya sama kamu," cerocos Ratna. Aku sampai kaget saat Ratna sepertinya marah, saat aku berkata seperti itu. Ratna bahkan sampai membentakku, saat aku menyuruhnya untuk berpacaran, dengan cowok yang bernama Bagas ter
"Anisa, bagaimana kalau di Restauran Samudra saja, yang deket kantorku. Besok jam makan siang kita ketemu disana ya," terang Ratna, ia menjawab ucapanku."Ok deh, Ratna. Besok pasti aku akan datang ke sana," kataku, sambil mengacungkan jempol ke arah Ratna.Aku menyetujui rencana Ratna, yang mengajakku ketemuan di Restoran Samudra tersebut."Ya sudah, Nis, aku pulang dulu ya. Soalnya sudah sore juga nih, takut jika nanti Mamaku menunggu." Ratna mengakhiri percakapan kami, sambil melihat ke arah arlojinya yang menempel di pergelangan tangan kirinya."Iya, Ratna, hati-hati di jalan ya. Jangan ngebut bawa motornya!" pesanku. Aku memberi peringatan kepada Ratna, supaya ia berhati-hati membawa motornya, dan jangan sampai ngebut."Iya, Nis, terima kasih perhatiannya ya. Kamu memang sahabat terbaikku, aku permisi dulu ya, assalamualaikum." Ratna pamit kepadaku. Iya berjalan menuju pintu depan dan aku pun mengekorinya. Aku juga mengantar Ratna sampai teras depan, setelah itu Ratna pun men
"Ya sudah, Nis. Terserah kamu aja," sahut Papa. Setelah tidak ada lagi kepentingan, yang disampaikan. Kami pun memutuskan sambungan telponnya. Aku kembali larut dalam lamunanku, memikirkan tentang pertemuan besok. Ada perasaan tidak karuan, di dalam hati ini. Saat mengingat, kalau yang ingin aku temui adalah seorang laki-laki.*****Keesokan harinya, aku sedang bersiap-siap untuk menuju Restoran Samudra. Restoran yang berada dekat dengan kantor Ratna, yaitu kantor cabang perusahaan Papa. Ratna bekerja di kantor itu sebagai HRD. Ratna bekerja di kantor Papa juga atas rekomendasi dariku. Aku yang meminta Papa untuk menerima Ratna sebagai karyawannya. Aku juga yang meminta Papa, untuk memberi kedudukan kepada Ratna di kantor itu dan Papa mengangkatnya menjadi HRD.Jam telah menunjukan pukul sebelas kurang lima belas menit, aku telah berdandan rapi. Aku sedikit memoles riasan di wajahku, supaya tidak kelihatan pucat. Aku telah berkali-kali bercermin, takut kalau penampilanku ada yang ku
"Iya, Mbak," sahut si pelayan kafe, setelah ia sampai ke meja kami."Berapa semuanya?" tanyaku. Aku menanyakan bill makanan dan minuman, yang tadi kami pesan. Si pelayan pun mengatakan jumlah uang, yang harus dikekuarkan untuk membayar makanan dan minuman tersebut."Semuanya empat ratus delapan puluh ribu rupiah, Mbak. Ini notanya," ucap sang pelayan, sambil memberikan nota kepadaku. "Oh iya, Mbak, terima kasih. Bisa pake debit kan, Mbak?" tanyaku, sambil mengambil nota tersebut. "Bisa, Mbak. Mbak langsung saja ke kasir," terangnya.Pelayan tersebut menjawab dan menunjuk, ke arah kasir yang berada di pojok dekat pintu keluar."Ok, Mbak, terima kasih ya." Aku kembali mengucapkan terima kasih kepadanya."Sama-sama, aku permisi dulu ya, Mbak," sahutnya. Pelayan pun pergi dari hadapan kami. Setelah itu aku pun berdiri dan berjalan ke arah kasir untuk membayar makanan. Sesampainya di depan kasir, aku merogoh tas untuk mengambil ATM. Tetapi pada saat aku mau menyerahkan kartu ATM kepada
Setelah selesai membayar, aku menemui Mas Bagas dan juga Ratna, yang telah berada di luar kafe. Mereka sedang tertawa bersama, entah sedang membicarakan apa, sehingga membuat mereka tertawa serenyah itu. "Nis, aku malu deh sama kamu. Masa iya sih, aku malah di traktir sama kamu. Aku yang seharusnya mentraktir kamu, bukannya kamu yang mentraktir aku. Aku ini kan cowok," ujar Mas Bagas, saat aku sudah berada di antara mereka berdua. Mereka berdua pun tidak lagi tertawa seperti tadi, saat melihatku menghampiri mereka."Oh nggak apa-apa kok, Mas. Selama itu aku bisa dan juga mampu. Santai aja, jangan terlalu di pikirkan," ucapku.Aku berkata kepada Bagas, kalau semua itu tidaklah masalah buatku. "Oh iya, Ratna, aku mau pulang dulu ya! Kalian sudah mau masuk kantor lagi, bukan?" tanyaku."Iya, Nis, kamu hati-hati di jalanya! Kamu jangan ngebut-ngebut, bawa mobilnya," pesan Ratna."Terima kasih, Ratna, atas peringatannya. Ya sudah aku duluan, assalamualaikum," pamitkku, sembari mengucapka
Sesampainya di depan kantor Papa, aku pun segera memarkirkan mobilku. Kemudian aku segera masuk ke dalam kantor, serta masuk ke ruangan Papa. Sampai je ruangan Papa, ternyata beliau di ruangan tidak sendirian, tetapi ia ditemani seorang pemuda. Mungkin dia adalah rekan bisnisnya Papa."Assalamualaikum, Pah," ucapku, saat masuk ke dalam ruangannya Papa."Waalaikumsalam," sahut Papa."Nis, ayo duduk!" Papa menyuruhku untuk segera duduk, aku pun mengikuti perintahnya. Aku duduk di samping Papa, serta berharapan langsung dengan tamu Papa tersebut. "Pah, ada apa Papa menyuruhku datang ke kantor?" tanyaku."Nisa, Papa menyuruh kamu untuk datang ke kantor. Bukan karena ada urusan kantor, tapi untuk sekedar memperkenalkan kamu dengan Andre. Papa ingin supaya kalian bisa berjodoh," terang Papa.Papa mengungkapkan apa yang menjadi tujuannya, sehingga ia menyuruhku untuk datang ke kantor."Maksud, Papa, apa?" tanyaku, tidak mengerti."Jadi begini, Anisa. Maksud Papa menyuruh kamu datang ke
"Ya sudah, Om, tidak apa-apa kalau memang Anisanya sudah punya calon. Andre, biar cari calon sendiri saja. Karena sepertinya, Anisanya juga tidak suka sama, Andre." Andre berkata, dengan wajah pilu. Entah kenapa dia berkata seperti itu? Karena sebenarnya yang selalu sinis dari tadi itu dia? Jadi sebenarnya dia dong, yang tidak suka padaku. Kenapa dia malah membalikan fakta? Dasar orang aneh, Andre ini. Seharusnya dia itu senang, saat mendengar kalau aku sudah punya calon. Karena kami tidak mesti dijodohkan, semua itu aku lihat dari sikapnya yang acuh dan dingin kepadaku."Tuh, Papa, lihat bukan? Andrenya saja tidak masalah, kalau Anisa tidak memilih dia. Bahkan sepertinya dia happy banget, sebab tidak perlu dijodohkan, dengan perempuan seperti Anisa yang jelek ini." Aku berkata, sambil menunjuk ke arah Andre."Nisa, yang sopan dong sama orang! Nak Andre, maafin kelakuan Anisa ya! Maafin Om juga, sebab Om tidak tahu kalau ternyata Anisa telah mempunyai calon." Papa meminta maaf kepa
"Ah, Om, bisa aja. Jangan terlalu memuji, om. Soalnya, aku takut nanti malah menjadi orang yang sombong." Andre begitu merendah, jika di hadapan Papa.Bisa-bisanya, dia begitu hangat bila berbicara sama Papa. Sedangkan kepadaku dinginnya minta ampun. Mungkin karena Papa adalah rekan bisnisnya, sehingga ia harus menjaga etika."Anisa, kalau memang kamu sudah punya calon. Papa minta tolong, supaya calon suamimu itu menemui, Papa! Papa, ingin berkenalan sama dia," pinta Papa.Degh!Aku begitu kaget saat mendengarnya, bahkan lebih kaget dari saat mendengar mau dijodohkan dengan Andre tadi."I-iya, Pah," sahutku ragu.'Bagaimana ini? Ternyata, Papa malah meminta aku untuk membawakan calon suamiku kehadapannya. Kenapa juga tadi aku bilang, kalau aku sudah punya calon? Tapi kalau tidak bicara begitu, aku pasti akan di jodohkan sama Andre. Bagaimana coba, jika ternyata Mas Bagas tidak menyukaiku? Apa aku harus mencari calon suami bayaran aja ya, supaya aku bisa menutupi semuanya ini? Jadi aku
"Iya, Nis, aku belum kebeli kasur bayinya. Soalnya, kamu tau sendiri keadaan ekonomiku sekarang ini. Mas Bagas saja bekerjanya baru sebulan, itupun karena dibantu oleh suamimu. Makanya, aku belum ada uang buat membeli perlengkapan anakku. Pakaiannya saja, kebanyakan dari kado teman-teman, serta saudaraku." Ratna panjang lebar menceritakan, tentang keadaannya."Ya sudah, insya Allah nanti aku belikan, buat anakmu ya! Kalau saja aku tau kamu belum punya kasur bayi, tadi pasti aku belikan sekalian." Aku berjanji akan membelikan kasur bayi, buat anaknya Ratna."Terima kasih, ya Nis, kamu memang terbaik. Menyesal, aku telah menyia-nyiakanmu, bahkan telah mengkhianatimu." Ratna menyesali, tentang apa yang telah dia lakukan dulu kepadaku."Iya sama sama, Ratna. Ya sudah, Ratna, maaf ya aku nggak bisa lama-lama, soalnya ini sudah malam. Ini aku bawain kado buat anakmu, semoga kamu suka. Aku permisi ya, assalamualaikum," ucapku pamit.Kami pun pamit, kepada Bu Ani dan juga Ratna. Setelah itu
"Baik, Non. Terima kasih," ucap Bi Ijah."Baiklah, kami pergi cari kado dulu ya. Kalian tunggu di sini, kalau memang tidak mau ikut," pamitku.Aku pamit, serta meminta mereka untuk menungguku. Setelah itu, aku dan Mas Andre pun pergi dari hadapan asisten serta keponakanku. Kami pergi dari resto, yang ada di swalayan ini. Aku dan Mas Bagas, pergi menuju tempat perlengkapan bayi. Aku pun memilih salah satu yang sekiranya cocok untuk aku jadikan kado untuk anaknya Ratna dan Mas Bagas. Setelah menemukan apa yang sesuai, aku segera membayarnya. Aku juga meminta untuk sekalian dibungkusnya dengan kertas kado. Setelah kado untuk anak Ratna selesai di bungkus, kami berdua pun kembali ke tempat Gio dan juga para asistenku berada. Ternyata mereka telah selesai makan dan sedang menunggu kedatangan kami."Tante, Om, kalian sudah sekesai mencari kadonya?" tanya Gio."Sudah, Gio. Bagaimana? Apa kalian juga sudah selesai makannya," tanyaku."Sudah, Tan. Gio, sudah kekenyangan ini," sahut Gio.Gio
"Waw, ini kamarnya lebih bagus, dari kamar Gio yang kemarin, Om. Terima kasih, ya Om Andre, Tante Anisa, kalian berdua memang is the best." Gio begitu senang, saat melihat kamar baru untuknya."Syukurlah, kalau Gio menyukai kamarnya," ucapku."Iya, Tante, Gio seneng banget," sahutnya.Setelah itu, aku membantu Gio membereskan pakaiannya. Aku memasukan baju Gio ke lemari pakaian, yang ada di kamar itu. Sedangkan, Mas Andre membantu membereskan perabotan dari rumah lamanya, yang akan disimpan di rumah ini. Sedangkan, sebagian perabotannya akan disimpan di apartemen. Seusai membereskan pakaian Gio, aku mengajak Gio makan, kebetulan aku telah memesan makanan. Karena aku kasihan, jika harus menyuruh Bi Ijah dan Bi Asih, buat memasak. Sepertinya mereka juga kecapean, setelah membantu pindahan tadi. Jadi biar kali ini aku memesan masakan dari rumah makan padang untuk makan kami semua."Gio, ayo kita makan dulu," ajakku."Iya, Tan," sahut Gio."Mas, ayo kita makan dulu," ajakku, saat melewa
"Iya, Den," sahut Bi Asih serta Bi Ijah serempak."Bibi, sini," ajakku.Mereka berdua pun menghampiriku, sedangkan Bi Asih datang menghimpiriku, sambil menarik kopernya."Non, banyak betul orang yang mengangkut barangnya ya." Bi Ijah berkomentar, tentang pengangkut barang."Iya, Bi, Mas Andre bilang, supaya barangnya cepet selesai diangkutnya. Kalau barangnya sudah selesai diangkut, rumahnya mau sekalian dibersihkan, serta dirapikan sama mereka. Soalnya lusa Mas Wira dan keluarganya akan datang untuk menempatinya." Aku menjelaskan kepada Bi Ijah, alasan Mas Andre sampai meminta banyak orang untuk mengangkut barangnya tersebut."Oh, jadi begitu, ya Non," sahut Bi Ijah.Ia baru mengerti, dengan apa yang aku sampaikan."Iya, Bi, seperti itu," sahutku."Pasti rumah ini di kontraknya mahal ya, Non? Soalnya rumahnya saja semewah dan sebesar ini," tanya Bi Asih.Ia menanyakan soal harga sewa rumah orang tua Mas Andre tersebut."Lumayanlah, Bi, buat tabungannya Gio. Mas Wira, mengontak rumah
"Iya, Om, Gio ikut sama Om Andre saja. Biarkan rumah ini, di tempatin sama Om Wira," sahut Gio, ia menyetujui ajakan Mas Andre.Rumah peninggalan orang tua Mas Andre ini, sudah ada yang mengontrak. Rumah ini di kontrak oleh Mas Wira, ia merupakan rekan kerja Mas Andre. Sedangkan Gio akan di bawa oleh kami, ke Rumah tempat tinggal kami. Karena selain Gio sebatangkara, Gio juga sekarang merupakan anak angkatku."Den, kalau rumah ini, sudah ada yang mengontrak, terus Den Gio dibawa Den Andre, berarti Bibi sekarang sudah tidak dibutuhkan lagi, ya Den. Berarti Bibi harus pulang kampung," ucap Bi Asih."Bi Asih, Bibi tidak perlu khawatir. Biarpun rumah ini sudah ada yang ngontrak, serta Gio dibawa ke rumahku. Bibi tetap boleh bekerja denganku kok, Bibi Asih nanti bisa membantu pekerjaan Bi Ijah di rumahku. Apalagi nanti Anisa mau lahiran, pasti Bi Ijah kerepotan, kalau bekerja sendiri. Jadi Bi Asih bisa bekerja di rumahku bersama dengan Bi ijah, Bibi mau kan bekerja denganku? Biar nanti k
"Gio sayang, kamu yang sabar ya. Kamu harus ikhlas, dengan apapun yang terjadi. Gio jangan sedih, masih ada Om dan Tante, yang akan merawat serta menyayangi Gio." Mas Andre menenangkan Gio, serta memeluknya erat."Ya sudah, lebih baik sekarang kita pergi ke tempat kejadian, atau langsung ke rumah sakit." Papa memberi saran, supaya kami segera melihat keadaan Mbak Maya."Kita langsung ke rumah sakit saja, Pah. Tadi, polisinya bilang, mereka sudah langsung di bawa ke rumah sakit umum empat lima." Mas Andre memberitahu, rumah sakit tempat Mbak Maya berada. Kami semua pergi, menuju rumah sakit umum empat lima untuk mengurus jenazahnya Mbak Maya. Sepanjang perjalanan, Gio terus menangis. Aku pun sudah mencoba menbujuknya, tetapi tetap saja ya menangis. Sesampainya ke rumah sakit, kami menuju tempat resepsionis rumah sakit. Kami, menanyakan keberadaan Mbak Maya, yang korban kecelakaan tadi. Setelah, mendapatkan informasi, kami segera menuju ruangan, yang di tunjuk oleh resepsionis tadi.
"Baik, Anisa, kami menyetujuinya," ucap mereka bertiga serempak."Bagus ... kalau begitu, silakan kalian tandatangani surat perjanjian, yang dibawa oleh Pak Danu!" Mas Andre memerintahkan mereka bertiga untuk menandatangani surat perjanjian.Setelah mendengar perintah dari Mas Andre, mereka bertiga pun menandatangani surat, yang disodorkan oleh Pak Danu. Bahkan mereka tandatangan tanpa membacanya terlebih dulu."Oke, kalian bertiga sekarang telah menandatangani surat perjanjian ini. Jadi jika kalian melanggar, maka kalian harus menerima akibatnya," ujar Papa.Ia menegaskan kepada mereka bertiga, tentang konsekuensinya jika melanggar surat perjanjian tersebut."Iya, Mas, kami sudah paham kok." Mbak Maya berkata, mewakili kedua temannya."Kalau begitu, kalian bertiga segera tinggalkan rumah Papaku! Tetapi biarkan Gio bersama kami," perintahku."Iya, Anisa, kami akan pergi. Tetapi maafkanlah semua kesalahan kami. Aku takut, jika umurku tidak akan lama lagi. Aku titipkan Gio kepada kalian
"Ya, jelaslah aku tau, Mbak. Karena, aku sendiri yang merekam Vidio ini." Aku oun berterus terang kepada Mbak Maya, sebab ku tidak takut dengan ancamannya."Oh ... jadi kamu yang telah merekamnya, Anisa? Kok kamu tega banget sih, padahal niatku baik ingin merawat Papamu dan menjadi ibu sambung buat kamu." Mbak Maya berkelit, ia tetap tidak mau mengakui kesalahannya.Mbak Maya, tetap tidak merasa bersalah, walaupun sudah ada bukti yang jelas nyata. "Sudahlah, Mbak, nggak perlu mengelak lagi! Sebab emua bukti juga sudah jelas dan itu murni, bukan rekayasa ataupun editan, seperti yang Mbak Maya bilang tadi." "Kalau memang benar, kami yang melakukannya, terus kamu mau apa Anisa? Kamu mau memenjarakan kami, silakan, kalau itu maumu, kami tidak takut. Kami akan meminta bantuan pengacara kami, buat mengurus kasus ini." Sindi berkata dengan sangat jumawa."Ok, kalau begitu. Ayo, Pah, kita bawa saja mereka ke kantor polisi. Toh kita sudah mengantongi bukti yang kongkrit. Ayo kita bawa mereka
"Oh, jadi kamu mau menikah sama aku, hanya karena ingin menguasai hartaku, ya Maya? Setelah semuanya kamu miliki, aku akan ditendang dari kehidupanmu. Enak sekali mimpimu itu, kamu nggak perlu cape kerja, tapi ingin hidup enak. Mimpi kamu Maya," ujar Papa dengan dada emosiPadahal dari awal Papa sudah tahu, tentang niat Mbak Maya tersebut. Namun, ternyata Papa tetap saja terpancing emosinya, apalagi orang yang berniat jahat tersebut bernada^^ di depan mata."Itu nggak bener, Mas. Semua ini hanya fitnah, dari orang yang ingin merusak rencana pernikahan kita. Aku beneran sayang sama kamu dan juga anakmu Nisa, Mas. Aku ingin menjadi istri dan ibu sambung yang baik untuk kalian. Kamu jangan terpengaruh, oleh vidio editan serta murahan model begini, dong Mas! Aku sungguh sayang sama kamu dan juga Nisa," ucap Mbak Maya sambil tergugu. Sungguh pandai Mbak Maya ini, akting yang ia perankan juga luar biasa memukau."Sudahlah, Maya, kamu nggak usah mengelak lagi! Sudah jelas-jelas terbukti, k