Sesampainya di depan kantor Papa, aku pun segera memarkirkan mobilku. Kemudian aku segera masuk ke dalam kantor, serta masuk ke ruangan Papa. Sampai je ruangan Papa, ternyata beliau di ruangan tidak sendirian, tetapi ia ditemani seorang pemuda. Mungkin dia adalah rekan bisnisnya Papa."Assalamualaikum, Pah," ucapku, saat masuk ke dalam ruangannya Papa."Waalaikumsalam," sahut Papa."Nis, ayo duduk!" Papa menyuruhku untuk segera duduk, aku pun mengikuti perintahnya. Aku duduk di samping Papa, serta berharapan langsung dengan tamu Papa tersebut. "Pah, ada apa Papa menyuruhku datang ke kantor?" tanyaku."Nisa, Papa menyuruh kamu untuk datang ke kantor. Bukan karena ada urusan kantor, tapi untuk sekedar memperkenalkan kamu dengan Andre. Papa ingin supaya kalian bisa berjodoh," terang Papa.Papa mengungkapkan apa yang menjadi tujuannya, sehingga ia menyuruhku untuk datang ke kantor."Maksud, Papa, apa?" tanyaku, tidak mengerti."Jadi begini, Anisa. Maksud Papa menyuruh kamu datang ke
"Ya sudah, Om, tidak apa-apa kalau memang Anisanya sudah punya calon. Andre, biar cari calon sendiri saja. Karena sepertinya, Anisanya juga tidak suka sama, Andre." Andre berkata, dengan wajah pilu. Entah kenapa dia berkata seperti itu? Karena sebenarnya yang selalu sinis dari tadi itu dia? Jadi sebenarnya dia dong, yang tidak suka padaku. Kenapa dia malah membalikan fakta? Dasar orang aneh, Andre ini. Seharusnya dia itu senang, saat mendengar kalau aku sudah punya calon. Karena kami tidak mesti dijodohkan, semua itu aku lihat dari sikapnya yang acuh dan dingin kepadaku."Tuh, Papa, lihat bukan? Andrenya saja tidak masalah, kalau Anisa tidak memilih dia. Bahkan sepertinya dia happy banget, sebab tidak perlu dijodohkan, dengan perempuan seperti Anisa yang jelek ini." Aku berkata, sambil menunjuk ke arah Andre."Nisa, yang sopan dong sama orang! Nak Andre, maafin kelakuan Anisa ya! Maafin Om juga, sebab Om tidak tahu kalau ternyata Anisa telah mempunyai calon." Papa meminta maaf kepa
"Ah, Om, bisa aja. Jangan terlalu memuji, om. Soalnya, aku takut nanti malah menjadi orang yang sombong." Andre begitu merendah, jika di hadapan Papa.Bisa-bisanya, dia begitu hangat bila berbicara sama Papa. Sedangkan kepadaku dinginnya minta ampun. Mungkin karena Papa adalah rekan bisnisnya, sehingga ia harus menjaga etika."Anisa, kalau memang kamu sudah punya calon. Papa minta tolong, supaya calon suamimu itu menemui, Papa! Papa, ingin berkenalan sama dia," pinta Papa.Degh!Aku begitu kaget saat mendengarnya, bahkan lebih kaget dari saat mendengar mau dijodohkan dengan Andre tadi."I-iya, Pah," sahutku ragu.'Bagaimana ini? Ternyata, Papa malah meminta aku untuk membawakan calon suamiku kehadapannya. Kenapa juga tadi aku bilang, kalau aku sudah punya calon? Tapi kalau tidak bicara begitu, aku pasti akan di jodohkan sama Andre. Bagaimana coba, jika ternyata Mas Bagas tidak menyukaiku? Apa aku harus mencari calon suami bayaran aja ya, supaya aku bisa menutupi semuanya ini? Jadi aku
"Kalau memang kamu sudah punya calon, segera pertemukan sama Papa ya, Nisa. Papa ingin berkenalan dengan dia," pinta Papa lagi."I ... iya Pah," sahutku."Secepatnya ya, Nisa!" Papa memintaku untuk segera membawa Mas Bagas ke hadapannya. Aku hanya berharap, supaya Mas Bagas bisa diajak kompromi."Iya, Papa, Iya. Nanti Anisa akan membawa calon Anisa, supaya segera bertemu langsung sama Papa." Aku menyahut ucapan Papa, walaupun dengan sedikit gugup."Ok, Anisa, Papa tunggu!"Papa mengatakan lagi, kalau dia menunggu kedatangan calonku. Tetapi aku merasa tidak yakin, jika aku bisa melakukan semua ini. Aku tadi begitu kepedean, hingga menyebut Bagas adalah calon suamiku. Padahal aku belum tahu, bagaimana perasaannya kepadaku, apakah dia suka atau tidak? 'Duh bagaimana ini? Padahal tadi saat ketemuan kami hanya berkenalan biasa, bukan sedang mengungkapkan rasa dari hati ke hati. Tapi biarlah Mas Bagas akan menjadi urusanku nanti, yang penting sekarang aku mengamankan diri dari perjodoha
Papa terus saja memuji Andre, padahal orangnya sudah tidak kelihatan lagi. Pujian Papa, membuat aku menjadi muak. Apa coba yang membuat Papa yakin dengan Andre ini. Andai saja Papa tahu, dengan apa yang aku rasa. Mungkin ia tidak akan begitu memuji rekan bisnisnya itu."Nisa, anak jaman sekarang itu sudah jarang sekali lho, yang memiliki sifat seperti, Nak Andre. Makanya Papa ingin sekali agar dia yang menjadi jodohmu, tetapi sayang kamunya malah menolak. Jujur, Anisa, sebenarnya Papa kecewa dengan sikap kamu," sambung Papa."Pah, mungkin saja Andre bersikap seperti itu karena dia segan sama Papa, makanya ia bersikap sebaik mungkin. Bukankah Andre merupakan rekan bisnis, Papa?" tanyaku. Aku mengomentari pendapat Papa, tentang sikap Andre dan menerangkan persiku dalam menilai Andre. Aku mengomentari sikap Andre yang tadi ramah terhadap Papa itu bukanlah sifat aslinya, melainkan karena Papa merupakan rekan bisnisnya"Ya sudah terserah kamu saja pokoknya Papa mau, supaya kamu segera
"Iya, Papaku sayang. Anisa, pulang dulu ya, Pah. Assalamualaikum," ucapku sambil pamit. Aku memeluk Papa mencium pipi kiri dan kanannya, serta punggung tangan Papa."Waalaikumsalam, anak manja," sahut Papa, sambil melerai pelukan dan mengusap pucuk kepalaku dengan lembut. Aku pun segera pergi dari ruangan Papa, sambil menenteng tas selempangku, serta mengalungkannya di leher dengan posisi menyamping. Aku berjalan melewati meja sekertaris Papa, yang bernama Mbak Irma. Kebetulan, Mbak Irmanya sedang menulis di mejanya."Mbak, aku pulang duluya. Assalamualaikum," pamitku, sambil mengucapkan salam."Iya, Mbak Anisa. Hati-hati di jalan ya," sahutnya."Iya, Mbak, terima kasih mengingatkanku," kataku"Sama-sama," sahut Irma.Aku pun segera kembali berjalan, menuju pintu keluar kantor Papa. Sesampainya di halaman kantor, aku berjalan menuju tempat parkiran dimana mobilku berada. Saat aku sampai ke parkirkan, aku dikejutkan dengan orang yang tiba-tiba menyebut namaku. Namun aku tidak tahu dar
Setelah terbuka, baru aku tahu siapa yang dari tadi memanggilku. Rupanya Andre yang melakukannya dan ia belum pergi dari kantor Papa, atau mungkin juga sengaja sedang menungguku. Eh aku kege'eran, hee ..."Ada apa? Kenapa kamu terus memanggilku? Pakai embel-embel anak manja lagi, tau dari mana kamu?" tanyaku kepada Andre."Memang kenyataannya 'kan, kalau kamu itu anak yang manja?" Ia malah bertanya, serta berkata dengan enteng."Ih ... dasar nyebelin! Kamu itu sebenarnya mau apa sih? Apa kamu mau bikin gara-gara sama aku?" tanyaku lagi dengan sedikit emosi.Aku memang tidak suka, jika aku dibilang anak manja oleh orang lain kecuali Papa. Makanya aku tidak mau dijodohkan sama Andre, selain dia jutek mulutnya juga julid seperti itu."Terserah kamu, kalau kamu memang merasa aku telah membuat gara-gara. Dadah anak Papa yang manja," ucap Andre, sambil melajukan mobil dan membunyikan klakson sekeras mungkin. Membuat aku melongo dan dibuat jengkel olehnya."Andre, kamu itu dasar nyebelin!" t
"Kenapa emangnya, Bi?" tanyaku heran."Ya karena makanannya 'kan beracun, otomatis bisa membuat Bibi meninggal dong, Non. Kalaupun nggak sampai meninggal, setidaknya mungkin Bibi sakit. Terus kalian pasti tidak akan Bibi urus makannya," sahut Bi Inah, membuatku tertawa.Asisten rumah tangga Papa yang satu ini memang kocak, ia suka sekali berguyon. Sehingga membuat aku dan Papa sering sekali mentertawakannya."Oh iya ya, ternyata Bibi memang pinter. Lagian jangan sampai makanan yang kita makan mengandung racun dong, Bi. Makanya Bibi harus terus menjaga kesehatan, biar Bibi bisa terus memasak makanan enak untuk kami. Bibi bukan hanya seorang asisten rumah tangga di rumah ini, tapi Bibi sudah Anisa anggap, sebagai pengganti Mama." Aku mengungkapkan isi hatiku kepada Bi Inah, bahwa aku sudah menganggapnya sebagai pengganti Mama yang telah tiada."Ya ampun Non, terima kasih," ucap Bi Inah, sambil memelukku. Iya menangis di pelukanku, aku pun membalas pelukannya kami menangis bersama."Sud