Pov BayuMengusap wajah kasar seraya merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya aku salah bicara. Harusnya aku tak membandingkan Hanin dan Nisa. Jelas-jelas mereka dua orang yang berbeda, dan aku beruntung memiliki keduanya. Tidak bisa dipungkiri setelah menghisap madu Nisa,membuatku selalu merindukan kehangatannya. Dia bagai candu. Bodohnya akku kenapa justru memuji Nisa di depan Hanin. Setiap wanita pasti memiliki perasaan cemburu dan tak rela jika suaminya memuji wanita lain. Namun kenapa justru aku lakukan? Bodoh! Bodoh! "Sayang, tolong maafkan Mas. Mas tidak sengaja mengatakan itu semua."Perlahan kusentuh pundak Hanin yang tidur membelakangiku. Namun secepat kilat dia menepis tangan ini. "Tidur saja di rumah Nisa!"Aku membuang napas kasar. Dengan langkah gontai aku berjalan meninggalkan Hanin. Mungkin tidur di kamar Azha lebih baik dibanding melihat Hanin dengan wajah masam. Dengan hati-hati kurebahkan tubuh ini di samping Azha. Putra pertamaku menggeliat lalu menggeser tubuhnya.
Pov BayuPintu rumah kubuka perlahan, setelah mengucap salam aku langsung melangkahkan kaki masuk ke dalam. Nisa sedang asyik menonton televisi saat aku datang. Terlalu asyik hingga ia lupa menjawab salam dariku. "Assalamualaikum."Tak ada jawaban, Nisa masih asyik dengan acara televisi. Dia seolah tak sadar jika aku sudah berdiri di dekatnya. "Assalamualaikum!" Lagi, kuucapkan salam sedikit keras. Nisa menolah lalu berjalan mendekat ke arahku. Tak lupa ia mencium punggung tanganku. "Sudah dapat, Mas?" Nisa melirik sebuah kantung plastik transparan yang ada di tangan kananku. Senyum mengembang kala melihat pesanan yang sudah kubawa. Melihat senyumnya sudah membuatku bahagia. Sesimpel ini arti sebuah kebahagiaan. "Makasih, ya, Mas. Kamu memang suami idaman," ucapnya lalu mengecup pipi kananku. Semenjak kami menyatu, Nisa tak lagi sungkan mencium atau memeluk diriku. Tentu saat kami hanya berdua seperti ini. Lain cerita jika kami bersama Hanin dan anak-anak. "Buruan dimakan!" Ku
Pov Nisa"Mas... Tunggu, Mas!" Aku berjalan sedikit cepat untuk mengejar Mas Bayu. Namun sia-sia, dia sudah terlanjur masuk mobil dan menjalankannya. Mas Bayu pergi dengan rasa marah yang melekat dalam dada. Dia bahkan belum mendengar penjelasanku. Aku benar-benar ketakutan dengan tikus dan darah yang berserakan di lantai depan pintu. Tapi kenapa bisa hilang dalam sekejap? Aku bahkan belum membersihkannya. Ya Allah... Ada apa ini? Menyandarkan tubuh di sofa, beberapa kali kupijit kepala yang terasa berdenyut. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa tikus-tikus itu tiba-tiba hilang? Siapa yang membersihkan semua itu? PYAAR! Aku melonjak kaget kala kaca di dekat pintu pecah. Jantungku berdetak kencang, bahkan seakan lepas dari sarangnya. "Ya Allah, ada apa ini?" Kupegangi dada yang semakin berdetak tak tentu. Rasa takut yang belum hilang justru bertambah besar. "Siapa itu?" Aku berteriak kala melihat sekelebat bayangan seseorang berlari lalu menghilang keluar pagar rumah. Siapa dia?
Pov Nisa"Apa aku salah meminta perhatian suamiku sendiri, Mas?"Mas Bayu diam tak mampu menjawab pertanyaanku. "Aku tahu, aku hanya istri kedua, tapi aku juga butuh perhatian kamu, Mas."Hening, tak ada jawaban dari suamiku. Dia seakan tenggelam dalam dimensi ruang berbeda. Lalu apa gunanya jika dia di sini sedang pikirannya ke rumah Mbak Hanin. "Kacanya sudah selesai, Bu," ucap tukang jendela seraya melangkah mendekat. "Ini, Pak. Terima kasih." Kuberikan uang untuk jasanya mengganti kaca yang hancur berantakan. Perlahan aku berdiri lalu berjalan meninggalkan Mas Bayu yang masih diam seperti patung. "Nisa, maafkan aku." Mas Bayu menghentikan langkah kakiku. Membalikkan badan, menatap lelaki yang sangat kucintai. Terlalu jatuh cinta hingga aku mau menjadi yang kedua. Sungguh bodohnya aku ini. "Maafkan sudah mengabaikan kamu selama ini. Untuk menebus kesalahanku, hari ini kita makan malam di luar." Mas Bayu menggenggam tanganku. Aku hembuskan napas perlahan, niat hati ingin mar
Pov Nisa"Dia... Dia saudaraku."JLEPUcapan Mas Bayu bagai parang yang langsung menusuk ke jantung. Aku diam seraya menahan bendungan air mata yang sebentar lagi akan bocor atau mungkin roboh. Sakit, sangat sakit hatiku ini. Lelaki yang kucintai justru tak menganggap keberadaanku di muka umum. Dia tak mau mengakuiku sebagai istri keduanya. Roda kehidupanku berubah secepat kilat. Baru saja aku merasa bahagia dengan kebersamaan kami. Namun kini Mas Bayu tega menghancurkan angan indah yang sempat tercipta. Dia tega! "Siapa namanya, Mbak?" tanya seorang wanita yang berdiri di samping Candra. "Nisa, saya saudara Mas Bayu," ucapku sambil menahan getir di dalam dada. Aku mengulurkan tangan pada wanita tersebut. "Saya Anastasya, istri Mas Candra. Kebetulan Mas Candra dan Mas Bayu itu teman lama."Aku hanya menanggapi datar ucapan wanita itu. Bahkan tak satu kata yang mampu kucerna dengan baik. Aku tengah sibuk menata puing-puing hati yang baru saja dihancurkan Mas Bayu. "Maaf suami say
Suara mobil terus terdengar di depan rumah. Aku masih berdiri di depan pintu tapi takut untuk mengintip apa lagi melihatnya. Aku harus bagaimana? Lagi dan lagi pertanyaan itu yang terlintas di kepalaku. Aku tak lagi bisa berpikir jernih. Rasa takut kian mendominasi hingga pikiran menjadi buntu seperti ini. Kaki semakin lemas saat suara mobil terdengar masuk dan berhenti di halaman rumah. Ya Allah... Tolong aku. Samar suara langkah kaki masuk ke indra pendengaran. Aku semakin takut hal yang tak kuinginkan terjadi. "Nisa! Nisa!"Aku bernapas lega mendengar suara Mas Bayu. Setidaknya aku aman karena ada Mas Bayu di rumah. Segera kubuka pintu, kemudian memeluk tubuhnya. Mas Bayu mengernyitkan dahi melihat tingkahku ini. Sebuah lengkungan dibibir tergambar jelas di wajahnya. "Kamu sudah tidak marah lagi, Nis?" Aku segera melepas pelukan Mas Bayu. Aku baru sadar jika tengah marah padanya. Rasa takut membuat aku melupakan kejadian di mall tadi. ***Jarum jam sudah menunjukkan angka
Pov Bayu"Ayah kenapa di sini? Kenapa tidak mengantar Bunda periksa?"Aku terpaku, bingung harus menjawab apa. Di satu sisi aku tak ingin membuat Nisa kecewa. Namun di sisi lain, aku takut Azha marah dan benci padaku. Ya Allah... Memiliki dua istri tak semudah yang kubayangkan. Kupikir aku seperti raja yang dilayani selir dan ratu. Tetapi salah, aku harus pandai menjaga perasaan mereka. Pada dasarnya wanita memiliki sifat yang sulit dimengerti lelaki. "Ini jadwal Bunda periksa? Bukankah biasanya selalu di rumah sakit?" Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan. "Dokternya baru cuti, Yah. Aku periksa ke sini.""Duduk sini, Bun." Aku beranjak berdiri lalu mempersilahkan Hanin duduk karena semua kursi tunggu sudah terisi penuh. Canggung, itu yang kini kurasakan. Aku tak tahu harus berbicara apa dan dengan siapa? Situasi ini yang sangat kubenci. "Azha kita tunggu di luar, yuk. Kita beli es krim.""Ayo, Yah!"Aku menuntun Azha keluar klinik. Sebenarnya aku hanya ingin keluar dari zona
Pov BayuAku tak menyangka Hanin akan mengatakannya. Aku tahu cepat atau lambat Azha dan Alma akan mengetahuinya. Namun apa sekarang waktu yang tepat? "Kenapa harus memanggil Bunda? Mbak Nisa bukan ibuku," tanya Azha heran. Ya Tuhan... Bagaimana jika Azha dan Alma akan membenciku? Bagaimana ini? "Bunda hanya ingin kalian memanggil Mbak Nisa Bunda, apa itu salah?" Azha diam, dia tak mengerti harus menjawab apa. Anak sekecil itu pasti bingung dengan keadaan seperti ini. "Bagiamana, Kak?"Azha menggeleng, seketika wajah Nisa menjadi mendung. Harapan yang sempat tercipta seakan hilang diterjang badai. "Bunda Azha hanya Bunda Hanin, tak ada yang lain."Hanin menghembuskan napas perlahan lalu membawa Azha ke dalam pelukannya. Posisi ini membuat kami serba salah. Kalau bisa memilih, lebih baik pusing memikirkan proyek dari pada terjebak dalam posisi seperti ini. Ibarat mau kentut di depan gebetan. Di tahan tak bisa, dibuang menimbulkan petaka. "Azha mau memanggil Mbak Nisa Umi, bukan
"Nisa," ucapku lirih. "Walailaikumsalam, sini duduk, Nis," jawaban Hanin membuat mereka tersentak. Terkejut atas kedatangan Nisa membuat kami lupa menjawab salam. Meski kami tahu wajib hukumnya. "Untuk apa kamu datang kemari, Nis? Gara-gara kamu Hanin jadi kehilangan anaknya."Mendadak wajah Nisa menjadi pias. Ucapan Mama bagai halilintar yang menyambar hingga ia terkapar tak sadarkan diri. "Nisa tak salah, Ma. Tanpa kehadiran Nisa, Natasya bisa berbuat nekat." Mama diam seketika. "Mbak Hanin sudah baik-baik saja?" Nisa mendekat lalu duduk di samping Hanin. Kedatangan Nisa disituasi seperti ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa? Aku menjadi seba salah. Orang-orang yang hendak pergi justru kembali duduk dan berdiri di tempat masing-masing. Kedatangan Nisa bagai magnet yang menarik perhatian orang. "Aku baik-baik saja, Nis. Ini cewek atau cowok?" Hanin mengelus perut Hanin yang membukit. "Cowok, Mbak, seperti Kak Azha dan Kak Ali."Astagfirullah... Aku sampai tak tahu apa
Pov BayuEntah apa yang akan kukatakan kepada Hanin? Jujur pasti menyakitkan tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya rangkaian kata agar kebenaran yang akan aku sampaikan tak sampai menggores hatinya terlalu dalam. "Mas...," panggilnya lirih. Aku menoleh lalu tersenyum ke arahnya. "Anak-anak di mana?" "Mereka ada di kamar inap khusus anak-anak, ditemani Bunda dan Ayah."Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Biasanya ibu setelah melahirkan akan menanyakan bayi yang ia lahirkan. Namun tidak dengan Hanin. Dia justru menanyakan kabar anak-anak terlebih dahulu. "Kamu heran kenapa aku tak bertanya bayiku?" Aku mengangguk, Hanin seolah mampu membaca pikiranku. "Aku tahu bayi kita meninggal, Mas. Saat di sekap pergerakannya di dalam perut sudah berbeda. Ditambah saat membuka mata bayi mungil itu tak ada di kamar ini. Benar, kan, Mas tebakanku?" ucapnya dengan linangan air mata membasahi pipi. Tanpa diminta kupeluk dia. Kutenangkan tangisnya dalam dekapanku. Ini adalah kabar buruk ba
"Pak Bayu ditunggu dokter di depan ruang operasi.""Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Sus?""Dokter yang akan menyampaikan," ucapnya pelan. Perasaanku semakin tak, tapi aku tidak ingin berpikir buruk. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Aku melangkah mengikuti suster itu. Dari kejauhan sudah terlihat dokter yang duduk tepat di depan ruang operasi. Mendadak jantung dipacu lebih cepat. Perasaan semakin tak karuan. Ya Allah... Semoga ini bukan berita buruk. "Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" cecarku. Dokter yang menangani Hanin menghembuskan napas perlahan. Seakan ada beban berat yang masih ia tanggung di pundak. Ya Robb ... Jangan berikan aku cobaan yang berat. Aku tak akan sanggup kehilangan mereka. "Alhamdulillah Ibu Hanin dapat melewati operasi dengan baik. Saat ini beliau masih dalam pengaruh obat bius. Namun semuanya normal. Tinggal menunggu beliau sadarkan diri."Aku bernapas lega, seakan beban yang kutanggung di pundak jatuh di
Setelah hampir satu jam akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta. Dengan cepat kami membopong tubuh Hanin menuju ruang IGD. "Suster ... Dokter!" teriakku lantang. Seorang suster dengan cepat membuka pintu ruang IGD. Perlahan kurebahkan tubuh Hanin di atas brankar. "Kenapa ini, Pak?" tanya Dokter berkacamata itu.Aku memberikan surat rujukan dari klinik Permata Hati. Kuceritakan juga kejadian yang menimpa Hanin hingga akhirnya ketubannya pecah dan tak sadarkan diri. "Suster siapkan ruang operasi. Telepon dokter bedah, dokter kandungan, dokter anastesi. Pasien harus segera dioperasi."Seorang suster segera menelepon dokter yang dimaksud. "Suster, pasang infuse, cek HB, pasien." Seorang suster dengan sigap memasang infus di tangan kiri Hanin. Aku hanya diam sembari terus berdoa. "Bapak tolong bawa ke administrasi. Tanda tangani surat izin untuk operasi." Aku mengangguk, dengan cepat berlari menuju bagian pendaftaran. Suasana rumah sakit terbilang sepi. Maklum saja
"Aku... Aku...." Aku tak mampu melanjutkan kata-kata ini. Mulut ini mendadak kelu. Bagaimana aku bisa mengatakan cerai jika hati dan hidupku untuknya? "Aw... Sakit." Cairan bening keluar dari pangkal paha Hanin merembes hingga ke lantai. Hanin luruh di lantai, dia tak sadarkan diri."Hanin!" Aku berlari menuju ke arah istriku, tak kuhiraukan pisau yang masih dipegang oleh Natasya. Keselamatan Hanin dan anak kami jauh lebih penting. "Lepas! Lepaskan aku!"Pingsannya Hanin membuat konsentrasi Natasya terpecah, dengan mudah ia diringkus oleh dua orang polisi. PLAAK! "Wanita tak tahu malu, mulai sekarang pertunangan kita batal. Jangan tunjukkan wajah kamu di hadapanku lagi!" maki Raffi. Aku mendengar tapi enggan menoleh, pikiranku hanya tertuju pada Hanin. Polisi segera menyeret Natasya keluar. "Tolong, Pak."Pak Burhan dan seorang polisi membantuku mengangkat tubuh Hanin. Cairan bening masih saja keluar hingga membasahi gamis yang ia kenakan. Dalam hati terus berdoa semoga Allah
Pov Bayu"Natasya!" Raffi terkejut bukan main. Adikku tak menyangka jika kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Orang yang ia cinta dan perjuangkan justru menyakiti kakak iparnya. "Angkat tangan! Kalian sudah dikepung!" teriak Pak Burhan saraya menodongkan pistol ke arah mereka. Sontak dua lelaki dan Natasya mengangkat tangan ke atas. Pisau yang sempat dipegang lepas dari tangannya. "Ayah!" teriak Azha dan Alma. Kedua anakku melepas tangan Hanin, mereka hendak berjalan ke arah kami. "Azha, Alma tunggu, Nak," teriak Hanin sambil berusaha menarik tangan anak-anak. Namun mereka berhasil sampai di tengah-tengah ruangan. Seorang lelaki dengan perut buncit berjalan mendekat ke arah anak-anak. Jantungku seakan berhenti berdetak. Rasa takut kian memenuhi pikiran ini. "Azha, Alma mundur!" DOR! Satu buah timah panas mendarat tepat di kaki kanan lelaki dengan perut buncit itu. Lelaki itu tersungkur dengan darah segar mengucur dari betisnya. Untung saja Pak Burhan menembak tepat wak
"Kukira kamu sudah menjelaskannya. Dia ikut dalam misi penting ini membuat aku yakin jika kamu sudah mengatakan siapa dalangnya, Bayu.""Dalang apa, Mas? Apa hubungannya dengan Natasya?" Raffi mencekal tanganku, tatapannya meminta sebuah penjelasan dariku. Aku mengatur napas, mengumpulkan pasokan oksigen agar aku bisa berpikir dengan jernih. Ah, lebih tepatnya supaya bisa mencari jawaban dengan tepat. "Natasya adalah dalang penculikan Hanin dan tindakan keji pada Nisa.""Tidak! Ini tidak mungkin, Natasya tidak mungkin sejahat itu, Mas. Dia itu calon istri aku, bukan penculik seperti yang Mas Bayu katakan." Raffi menggelengkan kepala. Sorot matanya tak mempercayai ucapanku. Ini wajah, karena aku juga sempat tak percaya hingga perlahan Tuhan membuka tabir gelap yang ia sembunyikan. "Aku harus meminta penjelasan dari Natasya, dia pasti bukan penculiknya. Mas Bayu pasti salah orang." Raffi merogoh saku celananya. Dengan cepat jemarinya menari di atas layar ponsel. Ini tidak bisa dibi
Pov BayuNatasya kembali berjalan menuju mobilnya berada. Seketika jantungku berdetak kencang. Rasa takut kian besar kala jarak ke mobil semakin dekat. "Ya Tuhan, bagaimana ini?""Lho, Mas, kenapa mobilnya tidak dikunci?" tanyanya saat melihat kunci menggantunung di luar pintu. Natasya semakin mempercepat langkah kakinya. Mendadak kakiku lemas, sudah pasti rencana kami gagal. Ya Tuhan, aku pasrah dengan rencanaMu"Ya, ampun, Mas. Pintu dibuka dengan kunci menggantung, kalau mobilku sampai hilang bagaimana?" Natasya berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Sudut bibirku tertarik ke atas. Ternyata ketakutanku hilang. Pak Burhan bisa menyelesaikan tugas tepat waktu. Andai ia terlambat lima menit saja, sudah pasti semua akan hancur berantakan. "Mas Bayu malah bengong! Aku sedang ngomong lho, kenapa kunci di luar?""Itu karena aku khawatir dengan kamu, Nat. Aku membuka pintu lalu kembali ke restoran. Aku takut kamu kenapa-napa," dustaku. Kubuat wajah khawatir agar wanita itu percaya
"Tentang perceraian itu? Mas Bayu akan menceraikan Mbak Hanin, kan? Mas memilih berpisah dari pada melihat mereka tersiksa?" ucap Natasya dengan wajah berbinar. Dia seolah bahagia dengan perceraian yang terjadi antara aku dan Hanin. Apa jangan-jangan benar, dia dalang penculikan itu. Aku memang ragu dengan perkataan Syahla, tak mungkin Natasya sekejam itu. Namun melihat ekspresinya membuatku yakin,. Natasya-lah biang kerok masalah ini. "Apa kamu yakin dengan perceraian, mereka akan kembali? Penculik itu tak akan menyiksa Hanin dan anak-anak?" Aku mengatur napas yang terasa kian sesak. Meski aku tahu ini hanya sandiwara tapi kata cerai yang terucap begitu menyayat hati. Bagaimana aku bisa berkata cerai jika namanya terpatri di sanubari. "Aku yakin dia akan membebaskan Mbak Hanin dan anak-anak setelah Mas Bayu mengajukan gugatan cerai dan surat perjanjian tak akan rujuk dengan Mbak Hanin lagi." Aku menautkan dua alis mendengar ucapan Natasya. Surat perjanjian apa gang ia maksud? "S