Pov NisaPLAAK! PLAAK! Dua tamparan Mbak Syahla hadiahkan padaku. Entah setan apa yang merasuki mereka hingga tiba-tiba datang lalu menampar pipiku. "Ada apa, ya, Mbak? Kenapa saya ditampar?" tanyaku sambil memegangi pipi yang terasa panas dengan gambar tangan terlukis di sana. "Kamu tanya salah kamu di mana? Kamu lupa atau pura-pura lupa?"Aku menggeleng, sama sekali tak mengerti maksud dan arah pembicaraan mereka. Bukankah seharusnya mereka berada di rumah sakit? Tapi kenapa justru dia pulang lalu menamparku? Ada apa ini? "Bagaimana keadaan Mbak Hanin, Mbak? Dia baik-baik saja, kan? Apa Mbak Hanin masih diperjalanan?" PLAAK! Lagi tangan kanan Mbak Syahla melayang mengenai pipi kiriku. Rasa nyeri yang belum sembuh, kini justru kian terasa menyiksa. Entah apa salahku? "Mbak jangan main tampar seenaknya, saya tidak mengerti letak salah saya di mana?"Mbak Syahla tersenyum sinis, matanya bak elang yang siap mencengkeram mangsa. "Aku tak menyangka wanita yang kukira alim justru
Pov HaninMembuka mata perlahan saat sinar matahari yang masuk melalui celah jendela menyilaukanku. Kupindai setiap sudut ruangan yang bernuansa putih. Ternyata aku masih di rumah sakit setelah insiden semalam. Bunda duduk di kursi tepat di samping ranjang yang kutempati. Beliau masih berada di alam mimpi, pasti semalaman tak bisa tidur karena menjagaku. Perlahan kusentuh kepalanya yang berbalut hijab. Seketika ia menggeliat lalu tersenyum kala menatapku. "Kamu sudah sadar,Nin?" tanya Bunda. Wanita yang telah melahirkanku itu membenarkan posisi duduk lalu mengelus tangan kananku. "Aku sudah tidak apa-apa,Bun.""Masih sesak atau gatal, Nin?" Bunda mengelus pucuk kepalaku. "Mau Bunda panggilkan,Dokter?" tanyanya lagi. Bunda begitu mengkhawatirkan diriku."Hanin tidak apa-apa,Bunda." Kuberi seulas senyuman. "Boleh minta ambilkan air putih, Bun? Hanin haus." Bunda mengangguk lalu mengambilkan air putih di atas nakas, tepat di sebelahku. "Mas Bayu mana, Bun?" tanyaku. "Bayu menjempu
Pov HaninSorak gembira terdengar kala kaki melangkah masuk. Sambil berlari Azha dan Alma manggil namaku. Rindu yang sempat menyiksa diri seketika terobati. Kehadiran mereka mengurangi rasa canggung yang sempat mendera. "Kamu...!" ucap Mama kala melihat Nisa. Wajah yang semula ceria mendadak muram. "Sayang main dengan Bi Leha sama tante Natasya dulu, ya," pintaku saat melihat tunangan Raffi keluar dari balik tembok. Seolah mengerti keadaan, Natasya dengan cepat mengajak Azha dan Alma ke ruang keluarga. Satu persatu orang telah duduk di sofa ruang tamu. Mendadak ketegangan muncul. "Mbak Hanin sudah baikan?" tanya Nisa memecah keheningan. "Alhamdulillah seperti yang kamu lihat, Nis. Aku sudah baik-baik saja." Kuberikan seulas senyum, berharap rasa bersalah Nisa menghilang. "Mau apa kamu kemari, Nis? Belum cukup apa yang kamu lakukan kepada Nisa?" tanya Mama dengan sorot mata tajam, mengintimidasi. "Sa-saya i-ingin menjenguk Mbak Hanin, Ma," jawab Nisa terbata. "Mama kecewa denga
CIITT ....BRUUG....Spontan kuinjak pedal rem,seketika mobil yang kukemudikan berhenti. Beruntung aku dapat menghentikan laju kendaraan ini tepat waktu. Kalau tidak,sudah pasti akan terjadi kecelakaan beruntun. Astagfirullah ....Kuelus dada yang terasa bergetar,belum lagi kaki yang lemas karena melihat kecelakaan di depan mata. Aku bersyukur Allah masih memberiku keselamatan. Berangat tanpa izin suami membuatku mendapatkan halangan sebesar ini. Ya Allah ... ampuni karena aku tak meminta izin terlebih dahulu. Namun semua demi kebaikan kami bersama.Beberapa saat aku harus menunggu hingga datang polisi membantu mengatur jalan yang sempat berhenti karena terjadi kecelakaan tunggal tersebut. Mobil kulajukan perlahan meninggalkan tempat kejadian. Aku membawa mobil dengan hati-hati,takut kejadian yang kulihat baru saja menimpa diri ini.Mobil kuhentikan di depan rumah Nisa. Seperti yang kubayangkan,mobil Mas Bayu sudah terparkir rapi di carport. Aku segera keluar dan berjalan ke rumah. S
“Bangun,Nis ... Nisa!” Kugoyang-goyangkan tubuh Nisa,tapi dia masih diam saja.“Ya Allah,Nis ... kenapa kamu bisa seperti ini? Kenapa kamu tak bilang jika sedang sakit,” ucapku lirih.Aku menoleh, tapi Mas Bayu belum juga naik ke atas.apa sih yang ia lakukan hingga lama sekali. “Mas Bayu!Mas!” teriakku lagi.Perlahan terdengar suara langkah kaki kian mendekat,aku yakin Mas Bayu akan naik ke atas.“Ya Allah,Nin ... Nisa kenapa?” tanyanya lalu berjalan mendekat.“Diangkat dulu,Mas.” Mas Bayu mengangguk lalu membopong tubuh Nisa dan merebahkan di atas ranjang.“Nisa kenapa,Nin?” tanyanya lagi.“Aku tidak tahu,Mas, saat naik Nisa sudah seperti tadi.” Aku mendekat ke arah meja rias, kucari minyak kayu putih. Namun nihil,tak ada benda yang kubutuhkan untuk membangunkan Nisa yang masih pingsan. Kupindai setiap sudut ruangan,berharap menemukan kota obat. “Minyak kayu putih di mana,sih,Mas?” “Sebentar,aku carikan.”Mas Bayu membuka laci yang ada di meja rias dan nakas,tapi benda kecil itu
Nada dering panggilan masuk mengusik waktu istirahatku. Perlahan aku mengubah posisi tubuh. Kusandarkan punggung di sandaran ranjang lalu segera mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Foto profil Alma dam Azha terlihat di layar ponsel. Tumben Mas Bayu menghubungiku di jam kerja? Biasanya ia jarang menyentuh ponsel saat bekerja. "Ada apa, Mas?""Sudah jemput Alma?"Aku melirik benda bulat yang menempel di dinding, masih pukul sepuluh. Ini belum jam Alma pulang sekolah."Belum, Mas. Masih jam 11 jemput Alma memangnya kenapa?""Kamu pengen rujak es krim gak, Nin?" Aku tersenyum dengan perhatian yang Mas Bayu berikan. Dia tahu saja jika ibu hamil menyukai sesuatu yang segar, rujak misalnya. "Mau, Mas. Siang-siang paling enak makan rujak, ditambah es krim lagi. Duh nikmatnya."Aku mulai membayangkan berbagai jenis buah yang diparut lalu disiram sambal, dan diberi es krim. Campuran manis, asam, pedas dan dingin melebur manjadi satu hingga menciptakan sensasi tersendiri dalam li
"Bunda kok lama?" "Maaf, Sayang. Kita pulang sekarang, ya."Mobil mulai kulajukan meninggalkan halaman rumah Nisa. Beberapa kali aku beristigfar dalam hati. Kutekan amarah yang ada dalam dada. Apa mungkin benar kata orang jika semua istri kedua selalu menginginkan menjadi istri satu-satunya? Ah, kurasa Nisa tak seperti itu. "Es krimnya sudah mencair, Bunda!" "Tapi masih dingin kok, Kak." "Bunda sih kelamaan di rumah Mbak Nisa." Alma semakin merajuk saat es krim dalam rujak itu telah menyatu dengan sambal dan parutan buah."Alma kenapa, Sayang?" tanya Syahla yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang kami. "Es krim Alma mencair, tante," rengek Alma sambil meneteskan air mata. "Nih, tante bawain es krim coklat kesukaan Alma.""Hore! Hore!" Alma melonjak kegirangan lalu memeluk tubuh Syahla erat. Setelah mendapatkan es krim kesukaannya, Alma langsung masuk kamar. Dia tinggalkan aku dan Syahla di ruang keluarga. Kulirik wanita yang duduk di sampingku. Dia menatapku dengan sorot mata
Pov BayuMengusap wajah kasar seraya merutuki diri sendiri. Bisa-bisanya aku salah bicara. Harusnya aku tak membandingkan Hanin dan Nisa. Jelas-jelas mereka dua orang yang berbeda, dan aku beruntung memiliki keduanya. Tidak bisa dipungkiri setelah menghisap madu Nisa,membuatku selalu merindukan kehangatannya. Dia bagai candu. Bodohnya akku kenapa justru memuji Nisa di depan Hanin. Setiap wanita pasti memiliki perasaan cemburu dan tak rela jika suaminya memuji wanita lain. Namun kenapa justru aku lakukan? Bodoh! Bodoh! "Sayang, tolong maafkan Mas. Mas tidak sengaja mengatakan itu semua."Perlahan kusentuh pundak Hanin yang tidur membelakangiku. Namun secepat kilat dia menepis tangan ini. "Tidur saja di rumah Nisa!"Aku membuang napas kasar. Dengan langkah gontai aku berjalan meninggalkan Hanin. Mungkin tidur di kamar Azha lebih baik dibanding melihat Hanin dengan wajah masam. Dengan hati-hati kurebahkan tubuh ini di samping Azha. Putra pertamaku menggeliat lalu menggeser tubuhnya.
"Nisa," ucapku lirih. "Walailaikumsalam, sini duduk, Nis," jawaban Hanin membuat mereka tersentak. Terkejut atas kedatangan Nisa membuat kami lupa menjawab salam. Meski kami tahu wajib hukumnya. "Untuk apa kamu datang kemari, Nis? Gara-gara kamu Hanin jadi kehilangan anaknya."Mendadak wajah Nisa menjadi pias. Ucapan Mama bagai halilintar yang menyambar hingga ia terkapar tak sadarkan diri. "Nisa tak salah, Ma. Tanpa kehadiran Nisa, Natasya bisa berbuat nekat." Mama diam seketika. "Mbak Hanin sudah baik-baik saja?" Nisa mendekat lalu duduk di samping Hanin. Kedatangan Nisa disituasi seperti ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa? Aku menjadi seba salah. Orang-orang yang hendak pergi justru kembali duduk dan berdiri di tempat masing-masing. Kedatangan Nisa bagai magnet yang menarik perhatian orang. "Aku baik-baik saja, Nis. Ini cewek atau cowok?" Hanin mengelus perut Hanin yang membukit. "Cowok, Mbak, seperti Kak Azha dan Kak Ali."Astagfirullah... Aku sampai tak tahu apa
Pov BayuEntah apa yang akan kukatakan kepada Hanin? Jujur pasti menyakitkan tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya rangkaian kata agar kebenaran yang akan aku sampaikan tak sampai menggores hatinya terlalu dalam. "Mas...," panggilnya lirih. Aku menoleh lalu tersenyum ke arahnya. "Anak-anak di mana?" "Mereka ada di kamar inap khusus anak-anak, ditemani Bunda dan Ayah."Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Biasanya ibu setelah melahirkan akan menanyakan bayi yang ia lahirkan. Namun tidak dengan Hanin. Dia justru menanyakan kabar anak-anak terlebih dahulu. "Kamu heran kenapa aku tak bertanya bayiku?" Aku mengangguk, Hanin seolah mampu membaca pikiranku. "Aku tahu bayi kita meninggal, Mas. Saat di sekap pergerakannya di dalam perut sudah berbeda. Ditambah saat membuka mata bayi mungil itu tak ada di kamar ini. Benar, kan, Mas tebakanku?" ucapnya dengan linangan air mata membasahi pipi. Tanpa diminta kupeluk dia. Kutenangkan tangisnya dalam dekapanku. Ini adalah kabar buruk ba
"Pak Bayu ditunggu dokter di depan ruang operasi.""Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Sus?""Dokter yang akan menyampaikan," ucapnya pelan. Perasaanku semakin tak, tapi aku tidak ingin berpikir buruk. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Aku melangkah mengikuti suster itu. Dari kejauhan sudah terlihat dokter yang duduk tepat di depan ruang operasi. Mendadak jantung dipacu lebih cepat. Perasaan semakin tak karuan. Ya Allah... Semoga ini bukan berita buruk. "Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" cecarku. Dokter yang menangani Hanin menghembuskan napas perlahan. Seakan ada beban berat yang masih ia tanggung di pundak. Ya Robb ... Jangan berikan aku cobaan yang berat. Aku tak akan sanggup kehilangan mereka. "Alhamdulillah Ibu Hanin dapat melewati operasi dengan baik. Saat ini beliau masih dalam pengaruh obat bius. Namun semuanya normal. Tinggal menunggu beliau sadarkan diri."Aku bernapas lega, seakan beban yang kutanggung di pundak jatuh di
Setelah hampir satu jam akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta. Dengan cepat kami membopong tubuh Hanin menuju ruang IGD. "Suster ... Dokter!" teriakku lantang. Seorang suster dengan cepat membuka pintu ruang IGD. Perlahan kurebahkan tubuh Hanin di atas brankar. "Kenapa ini, Pak?" tanya Dokter berkacamata itu.Aku memberikan surat rujukan dari klinik Permata Hati. Kuceritakan juga kejadian yang menimpa Hanin hingga akhirnya ketubannya pecah dan tak sadarkan diri. "Suster siapkan ruang operasi. Telepon dokter bedah, dokter kandungan, dokter anastesi. Pasien harus segera dioperasi."Seorang suster segera menelepon dokter yang dimaksud. "Suster, pasang infuse, cek HB, pasien." Seorang suster dengan sigap memasang infus di tangan kiri Hanin. Aku hanya diam sembari terus berdoa. "Bapak tolong bawa ke administrasi. Tanda tangani surat izin untuk operasi." Aku mengangguk, dengan cepat berlari menuju bagian pendaftaran. Suasana rumah sakit terbilang sepi. Maklum saja
"Aku... Aku...." Aku tak mampu melanjutkan kata-kata ini. Mulut ini mendadak kelu. Bagaimana aku bisa mengatakan cerai jika hati dan hidupku untuknya? "Aw... Sakit." Cairan bening keluar dari pangkal paha Hanin merembes hingga ke lantai. Hanin luruh di lantai, dia tak sadarkan diri."Hanin!" Aku berlari menuju ke arah istriku, tak kuhiraukan pisau yang masih dipegang oleh Natasya. Keselamatan Hanin dan anak kami jauh lebih penting. "Lepas! Lepaskan aku!"Pingsannya Hanin membuat konsentrasi Natasya terpecah, dengan mudah ia diringkus oleh dua orang polisi. PLAAK! "Wanita tak tahu malu, mulai sekarang pertunangan kita batal. Jangan tunjukkan wajah kamu di hadapanku lagi!" maki Raffi. Aku mendengar tapi enggan menoleh, pikiranku hanya tertuju pada Hanin. Polisi segera menyeret Natasya keluar. "Tolong, Pak."Pak Burhan dan seorang polisi membantuku mengangkat tubuh Hanin. Cairan bening masih saja keluar hingga membasahi gamis yang ia kenakan. Dalam hati terus berdoa semoga Allah
Pov Bayu"Natasya!" Raffi terkejut bukan main. Adikku tak menyangka jika kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Orang yang ia cinta dan perjuangkan justru menyakiti kakak iparnya. "Angkat tangan! Kalian sudah dikepung!" teriak Pak Burhan saraya menodongkan pistol ke arah mereka. Sontak dua lelaki dan Natasya mengangkat tangan ke atas. Pisau yang sempat dipegang lepas dari tangannya. "Ayah!" teriak Azha dan Alma. Kedua anakku melepas tangan Hanin, mereka hendak berjalan ke arah kami. "Azha, Alma tunggu, Nak," teriak Hanin sambil berusaha menarik tangan anak-anak. Namun mereka berhasil sampai di tengah-tengah ruangan. Seorang lelaki dengan perut buncit berjalan mendekat ke arah anak-anak. Jantungku seakan berhenti berdetak. Rasa takut kian memenuhi pikiran ini. "Azha, Alma mundur!" DOR! Satu buah timah panas mendarat tepat di kaki kanan lelaki dengan perut buncit itu. Lelaki itu tersungkur dengan darah segar mengucur dari betisnya. Untung saja Pak Burhan menembak tepat wak
"Kukira kamu sudah menjelaskannya. Dia ikut dalam misi penting ini membuat aku yakin jika kamu sudah mengatakan siapa dalangnya, Bayu.""Dalang apa, Mas? Apa hubungannya dengan Natasya?" Raffi mencekal tanganku, tatapannya meminta sebuah penjelasan dariku. Aku mengatur napas, mengumpulkan pasokan oksigen agar aku bisa berpikir dengan jernih. Ah, lebih tepatnya supaya bisa mencari jawaban dengan tepat. "Natasya adalah dalang penculikan Hanin dan tindakan keji pada Nisa.""Tidak! Ini tidak mungkin, Natasya tidak mungkin sejahat itu, Mas. Dia itu calon istri aku, bukan penculik seperti yang Mas Bayu katakan." Raffi menggelengkan kepala. Sorot matanya tak mempercayai ucapanku. Ini wajah, karena aku juga sempat tak percaya hingga perlahan Tuhan membuka tabir gelap yang ia sembunyikan. "Aku harus meminta penjelasan dari Natasya, dia pasti bukan penculiknya. Mas Bayu pasti salah orang." Raffi merogoh saku celananya. Dengan cepat jemarinya menari di atas layar ponsel. Ini tidak bisa dibi
Pov BayuNatasya kembali berjalan menuju mobilnya berada. Seketika jantungku berdetak kencang. Rasa takut kian besar kala jarak ke mobil semakin dekat. "Ya Tuhan, bagaimana ini?""Lho, Mas, kenapa mobilnya tidak dikunci?" tanyanya saat melihat kunci menggantunung di luar pintu. Natasya semakin mempercepat langkah kakinya. Mendadak kakiku lemas, sudah pasti rencana kami gagal. Ya Tuhan, aku pasrah dengan rencanaMu"Ya, ampun, Mas. Pintu dibuka dengan kunci menggantung, kalau mobilku sampai hilang bagaimana?" Natasya berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Sudut bibirku tertarik ke atas. Ternyata ketakutanku hilang. Pak Burhan bisa menyelesaikan tugas tepat waktu. Andai ia terlambat lima menit saja, sudah pasti semua akan hancur berantakan. "Mas Bayu malah bengong! Aku sedang ngomong lho, kenapa kunci di luar?""Itu karena aku khawatir dengan kamu, Nat. Aku membuka pintu lalu kembali ke restoran. Aku takut kamu kenapa-napa," dustaku. Kubuat wajah khawatir agar wanita itu percaya
"Tentang perceraian itu? Mas Bayu akan menceraikan Mbak Hanin, kan? Mas memilih berpisah dari pada melihat mereka tersiksa?" ucap Natasya dengan wajah berbinar. Dia seolah bahagia dengan perceraian yang terjadi antara aku dan Hanin. Apa jangan-jangan benar, dia dalang penculikan itu. Aku memang ragu dengan perkataan Syahla, tak mungkin Natasya sekejam itu. Namun melihat ekspresinya membuatku yakin,. Natasya-lah biang kerok masalah ini. "Apa kamu yakin dengan perceraian, mereka akan kembali? Penculik itu tak akan menyiksa Hanin dan anak-anak?" Aku mengatur napas yang terasa kian sesak. Meski aku tahu ini hanya sandiwara tapi kata cerai yang terucap begitu menyayat hati. Bagaimana aku bisa berkata cerai jika namanya terpatri di sanubari. "Aku yakin dia akan membebaskan Mbak Hanin dan anak-anak setelah Mas Bayu mengajukan gugatan cerai dan surat perjanjian tak akan rujuk dengan Mbak Hanin lagi." Aku menautkan dua alis mendengar ucapan Natasya. Surat perjanjian apa gang ia maksud? "S