Pov BayuTak berapa lama terdengar suara pintu diketuk dari luar. Aku lekas berdiri, berjalan ke arah pintu lalu membukanya. Menautkan dua alis ketika melihat Pak Burhan berada di depanku seorang diri. Apa kasus ini ditangani oleh beliau? Tapi bukankah beliau mau pensiun? Lagi dan lagi kepalaku dipenuhi tanda tanya. "Boleh saya masuk, Pak Bayu?" tanyanya menyentakku dari lamunan. Malu, ternyata aku justru melamun, memikirkan berbagi praduga hingga mengabaikan tamu di depan mata. "Silakan, Pak." Kupersilakan Pak Burhan duduk di sofa. "Maaf, ada perlu apa Pak Burhan datang kemari?" tanyaku pelan. "Saya tidak diberi minum, Pak? Hehehe... Percakapan kita akan panjang.""Astaghfirullah, maaf, Pak saya lupa."Dengan cepat aku menghubungi OB untuk membuatkan dua cangkir kopi dan mengirimkannya ke ruanganku. "Apa ini menyangkut kasus istri saya, Pak? Mungkin Pak Burhan yang menanganinya?" ucapku langsung setelah menjatuhkan bobot tepat di sebelah kiri Pak Burhan. "Saya tidak menangani
POV HANINDeru suara mobil terdengar memasuki halaman rumah. Perlahan aku berjalan menuju teras. Kusambut lelaki yang baru saja datang dari bekerja,berjuang untuk memenuhi kebutuhan kami. Aku selalu berdoa kepada Illahi Robbi agar lelah yang ia rasakan menjadi ladang pahala di mata Sang Pencipta.“Assalamualaikum,Mas,”ucapku saat Mas Bayu berjalan melewatiku tanpa mengucapkan salam apa lagi mencium kening ini.“Ya Allah ... maaf,Dek Mas tidak lihat kamu,” ucapnya seraya membalikkan badan kemudian berjalan mendekatiku yang ada di depan pintu.Apa aku seperti semut yang tak terlihat dalam jarak satu meter? Hingga ia tak mampu melihat wanita dengan perut membukit seperti ini. Atau Mas Bayu tengah melamun hingga tak sadar ada orang yang menantinya di teras depan. Ya mungkin dia sedang memikirkan masalah kantor yang begitu banyak.“Mas Bayu mau mandi atau minum kopi dulu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.“Mandi dulu saja,Nin.” Mas Bayu melangkah menuju kamar di lantai bawah. Kamar tamu ya
"Hu hu hu, Ayah gak mau ke alun-alun, Bun?" Alma menangis sambil memeluk tubuhku. Aku harus bagaimana? Tubuhku saja mudah lelah, tak mungkin mengajak Azha, Alma dan Ali hanya ditemani Bi Leha. Aku tidak akan kuat. "Lho, Alma kenapa menangis?" tanya Natasya yang tiba-tiba berada di belakangku. Alma memeluk tubuh Natasya, ia curahkan isi hatinya. Tangisnya kian menjadi saat menceritakan penolakan ayahnya. "Nanti ke alun-alun sama Om dan Tante, ya? Sekarang Alma ganti baju dulu. Jangan lupa minta Kak Azha ganti baju juga, kita pergi sama-sama," ucap Natasya seraya mengelus surai hitam putriku. Alma melompat sambil berteriak senang. Air mata yang menetes lenyap seketika, kini hanya tawa yang memenuhi ruangan ini. Sesederhana kebahagiaan mereka, andai Mas Bayu sedikit mengalah, mungkin tak akan ada drama. "Raffi mana, Nat?" Kepalaku berputar, mencari sosok adik ipar yang belum nampak batang hidungnya. "Masih di luar, Mbak. Maaf tadi aku masuk begitu saja.""Tak apa, anggap saja ruma
Pov Hanin"Astagfirullah ... Kamu diancam, Nin?" Mas Bayu menjatuhkan tubuh di sofa ia usap kasar wajahnya. Bukan hanya dia yang panik dan bingung aku pun demikian. Ancaman ini tidak main-main. Pelaku berniat mencelakai aku dan Nisa. Dia menyerang mental dan fisik kami. Dalam ancamannya ia selalu meminta kami meninggalkan Mas Bayu. Apa dalang ini ada sangkut pautnya dengan masa lalu suamiku? Tak heran jika Mas Bayu disukai banyak kaum hawa. Bukan hanya rupa yang tampan, ia juga memiliki tubuh atletis serta kekayaan yang membuat wanita tergila-gila padanya. Hingga akhirnya orang itu berbuat nekat seperti ini. Perlahan aku menggeser tubuh hingga semakin dekat dengan Mas Bayu. "Ada yang ingin aku tanyakan, Mas." Mas Bayu mendongkakkan kepala lalu menatapku penuh dengan tanda tanya. "Apa, Nin? Jangan tanya dalang semua ini, aku sendiri tidak tahu siapa yang berbuat segila ini. Satu yang pasti, bukti screenshot harus dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Besok sebelum berangkat ke ka
Pov HaninAku menautkan alis membaca pesan darinya. Hal penting apa yang ia maksud? [Aku di rumah, La. Kamu langsung ke rumah saja, ya. Aku sedang tak enak badan.]Pesan sudah centang dua berwarna biru tapi Syahla tak kunjung mengirim balasan. Katanya ada hal penting, tapi ia tak kunjung menjawab. Aneh. Aku coba mengubungi nomor Syahla, tersambung tapi tak kunjung ia angkat. Apa ia masih sibuk? Tapi kenapa minta bertemu? [Aku tak bisa ke sana, Nin. Di sana banyak mata-mata. ]Mata-mata... apa maksud pesan Syahla? Dan siapa mata-mata yang ia maksud. Aku semakin bingung dam pusing dengan teka-teki ini. Tangan ini segera menari di layar ponsel, menanyakan maksud pesan terakhir yang baru saja ia kirim padaku. Namun belum sempat aku menekan tombol kirim, dua pesan dari Syahla kembali masuk ke aplikasi ini. [Ini tentang peneror keluarga kamu, Nin. Aku tidak bisa menjelaskan di sana. Itu terlalu berbahaya.][Peneror itu adalah orang terdekat kamu. Kemari tapi tolong sendirian, jangan ad
Mata awas melihat sekeliling, mencari seseorang yang bisa kutanyai. Namun hingga sepuluh menit di sini, tak ada orang yang lewat. Mendadak rasa takut memenuhi isi kepalaku. Pikiran buruk datang silih berganti. Jangan-jangan aku tertipu, yang menghubungiku bukan Syahla tapi peneror itu. Ya Allah, kenapa aku bodoh sekali? Harusnya aku tak mudah percaya. Syahla pasti menelepon, bukan justru memintaku datang ke tempat sepi begini. Aku segera berjalan menuju mobil, pulang ke rumah adalah pilihan terbaik. Namun langkahku terhenti kala melihat seorang bapak menggendong karung berisi rumput berjalan mendekat ke arahku. "Ibu ngapain di sini? Ini sudah sore," ucapnya begitu ramah. "Arah ke kota di mana, ya, Pak? Sinyalnya tiba-tiba hilang, saya tidak tahu arah."Lelaki itu menunjuk arah ke belakang, aku segera membalikkan badan, mengikuti gerakan tangan bapak itu. "lurus saja, nanti setelah mentok belok ke kanan.""Terima kasih...."Aku tak bisa melanjutkan ucapan kala sebuah sapu tangan
"Tenang, aku tak akan melakukannya padamu, Nyonya Bayu." Lelaki itu membalikkan badan kemudian pergi setelah mengunci pintu kamar ini. Kami kembali terkurung dalam ruangan ini. Beruntung ada kamar mandi di dalam kamar ini, kalau tidak ... Aku tak bisa membayangkan akan jadi seperti apa. Mengandung di trimester ketiga membuat aku sering buang air kecil. "Kamu mengenalnya, Nin?" tanya Syahla dengan tatapan penuh tanda tanya. "Lelaki itu yang sudah memperkosa Nisa beberapa hari yang lalu.""A-apa! Diperkosa? Aku tidak salah dengar, kan?"Aku mulai menceritakan kronologi pemerkosaan yang Nisa alami. Bahkan pesan ancaman yang beberapa hari lalu menimpaku. Semua tak luput kuceritakan padanya. "Kamu juga diancam, Nin?" tanya Syahla lagi. "Iya, dan itu yang membuat Mas Bayu melarangku keluar rumah tanpa pengawal. Bodohnya... Aku justru datang kemari seorang diri. Ini namanya aku masuk ke mulut buaya, La.""Selama kamu menjadi istri Bayu, baru kali ini kamu mendapatkan ancaman lalu diculi
Pov Bayu"Ibu mana, Bi?" tanyaku kala melihat mobil Hanin tak ada di halaman rumah. Bahkan aku tak melihat istriku. "Ibu pergi, Pak. Tadi katanya pengen beli rujak es krim tapi dari tadi belum pulang juga. Ali rewel mencari Bu Hanin tapi Bu Hanin belum pulang juga," ucap Bi Leha seraya menepuk pantat Ali agar kembali tidur. "Hanin pergi sejak kapan, Bi?""Setelah dzuhur."Perasaanku semakin tak enak. Dari dhuhur hingga hampir magrib Hanin belum juga pulang, tak biasanya ia pergi tanpa berpamitan denganku. Padahal aku sudah mewanti-wanti agar ia tak pergi tanpa pengawal. Tapi kenapa dia tak mendengarkanku? "Bi Leha sudah menghubungi ibu?""Nomornya tidak aktif, Pak."Kepalaku berdenyut, hatiku tak tenang Hanin tak kunjung pulang. Aku rogoh benda pipih yang ada di saku jas. Tangan ini segera memencet dua belas digit nomor Hanin, tapi nomor itu tak aktif. Persis apa yang dikatakan Bi Leha. "Ya Tuhan ... Kamu ke mana, Nin?""Da ... da, mmmm ...." Ali kembali menangis mencari bundanya
"Nisa," ucapku lirih. "Walailaikumsalam, sini duduk, Nis," jawaban Hanin membuat mereka tersentak. Terkejut atas kedatangan Nisa membuat kami lupa menjawab salam. Meski kami tahu wajib hukumnya. "Untuk apa kamu datang kemari, Nis? Gara-gara kamu Hanin jadi kehilangan anaknya."Mendadak wajah Nisa menjadi pias. Ucapan Mama bagai halilintar yang menyambar hingga ia terkapar tak sadarkan diri. "Nisa tak salah, Ma. Tanpa kehadiran Nisa, Natasya bisa berbuat nekat." Mama diam seketika. "Mbak Hanin sudah baik-baik saja?" Nisa mendekat lalu duduk di samping Hanin. Kedatangan Nisa disituasi seperti ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa? Aku menjadi seba salah. Orang-orang yang hendak pergi justru kembali duduk dan berdiri di tempat masing-masing. Kedatangan Nisa bagai magnet yang menarik perhatian orang. "Aku baik-baik saja, Nis. Ini cewek atau cowok?" Hanin mengelus perut Hanin yang membukit. "Cowok, Mbak, seperti Kak Azha dan Kak Ali."Astagfirullah... Aku sampai tak tahu apa
Pov BayuEntah apa yang akan kukatakan kepada Hanin? Jujur pasti menyakitkan tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya rangkaian kata agar kebenaran yang akan aku sampaikan tak sampai menggores hatinya terlalu dalam. "Mas...," panggilnya lirih. Aku menoleh lalu tersenyum ke arahnya. "Anak-anak di mana?" "Mereka ada di kamar inap khusus anak-anak, ditemani Bunda dan Ayah."Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Biasanya ibu setelah melahirkan akan menanyakan bayi yang ia lahirkan. Namun tidak dengan Hanin. Dia justru menanyakan kabar anak-anak terlebih dahulu. "Kamu heran kenapa aku tak bertanya bayiku?" Aku mengangguk, Hanin seolah mampu membaca pikiranku. "Aku tahu bayi kita meninggal, Mas. Saat di sekap pergerakannya di dalam perut sudah berbeda. Ditambah saat membuka mata bayi mungil itu tak ada di kamar ini. Benar, kan, Mas tebakanku?" ucapnya dengan linangan air mata membasahi pipi. Tanpa diminta kupeluk dia. Kutenangkan tangisnya dalam dekapanku. Ini adalah kabar buruk ba
"Pak Bayu ditunggu dokter di depan ruang operasi.""Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Sus?""Dokter yang akan menyampaikan," ucapnya pelan. Perasaanku semakin tak, tapi aku tidak ingin berpikir buruk. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Aku melangkah mengikuti suster itu. Dari kejauhan sudah terlihat dokter yang duduk tepat di depan ruang operasi. Mendadak jantung dipacu lebih cepat. Perasaan semakin tak karuan. Ya Allah... Semoga ini bukan berita buruk. "Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" cecarku. Dokter yang menangani Hanin menghembuskan napas perlahan. Seakan ada beban berat yang masih ia tanggung di pundak. Ya Robb ... Jangan berikan aku cobaan yang berat. Aku tak akan sanggup kehilangan mereka. "Alhamdulillah Ibu Hanin dapat melewati operasi dengan baik. Saat ini beliau masih dalam pengaruh obat bius. Namun semuanya normal. Tinggal menunggu beliau sadarkan diri."Aku bernapas lega, seakan beban yang kutanggung di pundak jatuh di
Setelah hampir satu jam akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta. Dengan cepat kami membopong tubuh Hanin menuju ruang IGD. "Suster ... Dokter!" teriakku lantang. Seorang suster dengan cepat membuka pintu ruang IGD. Perlahan kurebahkan tubuh Hanin di atas brankar. "Kenapa ini, Pak?" tanya Dokter berkacamata itu.Aku memberikan surat rujukan dari klinik Permata Hati. Kuceritakan juga kejadian yang menimpa Hanin hingga akhirnya ketubannya pecah dan tak sadarkan diri. "Suster siapkan ruang operasi. Telepon dokter bedah, dokter kandungan, dokter anastesi. Pasien harus segera dioperasi."Seorang suster segera menelepon dokter yang dimaksud. "Suster, pasang infuse, cek HB, pasien." Seorang suster dengan sigap memasang infus di tangan kiri Hanin. Aku hanya diam sembari terus berdoa. "Bapak tolong bawa ke administrasi. Tanda tangani surat izin untuk operasi." Aku mengangguk, dengan cepat berlari menuju bagian pendaftaran. Suasana rumah sakit terbilang sepi. Maklum saja
"Aku... Aku...." Aku tak mampu melanjutkan kata-kata ini. Mulut ini mendadak kelu. Bagaimana aku bisa mengatakan cerai jika hati dan hidupku untuknya? "Aw... Sakit." Cairan bening keluar dari pangkal paha Hanin merembes hingga ke lantai. Hanin luruh di lantai, dia tak sadarkan diri."Hanin!" Aku berlari menuju ke arah istriku, tak kuhiraukan pisau yang masih dipegang oleh Natasya. Keselamatan Hanin dan anak kami jauh lebih penting. "Lepas! Lepaskan aku!"Pingsannya Hanin membuat konsentrasi Natasya terpecah, dengan mudah ia diringkus oleh dua orang polisi. PLAAK! "Wanita tak tahu malu, mulai sekarang pertunangan kita batal. Jangan tunjukkan wajah kamu di hadapanku lagi!" maki Raffi. Aku mendengar tapi enggan menoleh, pikiranku hanya tertuju pada Hanin. Polisi segera menyeret Natasya keluar. "Tolong, Pak."Pak Burhan dan seorang polisi membantuku mengangkat tubuh Hanin. Cairan bening masih saja keluar hingga membasahi gamis yang ia kenakan. Dalam hati terus berdoa semoga Allah
Pov Bayu"Natasya!" Raffi terkejut bukan main. Adikku tak menyangka jika kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Orang yang ia cinta dan perjuangkan justru menyakiti kakak iparnya. "Angkat tangan! Kalian sudah dikepung!" teriak Pak Burhan saraya menodongkan pistol ke arah mereka. Sontak dua lelaki dan Natasya mengangkat tangan ke atas. Pisau yang sempat dipegang lepas dari tangannya. "Ayah!" teriak Azha dan Alma. Kedua anakku melepas tangan Hanin, mereka hendak berjalan ke arah kami. "Azha, Alma tunggu, Nak," teriak Hanin sambil berusaha menarik tangan anak-anak. Namun mereka berhasil sampai di tengah-tengah ruangan. Seorang lelaki dengan perut buncit berjalan mendekat ke arah anak-anak. Jantungku seakan berhenti berdetak. Rasa takut kian memenuhi pikiran ini. "Azha, Alma mundur!" DOR! Satu buah timah panas mendarat tepat di kaki kanan lelaki dengan perut buncit itu. Lelaki itu tersungkur dengan darah segar mengucur dari betisnya. Untung saja Pak Burhan menembak tepat wak
"Kukira kamu sudah menjelaskannya. Dia ikut dalam misi penting ini membuat aku yakin jika kamu sudah mengatakan siapa dalangnya, Bayu.""Dalang apa, Mas? Apa hubungannya dengan Natasya?" Raffi mencekal tanganku, tatapannya meminta sebuah penjelasan dariku. Aku mengatur napas, mengumpulkan pasokan oksigen agar aku bisa berpikir dengan jernih. Ah, lebih tepatnya supaya bisa mencari jawaban dengan tepat. "Natasya adalah dalang penculikan Hanin dan tindakan keji pada Nisa.""Tidak! Ini tidak mungkin, Natasya tidak mungkin sejahat itu, Mas. Dia itu calon istri aku, bukan penculik seperti yang Mas Bayu katakan." Raffi menggelengkan kepala. Sorot matanya tak mempercayai ucapanku. Ini wajah, karena aku juga sempat tak percaya hingga perlahan Tuhan membuka tabir gelap yang ia sembunyikan. "Aku harus meminta penjelasan dari Natasya, dia pasti bukan penculiknya. Mas Bayu pasti salah orang." Raffi merogoh saku celananya. Dengan cepat jemarinya menari di atas layar ponsel. Ini tidak bisa dibi
Pov BayuNatasya kembali berjalan menuju mobilnya berada. Seketika jantungku berdetak kencang. Rasa takut kian besar kala jarak ke mobil semakin dekat. "Ya Tuhan, bagaimana ini?""Lho, Mas, kenapa mobilnya tidak dikunci?" tanyanya saat melihat kunci menggantunung di luar pintu. Natasya semakin mempercepat langkah kakinya. Mendadak kakiku lemas, sudah pasti rencana kami gagal. Ya Tuhan, aku pasrah dengan rencanaMu"Ya, ampun, Mas. Pintu dibuka dengan kunci menggantung, kalau mobilku sampai hilang bagaimana?" Natasya berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Sudut bibirku tertarik ke atas. Ternyata ketakutanku hilang. Pak Burhan bisa menyelesaikan tugas tepat waktu. Andai ia terlambat lima menit saja, sudah pasti semua akan hancur berantakan. "Mas Bayu malah bengong! Aku sedang ngomong lho, kenapa kunci di luar?""Itu karena aku khawatir dengan kamu, Nat. Aku membuka pintu lalu kembali ke restoran. Aku takut kamu kenapa-napa," dustaku. Kubuat wajah khawatir agar wanita itu percaya
"Tentang perceraian itu? Mas Bayu akan menceraikan Mbak Hanin, kan? Mas memilih berpisah dari pada melihat mereka tersiksa?" ucap Natasya dengan wajah berbinar. Dia seolah bahagia dengan perceraian yang terjadi antara aku dan Hanin. Apa jangan-jangan benar, dia dalang penculikan itu. Aku memang ragu dengan perkataan Syahla, tak mungkin Natasya sekejam itu. Namun melihat ekspresinya membuatku yakin,. Natasya-lah biang kerok masalah ini. "Apa kamu yakin dengan perceraian, mereka akan kembali? Penculik itu tak akan menyiksa Hanin dan anak-anak?" Aku mengatur napas yang terasa kian sesak. Meski aku tahu ini hanya sandiwara tapi kata cerai yang terucap begitu menyayat hati. Bagaimana aku bisa berkata cerai jika namanya terpatri di sanubari. "Aku yakin dia akan membebaskan Mbak Hanin dan anak-anak setelah Mas Bayu mengajukan gugatan cerai dan surat perjanjian tak akan rujuk dengan Mbak Hanin lagi." Aku menautkan dua alis mendengar ucapan Natasya. Surat perjanjian apa gang ia maksud? "S