Pov Bayu"Ibu mana, Bi?" tanyaku kala melihat mobil Hanin tak ada di halaman rumah. Bahkan aku tak melihat istriku. "Ibu pergi, Pak. Tadi katanya pengen beli rujak es krim tapi dari tadi belum pulang juga. Ali rewel mencari Bu Hanin tapi Bu Hanin belum pulang juga," ucap Bi Leha seraya menepuk pantat Ali agar kembali tidur. "Hanin pergi sejak kapan, Bi?""Setelah dzuhur."Perasaanku semakin tak enak. Dari dhuhur hingga hampir magrib Hanin belum juga pulang, tak biasanya ia pergi tanpa berpamitan denganku. Padahal aku sudah mewanti-wanti agar ia tak pergi tanpa pengawal. Tapi kenapa dia tak mendengarkanku? "Bi Leha sudah menghubungi ibu?""Nomornya tidak aktif, Pak."Kepalaku berdenyut, hatiku tak tenang Hanin tak kunjung pulang. Aku rogoh benda pipih yang ada di saku jas. Tangan ini segera memencet dua belas digit nomor Hanin, tapi nomor itu tak aktif. Persis apa yang dikatakan Bi Leha. "Ya Tuhan ... Kamu ke mana, Nin?""Da ... da, mmmm ...." Ali kembali menangis mencari bundanya
Aku menyandarkan kepala di kursi,kupijit kepala yang kian semakin berdenyut. Siapa lagi yang harus kuhubungi? Mama dan Raffi juga tak mengetahui keberadaan Hanin. Kabar yang sempat kuberikan justru membuat Mama dan Raffi kebingungan. Beberapa kali mereka menghubungiku,menanyakan keberadaan Hanin, itu semakin membuatku bingung dan merasa bersalah. Bagaimana kalau ayah dan bunda tahu jika putri kesayangannya menghilang dan aku tak tau harus mencari ke mana?Aku memutuskan pulang setelah melaporkan hilangnya Hanin di kantor polisi. Mobil mama sudah terparkir rapi di halaman rumah ketika aku masuk gerbang. Mereka pasti khawatir dengan keadaan Hanin.“Bagaimana,Bayu? Kamu sudah tahu keberadaan Hanin,kan? Dia di mana? Masih di belakang,kan?” cecar Mama ketika aku melangkah mendekat.“Bayu belum menemukan Hanin,Ma. Semua teman Hanin tak tahu keberadaannya. Bayu juga sudah lapor pada pihak yang berwajib,semoga mereka bisa menemukan Hanin secepatnya.”Mama luruh di lantai,tangisnya pecah seket
Pov Bayu"Cepat, Bay! Kita harus segera ke apartemen. Mama harus memberi pelajaran pada wanita itu!" pekik Mama. "Belum tentu Nisa yang melakukan ini semua, Ma. Kita tak memiliki bukti yang mengatakan jika Nisa bersalah."Aku mencoba memadamkan api amarah di hati Mama mau pun Bunda. Namun kedua wanita itu justru semakin murka. Caci dan maki kembali keluar dari mulut mereka. "Kamu melindungi wanita itu, Bayu? Dia sudah menculik Hanin dan anak-anak. Buka mata kamu lebar-lebar!" Bunda mengepalkan tangan di samping. Dadanya naik turun, menahan amarah yang siap meledak. Selama menjadi menantunya baru kali ini aku melihat Bunda begitu murka. Entah ke mana perginya kelembutan dan tutur kata yang manis. Aku paham betul, Bunda takut terjadi apa-apa dengan Hanin dan kedua cucunya. Sebetulnya aku tak membela Nisa. Aku hanya tak percaya jika ia tega melakukan penculikan. Dia juga korban tapi kenapa bisa menjadi tersangka? "Nisa tak mungkin setega itu, Ma."Kedua wanita itu menatapku tajam. A
"Apa maksud Mama? Nisa tidak mengerti." Nisa menggeleng, dia tatap aku dan Mama bergantian. "Jangan playing victim! Kami sudah tidak percaya dengan wajah polosmu." Bunda mendekat, mencengkeram kuat lengan Nisa hingga membuat istri keduaku meringis kesakitan. Melihat Nisa menangis membuatku tak tega. Apa lagi kini dia tengah mengandung anakku. Dari sorot matanya terlihat ia tak tahu apa pun. Apa jangan-jangan bukan Nisa pelakunya? Lalu siapa? "Sudah, Bun. Kasihan Nisa, dia sedang hamil." Aku lepas tangan Bunda yang mencengkeram lengan istriku. "Kamu bela dia, Bayu!" Bunda menatapku tajam. Ya Allah, apa pun yang kulakuan selalu saja salah. Beginikah berada di tengah-tengah perdebatan? "Biarkan Nisa menjelaskan semuanya, Bun. Tolong jangan menggunakan kekerasan. Nisa tengah mengandung, tak seharusnya dia didzalimi seperti ini.""Bayu benar, masalah ini akan semakin rumit jika diselesaikan dengan amarah dan kekerasan." Mama dan Bunda mencebikkan bibir tapi tak mempu membantah ucapan
Pov Hanin“Jaga mereka baik-baik. Jangan sampai mereka kabur,mengerti!” ucap seorang lelaki di depan kamar tapi suaranya masih terdengar jelas di telingaku. Itu karena aku belum bisa tidur.“Memangnya Bos dan kalian mau ke mana?” jawab seseorang tapi aku tak tahu siapa.“Mobil yang membawa dua tawanan mogok di jalan raya,bisa bahaya jika polisi atau penduduk mengetahuinya.”“Baik,aku menjaga mereka dengan baik.”Setelah itu aku tak mendengar pembicaraan lagi,hanya suara langkah kaki yang semakin menjauh. mereka sudah pergi meninggalkan depan kamar. DEEER!Syahla melonjak kaget mendengar pintu ditendang dari luar,aku sendiri refleks duduk. Kami beradu pandang sambil terus bergandengan ketika seorang lelaki bertubuh gempal masuk. Jantung kian berdetak kencang melihat tatapannya ke arah kami,terlebih ke arah sahabatku. Dia seperti singa yang kelaparan,sementara kami dua ekor domba tersesat.“Mau apa kamu?” tanya Syahla sambil terus bergeser hingga aku hampir terjatuh.Lelaki itu tak men
"Baiklah, Sayang." Lelaki itu mulai melepas kancing celana jeans. Dalam hitungan detik benda berwarna biru itu tergeletak di lantai begitu saja. "Dalam hitungan tiga, kita tendang terongnya!" Syahla mengangguk, syukurlah kali ini dia paham. "Aku sudah siap, Baby." Lelaki itu semakin mendekat, hanya tinggal tiga langkah dari kami. Aku dan Syahla sudah bersiap untuk memberikannya kejutan mematikan dan tidak terlupakan seumur hidup. "Satu ... Dua ... Tiga...."Kakiku dan Syahla melayang bersamaan hingga mengenai benda keramat miliknya. Lelaki gempal itu mundur beberapa langkah kemudian tersungkur di lantai. Kedua tangannya menempel pada benda pusaka miliknya. Ternyata sebuah novel yang kubaca di aplikasi online memang benar, benda pusaka lelaki adalah titik terlemah dalam tubuhnya. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Syahla segera berlari menuju pintu. "Terkunci, Nin."Terburu-buru membuatku lupa jika kunci masih ada di saku celana lelaki itu. Tanpa pikir panjang aku segera membalikkan
Pov HaninJantung semakin berpacu seiring langkah kaki yang kian mendekat. Rasa takut bercampur amarah melebur menjadi satu. Natasya tega menyakiti kedua anakku. Tidak cukupkah ia menyiksaku? "Mbak Hanin." Wajahnya menegang melihatku berdiri di hadapannya. "Bunda!"Azha dan Alma menerobos berlari ke arahku. Mereka memeluk tubuh ini erat, menghilangkan ketakutan bahkan mencari perlindungan. Berdiri mensejajarkan tinggi Azha dan Alma,kuciumi kedua anakku yang sangat ketakutan. Bulir demi bulir terus jatuh hingga membanjiri pipi putih mereka.“Ayo pulang,Bun! Alma takut,” rengeknya sambil memegang kuat lengan kananku.“Tante bohong,Bun. Katanya mau antar pulang tapi Azha dan Alma malah dimarahi,” ucap Azha.“Tenang,ada bunda di sini. Kak Azha dan Kak Alma,kan anak-anak hebat,ya. Jadi tidak boleh menangis,” ucapku menenangkan.Sebagai seorang ibu,aku berusaha kuat dan meyakinkan mereka bahwa semua akan baik-baik saja. Kututupi rasa takut ini. Jika aku kabur bersama Syahla,entah bagaima
Aku tak mengerti dengan keinginan gilanya. Terlalu mencintai ciptaan Tuhan membuat ia tak terima jika Mas Bayu dimiliki orang lain. "Pernikahan itu bukan hal main-main, Natasya,tidak semudah itu mengucapkan kata perceraian."PLAAKLagi dia menampar pipiku. Nyeri teramat nyeri tapi jauh lebih sakit mengetahui kenyataan di depan mata. Wanita yang sudah aku anggap sebagai adik kandung justru menusukku dari belakang. Kukira semua cerita ini hanya ada di dalam novel fiksi tapi aku salah justru novel menggambarkan kehidupan nyata yang dirangkai dalam kata. "Kamu mau cerai atau melihat Azha dan Alma terluka? Atau mau kamu dan bayi yang ada di dalam kandungan kamu mati?" tanyanya lagi. Aku masih diam tak mampu menjawab apa. Mulut yang terkunci justru membuat Natasya kian meradang. Dia menatapku tajam, giginya gemeretak dengan wajah merah padam. "Kamu pilih mana, Hanin?" tanyanya penuh penekanan.Ini jauh lebih berat daripada mengikhlaskan Mas Bayu menikah lagi. Aku tak bisa memilih satu d
"Nisa," ucapku lirih. "Walailaikumsalam, sini duduk, Nis," jawaban Hanin membuat mereka tersentak. Terkejut atas kedatangan Nisa membuat kami lupa menjawab salam. Meski kami tahu wajib hukumnya. "Untuk apa kamu datang kemari, Nis? Gara-gara kamu Hanin jadi kehilangan anaknya."Mendadak wajah Nisa menjadi pias. Ucapan Mama bagai halilintar yang menyambar hingga ia terkapar tak sadarkan diri. "Nisa tak salah, Ma. Tanpa kehadiran Nisa, Natasya bisa berbuat nekat." Mama diam seketika. "Mbak Hanin sudah baik-baik saja?" Nisa mendekat lalu duduk di samping Hanin. Kedatangan Nisa disituasi seperti ini membuatku tidak tahu harus berbuat apa? Aku menjadi seba salah. Orang-orang yang hendak pergi justru kembali duduk dan berdiri di tempat masing-masing. Kedatangan Nisa bagai magnet yang menarik perhatian orang. "Aku baik-baik saja, Nis. Ini cewek atau cowok?" Hanin mengelus perut Hanin yang membukit. "Cowok, Mbak, seperti Kak Azha dan Kak Ali."Astagfirullah... Aku sampai tak tahu apa
Pov BayuEntah apa yang akan kukatakan kepada Hanin? Jujur pasti menyakitkan tapi aku tidak punya pilihan lain. Hanya rangkaian kata agar kebenaran yang akan aku sampaikan tak sampai menggores hatinya terlalu dalam. "Mas...," panggilnya lirih. Aku menoleh lalu tersenyum ke arahnya. "Anak-anak di mana?" "Mereka ada di kamar inap khusus anak-anak, ditemani Bunda dan Ayah."Aku sedikit heran dengan pertanyaannya. Biasanya ibu setelah melahirkan akan menanyakan bayi yang ia lahirkan. Namun tidak dengan Hanin. Dia justru menanyakan kabar anak-anak terlebih dahulu. "Kamu heran kenapa aku tak bertanya bayiku?" Aku mengangguk, Hanin seolah mampu membaca pikiranku. "Aku tahu bayi kita meninggal, Mas. Saat di sekap pergerakannya di dalam perut sudah berbeda. Ditambah saat membuka mata bayi mungil itu tak ada di kamar ini. Benar, kan, Mas tebakanku?" ucapnya dengan linangan air mata membasahi pipi. Tanpa diminta kupeluk dia. Kutenangkan tangisnya dalam dekapanku. Ini adalah kabar buruk ba
"Pak Bayu ditunggu dokter di depan ruang operasi.""Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Sus?""Dokter yang akan menyampaikan," ucapnya pelan. Perasaanku semakin tak, tapi aku tidak ingin berpikir buruk. Aku yakin mereka akan baik-baik saja. Aku melangkah mengikuti suster itu. Dari kejauhan sudah terlihat dokter yang duduk tepat di depan ruang operasi. Mendadak jantung dipacu lebih cepat. Perasaan semakin tak karuan. Ya Allah... Semoga ini bukan berita buruk. "Bagaimana keadaan anak dan istri saya, Dok? Mereka baik-baik saja, kan?" cecarku. Dokter yang menangani Hanin menghembuskan napas perlahan. Seakan ada beban berat yang masih ia tanggung di pundak. Ya Robb ... Jangan berikan aku cobaan yang berat. Aku tak akan sanggup kehilangan mereka. "Alhamdulillah Ibu Hanin dapat melewati operasi dengan baik. Saat ini beliau masih dalam pengaruh obat bius. Namun semuanya normal. Tinggal menunggu beliau sadarkan diri."Aku bernapas lega, seakan beban yang kutanggung di pundak jatuh di
Setelah hampir satu jam akhirnya kami berhenti di depan sebuah rumah sakit swasta. Dengan cepat kami membopong tubuh Hanin menuju ruang IGD. "Suster ... Dokter!" teriakku lantang. Seorang suster dengan cepat membuka pintu ruang IGD. Perlahan kurebahkan tubuh Hanin di atas brankar. "Kenapa ini, Pak?" tanya Dokter berkacamata itu.Aku memberikan surat rujukan dari klinik Permata Hati. Kuceritakan juga kejadian yang menimpa Hanin hingga akhirnya ketubannya pecah dan tak sadarkan diri. "Suster siapkan ruang operasi. Telepon dokter bedah, dokter kandungan, dokter anastesi. Pasien harus segera dioperasi."Seorang suster segera menelepon dokter yang dimaksud. "Suster, pasang infuse, cek HB, pasien." Seorang suster dengan sigap memasang infus di tangan kiri Hanin. Aku hanya diam sembari terus berdoa. "Bapak tolong bawa ke administrasi. Tanda tangani surat izin untuk operasi." Aku mengangguk, dengan cepat berlari menuju bagian pendaftaran. Suasana rumah sakit terbilang sepi. Maklum saja
"Aku... Aku...." Aku tak mampu melanjutkan kata-kata ini. Mulut ini mendadak kelu. Bagaimana aku bisa mengatakan cerai jika hati dan hidupku untuknya? "Aw... Sakit." Cairan bening keluar dari pangkal paha Hanin merembes hingga ke lantai. Hanin luruh di lantai, dia tak sadarkan diri."Hanin!" Aku berlari menuju ke arah istriku, tak kuhiraukan pisau yang masih dipegang oleh Natasya. Keselamatan Hanin dan anak kami jauh lebih penting. "Lepas! Lepaskan aku!"Pingsannya Hanin membuat konsentrasi Natasya terpecah, dengan mudah ia diringkus oleh dua orang polisi. PLAAK! "Wanita tak tahu malu, mulai sekarang pertunangan kita batal. Jangan tunjukkan wajah kamu di hadapanku lagi!" maki Raffi. Aku mendengar tapi enggan menoleh, pikiranku hanya tertuju pada Hanin. Polisi segera menyeret Natasya keluar. "Tolong, Pak."Pak Burhan dan seorang polisi membantuku mengangkat tubuh Hanin. Cairan bening masih saja keluar hingga membasahi gamis yang ia kenakan. Dalam hati terus berdoa semoga Allah
Pov Bayu"Natasya!" Raffi terkejut bukan main. Adikku tak menyangka jika kecurigaanku benar-benar menjadi kenyataan. Orang yang ia cinta dan perjuangkan justru menyakiti kakak iparnya. "Angkat tangan! Kalian sudah dikepung!" teriak Pak Burhan saraya menodongkan pistol ke arah mereka. Sontak dua lelaki dan Natasya mengangkat tangan ke atas. Pisau yang sempat dipegang lepas dari tangannya. "Ayah!" teriak Azha dan Alma. Kedua anakku melepas tangan Hanin, mereka hendak berjalan ke arah kami. "Azha, Alma tunggu, Nak," teriak Hanin sambil berusaha menarik tangan anak-anak. Namun mereka berhasil sampai di tengah-tengah ruangan. Seorang lelaki dengan perut buncit berjalan mendekat ke arah anak-anak. Jantungku seakan berhenti berdetak. Rasa takut kian memenuhi pikiran ini. "Azha, Alma mundur!" DOR! Satu buah timah panas mendarat tepat di kaki kanan lelaki dengan perut buncit itu. Lelaki itu tersungkur dengan darah segar mengucur dari betisnya. Untung saja Pak Burhan menembak tepat wak
"Kukira kamu sudah menjelaskannya. Dia ikut dalam misi penting ini membuat aku yakin jika kamu sudah mengatakan siapa dalangnya, Bayu.""Dalang apa, Mas? Apa hubungannya dengan Natasya?" Raffi mencekal tanganku, tatapannya meminta sebuah penjelasan dariku. Aku mengatur napas, mengumpulkan pasokan oksigen agar aku bisa berpikir dengan jernih. Ah, lebih tepatnya supaya bisa mencari jawaban dengan tepat. "Natasya adalah dalang penculikan Hanin dan tindakan keji pada Nisa.""Tidak! Ini tidak mungkin, Natasya tidak mungkin sejahat itu, Mas. Dia itu calon istri aku, bukan penculik seperti yang Mas Bayu katakan." Raffi menggelengkan kepala. Sorot matanya tak mempercayai ucapanku. Ini wajah, karena aku juga sempat tak percaya hingga perlahan Tuhan membuka tabir gelap yang ia sembunyikan. "Aku harus meminta penjelasan dari Natasya, dia pasti bukan penculiknya. Mas Bayu pasti salah orang." Raffi merogoh saku celananya. Dengan cepat jemarinya menari di atas layar ponsel. Ini tidak bisa dibi
Pov BayuNatasya kembali berjalan menuju mobilnya berada. Seketika jantungku berdetak kencang. Rasa takut kian besar kala jarak ke mobil semakin dekat. "Ya Tuhan, bagaimana ini?""Lho, Mas, kenapa mobilnya tidak dikunci?" tanyanya saat melihat kunci menggantunung di luar pintu. Natasya semakin mempercepat langkah kakinya. Mendadak kakiku lemas, sudah pasti rencana kami gagal. Ya Tuhan, aku pasrah dengan rencanaMu"Ya, ampun, Mas. Pintu dibuka dengan kunci menggantung, kalau mobilku sampai hilang bagaimana?" Natasya berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Sudut bibirku tertarik ke atas. Ternyata ketakutanku hilang. Pak Burhan bisa menyelesaikan tugas tepat waktu. Andai ia terlambat lima menit saja, sudah pasti semua akan hancur berantakan. "Mas Bayu malah bengong! Aku sedang ngomong lho, kenapa kunci di luar?""Itu karena aku khawatir dengan kamu, Nat. Aku membuka pintu lalu kembali ke restoran. Aku takut kamu kenapa-napa," dustaku. Kubuat wajah khawatir agar wanita itu percaya
"Tentang perceraian itu? Mas Bayu akan menceraikan Mbak Hanin, kan? Mas memilih berpisah dari pada melihat mereka tersiksa?" ucap Natasya dengan wajah berbinar. Dia seolah bahagia dengan perceraian yang terjadi antara aku dan Hanin. Apa jangan-jangan benar, dia dalang penculikan itu. Aku memang ragu dengan perkataan Syahla, tak mungkin Natasya sekejam itu. Namun melihat ekspresinya membuatku yakin,. Natasya-lah biang kerok masalah ini. "Apa kamu yakin dengan perceraian, mereka akan kembali? Penculik itu tak akan menyiksa Hanin dan anak-anak?" Aku mengatur napas yang terasa kian sesak. Meski aku tahu ini hanya sandiwara tapi kata cerai yang terucap begitu menyayat hati. Bagaimana aku bisa berkata cerai jika namanya terpatri di sanubari. "Aku yakin dia akan membebaskan Mbak Hanin dan anak-anak setelah Mas Bayu mengajukan gugatan cerai dan surat perjanjian tak akan rujuk dengan Mbak Hanin lagi." Aku menautkan dua alis mendengar ucapan Natasya. Surat perjanjian apa gang ia maksud? "S