"Nah, sudah selesai, Nona," kata Marta begitu selesai memoleskan make-up terakhir di wajahku.
Perlahan aku membuka mata, dan melihat wajahku dalam cermin. Mataku membulat, seakan tak percaya dengan apa yang kulihat. Apa itu aku?"Sekarang Nona berganti pakaian dulu, ya?" kata Marta lagi sambil mengulurkan beberapa pakaian yang digantung.Aku mengangguk, lalu segera mengganti pakaian dan jilbab yang dipilihkan oleh Marta. Setelah memakainya, aku memandangi diriku sekali lagi di depan cermin.Ayu si gadis kampung itu telah tiada, menjelma menjadi wanita anggun dengan penampilan resminya. Aku menarik napas dalam-dalam. Hari ini aku harus menunjukkan pada mereka, bahwa aku bukan orang yang bisa mereka remehkan lagi."Supir sudah menunggu di bawah, Nona," kata Marta, sambil sedikit membenarkan jilbabku.Sesaat kemudian dia mengacungkan jempolnya sambil tersenyum, pertanda penampilanku sudah oke. Aku membalas senyumannya, seraya mengucapkan terima kasih. Aku segera turun ke bawah, dan melihat Dhafa berdiri di loby membelakangiku."Dhafa," panggilku. "Bagaimana penampilanku?"Dhafa menoleh padaku. Sesaat matanya tampak membulat, lalu cepat-cepat memalingkan muka, menyembunyikan mukanya yang memerah. Aku langsung cemberut melihat ekspresinya itu."Penampilanku aneh, ya?" tanyaku.Dhafa tak langsung menjawab. Dia mengusap hidungnya, lalu berkata lirih."Kamu cantik."Mukaku langsung memerah. Sesaat aku menunduk, tersipu malu. Ah, kenapa aku jadi canggung begini?"Hari ini aku tidak bisa menemanimu, karena aku harus mengantarkan Johan dan Istrinya ke acara itu juga," kata Dhafa kemudian. "Kamu harus berhadapan dengan mereka sendirian."Aku membuang napas, lalu mengangguk penuh keyakinan. Dhafa tampak tersenyum."Aku pergi dulu," katanya sambil berlalu."Dhafa," panggilku.Dhafa menghentikan langkah, lalu menoleh padaku."Terima kasih," kataku."Aku akan berusaha."Dhafa mengangguk, lalu melanjutkan langkahnya. Aku masih memperhatikan punggungnya yang pergi menjauh. Bismillah, aku memantapkan diriku lagi....Mobil yang mengantarku berdiri di depan gedung besar dan tinggi. Supir membukakan pintu untukku. Aku melangkah turun, lalu berjalan mantap memasuki gedung itu, dengan dua orang body guard di belakangku.Dari jauh tampak sekelompok wartawan sedang mewawancarai seseorang. Aku berhenti melangkah sejenak. Mataku sedikit membulat, ketika melihat ternyata yang sedang mereka wawancarai adalah Mas Johan dan Shafira.Tapi yang paling menyita perhatianku adalah anak dalam gendongan Shafira. Syakila sudah berumur hampir lima bulan sekarang. Dia tampak cantik dengan gaun berwarna merah, yang selaras dengan penampilan Shafira dan Mas Johan.Aku menahan napas, juga menahan perasaan rinduku. Dengan percaya diri aku melanjutkan langkah. Seorang wartawan melihatku, dan berbicara pada temannya. Saat mereka juga melihatku, para wartawan itu tiba-tiba menyerbu ke arahku."Apa benar, anda Nona Ayu Kusumaningtyas, pimpinan perusahaan baru yang sedang di ujung kesuksesan sekarang?""Tolong beritahu kami, produk apa yang akan perusahaan anda luncurkan berikutnya?""Hari ini anda akan memperoleh penghargaan. Bagaimana perasaan anda?"Berbagai pertanyaan memberondong ke arahku. Aku melirik ke arah Mas Johan dan Shafira yang dari tadi menatapku dengan pandangan heran. Mungkin mereka belum mengenaliku sepenuhnya. Mereka tampak saling berbicara, dan terlihat menyangkal satu sama lain.Para body guard yang mengawalku menghalangi para wartawan yang mengebutiku, lalu membukakan jalan untukku. Aku melanjutkan langkah lagi, melewati Mas Johan dan Shafira yang masih memperhatikanku dan bertanya-tanya siapa aku.Aku memasuki ruangan para tamu undangan dan duduk di kursi VIP. Para body guardku berdiri di sisi ruangan, tak jauh dariku. Beberapa saat kemudian, acara meriah itu pun dimulai. Aku sedikit canggung karena tak satupun orang di sana yang kukenal. Tapi aku berusaha bersikap biasa dan penuh percaya diri.Ketika mengamati sekeliling, ternyata Johan dan Shafira duduk tak jauh dari tempatku. Tatapan mereka terlihat mengarah tajam ke arahku. Aku membalas senyuman mereka dengan senyuman sombongku, lalu memalingkan muka dari mereka, dan fokus pada MC yang sedang membawa acara."Mari kita sambut, pimpinan perusahaan yang belakangan ini sukses mendobrak pasaran, Nona Ayu Kusumaningtyas!"Para hadirin semua berdiri dan bertepuk tangan meriah, termasuk Mas Johan dan Shafira. Aku berdiri dari dudukku, dan melangkah penuh percaya diri naik ke atas panggung. Tak lupa kuberikan senyumku yang paling manis dan jahat.Beberapa orang memberiku piagam dan penghargaan. Aku menerimanya dan berterima kasih."Nona, tolong beri tahu kami bagaimana anda bisa sukses dalam waktu singkat?" tanya MC itu padaku.Aku tersenyum, seraya menjawab."Produk kami bukan hanya menembus kalangan menengah ke atas saja, tapi juga kalangan menengah ke bawah. Jadi, kami berusaha agar orang-orang dari kalangan ke bawah bisa menikmati produk kami sesuai dengan kemampuan mereka, tapi tetap dengan kwalitas yang terbaik."Semua hadirin bertepuk tangan dan saling berbicara satu sama lain, dan tampak memujiku. Aku melirik Mas Johan dan Shafira yang berdiri mematung dengan muka tegang mereka."Adakah seseorang yang menjadi inspirasi anda hingga bisa sesukses ini?"Aku rersenyum lagi."Ada," jawabku sambil menatap tajam ke arah Mas Johan, tetap dengan senyum manisku. "Inspirasi saya adalah mantan suami saya, yang saat ini sedang berdiri di sebelah sana."Aku menunjuk ke arah Mas Johan. Semua pandangan langsung tertuju padanya, dan beberapa saat mereka saling berbicara satu sama lain, sehingga suasana agak sedikit gaduh. Shafira tampak gugup. Mas Johan menatapku tajam, dan aku membalasnya dengan senyum kemenangan.Semua hadirin saling berbicara satu sama lain dalam kegaduhan. Mereka heran ketika aku mengaku sebagai mantan istri dari Johan Baskara, karena tidak seorangpun mengetahuinya. Para wartawan langsung maju ke depan Johan dan Shafira, memberondong mereka dengan berbagai pertanyaan."Apa benar anda pernah menikah dengan Nona Ayu, Pak?""Kenapa pernikahan itu tidak ada yang mengetahui?""Apa kah Nyonya Shafira juga mengetahui pernikahan itu, Pak?"Mas Johan dan Shafira tampak kebingungan menjawab pertanyaan para wartawan. Aku turun dari panggung, karena melihat Syakila tampak menangis karena ketakutan. Aku berjalan ke arah mereka.Begitu melihatku, Shafira langsung memegang erat Syakila. Mas Johan juga menghalangiku mendekatinya. Aku menatap tajam pada mereka."Sekarang kalian bisa mengambil anakku dariku. Tapi suatu hari nanti aku akan mengambilnya kembali," kataku dengan nada suara yang sengaja kutinggikan.Kegaduhan kembali terjadi. Para wartawan menyerbu kami, dengan kamera yang terus m
Aku menatap Dhafa penuh ketegangan."Lalu bagaimana ini?" tanyaku sambil menggigit bibir.Dhafa tersenyum lalu mengambilkan makanan untukku."Jangan khawatir. Kita sudah menang selangkah. Skandal tentang kalian itu berpengaruh besar pada bisnis keluarga mereka. Artinya kita bisa dengan mudah menjegal pendapatan mereka."Perkataan Dhafa itu belum cukup menenangkanku. Aku belum pernah berurusan dengan hukum sebelumnya. Jadi wajar kalau ada sedikit rasa takut menyergapku. Dhafa sepertinya juga menyadarinya."Jangan terlalu banya berpikir," katanya sambil menyentil pelipisku.Aku mengaduh sambil mengusap pelipisku yang sakit, lalu menatapnya dengan kesal. Kebiasaan dia selalu melakukannya setiap aku sedang tegang."Kita hanya perlu mencari bukti bahwa kau pernah menikah dengan Johan, dan mengambil hak asuh puterimu," katanya lagi. "Apa kau ingat siapa saksi pernikahan kalian waktu itu?"Aku menggeleng. Pernikahan itu berlangsung begitu tertutup. Hanya orang dalam yang tahu terjadinya pern
Aku sudah bersiap-siap sejak pagi-pagi sekali. Sebelum berangkat, kupastikan bahwa aku sudah benar-benar mirip dengan Bik Inah. Bik Inah juga dari semalam sudah memberi tahuku apa saja tugas-tugasnya. Ternyata, dia masih ditugaskan untuk membersihkan kamarku. Artinya, misiku akan lebih mudah hari ini.Sebuah pesan masuk ke dalam gawaiku. Dari Dhafa.[ Jika ada kesempatan, ambil rambut anakmu sedikit saja. ]Aku mengerutkan kening. Untuk apa? Pikirku. Tapi aku tidak menanyakannya pada Dhafa. Sudah pasti dia akan menjawab, lakukan saja, jangan membantah! Aku tersenyum sendiri mengingat sikap-sikapnya yang kadang menyebalkan itu.Baiklah, aku harus fokus pada misiku hari ini. Aku segera memesan taksi online dan berangkat menuju rumah itu. Sesampainya di sana, aku memasukkan identitas yang kupinjam dari Bik Inah untuk membuka pintu gerbang.Aku langsung masuk dengan percaya diri. Mungkin karena ini bukan pertama kalinya menyamar, jadi rasa takutku sudah tidak ada lagi. Segera kulakukan tu
Semalaman aku tidak bisa tidur. Semua pikiran berkecamuk dalam otakku. Wanita yang bernama Sarah adalah ibunya Dhafa? Jadi dia juga istri dari Pak Baskara, ayah Mas johan? Artinya Mas Johan dan Dhafa bersaudara?Aku membalikkan tubuhku, menghadap ke luar jendela. Tapi, kalau mereka bersaudara, kenapa Dhafa bisa jadi supir pribadinya Mas Johan? Atau Mas Johan tidak tahu kalau dia saudaranya? Ah, semua pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di otakku.Akhirnya aku bangkit dari tidurku. Aku membuka tirai kamarku, lalu menatap kelap-kelip lampu kota yang terlihat indah dari kejauhan. Sekarang aku harus bagaimana? Apa aku harus tetap percaya padanya, setelah tahu mereka bersaudara?Aku menarik napas panjang. Kuambil gawaiku, lalu membuka aplikasi browsing. Kuketik nama Sarah Baskara di sana. Jika memang benar dia anggota keluarga Baskara, pasti ada jejak digital tentang dia.Tapi ternyata yang muncul adalah berita sebuah kecelakaan mobil yang masuk dalam jurang. Aku coba scroll ke bawah.
Mobil ambulans meluncur kencang ke arah rumah sakit. Aku terus menangis sambil memanggil nama Dhafa. Aku terus menggoncang-goncang tubuhnya yang masih diam tak bergerak. Matanya masih terpejam dengan oksigen di hidung dan mulutnya.Sampai di rumah sakit, aku masih berlari mengikuti dokter yang membawanya memasuki ruang operasi. Aku ingin ikut masuk, tapi para perawat menghalangiku. Akhirnya pintu besar ruang operasi itu tertutup rapat.Aku terduduk lemas di kursi tunggu. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir. Kenapa jadi seperti ini? Ya Allah, kumohon selamatkan Dhafa. Aku tidak bisa menghadapi ini semua sendirian seperti ini tanpa dia.Sejam, dua jam berlalu. Pintu ruang operasi itu masih belum terbuka. Aku masih menunggu dengan cemas, sambil berdoa semoga Dhafa baik-baik saja. Akhirnya di jam yang ke empat, pintu itu akhirnya terbuka. Aku langsung berhambur ke arah dokter menanyakan keadaannya."Operasinya berhasil dengan sukses. Pelurunya berhasil kami keluarkan dari tubuhnya. Ta
Kulihat pesan di gawaiku itu sekali lagi. Bisa kupastikan itu dari Mas Johan. Artinya dialah yang sudah membawa pergi Dhafa. Ketakutan mulai menyusupiku lagi. Artinya Mas Johan sudah tahu kalau selama ini Dhafalah yang telah membantuku? Ah, aku ngeri membayangkannya.Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku merasa begitu lemah tanpa Dhafa. Dulu dia pernah menyelamatkanku. Mungkin kali ini giliranku menyelamatkan nyawanya."Jangan lakukan itu, Non," kata Bik Inah ketika aku menceritakan semua itu padanya. "Kalau Non Ayu kehilangan barang bukti, Non bisa masuk penjara.""Tapi aku juga tidak bisa membiarkan Dhafa dalam bahaya, Bik," kataku lagi, masih bingung dengan situasi yang kualami. "Bagaimana ini?""Bagaimana kalau Non Ayu menyamar jadi Bibik lagi untuk mencari informasi? Sudah dua kali Non ke sana dan tidak ketahuan."Aku tersentak. Benar juga. Mungkin aku bisa menemukan Dhafa di rumah itu."Iya, Bik. Aku harus ke sana," kataku mantap....Keesokan harinya aku menyamar menjadi Bik
Mas Johan melepaskan tanganku, lalu cepat berhambur ke arah ibunya yang tubuhnya bergetar hebat. Entah karena takut, atau karena emosi. Akupun segera berjalan ke samping Dhafa."Kau bohong! Beraninya kau mengaku sebagai anaknya Sarah!" teriak Nyonya Asmi lagi.Tubuhnya bergetar semakin hebat, sampai terjatuh ke lantai. Mas Johan dan Shafira bergegas menolong dan menenangkannya. Nyonya Asmi tampak begitu shock dengan pengakuan Dhafa.Dhafa hanya menyunggingkan sedikit senyum, lalu menarik tanganku, membawaku pergi dari tempat itu. Sepanjang perjalanan aku masih belum berani menanyakan sesuatu padanya. Aku hanya sesekali meliriknya yang sedang fokus menyetir.Kulihat jalan yang kami tuju bukan jalan pulang. Kemana dia akan membawaku? Aku tidak berani bertanya. Mungkin dia juga marah padaku karena kejadian ini. Ah, aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa setelah ini.Mobil berbelok, lalu memasuki gerbang sebuah rumah cantik bermodel minimalis. Halamannya yang luas ditumbuhi berbagai
"Jadi, hanya Dhafa putra sebenarnya dari Pak Baskara?" tanyaku pada Sonia.Sonia mengangguk, sambil sesekali mencicipi sup buatannya."Dhafa masih mencari bukti. Tapi memang kemungkinan besar Johan itu cuma anak angkat," kata Sonia lagi.Aku terdiam. Tiba-tiba aku ingat, kalau golongan darah Dhafa dan Mas Johan memang tidak sama. Kalau mereka memang satu ayah, pasti golongan darah mereka juga akan sama. Jika benar Mas Johan cuma anak angkat, berarti Syakila juga tidak memiliki darah keturunan Baskara. Entah aku harus merasa sedih atau justru harus merasa lega."Nah, sudah matang," kata Sonia menyadarkan lamunanku. "Ayo kita makan."Aku mengangguk, meskipun pikiranku masih melayang entah kemana. Sonia mengajakku membangunkan Dhafa, tapi rupanya Dhafa sudah duduk dan sibuk dengan laptopnya. Wajahnya tampak serius."Ya Allah, Dhafa, bukannya istirahat malah nyibukin diri lagi," kata Sonia.Dhafa masih sibuk mengutak-atik laptopnya, tanpa mempedulikan omelan Sonia. Sonia tampak cemberut,
"Mamaaa...," Dhafa kecil menangis sambil berlari ke arah mamanya.Sarah langsung mendekap putra semata wayangnya itu."Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil mengelus rambut puteranya."Johan merebut mainanku!" rengeknya. "Kenapa sih, dia selalu merebut semua milikku?"Sarah tersenyum. Dia menghapus air mata puteranya, lalu mencium keningnya."Dia tidak merebut semua milikmu. Dia hanya menjaganya, dan suatu saat nanti akan mengembalikannya padamu."Benarkah?" tanya Dhafa dengan wajah polosnya.Ibunya mengangguk, lalu memeluknya."Suatu saat nanti, apa yang dimiliki Johan akan jadi milikmu juga."...Dhafa tersenyum sambil melihat pemandangan langit dari jendela pesawat."Apa yang kau pikirkan? Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Sonia tiba-tiba.Dhafa tak menjawab. Dia hanya membuang napas."Senang sekali kita pulang tepat waktu musim semi. Jadi kita bisa melaksanakan acara pertunangan secara outdoor," kata Sonia membuka-buka majalah.Aku membuang napas lagi. Dia sedang dalam perjalanan
Ayu berlari di sepanjang bandara internasional itu, berharap bisa menemukan Dhafa. Dia terus berlari, menerobos kerumunan orang-orang, kloter demi kloter dia telusuri, tapi tak juga menemukan sosok Dhafa di antara mereka. Hingga ketika dia hampir putus asa, dia melihatnya diantara orang-orang yang antri untuk cek in."Dhafa!" panggilnya dari jauh.Dhafa menoleh, begitupun Sonia yang ada di sampingnya. Ayu dan Dhafa saling bertatapan, tapi tak berkata apa-apa.Sonia menepuk bahu Dhafa."Aku duluan, kutunggu di dalam," katanya, sambil menyerahkan tiket pada petugas bandara.Ayu masih berdiri di tempatnya. Tadi begitu banyak yang ingin dia ungkapkan pada Dhafa. Tapi kini dia kehilangan kata-kata. Dia bahkan tak bisa mengucapkan 'jangan pergi'.Dhafa berjalan mendekat, lalu berdiri di hadapan Ayu. Bibir Ayu bergetar, tapi dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya air matanya yang mengalir, mewakili isi hatinya. Dhafa menyentil pelipisnya Ayu, lalu mengusap air matanya dengan ujung jarinya."Jan
Belum sempat Johan mengatakan sesuatu lagi, tiba-tiba Ayu duduk bersimpuh di kakinya seraya menangis."Tolong maafkan aku, Mas. Aku pergi ke sini tanpa ijin dari Mas. Aku benar-benar merindukan ayahku! Kumohon, biarkan aku di sini sebentar lagi! Setelah itu, aku akan menerima jika Mas dan Mama mau menghukumku!"Napas Johan sesak seketika. Ternyata ingatan Ayu belum pulih, dan ternyata selama menikah dengannya dia begitu menderita. Johan duduk di hadapan Ayu, dan seketika memeluknya dengan erat."Maafkan aku, sudah membuatmu begitu menderita," ucap Johan penuh penyesalan. "Mulai sekarang aku janji akan membuatmu bahagia. Aku janji tidak akan mengurungmu dan mengekangmu lagi. Aku akan menjagamu sampai kapanpun!"Mata Ayu membulat mendengar kata-kata Johan."Mas tidak marah?" tanya Ayu lirih."Mas tidak marah, tidak akan pernah marah lagi padamu. Mulai hari ini, biarkan aku membuat kau dan Syakila hidup bahagia."Ayu tersenyum bahagia, lalu membalas pelukan Johan dengan penuh keharuan. T
"Ikutlah denganku, akan kubuat kau jadi kaya."Ayu tersentak bangun. Sesaat dia memegang kepalanya yang masih terasa nyeri. Dia selalu memimpikan hal yang sama. Seseorang, entah siapa, dalam mimpi itu mengulurkan tangan padanya. Ayu memegang dadanya. Entah kenapa seperti ada yang hilang, tapi dia tidak bisa mengingatnya.Ayu menatap sekeliling. Dia masih berada di rumah sakit. Tiba-tiba matanya mengarah pada setangkai bunga mawar putih di atas meja. Ayu mengambilnya, lalu membelainya seraya tersenyum. Siapa yang memberinya bunga itu?"Asallamualaikum.""Waalaikumussalam," Ayu menatap pintu, dan melihat Johan masuk sambil menggendong Syakila."Kata dokter hari ini kau sudah boleh pulang. Aku akan membantumu bersiap-siap," kata Johan seraya tersenyum.Ayu membalas senyumannya. Tiba-tiba Johan mengeluarkan seikat bunga mawar merah dan memberikannya pada Ayu. Mata Ayu membulat senang seraya menerimanya."Setelah mawar putih, sekarang mawar merah? Sekarang mas jadi romantis," kata Ayu deng
Johan berlari sebisa mungkin menuruni bukit, sambil menggendong tubuh Ayu yang tak sadarkan diri. Untunglah dia hanya terjatuh di sisi jurang, tapi kepalanya terbentur batu dengan keras."Kau harus bertahan, Ayu, kau harus bertahan! Demi Syakila, kau tidak boleh mati!" raungnya sepanjang jalan.Napas Johan memburu, paru-parunya seakan kering karena kehabisan oksigen. Dia masih berjuang menuruni bukit untuk menyelamatkan wanita yang dulu pernah dibuangnya itu.Sampai di perkampungan, Johan melihat para warga ramai berkumpul karena mobil pick up yang akan membawa hasil perkebunan mereka ke kota sudah datang. Johan mempercepat larinya menuju ke arah mobil itu sambil berteriak minta tolong."Tolong, tolong selamatkan istri saya, Pak! Bawa kami ke rumah sakit! Tolong!" teriaknya.Baru kali ini Johan meminta bantuan orang lain dengan kata 'tolong'. Dia bahkan tanpa sadar menyebut Ayu sebagai istrinya."Bagaimana dengan barang dagangan kami?" tanya salah satu warga."Saya akan bayar! Saya ak
Dhafa masih berdiri mematung sambil memperhatikan Ayu dan Johan dari jauh. Entah apa yang dia rasakan. Dia hanya bisa menatap nanar ke arah mereka."Kok mereka kelihatan bahagia begitu sih? Jangan-jangan mereka memang sengaja kabur bersama," gerutu Sonia.Dhafa akhirnya bergerak, tapi berjalan berbalik arah. Seketika Sonia sadar dia salah bicara. Dia cepat-cepat berlari mengejar Dhafa."Kau mau ke mana? Kita kan sudah berhasil menemukan mereka?" tanya Sonia sambil mendaki kembali bukit itu dengan susah payah.Dhafa diam tak menjawab. Dia tetap saja berjalan naik tanpa mendengarkan teriakan Sonia. Sesampainya ke atas, dia langsung menaiki mobilnya lagi. Sonia dengan susah payah berusaha naik ke atas. Napasnya memburu begitu sampai ke mobil."Kau itu menyebalkan! Tadi kau ngotot pengen cepat mencari mereka! Sekarang kenapa malah pergi?" omelnya pada Dhafa.Dhafa masih terdiam di depan kemudi. Ada yang berat di dalam dadanya, entah apa."Sekarang bagaimana? Apa kita suruh polisi saja yan
"Assalamualaikum," Ayu mengetuk pintu sebuah rumah berdinding bambu yang ada di dekat pematang sawah.Beberapa saat kemudian seorang nenek membuka pintu itu. Dia menatap heran pada mereka."Waalaikumussalam," Jawabnya."Maaf, Nek. Kami tersesat di hutan itu. Boleh kami menumpang istirahat di sini?" tanya Ayu sambil tersenyum."Tenang saja, kami akan bayar kok, Nek!" sela Johan.Ayu seketika menyikut perut Johan. Dasar tidak sopan, gumannya. Johan hanya bisa meringis kesakitan."Oooh," nenek itu tersenyum memperlihatkan giginya yang sebagian ompong. "Kalian tersesat ya, Cu? Kasihan, mari masuk sini."Ayu dan Johan masuk ke dalam rumah itu. Ayu duduk di atas tikar lusuh yang digelar di atas lantai tanah. Ayu kesal sekali pada Johan karena terlihat begitu jijik dengan suasana rumah itu. Dengan satu hentakan dia menarik tangan Johan untuk duduk."Kalian kelihatannya berasal dari kota. Kenapa bisa ada di daerah pelosok begini?" tanya nenek itu sambil membuatkan mereka teh."Kami... liburan
"Aku tidak selingkuh, Mas. Dhafa itu anakmu!" Sarah menangis ketika Nyonya Asmi melempar kopernya di halaman rumah."Tidak usah mencari pembelaan. Sudah jelas-jelas kamu bersama laki-laki itu setiap malam!" hardik Nyonya Asmi.Dhafa kecil menangis di pelukan ibunya. Pak Baskara perpaling pergi tanpa sepatah katapun, dan akhirnya menghilang di balik pintu gerbang yang akhirnya ditutup.Sarah bangkit, lalu menuntun Dhafa kecil menyusuri jalan."Kita mau kemana, Ma?" tanya Dhafa pada ibunya. "Kita pergi untuk sementara, Sayang. Sampai Mama bisa membuktikan bahwa kau adalah anak Papamu."Sarah mengajak Dhafa kecil ke rumah Rendi, adik angkatnya yang telah difitnah sebagai selingkuhannya. Selama ini Rendi memang satu-satunya keluarga yang dia miliki, dan selalu meminta bantuannya pada saat dia membutuhkannya."Alhamdulillah, akhirnya hasil tes DNAnya keluar. Ayo kita antar ke rumah Papamu, Nak," kata Sarah sambil menuntun Dhafa, beranjak pergi."Tunggu, Kak," cegah Rendi. "Di luar ada mobi
Johan berdiri di depan makam ibunya sambil menggendong Syakila. Dia masih diam mematung, tanpa tahu harus bagaimana. Apa dia harus menangis? Ah, ibunya tidak pernah mengajarinya untuk hal itu. Hatinya yang keras seperti batu itu kini kian mengeras. Mungkin dia memang sudah kehilangan apa yang dinamakan perasaan."Mas...."Johan melirik orang datang di sampingnya. Shafira berdiri di sana dengan menggunakan pakaian serba hitam, kerudung hitam dan kaca mata hitam."Aku turut berduka cita dengan apa yang dialami Mama," katanya lirih.Johan diam tak menjawab. Shafira merogoh tasnya, dan mengeluarkan sebuah surat. Diulurkannya surat itu pada Johan."Ini surat dari pengadilan agama. Pihak kepolisian juga melepaskanku karena tidak terlibat dengan semua perbuatan kalian. Aku akan berangkat ke Amerika setelah semuanya selesai."Johan menerima surat itu tanpa berkata apa-apa."Selamat tinggal, Mas."Shafira melangkah pergi, meninggalkan Johan yang masih berdiri mematung di tempatnya. Syakila tam