POV DhafaTak terasa hampir enam tahun lamanya aku mengabdi pada keluarga Baskara, dan menjadi supir pribadi Johan Baskara. Akhirnya aku berhasil mendapatkan kepercayaan mereka, dan dengan mudah menjadikan beberapa orang di rumah itu kaki tanganku. Sebentar lagi aku akan segera mengambil hakku kembali."Dhafa, antar kami ke suatu tempat," titah Nyonya Asmi padaku.Sesaat aku memperhatikan penampilan mereka yang rapi. Aku membukakan pintu mobil untuk mereka dan mulai menyetir. Nyonya Asmi menyuruhku masuk ke sebuah perkampungan.Mobil berhenti di depan sebuah rumah yang sangat sederhana. Kami semua turun. Nyonya Asmi dan Johan langsung mengetuk pintu, dan beberapa saat kemudian seorang pria tua membukanya, mempersilahkan mereka masuk.Aku menunggu di luar, duduk di samping meja yang penuh dengan buku. Aku sedikit tertarik pada gambar desaign baju yang menonjol dari salah satu tumpukan buku-buku itu."Kalau anda menolak, terpaksa saya akan mengambil rumah dan tanah ini!"Aku tersentak m
POV Dhafa"Bagaimana, apa kau berhasil?" tanyaku pada salah satu kaki tanganku yang ada di perusahaan Johan."Ini datanya, Bos," jawabnya, sambil memberikan hard disk berisi data tentang produk terbaru yang akan Keluarga Baskara luncurkan tiga bulan lagi.Setelah menerimanya aku langsung meluncurkan mobilku menuju sebuah perusahaan besar dengan bidang yang sama dengan yang Johan jalankan. Aku turun dari mobilku dan masuk ke dalam.Semua karyawan mengangguk hormat padaku. Benar, aku adalah pimpinan perusahaan yang kubangun beberapa tahun setelah aku kembali ke indonesia ini. Dari kecil aku memang dibesarkan di Korea, setelah kepergian ibuku.Aku segera membuka komputerku dan memasukkan data itu ke sana. Tak lupa aku membuat salinannya. Sekilas aku mempelajari lagi detailnya. Sepertinya Johan juga masih belum menggarap desaign untuk produknya.Mulai bulan depan adalah musim panas. Johan akan membuat produk yang nyaman dipakai di musim itu. Baju, tas, sepatu, make up sampai skin care har
POV Author"Ini tidak boleh dibiarkan!" kata Nyonya Asmi geram, sambil membanting vas yang ada di depannya."Tenang, Ma, nanti darah tinggi Mama kambuh lagi," kata Johan mencoba menenangkan Ibunya.Nyonya Asmi duduk di sofa yang ada di kamarnya. Tangannya mencengkeram kain penutup sofa itu dengan penuh emosi."Pantas saja, Baskara menulis nama anak itu di surat wasiatnya!" gumannya geram.Johan mengerutkan kening, lalu mendekati ibunya itu."Surat wasiat? Wasiat Papa maksud Mama?"Nyonya Asmi terdiam. Dia benar-benar terlihat marah. Rencana yang sudah dia susun selama bertahun-tahun sekarang harus hancur karena anak dari perempuan kampung itu. Juga perempuan kampung yang dia pungut beberapa tahun yang lalu."Tidak ada cara lain, kita harus melenyapkan semua barang bukti juga semua saksi untuk mempertahsnkan kedudukan kita!"Johan tersentak."Maksud Mama...."Nyonya Asmi menatap Johan."Kau harus menurut pada Mama, kalau tidak ingin posisimu tumbang!"Johan menelan ludah, lalu mengangg
Dhafa dan Ayu masih dalam perjalanan pulang, ketika gawai Dhafa berdering. Dhafa menyambungkan pada gawai di mobilnya dengan speaker."Hallo Bos," terdengar suara Ridwan, asistennya, dari seberang sana."Iya, ada kabar baru?" tanya Dhafa sambil tetap menyetir.Ayu hanya diam dan ikut mendengarkan."Perintah Bos yang tadi sudah kami lakukan. Ternyata perkiraan Bos benar.""Kalian sudah berhasil membereskannya?""Sudah, Bos, sesuai perintah.""Bagus."Ayu mengerutkan kening, tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Tapi dia tetap diam saja."Oh iya, satu lagi Bos. Tentang ibu kandung Pak Johan, kami sudah mengetahui identitas sekaligus alamatnya."Ayu tersentak. Ibu kandung Johan?"Bagus, kirim segera datanya padaku.""Siap, Bos."Dhafa menepikan mobilnya, dan berhenti di sisi jalan. Dhafa membuka gawainya ketika asistennya mengirimkan data padanya. Mata Dhafa membulat seketika setelah membacanya. Ayu memperhatikan wajah Dhafa yang menegang."Kenapa, Dhafa?" tanyanya.Dhafa menatap Ayu d
Johan mencengkeram lengan Shafira."Kau mau meninggalkanku di saat aku membutuhkan dukunganmu?" tanya Johan.Shafira tak langsung menjawab. Dia membuang muka."Aku gak bisa mengikutimu lagi," jawabnya kemudian."Tapi aku belum jatuh, Shafira!"Shafira menatap Johan tajam."Sekarang kau belum jatuh. Tapi sebentar lagi!" katanya. "Kau sudah tak punya apa-apa untuk dipertahankan."Johan melepaskan tangannya dari lengan Shafira, lalu mengacak rambutnya sendiri dengan emosi."Lalu bagaimana dengan Syakila?"Shafira memalingkan mukanya lagi."Aku tidak peduli. Kupikir suatu saat aku bisa menggunakannya untuk mendapatkan semua yang kuinginkan. Tapi ternyata, semua tidak sesuai dengan yang kupikirkan!"Shafira mengambil kopernya, lalu beranjak pergi."Akan segera kuurus surat perpisahan kita. Jangan cari aku lagi."Johan hanya terdiam mematung, membiarkan Shafira pergi meninggalkannya. Dia memang bukan tipe orang yang suka memohon, karena itulah yang diajarkan Nyonya Asmi padanya sedari kecil
Johan berdiri di depan makam ibunya sambil menggendong Syakila. Dia masih diam mematung, tanpa tahu harus bagaimana. Apa dia harus menangis? Ah, ibunya tidak pernah mengajarinya untuk hal itu. Hatinya yang keras seperti batu itu kini kian mengeras. Mungkin dia memang sudah kehilangan apa yang dinamakan perasaan."Mas...."Johan melirik orang datang di sampingnya. Shafira berdiri di sana dengan menggunakan pakaian serba hitam, kerudung hitam dan kaca mata hitam."Aku turut berduka cita dengan apa yang dialami Mama," katanya lirih.Johan diam tak menjawab. Shafira merogoh tasnya, dan mengeluarkan sebuah surat. Diulurkannya surat itu pada Johan."Ini surat dari pengadilan agama. Pihak kepolisian juga melepaskanku karena tidak terlibat dengan semua perbuatan kalian. Aku akan berangkat ke Amerika setelah semuanya selesai."Johan menerima surat itu tanpa berkata apa-apa."Selamat tinggal, Mas."Shafira melangkah pergi, meninggalkan Johan yang masih berdiri mematung di tempatnya. Syakila tam
"Aku tidak selingkuh, Mas. Dhafa itu anakmu!" Sarah menangis ketika Nyonya Asmi melempar kopernya di halaman rumah."Tidak usah mencari pembelaan. Sudah jelas-jelas kamu bersama laki-laki itu setiap malam!" hardik Nyonya Asmi.Dhafa kecil menangis di pelukan ibunya. Pak Baskara perpaling pergi tanpa sepatah katapun, dan akhirnya menghilang di balik pintu gerbang yang akhirnya ditutup.Sarah bangkit, lalu menuntun Dhafa kecil menyusuri jalan."Kita mau kemana, Ma?" tanya Dhafa pada ibunya. "Kita pergi untuk sementara, Sayang. Sampai Mama bisa membuktikan bahwa kau adalah anak Papamu."Sarah mengajak Dhafa kecil ke rumah Rendi, adik angkatnya yang telah difitnah sebagai selingkuhannya. Selama ini Rendi memang satu-satunya keluarga yang dia miliki, dan selalu meminta bantuannya pada saat dia membutuhkannya."Alhamdulillah, akhirnya hasil tes DNAnya keluar. Ayo kita antar ke rumah Papamu, Nak," kata Sarah sambil menuntun Dhafa, beranjak pergi."Tunggu, Kak," cegah Rendi. "Di luar ada mobi
"Assalamualaikum," Ayu mengetuk pintu sebuah rumah berdinding bambu yang ada di dekat pematang sawah.Beberapa saat kemudian seorang nenek membuka pintu itu. Dia menatap heran pada mereka."Waalaikumussalam," Jawabnya."Maaf, Nek. Kami tersesat di hutan itu. Boleh kami menumpang istirahat di sini?" tanya Ayu sambil tersenyum."Tenang saja, kami akan bayar kok, Nek!" sela Johan.Ayu seketika menyikut perut Johan. Dasar tidak sopan, gumannya. Johan hanya bisa meringis kesakitan."Oooh," nenek itu tersenyum memperlihatkan giginya yang sebagian ompong. "Kalian tersesat ya, Cu? Kasihan, mari masuk sini."Ayu dan Johan masuk ke dalam rumah itu. Ayu duduk di atas tikar lusuh yang digelar di atas lantai tanah. Ayu kesal sekali pada Johan karena terlihat begitu jijik dengan suasana rumah itu. Dengan satu hentakan dia menarik tangan Johan untuk duduk."Kalian kelihatannya berasal dari kota. Kenapa bisa ada di daerah pelosok begini?" tanya nenek itu sambil membuatkan mereka teh."Kami... liburan
"Mamaaa...," Dhafa kecil menangis sambil berlari ke arah mamanya.Sarah langsung mendekap putra semata wayangnya itu."Ada apa, Sayang?" tanyanya sambil mengelus rambut puteranya."Johan merebut mainanku!" rengeknya. "Kenapa sih, dia selalu merebut semua milikku?"Sarah tersenyum. Dia menghapus air mata puteranya, lalu mencium keningnya."Dia tidak merebut semua milikmu. Dia hanya menjaganya, dan suatu saat nanti akan mengembalikannya padamu."Benarkah?" tanya Dhafa dengan wajah polosnya.Ibunya mengangguk, lalu memeluknya."Suatu saat nanti, apa yang dimiliki Johan akan jadi milikmu juga."...Dhafa tersenyum sambil melihat pemandangan langit dari jendela pesawat."Apa yang kau pikirkan? Kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya Sonia tiba-tiba.Dhafa tak menjawab. Dia hanya membuang napas."Senang sekali kita pulang tepat waktu musim semi. Jadi kita bisa melaksanakan acara pertunangan secara outdoor," kata Sonia membuka-buka majalah.Aku membuang napas lagi. Dia sedang dalam perjalanan
Ayu berlari di sepanjang bandara internasional itu, berharap bisa menemukan Dhafa. Dia terus berlari, menerobos kerumunan orang-orang, kloter demi kloter dia telusuri, tapi tak juga menemukan sosok Dhafa di antara mereka. Hingga ketika dia hampir putus asa, dia melihatnya diantara orang-orang yang antri untuk cek in."Dhafa!" panggilnya dari jauh.Dhafa menoleh, begitupun Sonia yang ada di sampingnya. Ayu dan Dhafa saling bertatapan, tapi tak berkata apa-apa.Sonia menepuk bahu Dhafa."Aku duluan, kutunggu di dalam," katanya, sambil menyerahkan tiket pada petugas bandara.Ayu masih berdiri di tempatnya. Tadi begitu banyak yang ingin dia ungkapkan pada Dhafa. Tapi kini dia kehilangan kata-kata. Dia bahkan tak bisa mengucapkan 'jangan pergi'.Dhafa berjalan mendekat, lalu berdiri di hadapan Ayu. Bibir Ayu bergetar, tapi dia tak bisa berkata apa-apa. Hanya air matanya yang mengalir, mewakili isi hatinya. Dhafa menyentil pelipisnya Ayu, lalu mengusap air matanya dengan ujung jarinya."Jan
Belum sempat Johan mengatakan sesuatu lagi, tiba-tiba Ayu duduk bersimpuh di kakinya seraya menangis."Tolong maafkan aku, Mas. Aku pergi ke sini tanpa ijin dari Mas. Aku benar-benar merindukan ayahku! Kumohon, biarkan aku di sini sebentar lagi! Setelah itu, aku akan menerima jika Mas dan Mama mau menghukumku!"Napas Johan sesak seketika. Ternyata ingatan Ayu belum pulih, dan ternyata selama menikah dengannya dia begitu menderita. Johan duduk di hadapan Ayu, dan seketika memeluknya dengan erat."Maafkan aku, sudah membuatmu begitu menderita," ucap Johan penuh penyesalan. "Mulai sekarang aku janji akan membuatmu bahagia. Aku janji tidak akan mengurungmu dan mengekangmu lagi. Aku akan menjagamu sampai kapanpun!"Mata Ayu membulat mendengar kata-kata Johan."Mas tidak marah?" tanya Ayu lirih."Mas tidak marah, tidak akan pernah marah lagi padamu. Mulai hari ini, biarkan aku membuat kau dan Syakila hidup bahagia."Ayu tersenyum bahagia, lalu membalas pelukan Johan dengan penuh keharuan. T
"Ikutlah denganku, akan kubuat kau jadi kaya."Ayu tersentak bangun. Sesaat dia memegang kepalanya yang masih terasa nyeri. Dia selalu memimpikan hal yang sama. Seseorang, entah siapa, dalam mimpi itu mengulurkan tangan padanya. Ayu memegang dadanya. Entah kenapa seperti ada yang hilang, tapi dia tidak bisa mengingatnya.Ayu menatap sekeliling. Dia masih berada di rumah sakit. Tiba-tiba matanya mengarah pada setangkai bunga mawar putih di atas meja. Ayu mengambilnya, lalu membelainya seraya tersenyum. Siapa yang memberinya bunga itu?"Asallamualaikum.""Waalaikumussalam," Ayu menatap pintu, dan melihat Johan masuk sambil menggendong Syakila."Kata dokter hari ini kau sudah boleh pulang. Aku akan membantumu bersiap-siap," kata Johan seraya tersenyum.Ayu membalas senyumannya. Tiba-tiba Johan mengeluarkan seikat bunga mawar merah dan memberikannya pada Ayu. Mata Ayu membulat senang seraya menerimanya."Setelah mawar putih, sekarang mawar merah? Sekarang mas jadi romantis," kata Ayu deng
Johan berlari sebisa mungkin menuruni bukit, sambil menggendong tubuh Ayu yang tak sadarkan diri. Untunglah dia hanya terjatuh di sisi jurang, tapi kepalanya terbentur batu dengan keras."Kau harus bertahan, Ayu, kau harus bertahan! Demi Syakila, kau tidak boleh mati!" raungnya sepanjang jalan.Napas Johan memburu, paru-parunya seakan kering karena kehabisan oksigen. Dia masih berjuang menuruni bukit untuk menyelamatkan wanita yang dulu pernah dibuangnya itu.Sampai di perkampungan, Johan melihat para warga ramai berkumpul karena mobil pick up yang akan membawa hasil perkebunan mereka ke kota sudah datang. Johan mempercepat larinya menuju ke arah mobil itu sambil berteriak minta tolong."Tolong, tolong selamatkan istri saya, Pak! Bawa kami ke rumah sakit! Tolong!" teriaknya.Baru kali ini Johan meminta bantuan orang lain dengan kata 'tolong'. Dia bahkan tanpa sadar menyebut Ayu sebagai istrinya."Bagaimana dengan barang dagangan kami?" tanya salah satu warga."Saya akan bayar! Saya ak
Dhafa masih berdiri mematung sambil memperhatikan Ayu dan Johan dari jauh. Entah apa yang dia rasakan. Dia hanya bisa menatap nanar ke arah mereka."Kok mereka kelihatan bahagia begitu sih? Jangan-jangan mereka memang sengaja kabur bersama," gerutu Sonia.Dhafa akhirnya bergerak, tapi berjalan berbalik arah. Seketika Sonia sadar dia salah bicara. Dia cepat-cepat berlari mengejar Dhafa."Kau mau ke mana? Kita kan sudah berhasil menemukan mereka?" tanya Sonia sambil mendaki kembali bukit itu dengan susah payah.Dhafa diam tak menjawab. Dia tetap saja berjalan naik tanpa mendengarkan teriakan Sonia. Sesampainya ke atas, dia langsung menaiki mobilnya lagi. Sonia dengan susah payah berusaha naik ke atas. Napasnya memburu begitu sampai ke mobil."Kau itu menyebalkan! Tadi kau ngotot pengen cepat mencari mereka! Sekarang kenapa malah pergi?" omelnya pada Dhafa.Dhafa masih terdiam di depan kemudi. Ada yang berat di dalam dadanya, entah apa."Sekarang bagaimana? Apa kita suruh polisi saja yan
"Assalamualaikum," Ayu mengetuk pintu sebuah rumah berdinding bambu yang ada di dekat pematang sawah.Beberapa saat kemudian seorang nenek membuka pintu itu. Dia menatap heran pada mereka."Waalaikumussalam," Jawabnya."Maaf, Nek. Kami tersesat di hutan itu. Boleh kami menumpang istirahat di sini?" tanya Ayu sambil tersenyum."Tenang saja, kami akan bayar kok, Nek!" sela Johan.Ayu seketika menyikut perut Johan. Dasar tidak sopan, gumannya. Johan hanya bisa meringis kesakitan."Oooh," nenek itu tersenyum memperlihatkan giginya yang sebagian ompong. "Kalian tersesat ya, Cu? Kasihan, mari masuk sini."Ayu dan Johan masuk ke dalam rumah itu. Ayu duduk di atas tikar lusuh yang digelar di atas lantai tanah. Ayu kesal sekali pada Johan karena terlihat begitu jijik dengan suasana rumah itu. Dengan satu hentakan dia menarik tangan Johan untuk duduk."Kalian kelihatannya berasal dari kota. Kenapa bisa ada di daerah pelosok begini?" tanya nenek itu sambil membuatkan mereka teh."Kami... liburan
"Aku tidak selingkuh, Mas. Dhafa itu anakmu!" Sarah menangis ketika Nyonya Asmi melempar kopernya di halaman rumah."Tidak usah mencari pembelaan. Sudah jelas-jelas kamu bersama laki-laki itu setiap malam!" hardik Nyonya Asmi.Dhafa kecil menangis di pelukan ibunya. Pak Baskara perpaling pergi tanpa sepatah katapun, dan akhirnya menghilang di balik pintu gerbang yang akhirnya ditutup.Sarah bangkit, lalu menuntun Dhafa kecil menyusuri jalan."Kita mau kemana, Ma?" tanya Dhafa pada ibunya. "Kita pergi untuk sementara, Sayang. Sampai Mama bisa membuktikan bahwa kau adalah anak Papamu."Sarah mengajak Dhafa kecil ke rumah Rendi, adik angkatnya yang telah difitnah sebagai selingkuhannya. Selama ini Rendi memang satu-satunya keluarga yang dia miliki, dan selalu meminta bantuannya pada saat dia membutuhkannya."Alhamdulillah, akhirnya hasil tes DNAnya keluar. Ayo kita antar ke rumah Papamu, Nak," kata Sarah sambil menuntun Dhafa, beranjak pergi."Tunggu, Kak," cegah Rendi. "Di luar ada mobi
Johan berdiri di depan makam ibunya sambil menggendong Syakila. Dia masih diam mematung, tanpa tahu harus bagaimana. Apa dia harus menangis? Ah, ibunya tidak pernah mengajarinya untuk hal itu. Hatinya yang keras seperti batu itu kini kian mengeras. Mungkin dia memang sudah kehilangan apa yang dinamakan perasaan."Mas...."Johan melirik orang datang di sampingnya. Shafira berdiri di sana dengan menggunakan pakaian serba hitam, kerudung hitam dan kaca mata hitam."Aku turut berduka cita dengan apa yang dialami Mama," katanya lirih.Johan diam tak menjawab. Shafira merogoh tasnya, dan mengeluarkan sebuah surat. Diulurkannya surat itu pada Johan."Ini surat dari pengadilan agama. Pihak kepolisian juga melepaskanku karena tidak terlibat dengan semua perbuatan kalian. Aku akan berangkat ke Amerika setelah semuanya selesai."Johan menerima surat itu tanpa berkata apa-apa."Selamat tinggal, Mas."Shafira melangkah pergi, meninggalkan Johan yang masih berdiri mematung di tempatnya. Syakila tam