Namun belum lama kehangatan itu mereka rasakan sebagai satu keluarga utuh, Sita datang. Mengacaukan momen yang seharusnya dapat menjadi indah."Jawab, Mas!" Sita sedikit berteriak karena Dimas terus membisu.Lengang. Lidah Dimas kelu. Tenggorokannya terasa kering. Suaranya seperti tidak mau keluar untuk menjawab tanya Sita.Sita menghentakkan kakinya kesal. Pergi begitu saja meninggalkan Dimas yang masih terpaku. Wanita itu membuka pintu dan segera menggandeng Rindu. Tanpa sempat berpamitan dengan siapapun, Rindu yang terlihat bingung, patah-patah mengikuti langkah ibunya.Lelaki itu menghembuskan napas kasar. Entah kenapa semakin lama Sita semakin membuatnya bingung. Bahkan secara sadar dia merasa, Sita mulai membenahi hatinya.Dimas sebenarnya tidak terlalu terkejut dengan kelakuan "ajaib" yang kadang dilakukan Sita. Dua tahun berpacaran dan tiga tahun membina rumah tangga membuatnya cukup mengenal bagaimana mantan istrinya itu.Sebagai anak tunggal yang lahir dari keluarga kaya, Si
Hanin mendengarkan semua percakapan Sita dan Dimas dari dalam. Pintu kamar yang tidak tertutup dengan rapat membuat suara mereka terdengar dengan jelas.Hatinya terasa sangat sakit saat mengetahui lelaki yang masih sah menjadi suaminya itu begitu takluk pada wanita lain. Takluk pada seorang wanita bergelar mantan.Hanin tersadar dari pikirannya saat bayi kecil dalam pelukannya menggeliat pelan.Wanita itu terpana. Mata kecil itu menatapnya penuh pengharapan. Hanin menghapus air matanya yang tiba-tiba mengalir. Dia tertawa dalam tangisnya. Menyadari bayi mungil itu dari tadi memperhatikannya.Sesat kemudian Hanin menunaikan kewajibannya sebagai seorang ibu. Hatinya terasa hangat saat merasakan bibir kecil itu menyentuh kulitnya, mencari sumber kehidupan. Cinta Hanin berkecambah. Sungguh. Dia telah jatuh cinta pada makluk mungil yang berada di dekapannya, bahkan sejak mereka belum pernah berjumpa.Sedotan halus di sana membuat air mata Hanin kembali mengalir. Mata kecil itu masih terus
"Sal …." Dimas langsung berdiri tegak melihat adik iparnya itu datang"Untuk apa datang kemari jika kehadiran Mas hanya membuat Kak Hanin sedih? Mau seperti apa lagi Mas menyakiti kakakku? Mas Dim ceraikan Kak Hanin saat dia sedang hamil besar. Itu membuat Kak Hanin sangat tertekan, Mas. Setiap hari kerjaannya hanya di kamar. Alhamdulillah persalinan hari ini lancar, walau sempat ada pendarahan yang cuku parah." Saldi mengepalkan tangannya.Andai dia tidak ingat kalau orang yang ada di depannya ini masih suami kakaknya. Sudah sejak tadi bogem mentah itu melayang.Lima belas tahun. Usia yang terbilang masih sangat muda. Namun karena ditempa oleh keadaan. Cara berpikir Saldi lebih cepat dewasa dari pada usianya.Dilahirkan dalam keadan tanpa Ayah, membuat dia sebagai anak laki-laki satu-satunya di rumah berusaha menggantikan peran itu. Dia betul-betul menjaga dan melindungi dua wanita yang sangat berharga dan berjasa dalam hidupnya. "Kok ngobrol di luar? Ayo ayo masuk. Kasian Hanin dit
"Bismillahirrahmanirrahiim. Pada hari ini, Jum'at, dua puluh sembilan November tahun dua ribu dua puluh satu. Saya, Dimas Abimana Bin Roy Abimana. Menjatuhkan talak satu raj'i kepada istri saya Haninna Andhira binti almarhum Hasyim ….""Kak …." Saldi sedikit membungkuk ke depan, berbisik memanggil kakak perempuan satu-satunya itu.Hanin mengangkat kepala. Menoleh ke belakang, menatap Saldi dengan mata berkaca-kaca. Baru saja ikrar talak dibacakan Dimas. Resmi sudah secara hukum dan agama, mereka berpisah.Cepat Hanin menoleh lagi ke depan sebelum Saldi melihat air matanya jatuh. Wanita itu menggigit bibir. Sakit. Jiwanya terluka. Perasaannya mendadak hampa. Berakhir. Hari ini, kisahnya dan Dimas resmi berakhir.Cerita indah yang selama dua tahun mereka bina, berakhir begitu saja tanpa ada masalah apapun sebelumnya. Hanin ingat sekali. hari itu, hari yang seharusnya menjadi waktu mereka bersantai dan bersenda gurau bersama, justru menjadi yang membuat Hanin begitu terluka.Ingatan Hani
Sita membuang muka. Sebagai wanita, ada sedikit iba dalam hatinya. Namun egonya menutup itu semua. Dimas harus menjadi miliknya.Hanin tersenyum melihat Sita membuang muka. Wanita itu kembali menatap ke depan. Tidak lama dia menunduk. Semua kenangan selama dia dan Dimas berumahtangga menari-nari di pikirannya.Hanin menghembuskan napas dengan keras. Mengingat semua hal terbaik yang dia lakukan beberapa bulan terakhir. Mengabaikan rasa sakitnya, dia tetap melayani Dimas dengan biasa. Wanita itu bahkan pura-pura tidak mendengar saat Dimas dengan sengaja bertelpon ria dengan Sita berjam-jam lamanya hampir setiap malam. Memilih mengabaikannya.Bahkan sampai detik terkahir dia tinggal bersama Dimas, dia masih menyediakan sarapan dan makan malam untuknya. Berharap sedikit saja lelaki itu menyadari besarnya perasaan yang dia punya.Hingga akhirnya Hanin memutuskan menyerah.Hari itu. Saat dia baru saja melahirkan buah hati mereka, badannya bahkan masih menggigil karena pengaruh obat bius dan
"Nin …." Ada getar di suara Dimas, saat menyebut nama wanita yang kini resmi menjadi mantan istrinya.Setelah mengalami perdebatan batin yang cukup alot, akhirnya Dimas memutuskan untuk menyapa Hanin begitu persidangan selesai.Tadi sekilas dia melihat Hanin menoleh ke arahnya saat ikrar talak selesai dibacakan. Namun dia terlalu pengecut untuk membalas tatapan wanita yang telah diceraikannya itu. Jadilah dia pura-pura membicarakan sesuatu dengan kuasa hukumnya.Entah mengapa. Ada yang hilang dari jiwanya, saat ikrar talak keluar dari lisannya. Hatinya mendadak kosong. Perasaanya hampa. Raganya bagaikan melayang, seolah hilang pegangan.Dimas merasa dadanya sesak. Badannya panas dingin. Ada apakah gerangan? Selalu beginikah perasaan seorang suami yang menceraikan istrinya?"Nin …." Kali kedua Dimas memanggil Hanin. Wanita itu tetap menunduk. Entah suaranya yang memang tidak keluar, atau hanin yang berpura tak mendengar.Sementara di sisi lainnya. Hati Hanin menjerit saat mendengar sua
Lagi pula, kenapa Hanin mau menatapnya berlama-lama? Dimas menggigit bibir. Dia merasa sangat bodoh sekali. Apa yang dia harapkan sebenarnya? Apakah dia berharap wanita berjilbab biru langit itu kembali mengemis cinta padanya?Hanin menggelang. Entah kenapa ujung tangannya terasa dingin. Berada didekat Dimas membuatnya merasa tidak nyaman."Aku tidak mau dalam usianya yang belum genap empat bulan, anak laki-lakiku itu sudah merasakan pengalaman pahit ini, Mas. Walaupun dia belum mengerti, tapi hatinya pasti merasakan apa yang kita alami hari ini."Dimas tercekat. Sulit rasanya dia menarik napas.Lelaki itu sebenarnya merindu. Ingin sekali rasanya dia memeluk tubuh kecil hangat yang dia adzankan waktu itu. Bahkan matanya sering basah, saat mengingat tubuh kecil itu menggeliat halus dalam dekapannya. "Anak kita sehat, Nin?" Ah … entah kenapa Dimas merasa janggal mengatakan itu. Anak kita? Dulu dia bahkan dengan lugas mengatakan tidak ingin mengenalnya.Hanin tersenyum kecil. Hatinya me
"Ini undangan resepsi pernikahan kami, Nin. Sekitar dua minggu lagi. Datanglah." Sita mengulurkan undangan itu pada Hanin."Sita.""Kenapa, Mas?""Kau terlalu berlebihan. Ini masih di ruang persidangan." Dimas menatap tajam wanita cantik itu."Apanya yang berlebihan?" Sita tertawa kecil. Kembali mengulurkan undangan itu pada Hanin.Hanin mengernyit. Enggan menerima undangan berwarna merah dengan pita emas sebagai pengikatnya itu.Sita tersenyum. Tentu wanita di hadapannya ini merasa tertekan. Dia harus menunjukan Dimas sekarang miliknya. Dia lah pemenangnya."Datanglah, seperti dulu aku datang di pernikahan kalian." Sita meletakkan undangan itu di pangkuan Hanin."Maaf, aku tidak bisa datang." Hanin mengangkat kepala. Menatap wanita cantik yang tersenyum lebar di hadapannya.."Kau harus datang, Nin! Kar ….""Kenapa harus?" Cepat saja Hanin memotong ucapan Sita."Agar semua baik-baik saja di antara kita.""Aku tidak merasa perlu baik-baik saja denganmu, Ta. Lagi pula kenapa aku harus b
"Lagi mikirin apa, Yang?" Suara lembut Hadyan membuat Hanin mengalihkan pandangan dari bunga sakura yang sedang mekar.Musim Semi.Sepanjang jalan dan taman-taman dipenuhi oleh bunga sakura yang sedang mekar. Bermacam warna menyemarakkan suasana. Merah muda pudar, putih, kuning muda, merah menyala dan masih banyak lagi.Indah.Mata Hanin tidak lepas dari hamparan bunga di depannya. Ini pengalaman pertamanya melihat bunga sakura dan merasakan musim semi di Jepang."Jangan terlalu serius. Nanti dedek di perut ikutan pusing, loh."Hanin tertawa mendengar ucapan Hadyan. Wanita itu mengelus kepala Hadyan yang sedang menciumi perutnya yang masih rata. Kehamilannya baru menginjak usia lima belas minggu."Kamu mau kuliah, Yang?" Hadyan menatap mata Hanin setelah puas "bercengkrama" dengan calon bayi di dalam perut Hanin."Kuliah? Apa aku bisa mendapatkan beasiswa seperti mas?" Hanin mengernyitkan keningnya."Biaya tidak masalah. Toh bisnis resto kita di Indonesia sebentar lagi akan peresmian
Hujan gerimis mengiringi pemakaman Dimas. Payung-payung hitam bertebaran memenuhi area pemakaman. Tepat sebelum papan penutup kuburan diletakkan, rekaman suara Dimas telah terkirim ke nomor telepon Hanin di Jepang.Saldi dan Mbok Ti ikut mengantar Dimas ke peristirahatan terakhirnya. Saldi akhirnya bersedia mengirimkan rekaman suara yang berisi permintaan maaf Dimas kepada kakaknya.Isak tangis terus terdengar dari Mama Desi. Wanita itu beberapa kali pingsan saat proses pemakaman Dimas. Pun dengan Rindu. Mata gadis remaja itu terlihat sembab. Dia berusaha keras agar terlihat tabah. Semua demi ibunya, Sita.Perlahan Rindu mulai mengerti apa yang terjadi pada ibunya. Meski begitu, dia tidak membenci Sita. Walau bagaimana pun, dia pernah merasakan Sita sangat menyayanginya. Rasa sayang pada ibunya tidak berkurang sedikit pun, walau dia tahu kadang Sita tak bisa mengenalinya."Mas Dimas." Sita berbisik lirih.Rindu memeluk ibunya. Ini pertama kali Sita bersuara sejak mengetahui Dimas tela
"Pakai hatimu, Sal. Apakah masih pantas disaat seperti ini kau membahas kesalahan Dimas? Dimas sekarat! Dimana hati kalian hingga tega menghukum orang yang sudah tidak berdaya?" Papa Roy akhirnya bersuara. Telinganya panas mendengar anaknya terus menjadi bulan-bulanan Saldi sejak tadi."Jangan bicara masalah hati, Pak Roy. Perlu saya ambil kaca agar kalian tahu siapa yang lebih tega? Dimana hati kalian saat melihat anakku dicampakkan dalam keadaan hamil besar? Susah payah dia hadir di persidangan, berharap hati Dimas terketuk melihat perutnya yang membuncit!" Mbok Ti mengusap air matanya yang mengalir."Itu masa lalu! Dimas dan Hanin bahkan sudah berdamai. Tidak perlu diungkit lagi! Apa susahnya hanya berbicara melalui telepon?" Papa Roy mengepalkan tangan."Ini bukan perkara susah atau mudah, Om." Saldi menggeleng tidak percaya."Saya kira anda bisa berpikir lebih dewasa. Ternyata sikap kekanakan Mas Dimas menurun dari anda." Saldi tertawa kecil."Ini masalah perasaan. Apakah kalian
"Kecelakaan tunggal yang terjadi pada hari Selasa, sekitar jam setengah sembilan malam di Daan Mogot, menyebabkan pengemudinya koma dan masih belum sadarkan diri hingga saat ini.""Nasib tragis menimpa rumah tangga D Dan S. D yang saat ini koma, dulunya seorang karyawan di salah satu perusahaan ternama sebagai kepala divisi IT sebelum mengalami kecelakaan tunggal selasa lalu. Sementara istrinya, S, pernah menjabat sebagai General Manager di salah satu perusahaan sebelum kini mengalami gangguan jiwa.Pasangan yang seharusnya sangat ideal andai semua musibah tidak terjadi. Apakah ini karma karena mereka membangun rumah tangga di atas tangis seorang istri yang tengah membawa titipan di rahimnya?"Kecelakaan yang dialami Dimas menjadi pemberitaan nasional baik di televisi maupun media cetak. Bagaimana tidak, setelah video viral Sita melabrak Hanin beberapa tahun yang lalu mendapat reaksi yang sangat meledak di masyarakat.Kini, berita tentang kecelakaan yang dialami Dimas serta Sita yan
"Siapa kamu, datang dan pergi sesukamu? Kakak dan keponakanku bukan mainan. Kau tinggalkan saat bosan, kemudian kau datangi lagi saat kau ingin memainkannya." Suara Saldi terdengar berat. Membuat Dimas mengerutkan keningnya. "Kau tahu? Dipta sakit berhari-hari karena kehilangan sosok yang sangat ingin diakui sebagai ayah. Apa kau benar-benar tidak ada waktu walau hanya sekedar melakukan panggilan video barang sejenak? Anak lelaki itu merindukan kehangatan pelukan dan senda gurau seorang ayah. Tetapi, kau dimana? Kau abai dengan hal itu. Entah lupa atau sengaja melupakan. Hanya Allah yang maha mengetahui rahasia hati.""Aku minta maaf untuk semua itu, Sal. Aku datang kemari berusaha untuk memperbaiki semua kesalahan yang pernah kulakukan pada kakakmu dan Dipta.""Apa yang ingin kau perbaiki? Semua sudah terlanjur rusak saat kau torehkan luka berkali-kali pada hati kakakku. Kau adalah gambaran seorang suami dan seorang ayah yang gagal. Tidak cukup kau sakiti ibunya saat hamil, kau tamb
"Kalian boleh tutup mulut serapat mungkin. Tetapi kupastikan aku akan mengusut tuntas kasus ini! Tidak akan hidup tenang orang yang sudah membuat hidup istriku hancur!" Dimas menatap sekitar.Rani langsung menarik Dimas keluar dari ruangan. Dia tidak mau suami sahabatnya itu semakin berbicara yang tidak-tidak."Dim, lebih baik fokus saja pada pengobatan Sita. Sudahi semua hal yang membuat keributan ini. Hal ini bisa memperburuk kondisi Sita."Dimas berdecak sebal saat mendengar omongan Rani."Beri aku gambaran orang seperti apa Hadyan, Ran.""Hah?! Hadyan?" Rani bingung kenapa tiba-tiba Dimas membahas Hadyan."Ada kemungkinan dia terlibat dalam menyabotase Sita dengan menyebarkan video itu. Kata Levy, Hadyan mengetahui perihal video itu sebelum tersebar. Sebagai seorang atasan, seharusnya dia memerintahkan pada bawahannya untuk menghapus video itu. Anehnya lagi, lelaki itu memilih tutup mulut saat Sita mengamuk dan menuduh Hanin yang menyebarkankannya."Rani menggeleng sambil menarik
"Bu Levy, ada tamu." Security memberitahu Levy yang sedang sibuk dengan setumpuk dokumen dan laptop di depannya."Tamu? Siapa, Pak?" Levy mengernyitkan kening sambil melirik jam di tangannya. Siapa yang bertamu sesore ini? Sepuluh menit lagi bahkan adzan maghrib akan berkumandang."Namanya Pak Dimas, katanya ada hal penting yang ingin dibicarakan. Orangnya menunggu di ruang tunggu tamu." Security menjawab sambil pamit undur diri.Levy mengangguk pada security. Hatinya mendadak sedikit ciut. Ada apa gerangan Dimas kemari? Apa benar lelaki itu tahu dia yang pertama kali menyebarkan video Sita melabrak Hanin di warung?"Levy?"Levy terkejut saat mendengar ada yang menyebut namanya"Eh, Dim?" Sedikit tergagap dia mengangkat kepala, menatap Dimas yang tiba-tiba sudah berdiri di depan mejanya."Bisa bicara sebentar?" Dimas bertanya dengan tatapan tajam."Maaf. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Levy meletakkan tangan pada tumpukan dokumen di atas meja "Ini hal penting.""Maaf
"Lebih baik Bu Sita untuk sementara dibawa ke RSJ, Pak. Selain karena kondisinya yang sangat tidak stabil dapat membahayakan dirinya dan orang lain, juga agar saya lebih mudah memonitor respons pasien terhadap pengobatan dan terapi."Setelah berembuk beberapa saat, mereka mengambil keputusan untuk sementara Sita akan dirawat di rumah saja. Mereka akan meningkatkan penjagaan agar wanita itu tidak melakukan hal-hal yang membahayakan."Awas saja kalah kau sampai kembali pada Hanin, Mas! AKU AKAN MENCINCANG WANITA MISKIN ITU DENGAN KEDUA TANGANKU!"Sontak semua yang ada di kamar terkejut. Sita yang tadinya diam dan terlihat sangat terkendali saat ada psikiater yang datang mendadak kumat lagi.Entah mengapa, sepertinya rumah ini menyayat kembali lukanya yang mulai sembuh beberapa waktu yang lalu. Trauma itu sempurna kembali. Menelikung dan mempengaruhi alam bawah sadar Sita.Wanita itu mengamuk membabi buta. Menyerang siapa saja yang mencoba menahan gerakannya. Dia bahkan mencakar tangan R
"Ta." Bu Rita langsung maju dan memeluk Sita yang terlihat sangat kalap. Dia memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan Bu Rita melemparkan bantal dan menghempas-hempaskan tubuhnya di ranjang.Dimas langsung menghubungi psikiater yang dulu merekomendasikan Sita agar menjalani pengobatan jauh dari tempat yang bisa membangkitkan traumanya. Sementara Mama Desi memeluk Rindu yang menangis sesenggukan melihat keadaan ibunya."Mohon maaf menyebabkan keributan ya, Pak, Bu." Mama Desi sekilas menangkap suara Papa Roy. Tadi memang terdengar ada yang mengucap salam. Mungkin tetangga yang merasa terganggu karena teriakan Sita."Pak Roy kapan pulang? Itu kenapa teriak-teriak?" Salah satu tetangga bertanya. Ada sekitar lima orang bapak-bapak dan ibu-ibu yang berkerumun di depan rumah. Mereka heran karena rumah yang setahu mereka kosong selama beberapa bulan ini, mendadak menjadi ramai karena suara teriakan."Baru saja sampai, Pak." Papa Roy menjawab sambil tersenyum."Sita masih gila ya?"