Skakmat ….Fiona mati kutu dibuat Ayra tak berkutik oleh perkataan. Namun, bukan Fiona namanya malau mengaku begitu saja. Jelas ia akan mencari seribu alasan untuk mengeles. "Ah kamu sok tahu banget sih. Mungkin kamu salah dengar, aku memang ada alergi dan aku tadi ada nyobain sedikit makanan yang dihidangkan di sini. Yah, meskipun makanannya dari restoran pilihan Papi tapi tetap saja kan piringnya dari rumah kumuhmu ini." Ayra mencebik dan ia membalas ucapan Fiona dengan telak. "Meskipun kumuh nyatanya Papimu sangat tergila-gila padaku. Dan sepertinya mulai sekarang kamu harus terbiasa untuk sering main kesini karena sebentar lagi aku akan menjadi Ibumu. Bukankah seorang anak harus patuh dan hormat pada Ibunya?" Setelah mengatakan itu Ayra pun pergi meninggalkan Fiona yang semakin bertambah kesal. ia tidak lagi ingin melanjutkan percakapannya dengan Fiona karena baginya itu hanya sia-sia saja. Yang ada dia semakin emosi dan itu membuat dia akan terlihat buruk di deoan Ibra. Akhirny
Aku permisi dulu." Ayra pun berbalik badan dan berniat meninggalkan Ibra yang masih shock dengan apa yang Ayra katakan. Sungguh, dalam pikiran Ibra tidak ada sedikit pun terbesit rasa ingin mengakhiri hubungan dengan Ayra hanya karena urusan Mayang. Sejatinya Ibra justru akan membela Ayra karena menurutnya Mayang juga sudah sangat keterlaluan. "Ayra tunggu! Jangan pergi biar Mas luruskan!" Ibra tetap menggenggam tangan Ayra hang sudah membelakanginya. Merasa namanya dipanggil Ayra pun kembali membalikkan tubuhnya dan kembali menghadap Ibra serta keluarganya. "Mayang, tolong kamu hargai keputusan, Mas. Ini adalah hidup Mas untuk masa depan dan masa tuanya Mas. Jadi Mas harap kamu hormati iru. Kamu kalau kamu jomblo ya jomblo sendiri aja jangan ajak-ajak Mas. Salah kamu sendiri yang pemilih untuk pasangan dan akhirnya kamu sampai sekarang malah gak nikah-nikah. Mas butuh pendamping hidup yang mau temani masa tuanya Mas." Ucapan Ibra memuat semua saudaranya termasuk Ayra tersenyum geli
KAU REBUT SUAMIKU, KUPACARI AYAHMUSetelah mengucapkan itu Fiona menatap Ayra yang sudah tersenyum menyeringai tepat di depan wajahnya. Senyuman seorang psikopat yang seolah-olah sudah berhasil melumpuhkan lawannya***"Aaarghhh! Ayra sialan! Ini semua itu gara-gara mantan istri kamu itu, Mas! Kenapa sih kita selalu gagal kalau mau kerjain dia. Selalu saja jadi senjata makan tuan. Kan akunya yang kayak gak punya muka di depan mantan kamu tu!" Fiona berteriak di dalam. Mobilnya dengan posisi Fahri berada di sebelahnya sedang memegang kemudi. "Duh Sayang kamu jangan teriak-teriak begitu dong. Kan kuping aku sakit." Fahri menutup kuping sebelah kirinya karena suara Fiona melengking di telinga Fahri. "Ya habisnya aku tuh kesel. Nih lihat jari aku jadi gak mulus dan lentik lagi kan. Mana bentuknya kayak. Balon melenting-melenting beginii. Duh kalau gak sembuh gimana dong. Atau kalau harus diamputasi. Oh tidak-tidak aku gak mau diamputasi." Fiona semakin histeris mengingat dia tak mau samp
"Apa?! Yang benar kamu, Fio!" Mayang menyemburkan minuman yang sudah masuk ke dalam mulutnya ke arah Fahri.Lagi-lagi Fahri kedapatan sialnya gara-gara membahas perihal Ayra si mantan istri yang pernah mengisi hidupnya beberapa tahun kemarin. "Astaga kenapa setiap ada adegan sembur menyembur selalu ke aku sih arahnya. Kenapa gak sekalian sambil komat kamit mbah dukun baca mantra. Ups. Kok malah nyanyi sih!" Fahri bergumam sembari menepuk pelan bibirnya itu. Hampir saja Fiona tergelak jika tidak ingat ada Mayang yang sudah memerah wajahnya di hadapannya itu. "Hust, kamu ini sembarangan aja kalau ngomong. Minta maaf sana!" sentak Fiona sembari melotot ke arah Fahri. Fahri pun hanya cengar-cengir dan garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Hehehe maaf ya, Tante, Fahri hanya bergurau saja jangan dimasukkan ke hati ya, Tan, rapi boleh ko masukin ke jantung. Eh." ". Kamu nemu dia di mana sih, Fio? Kok modelnya absurd begitu. Kamu itu cantik, kaya juga berpendidikan tapi kenapa mau-mauny
Setelah dirasa mereka mendapatkan ide cemerlang sunggingan senyuman sinis pun terbit di bibir mereka masing-masing. ***Tiga bulan sudah berlalu, dan jadwal pernikahan antara Ayra dan Ibra akan segera digelar. Ibra sangat antusias sekali dengan acara yang akan membuatnya menjadi raja dan ratu sehari nanti. Ibra sudah tidak sabar menanti hari itu tiba. Di mana hari yang akan membuat statusnya dari duda abadi berubah menjadi suami seorang Ayyara Kartika. Dan setelah masa iddah Ayra berakhir, Ibra juga Ayra memutuskan untuk menentukan tanggal pernikahan mereka yang akan digelar sekitar seminggu lagi dari hari ini. "Sayang, kamu sudah siap kan untuk fitting baju hari ini?" tanya Ibra pada Ayra. Sekarang ini keduanya tengah berada di dalam mobil yang sama karen ibra memang sempat menjemput Ayra barusan kar3na sebelumnya mereka sudah berjanjian. "Yups, aku sangat siap. Yaudah yuk berangkat takutnya sudah ditunggu sama yang lain."Ibra tersenyum menanggapi keantusiasan dari Ayra untuk mela
Blush ….Wajah Ayra memerah bak kepiting rebus. Ingin sekali ia menutupinya dengan jas yang tersampir di kursi belakang yang tadi sempat dipakai oleh Ibra. "Hey, kok diam? Benarkan yang aku katakan? Kamu sudah mulai menaruh hati padaku? Oh atau tebakanku ini salah ya? Jadi aku terlalu kepedean ya?" "Eh enggak kok, Mas, apa yang Mas katakan itu adalah benar. Mungkin benar kata pepatah jawa mengatakan witing tresno jalaran soko kulino.""Yah kamu benar. Tapi aku suka sama kamu sejak pertama berjumpa. Jadi kalau sama aku ucapan pepatah itu tidak berlaku bukan?""Jadi selama ini Mas Ibra memata-mataiku?" tanya Ayra dengan polosnya. Hal itu membuat Ibra tergelak hingga ia meneteskan air mata sangking trpingkalnya dengan keluguan Ayra. "Iiihhh kalau saja sudah sah pasti kamu aku uyel-uyel deh." Ibra mencubit kedua pipi Ayra gemas sehingga membuat wanita itu mengerucutkan bibirnya karena kesal. "Mas ini sakit tau! Apaan sih!" "Hahahah maaf-maaf habisnya aku gemes sama kamu. Gini ya Saya
"Tentu saja karena ini." Ibra memainkan jari telunjuk dan jempolnya yang ia gesek dan mengartikan satu kata yakni, duit. Ayra mengangguk-anggukkan kepala sambil tersenyum sangat manis sekali. Ia merasa terharu nyatanya ia tidak salah pilih calon suami. Ibra sosok yang sangat bijaksana. Dia tidak pandang bulu dalam menetapkan kebenaran. Ayra benar-benar bersyukur akhirnya dipertemukan oleh Ibra dan sebentar lagi akan menyandang status sebagai istrinya. Ayra berharap jka ia benar-benar berjodoh dengan Ibra. "Terus kan Fiona ini anak kamu yah. Jadi, sudah barang tentu dong kalau kelak ia akan mewariskan harta seluruh milikmu." "Belum tentu." Ucapan Ibra membuat Ayra mengerutkan dahinya. "Maksud kamu? Kalau bukan untuk Fiona lantas untuk siapa lagi? Lagian dia anak kamu jelas harta waris jatuh ke tangan dia.""Tidak harus juga dan tidak wajib. Kaau Fiona mendapatkan harta dari aku bukan warisan namanya tapi hibah.""Eh, kok bisa?""Mungkin kalau kamu tahu kebenarannya kamu akan terkej
"Lho, kamu apa enggak tahu siapa nama kepanjanganku?" Ayra menggeleng karena memang dia tidak tahu nama kepanjangan aslinya Ibra. "Ck! Masa udah calon istri dan sebentar lagi akan menikah masih belum tahu siapa nama asliku.""Nama aslimu Ibrahim Dirgantara kan? Kan kemarin pas di ijab kabulnya Fiona sama Fahri mereka memakai nama itu.""No no no, itu bukan namaku." Ayra semakin mengerutkan dahinya mendengar ucapan Ibra. "Lalu? Siapa memangnya nama kepanjanganmu?""yakin mau tahu?" "Hemm katakanlah, Mas.""Mau tahu aja apa mau rau banget?" "Ck! Mas jangan bercanda dong. Orang lagi serius juga. Buruan ah ngomong kasih tahu yang sebenar-benarnya. Bukankah suami istri tidak boleh ada yang dirahasiakan?""Iya-iya cintaku, my honey bunny sweety. Jadi, nama asliku itu Ibraham Dirgantara sedangkan nama Bapak kandung Fiona Ibrahim Dirgantara. Dari sini kamu sudah mengerti maksudnya kan?" "Ibraham Dirgantara sama Ibrahim Dirgantara. Maksud kamu, kamu punya kembaran dan kembaranmu itu orang
Ayra beranjak dari tempat duduknya, menghampiri wanita itu, lalu memeluknya. Ia berusaha penuh untuk membuat Fiona nyaman saat berada di keluarga ini. Ibra yang melihat pemandangan itu pun ikut bahagia. Ia senang karena Fiona sudah menyadari kekeliruannya dan berjanji untuk memperbaiki diri. “Fiona.” Panggil Ibra. “Iya?” “Kamu boleh tinggal di sini lagi jika berkenan,” tukas Ibra tulus. “Benarkah?” Fiona menatap tak percaya. Ini seperti sebuah kemustahilan. “Tentu saja. Karena kamu masih anak angkatku,” sahut Ibra seraya menganggukkan kepala. “Terima kasih, Papi.” Keesokan paginya, mereka semua bersiap-siap untuk pergi ke Rumah Sakit jiwa di mana bapak kandung Fiona berada. Sesampainya di sana, Fiona terlihat sedih melihat kondisi bapaknya yang masih dalam proses penyembuhan. Ibra menepuk pundak Fiona. “Sudah, jangan menangis lagi. Doakan yang terbaik untuk bapakmu.” “Iya, Papi. Aku hanya ingin bapakku sembuh. Itu saja.” Fiona menghapus air matanya. Di lain sisi, saat Fiona
Kini Fiona berada di depan rumah Ayra dan Ibra. Wanita itu terlihat sangat gugup dan juga malu. Cemas jika permintaan maafnya tidak diterima. Ya, memang kesalahannya begitu besar. Jadi, wajar saja bila nantinya Ayra dan Ibra tidak memberikan pintu maaf tersebut kepada dirinya. Fiona juga hanya bisa pasrah jika hal demikian sampai terjadi. Dia tak akan marah apalagi sakit hati untuk respons yang akan diterima. Fiona mencoba menghilangkan rasa gugup dan cemasnya sebelum mengetuk pintu rumah Ayra dan Ibra. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Fiona lakukan berulang kali sampai sudah merasa jauh lebih baik dari sebelumnya. Walaupun permintaan maafnya diterima relatif kecil, ia tetap berusaha. Lagi pula, tidak ada salahnya bila Fiona mencoba. Karena bila tidak berusaha, dia tak akan tahu hasilnya.Fiona mengetuk pintu itu dengan dua ketukan. Selang beberapa menit, pintu segera terbuka. Pandangan pertama yang ia lihat adalah wajah cantik Ayra. Secara bersamaan, pasang
"Ah! Tolong katakan itu di kantor, sekarang mari ikut kami untuk memenuhi prosedur," jelas polisi tersebut dengan lantas menarik tangan Fahri dan mulai memborgolnya.Fahri tentu meronta, ia berusaha menjelaskan semuanya namun kedua polisi itu tak mendengar dan seakan-akan menutup kedua telinganya.Sementara itu, Hilwa mulai meraung-raung memohon untuk tidak membawa anaknya ke kantor polisi."Tolong lepaskan anak saya! Kalian tidak pantas membawanya atas tuduhan tidak dilakukannya!" titah Hilwa dengan berteriak tak karuan, bahkan wanita itu sampai tak segan-segan untuk mencaci petugas polisi tersebut.Keributan itu jelas terdengar sampai ke dalam kamar pribadi milik Nazwa. Gadis yang tengah asyik memainkan gadgetnya merasa terganggu dengan kebisingan yang terjadi di rumahnya.Nazwa pun bangkit dari tempat tidurnya dan berdecih, "Ada apa sih!? Kenapa ribut sekali!?"Tanpa berpikir panjang Nazwa pun lekas beranjak dan keluar dari kamar untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.Hingga
"Apa-apaan ini!?" pekik Fahri saat ia mengetahui bahwa dirinya telah mendapat surat pemecatan dari HRD.Ya! Ketika Fahri tengah sibuk di ruang kerjanya ia tiba-tiba dikejutkan oleh sosok sekretaris yang mendatangi ruangannya dan menyerahkan secarik kertas yang berisikan sebuah surat pemecatan.Hal itu lantas membuat Fahri naik pitam, ia sama sekali tak terima diperlakukan seperti itu oleh Ibra, yang merupakan ayah mertuanya sendiri."M-maaf, Pak. Saya hanya menyampaikannya saja, selebihnya saya tidak tahu pasti," ucap sekretaris itu dengan menundukkan kepalanya. Wanita itu terlihat takut dengan temperamen atasannya yang tiba-tiba naik.Fahri pun berdecih kesal, lalu kembali membaca isi surat tersebut. Hingga ia kembali terkejut saat membaca pernyataan yang menyatakan bahwa Ibra tidak hanya akan memecatnya, namun lelaki itu juga akan melaporkan Fahri kepada pihak berwajib atas tindakan penggelapan dana yang ia lakukan pada perusahaan.Mengetahui hal itu, Fahri semakin geram, amarahnya
“Fahri pulang! Dia akhirnya pulang setelah berhari-hari,” sorak Fiona yang merasa memiliki secercah harapan dengan kepulangan pria itu.Beberapa hari belakangan, Fiona sama sekali tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas. Hari-harinya dipenuhi oleh fisik lesu dan perasaan lelah dan tekanan batin.Namun, begitu mendapati bahwa Fahri akhirnya kembali pulang membuat Fiona merasa bersemangat dan berharap-harap cemas. Akankah lelaki itu pulang karena sadar dan ingin meminta maaf, ataukah jangan-jangan ingin melakukan hal lain yang membuat Fiona semakin terpuruk? Itu lah pertanyaan yang memenuhi benak Fiona sekarang ini.Wanita itu langsung bangkit dari sofa dan berjalan beberapa langkah untuk membukakan pintu. Sebelum muncul di ambang pintu, Fiona sedikit merapikan rambut dan kondisi pakaiannya agar terlihat lebih layak untuk menyambut kepulangan suaminya.Fahri pun turun dari mobilnya begitu mesin mobil sudah dia matikan. Wajah pria itu tampak datar dan bahkan tanpa ekspresi. Dari sudu
Fiona masih tak kuasa menahan dadanya yang justru semakin sesak. Dia terus memukul-mukulnya dengan kepalan tangan saking sakit dan perih hatinya saat ini.“Fahri, kamu benar-benar kejam!” isaknya yang sejak ditinggal Fahri tadi sudah menangis dengan lelehan air mata berurai di kedua pipinya yang bening. Fiona bahkan tidak peduli bila saat ini dirinya hanya terduduk di lantai saking gontai dan lemas kedua lututnya mendengar untaian kalimat demi kalimat yang dilontarkan Fahri.Lantai keramik di ruang tengah yang dingin itu menjadi saksi pertengkaran keduanya beberapa saat yang lalu serta menjadi saksi pula betapa hancurnya perasaan Fiona saat ini.“Bisa-bisanya kamu bilang bahwa selama ini kamu hanya memanfaatkanku saja, Fahri!” Fiona masih tidak menyangka. “Padahal, waktu itu wajah kamu begitu tulus saat menyatakan perasaanmu. Kita bahkan harus menghadapi berbagai lika-liku sampai-sampai kau bercerai dengan Ayra.”“Perjuangan kita begitu panjang dan berat. Tapi kenapa … kamu malah ber
Fahri masih diam saja. Dia asik memilih pakaian apa yang akan dirinya kemas. Fahri terdiam karena dia malas meladeni Fiona. Sampai pada akhirnya telinganya muak mendengar pekikan Fiona.Brak!Saat itu juga Fahri menggebrak meja."Brisik! Kamu gak lihat aku lagi ngapain?!" bentak Fahri yang kini sudah menatap Fiona tajam."Ya makanya kalau ada orang tanya itu dijawab!" balas Fiona tak mau kalah."Kalau aku diam saja itu tandanya aku tidak mau menjawab pertanyaan kamu. Sadar diri dong dari tadi, berisik tau gak!" marah Fahri yang kini sudah mengepalkan kedua tangannya.Ditatap seperti itu sukses membuat Fiona sedih. Fiona hampir saja meneteskan air matanya, tetapi dia cegah dengan mendongak cepat-cepat.Sedangkan Fahri sudah mengalihkan pandangannya ke lain arah. Setelah itu Fahri kembali membereskan pakaian yang sejak tadi menjadi tujuan utamanya datang ke rumah ini."Jahat kamu Mas. Berani-beraninya kamu bentak aku seperti itu," lirih Fiona merasa sedih.Tidak ingin ambil pusing, Fahr
Saat ini Fahri dan Alina meminta waktu berduaan. Mereka memilih untuk tidak diam rumah. Mereka berjalan-jalan sejenak mencari angin. Hubungan yang baru pertama kali terjalin itu benar-benar sangat menyenangkan bagi Alina. Begitupun dengan Fahri yang tidak bisa tidak tersenyum ketika menatap wanita di sebelahnya itu.Orangtua Fahri sangat menyukai Alina juga. Jadi, sudah tidak ada batasan bagi keduanya untuk tidak dekat. Fahri benar-benar merasa bahagia. Bahkan untuk menjalin hubungan ini mereka tidak perlu pikir panjang lagi."Aku benar-benar bahagia bisa mengenalmu, aku bahkan ingin mengenalmu lebih dalam lagi. Seiring berjalannya waktu aku pasti tau semua tentangmu," celetuk Fahri begitu serius.Alina yang malu-malu hanya bisa tersenyum manis. Entah mengapa hatinya juga terasa hangat bisa berduaan dengan Fahri."Jangan ditahan kalau mau senyum atau ketawa," ujar Fahri ketika melihat Alina yang entah mengapa menahan semua itu."Kapan kita jalan?" "Ini kan sekarang lagi jalan," ledek
"Benar-benar menyebalkan. Sepertinya aku tak bisa kalau harus terus-menerus bertahan dengannya. Bukannya jadi kaya, yang ada lama-lama aku malah jadi Jatuh Miskin karena Fiona sendiri sekarang selalu minta uang denganku gara-gara tua bangka itu sudah tak ingin memberikan banyak uang untuknya. Masa Fiona hanya dijatah satu bulan tiga juta saja. Dapat apa uang segitu? Untuk keperluan sehari-hari saja pasti tidak akan cukup!" Fahri kian merasa kesal kita kembali mengingat perdebatannya dengan Ibra beberapa hari lalu.Sejenak terdengar ibu Fahri berdecak. "Sudahlah, tidak perlu dipikirkan lagi. Kalau memang sudah tidak berguna ya sudah, buang saja. Dan kita bisa langsung segera mencari yang baru, yang jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan wanita itu," papar ibu Fahri dengan santainya."Iya, Bu. Aku tahu. Tetapi memangnya siapa yang harus aku kejar? Kemarin-kemarin aku terlalu fokus dan menikmati waktuku dengan Fiona sampai-sampai aku lupa untuk mencari target yang baru saat Fiona s