“Aww …“
Naira meringis sambil mengusap sikunya yang terasa linu. Sementara lelaki yang bertabrakan dengannya langsung beranjak berdiri. Dia menatap Naira yang tak terlihat jelas wajahnya sambil mengulurkan tangan.“Maaf, nggak sengaja,“ ucapnya. Tubuh Naira membeku seketika mendengar suara yang tak terasa asing di telinganya.Suara itu mengingatkannya pada ….Naira mendongak. Seketika matanya membulat sempurna. Bukan hanya dia, tapi lelaki itu juga.“Naira?““Aric.“Untuk sepersekian detik, pandangan mereka bertaut. Namun terpecah saat Sean datang menghampiri keduanya.“Honey? Kamu kenapa?“Naira langsung mengalihkan pandangan. Sementara Aric langsung menarik tangannya, lalu menatap Naira dan Sean bergantian dengan jantung yang berdegup kencang.“Honey ….“ Sean hendak meraih tangannya. Tapi Naira buru-buru bangkit berdiri. Lalu tersenyum p“Orang-orang jaman sekarang memang luar biasa. Lihat yang bertengkar, yang gatal bukan mulutnya tapi tangannya.“ Naira menggerutu sambil memesan ojek online. Lalu membuang napas kasar saat mengingat lagi kejadian tadi. “Baru tunangan nggak resmi saja sudah seperti ini, apalagi kalau nikah? Apa kabar diriku?“ gumamnya lagi. “Honey!“ Naira berdecak melihat mobil yang berhenti di depannya. “Ayo, naik! Jangan kekanakan seperti ini!“ seru Sean dari dalam mobilnya, dengan suara melunak. Naira hanya menatap Sean dengan pandangan datar, tapi kilatan kesal kentara sekali terlihat di maniknya. “Aku kan sudah bilang, aku bisa pulang sendiri,” sahut Naira dengan nada dingin, lalu memalingkan wajahnya, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Mengecek sudah sampai mana ojek pesanannya. Sean menghela napas panjang, menc
“Ya.“ Naira mendesah pelan. Memperlihatkan jari manis kirinya yang tak lagi mengenakan cincin dari Sean. “Wow … akhirnya.“ Meera bertepuk tangan. “Dari kemarin gue nungguin momen ini. Hubungan yang dimulai dari kebohongan memang tak akan berjalan mulus,“ lanjutnya. Naira bergeming. Meera benar, hubungan yang dimulai dengan kebohongan itu akan sulit dipertahankan, maupun dilanjutkan.Namun kali ini ada yang lebih mengganggu pikirannya. Dia teringat pertemuannya dengan Aric. Naira memejamkan mata. Membayangkan paras Aric yang semakin tampan saja. Naira sampai dibuat tak berkedip saat melihatnya tadi. Tapi sayangnya keadaannya sudah berbeda. Aric bukan lelaki single, ada perempuan cantik di sampingnya. Perempuan yang lima tahun lalu pernah mengiriminya dirrect message. “Lo kenapa lagi? Nyesel Lo putus sama Sean?“ tanya Meera membuat Naira tersadar dari lamunannya.“Ah, engg
“Murahan! Pe-la-cur kamu, Naira!“ Mas Hangga berteriak sembari melayangkan tangannya hingga mendarat mulus di pipi ini, setelah kuberitahu sebuah fakta. Seakan tak puas, Mas mencengkram rahangku lalu kembali menamparku dengan tangan yang lain.“Mas ... Sudah! Sudah, Mas ... Sudah!“ seru Mbak Medina, sembari memeluk punggung Mas Hangga.“Tidak, Sayang. Dia sudah berkhianat, sudah seharusnya Mas beri pelajaran.“ Mas Hangga menjawab dengan suara tertahan.“Jangan, Mas! Dia masih istrimu, nanti dia—““Tidak usah pura-pura memihakku, Mbak Medina. Aku tak butuh pembelaanmu. Lebih baik kamu menepi, supaya aku tak menghajarmu,“ potongku datar. Membuat bola mata Mas Hangga seakan mau keluar dari kelopaknya. Sementara Mbak Medina langsung menurut. Beringsut mundur, berdiri cukup jauh dari kami.“Naira, beraninya kamu ...!“ teriak Mas Hangga sambil mengeratkan cengkraman tangannya di rahang ini. “Apa, Mas? Mau menghajarku? Silahk
“Aku hanya ingin sesuatu yang sulit kamu kabulkan. Aku ingin keturunan.“Aku menggeleng cepat mendengarnya. Menggigit bibir seraya mendorongnya menjauh. Menatapnya nanar seraya meredam tangis dengan membekap mulut.“Bukannya kamu sendiri yang bilang, akan menerimaku apa adanya, dengan atau tanpa anak, Mas?“ Aku menarik napas sejenak, “dan kamu sendiri yang bilang kalau anak itu hak prerogatif Allah. Kita hanya perlu berdoa dan ikhtiar sewajarnya? Tapi kenapa ...“ lanjutku yang terhenti karena rasa sesak yang berkelindan di hati.Keturunan. Seperti lazimnya kebanyakan pasangan, aku pun menginginkannya. Bahkan sangat. Namun, setelah tiga kali menjalani program kehamilan lalu hamil dan berakhir di meja operasi, semua keinginan itu terpaksa kukubur.Bukan karena keterbatasan dana, tapi karena alasan yang dilontarkan Mas Hangga dan keluarga. Mas Hangga bilang, dia tak tega melihatku kesakitan acapkali menjalani program kehamilan. Dia juga bertekad menerimaku apa adanya, baik dengan ataupun
Malam semakin renta. Kutegakkan punggung yang terasa pegal karena terlalu lama duduk. Setelah kejutan bertubi-tubi yang diberikan Mas Hangga, aku kesulitan memejamkan mata. Hingga akhirnya menghabiskan berjam-jam lamanya di depan laptop, menonton drama Korea romantis. Berharap bisa membuatku agak lupa dengan kenyataan yang tengah dihadapi.Mas Hangga sendiri sepertinya takkan pulang. Tadi aku sempat membuka ponsel, tapi tak ada satu pun pesan maupun panggilan darinya. Namun pemberitahuan status Mbak Madina, menguatkan pradugaku kalau Mas Hangga takkan pulang.[Malam terindah bersamanya. Makasih Abi Sayang.]Begitulah caption yang dibubuhkannya pada sebuah foto Mas Hangga yang tengah menunggu di dekat angkringan pecel lele. Melihatnya membuat dada seakan terbakar dan air mata kembali tumpah, hingga akhirnya kuputuskan mematikan ponsel dan menyimpannya di dalam laci.Aku menghela napas dalam-dalam, saat samar terdengar suara azan awal. Kumatikan laptop dan menyeret langkah ke luar. Ke t
“Kamu mendengarnya, Naira?“ tanyanya tampak terkejut.Aku hanya tersenyum tipis dan segera menghalau tubuhnya yang menghalangi langkahku. Lalu beranjak membuka lemari, memilih outfit yang cocok dikenakan sore nanti.“Apa yang kamu dengar, tak sesuai dengan apa yang kamu bayangkan, Ra.“Gerakan tanganku terhenti mendengar ucapannya yang sungguh menggelitik. Aku memang tak tahu isi hatinya tapi ucapannya sudah cukup membuatku mengerti.“Memangnya apa yang kubayangkan?“ tanyaku geli.Mas Hangga terdiam.“Tak usah berbohong untuk menutup kebohonganmu yang lain, Mas. Karena semua itu hanya membuatku semakin tak mempercayaimu dan membuat keadaan semakin rumit,“ sahutku sambil menarik tunik baby blue dan celana jeans navy.“Loh kamu mau kemana?“ tanyanya seakan mengalihkan pembicaraan sebelumnya.“Aku mau hang out sama Meera, Cantika dan Adila,“ jawabku sambil menoleh padanya.“Tidak, Ra. Aku tidak mengizinkan,“ katanya sambil menggelengkan kepala.“Kenapa memangnya? Karena mereka nggak ber
“M-mas ...““Nelepon siapa kamu?“ tanyanya sambil berjalan tergesa menghampiri. Lalu di detik berikutnya, dia merebut ponsel di tanganku.“Jangan pengaruhi istriku.“ Dia berkata tajam, membuat atmosfer kamar berubah mencekam. Aku menelan ludah dengan payah saat telepon diputus dan pandangan kami bersirobok.“Kamu bilang apa sama mereka?“ tanyanya. Aku menggeleng, “ti-dak. Aku tidak bilang apa—““Bohong!“ sentaknya membuatku spontan meremas sprei. Lalu memejamkan mata saat merasakan jemari panjangnya menyentuh daguku.“Jangan berani membohongiku, Naira,“ ujarnya dingin. Aku membuka mata dan sontak membeliak saat ponsel milikku dibanting dengan kasar.“Mas!“ teriakku tak terima. Kutepis tangannya dan buru-buru memunguti benda pipih yang layarnya sudah pecah. Gegas, kutekan tombol power, berharap masih menyala. Tapi hingga beberapa menit menunggu, layarnya tetap saja gelap.Aku pun bangkit berdiri. Menatapnya nyalang sambil meremas ponsel.“Puas kamu, Mas? Puas?“ teriakku. Mas Hangga han
“Kamu ...!“ Mbak Medina berteriak histeris sambil mengayunkan tangannya, tapi ditahan seseorang.“Apa yang terjadi, Sayang?“ tanya sosok yang tak lain Mas Hangga. Mbak Medina langsung bergelayut di lengan kekar itu sambil memasang wajah sedih.“Ini, Mas, aku minta tandatangan kesediaannya tapi Naira malah menyuruhku menggugurkan bayi kita,“ jawabnya lancar dengan nada dibuat-buat sedih. Membuat mataku membulat sempurna.Belum sempat aku membela diri, Mas Hangga berujar lantang dengan tatapan nyalang. “Benar begitu, Naira?“ “Tidak, Mas. Dia berbohong,“ jawabku.“Oh ya?“ Mas Hangga langsung menarik tangan ini, menyeret tanpa ampun hingga tubuhku hampir tersungkur. Lalu mendorong dengan kuat dan kasar. Membuatku meringis karena terduduk di lantai dengan posisi tak nyaman. Mas Hangga berjongkok di hadapanku dan kini giliran pundakku yang dicengkram olehnya.“Kan aku sudah bilang ... Jangan macam-macam. Kalau tidak—““Sudah, Mas, sudah. Kasihan Naira,“ sela Mbak Medina. Mas Hangga langs
“Ya.“ Naira mendesah pelan. Memperlihatkan jari manis kirinya yang tak lagi mengenakan cincin dari Sean. “Wow … akhirnya.“ Meera bertepuk tangan. “Dari kemarin gue nungguin momen ini. Hubungan yang dimulai dari kebohongan memang tak akan berjalan mulus,“ lanjutnya. Naira bergeming. Meera benar, hubungan yang dimulai dengan kebohongan itu akan sulit dipertahankan, maupun dilanjutkan.Namun kali ini ada yang lebih mengganggu pikirannya. Dia teringat pertemuannya dengan Aric. Naira memejamkan mata. Membayangkan paras Aric yang semakin tampan saja. Naira sampai dibuat tak berkedip saat melihatnya tadi. Tapi sayangnya keadaannya sudah berbeda. Aric bukan lelaki single, ada perempuan cantik di sampingnya. Perempuan yang lima tahun lalu pernah mengiriminya dirrect message. “Lo kenapa lagi? Nyesel Lo putus sama Sean?“ tanya Meera membuat Naira tersadar dari lamunannya.“Ah, engg
“Orang-orang jaman sekarang memang luar biasa. Lihat yang bertengkar, yang gatal bukan mulutnya tapi tangannya.“ Naira menggerutu sambil memesan ojek online. Lalu membuang napas kasar saat mengingat lagi kejadian tadi. “Baru tunangan nggak resmi saja sudah seperti ini, apalagi kalau nikah? Apa kabar diriku?“ gumamnya lagi. “Honey!“ Naira berdecak melihat mobil yang berhenti di depannya. “Ayo, naik! Jangan kekanakan seperti ini!“ seru Sean dari dalam mobilnya, dengan suara melunak. Naira hanya menatap Sean dengan pandangan datar, tapi kilatan kesal kentara sekali terlihat di maniknya. “Aku kan sudah bilang, aku bisa pulang sendiri,” sahut Naira dengan nada dingin, lalu memalingkan wajahnya, berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Mengecek sudah sampai mana ojek pesanannya. Sean menghela napas panjang, menc
“Aww …“Naira meringis sambil mengusap sikunya yang terasa linu. Sementara lelaki yang bertabrakan dengannya langsung beranjak berdiri. Dia menatap Naira yang tak terlihat jelas wajahnya sambil mengulurkan tangan.“Maaf, nggak sengaja,“ ucapnya. Tubuh Naira membeku seketika mendengar suara yang tak terasa asing di telinganya.Suara itu mengingatkannya pada ….Naira mendongak. Seketika matanya membulat sempurna. Bukan hanya dia, tapi lelaki itu juga.“Naira?““Aric.“Untuk sepersekian detik, pandangan mereka bertaut. Namun terpecah saat Sean datang menghampiri keduanya.“Honey? Kamu kenapa?“ Naira langsung mengalihkan pandangan. Sementara Aric langsung menarik tangannya, lalu menatap Naira dan Sean bergantian dengan jantung yang berdegup kencang.“Honey ….“ Sean hendak meraih tangannya. Tapi Naira buru-buru bangkit berdiri. Lalu tersenyum p
Naira mengeratkan rahangnya. Ketika ingin menyanggah, dengan cepat Sean menggandeng tangannya. Membawanya menghampiri si kembar. “Hai, Jagoan!“ Sean menyapa si kembar. Membuat kedua bocah itu langsung membalikkan badan. “Om Sean!“ Razka langsung memekik kaget bercampur senang. “Hai, Razka.“ Sean menyahut tersenyum. Lalu mengulurkan tangan. Melakukan kebiasaan setiap kali bertemu. Berjabat tangan dan ber-tos ria. Sementara Shaka hanya mendelik dengan wajah datarnya. Dibanding Razka, dia memang tak begitu dekat dengan Sean. Bahkan seringkali memasang wajah masam saat bertemu. “Hai, Shaka.“ Sean beralih menatap Shaka sambil mengulurkan tangan. Shaka menyambutnya singkat tanpa senyuman. “Om mau ngapain ke sini? Jangan ganggu momen kami dulu, Om. Hari ini harinya Mommy sam
“Oke.“ Naira menyahut lesu. Lalu mematikan panggilan lebih dulu dan mengembalikan ponsel itu pada Bu Anya. “Kenapa? Ribut lagi?“ tanya Rio sambil melirik Naira dari kaca depan. Naira tak menjawab, hanya tersenyum nyengir. “Udahlah putus aja, Nai. Belum jadi suami aja udah begitu. Apalagi kalau nanti udah jadi suami,“ sambung Rio. Dia ikut kesal dengan sikap Sean yang menurutnya lebay. “Nggak usah ngompor-ngomporin. Wajar Sean begitu. Itu tandanya dia cinta sama Naira.“ Naira tersentak kaget mendengar ucapan Bu Anya. Begitupun dengan Alisa dan Rio. Namun ketiganya hanya bergeming, tak berani menyanggah. “Kamu itu harusnya mendukung hubungan Naira dan Sean. Nggak usah mengharapkan Aric yang nggak pasti. Masalah protektif gitu, ya wajar. Namanya juga orang udah tunangan,“ ujar Bu Anya. Naira seketika menunduk sambil mencengkram tab
Naira tersenyum kecut mendengar ucapan Bu Anya. Batinnya meronta. Ingin dia mengatakan kalau hubungannya dengan Sean tak seperti hubungan sepasang kekasih pada umumnya. Dimulai dari Bu Annisa yang memintanya menemani Sean di acara pernikahan sepupunya. Awalnya Naira menolak. Tapi melihat Bu Annisa yang memohon-mohon, Naira pun terpaksa menyanggupinya. Siapa sangka, setelah acara selesai, Sean malah menyatakan perasaannya pada Naira di depan keluarga besarnya. Tak tanggung-tanggung, lelaki itu juga mempersiapkan cincin berlian untuknya. Naira tentu saja ingin menolak, tapi lagi-lagi tatapan memelas Bu Annisa membuatnya tak tega. Terlebih melihat wanita paruh baya itu menangkupkan tangan di dada. Akhirnya Naira terpaksa menerika Sean. Hubungan mereka pun mengalir seperti air. Tapi tidak dengan perasaan Naira. Satu tahun berlalu, perasaannya untuk Sean masih belum kunjung tumbuh. Bahkan Naira bern
Masuk ke butik, aku mendapati pemandangan yang membuat bibir ini melengkung tipis. Apa lagi kalau bukan kelakuan Mega dan teman-temannya yang berbisik-bisik sambil meliriknya. Namun aku menghiraukannya. Biarlah mereka mau menilaiku seperti apa. Aku tak peduli. Baru saja menghempaskan bobot di kursi, ponselku berdering. Bu Annisa menelepon. “Nai, tolong kamu temui calon klien kita dari Bali. Katanya sebentar lagi dia nyampe. Kamu ajakin dia ngobrol sambil nunggu saya datang,“ katanya. “Baik, Bu.“ Setelah panggilan terputus, aku menghela napas panjang seraya menyandarkan punggung yang terasa pegal. Tak lama tamu yang dimaksud Bu Annisa pun datang. Dia datang bersama suaminya. Aku bergegas menyambutnya seramah mungkin. Sembari menunggu Bu Annisa, aku pun mencoba menanyakan pakaian apa yang diinginkannya. Ternyata dia ingi
Kami pun melanjutkan aktifitas yang sempat tertunda tadi. Hingga tak terasa, tiga jam berlalu. Calon pengantin pun pamit undur diri, setelah menemukan kain yang cocok juga desain yang dibuat ala kadarnya oleh Bu Annisa. ** Setelah itu, aku dan Bu Annisa, memilih mampir dulu ke kafe. Selain ingin membasahi tenggorokan yang terasa kering. “Kalau ada yang ganti model seperti mereka, Ibu suka bete nggak?“ tanyaku saat kami sedang menunggu pesanan datang. “Bete sih ada, Nai. Tapi masih mending sih daripada gaunnya udah jadi, terus dicancel. Kalau gaunnya udah jadi, nyesek minta ampun,“ jawabnya. Aku menatap dengan mata membulat. “Emangnya pernah kejadian seperti itu, Bu?“ tanyaku. Bu Annisa mengangguk. “Pernah dong. Ya, walaupun mereka udah bayar uang muka, tetep saja ibu rugi, Nai. Soalnya gaun pengantin kan sizenya khusus,“ tuturnya. Aku mengangguk membenarkan. Tak lama
Linata Sulcha. Iseng, aku membuka profilnya. Melihatnya sekilas saja, aku sudah bisa menyimpulkan kalau dia bukan dari kalangan biasa. Selain wajahnya glowing, dia juga mengenakan barang-barang kenamaan dunia. Namun sayang, tak kutemui satu pun fotonya bersama kekasihnya. Hingga jemari ini tertuju pada feed berjudul ‘Love bird’. Dengan rasa penasaran yang cukup tinggi, aku membukanya. Jantung rasanya seperti berhenti saat melihat sosok Aric-lah yang dimaksud dia sebagai kekasih. Bukan hanya satu foto, tapi ada banyak foto Aric di dalamnya. Dengan gaya berbeda tentunya. Tak lama masuk lagi DM dari gadis itu. [Ada banyak foto Mbak di hp kekasihku, dan aku merasa sangat terganggu.] Tak kubalas pesannya, tapi langsung memblokirnya. Tak hanya dia, aku juga langsung mencari akun milik Aric. Lalu memblokirnya juga. ** Gegara DM dari gadis bernama Linata Sulcha