Pada akhirnya, Liinata dan Aric tak jadi mampir makan di restoran Korea. Liinata yang kadung kesal meminta Aric mengantarnya pulang.
Walau dalam hatinya berharap kalau Aric akan membujuk dan meminta maaf padanya. Namun hingga mobil berhenti di kediamannya, Aric tak mengatakan apapun. Lelaki itu malah anteng mengemudi sambil mendengarkan lagu.“Mampir dulu, Bang?“ tanya Liinata. Aric tak langsung menjawab. Lelaki itu malah memicingkan matanya. Lalu mengangguk saat melihat mobil sang ayah ada di halaman rumah Liinata.“Oke,“ katanya.Senyuman Liinata mengembang. Rasa kesalnya seketika sirna saat melihat Aric turun dari mobil. Mampirnya Aric ke rumahnya merupakan momen langka. Liinata berharap Aric sedang mempersiapkan surprise untuknya.“Assalamualaikum …“ ucap Liinata sumringah begitu melangkah masuk ke rumahnya.“Waalaikumussalam.“ Sahutan dari orang-orang di ruang tamu membuatnya semakin sumringah. Bagaimana tidaSepanjang perjalanan menuju rumah ayahnya, perkataan Ken tak berhenti berdenging di telinga Aric. Lelaki itu membuang napas berkali-kali. Lalu mengusap wajahnya kasar. “Sesulit inikah mendapatkanmu, Khai?“ gumamnya. Tiba di rumah sang ayah, Aric langsung mencari keberadaan lelaki tua yang kini sudah mengurangi kegiatannya sebagai dokter obgyn. “Bang Aric!“ Aric menghentikan langkah, lalu membalikkan badan saat seseorang memanggilnya. “Hilma?“ ujarnya begitu tahu siapa yang memanggilnya. “Apa kabar, Bang?“ tanya Hilma, sumringah sambil menyalami kakak tirinya itu. “Baik, Alhamdulillah. Kamu sendiri apa kabar?“ balas Aric sambil mengusap puncak kepala Hilma yang dibalut hijab. “Alhamdulillah baik, Bang. Kebetulan banget Abang ke sini. Ada yang mau Hilma sampaikan sama Daddy, Ibu dan Abang,“ ujar gadis berusia 24 tahun itu. “Tentang?“ Aric memicingka
Wanita yang sebagian rambutnya sudah beruban itu lantas melangkah masuk ke kamar Naira. Lalu melirik sekilas pada si kembar yang tertidur pulas di kasur. Sebelum akhirnya duduk di sofa yang menghadap ke arah balkon. Tempat Naira menikmati malam sambil mencari inspirasi. “Kenapa tadi kamu nggak nganterin Sean pas dia mau pulang?“ tanya Bu Anya basa-basi. Naira tak menjawab. Tapi air mukanya yang keruh sudah mampu membuat Bu Anya menarik kesimpulan. “Berantem itu wajar, Nai. Tapi jangan lama-lama. Nggak baik,“ ujar Bu Anya. “Kami nggak berantem, Bunda. Tapi sudah sepakat buat mengakhiri hubungan ini,“ jelas Naira. Bukannya terkejut, Bu Anya malah terbahak. “Kok malah tertawa sih, Bun?“ Naira memprotes tak suka. “Kamu pikir bunda bakalan percaya sama trik prank kamu, Nai?“ seloroh Bu Anya. Naira mengerjap pelan. Lalu menggeleng.“Aku nggak bercanda, Bun. Aku sama Sean—“ “Aku sama Sean mem
Naira mengecek kembali alamat yang dikirim kliennya. Setelah memastikan tak salah alamat, dia lantas menghubungi kliennya itu. “Assalamu’alaikum,“ ucapnya begitu panggilan tersambung. “Waalaikumussalam, Kak Naira. Kakak sudah berangkat kah?“ sahut suara dari sebrang sana. “Sudah. Saya sudah di depan rumah Dek Hilma. Rumahnya yang cat putih kan?“ sahutnya memastikan sambil menatap bangunan megah di depannya. “Iya, Kak. Mobilnya masukin aja, Kak. Sebentar lagi saya turun. Ini lagi pake hijab.“ “Oke.“ Naira menatap ragu pada pagar yang menjulang tinggi. Rasanya tak sopan jika langsung masuk ke halaman rumah itu. Tapi keraguannya langsung enyah saat seorang satpam membukakan pintu, lalu menyuruhnya masuk. “Langsung masuk saja, Mbak.“ Satpam mengintruksi saat Naira keluar dari mobilnya. “Baik, Pak. Terimakasih,“ ucap Naira.
“Kamu nggak ke rumah sakit, Ric?“ tanya Pak Frans. Pria baya itu keheranan melihat putranya yang tampak santai. Padahal biasanya dia lebih mementingkan pekerjaannya dibanding yang lain. “Nggak, Dad,“ jawab Aric sambil mengeluarkan ponsel. Diam-diam dia membidikkan kameranya ke arah Naira. “Tumben,“ celetuk Pak Frans. Aric tak menjawab. Malah tersenyum sambil menatap hasil bidikannya. “Gimana kalau seperti ini?“ tanya Naira pelan pada Hilma. Senyuman Hilma langsung mengembang. Dengan antusias dia memperlihatkan hasil desain Naira pada sang ibu. “Gimana, Bu?“ Bu Hania menatap desain Naira dengan seksama. “Bagus. Cantik banget.“ “Kalau ada yang kurang berkenan, bilang saja. Biar saya perbaiki,“ ujar Naira. “Enggak ada. Ini udah oke banget, Nak,“ sahut Bu Hania. “Alhamdulillah,“ ucap Naira ter
Aric hanya mengangguk sambil memasang senyum yang tak kunjung hilang. Dia tetap berdiri tenang, seolah tak ada yang salah, tapi di matanya terlihat jelas ada sesuatu yang tersembunyi—sebuah keinginan yang tak bisa ditutupi lagi. Naira menghela napas, mencoba kembali berkonsentrasi. Namun, hatinya terus berdegup kencang, dan dia memahami satu hal. Akan sulit baginya mengabaikan perasaan yang kini muncul semakin jelas di antara mereka jika terus berhadapan dengan Aric. “Sudah, Kak?“ Suara Hilma membuat Naira sontak menggeser. Beranjak menjauh dari Aric. “Sudah,“ jawabnya sambil menunduk. “Kalau gitu kita tunggu Daddy sama Ibu di depan saja yuk, Kak!“ ajak Hilma. Naira mengangguk. “Sebentar, kakak bereskan dulu barang-barang kakak,“ katanya. “Yaudah, aku tunggu di depan,“ cetus Hilma.Naira mengangguk. Dengan segera memasukkan barang-barangnya ke d
“Khai ….““Karena aku punya seseorang yang harus dijaga hatinya, Ric. Begitupun dengan kamu. Ada seseorang yang wajib kamu jaga hatinya.“Aric menghentikan laju mobilnya. Lalu menatap Naira penuh tanya.“Siapa? Lelaki yang kemarin?“ tanyanya. Naira mengangguk ragu. “Dia sudah melamarku. Jadi aku—“Ucapannya terhenti saat Aric meraih tangannya. “Aric!“ sentak Naira terkejut.“Mana, Khai? Mana cincinnya?“ tanyanya sambil tertawa. Wajah Naira seketika memerah.“Kamu bohong kan, Khai? Lamaran itu hanya—““No! Aku serius, Ric. Masalah cincin memang sengaja dia bawa lagi. Karena Minggu depan dia akan melamarku secara resmi bersama keluarganya.“Aric terdiam, senyumnya memudar, tergantikan oleh tatapan kosong yang sulit disembunyikan. Dia melepaskan genggaman tangannya dari tangan Naira. Lalu menunduk, seolah mencoba meresapi kata-kata yang baru saja did
“Janda anak dua lebih tepatnya, Mas.“ Pak Frans terdiam. “Sebenarnya Mas itu merasa nggak asing sama dia, Sayang.“ Aric langsung menoleh mendengar perkataan sang ayah. “Jelas Daddy nggak asing. Karena dia itu peremljan yang kucintai, Dad.“ Ingin sekali Aric mengatakannya. “Sama, Mas. Aku juga nggak asing sama wajahnya, sama namanya. Sepertinya kami pernah bertemu. Tapi dimana tepatnya, aku lupa,“ tutur Bu Hania. Pak Frans mengangguk. Ekor matanya melirik Aric yang tengah memperhatikan gerak-gerik Naira. “Ric, kamu nggak tertarik sama dia?“ tanyanya. Aric sontak tersentak. Wajahnya langsung memerah. Tapi dia tak menjawab pertanyaan ayahnya. Malah bangkit berdiri, lalu menghampiri Naira dan Hilma. “Aku serius loh, Mas. Aku mereka nggak asing sama Naira. Apa kita pernah ketemu ya?“ ujar Bu Hania. “Bisa
Liinata terdiam, perasaan tidak nyaman langsung menguasai dirinya. Naira. Nama yang dari dulu sering dia lihat di ponsel, catatan maupun media sosial Aric, sekarang muncul di hadapannya. Sosok Naira yang pernah membuatnya gelisah, sekaligus seseorang yang diam-diam dia anggap sebagai ancaman, kini berada di ruang tamu rumah Aric, tepat di hadapannya.Liinata tak memungkiri kalau sosok di depannya memang kharismatik. Selain cantik, penampilan Naira memang mempesona walau dalam balutan hijab. Pantas saja Aric susah move on darinya.Naira yang menyadari perubahan ekspresi Liinata, mencoba untuk menjaga suasana supaya tetap bersahabat. Dia tersenyum lebih lebar. kali ini lebih tulus, mencoba mencairkan ketegangan. “Senang bertemu langsung denganmu, Liinata.”Namun, Liinata hanya menanggapi dengan anggukan kecil, tak menunjukkan antusiasme sama sekali. Matanya tetap mengamati Naira, seolah menilai setiap detail dari penam
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme
Naira memutar bola matanya, tak ingin memperpanjang obrolan. Dia tahu betul, kalau Aric sudah punya rencana, sulit baginya untuk mengubah keputusan lelaki itu. “Taksinya sudah datang. Ayo, Babe!“ seru Aric sambil mengambil alih koper Naira. Naira pun mengikutinya dengan bibir mengerucut. Sejujurnya dia ingin pulang ke rumahnya. Lalu bertemu si kembar. “Kenapa cemberut terus?“ tanya Aric saat di perjalanan menuju hotel. “Aku kangen si kembar,“ jawab Naira sendu. “Maaf, ya. Tapi ini juga demi kelancaran segalanya. Setelah dari acara Hilma, kita langsung ke rumahmu. Aku akan meminta izin langsung sama si kembar,“ sahut Aric. Naira menghela napas panjang. “Oke deh.“ Pagi cukup cerah saat Naira sibuk mematut dirinya di cermin. Jika biasanya dia mengenakan gaun buatannya sendiri, kali ini Naira mengenakan gaun berwarna pastel yang dua hari lalu dibeli Aric. Gaun itu tampak elegan, menawan tapi tak mencolok. Ukurannya pun begitu pas di tubuh Naira. “Kok deg-degan ya?“ gu
“Ric, kenapa?“ Naira kembali bertanya. Aric kembali mengusap wajahnya. “Malam ini dan seminggu ke depan, kamu tidur di sini ya?“ katanya. “Sama kamu?“ tanya Naira. “Maunya sih begitu,“ jawab Aric sambil membuang napas “Tapi no! Aku mau nginep di apartemen temanku saja, Babe. Aku nggak yakin bisa menahan diri kalau dekat-dekat terus sama kamu,“ jawab Aric. Seketika hati Naira dipenuhi haru. “Kamu …“ “Aku nggak yakin bisa menjaga diri kalau berada di dekatmu, Khai. Sekarang hanya ini yang bisa aku lakukan sebelum kita halal,“ ujar Aric. Seketika air mata Naira mengalir. Bukan air mata sedih, tapi haru. “Kok nangis? Sedih nggak aku sentuh?“ kelakar Aric. Naira langsung mengerucutkan bibirnya. “Baru aja aku terharu, eh kamu malah bikin kesel,“ katanya. Aric pun tertawa lepas. “Udah masuk jam makan siang. Kita cari makan dulu, yuk!“ ajak Aric. “Boleh. Tapi shalat dulu, ya!“ balas Naira. “Oke.“ ** Aric membawa Naira ke sebuah restoran halal langganannya. Sebe
“Nggak! Aku nggak mau!“ seru Aric dengan mata melotot.Mendengar penolakan Aric, dunia Naira seolah runtuh. Naira menghela napas sejenak, lalu berbalik hendak meninggalkan Aric. Tapi sedetik kemudian, Aric menarik tangannya dengan kencang hingga Naira jatuh ke pelukannya.Naira mengerjap pelan. Dahinya sedikit mengerut, mencerna apa yang sebenarnya diinginkan Aric.“Apa yang sebenarnya kamu inginkan, Khai? Tadi kamu bilang membutuhkanku, mencintaiku, tapi kenapa tiba-tiba tiba-tiba kamu bilang ingin bersahabat denganku? Jangan main-main dengan hatiku, Khaira!“ serunya tegas dengan suara tertahan.“Aku nggak main-main, Ric. Aku hanya ….“ Naira tak mampu menyelesaikan perkataannya.“Aku nggak mau kalau hanya jadi sahabatmu, Khai. Aku bosan jadi sahabatmu. Dari SMP sampai setua ini, tak bisakah aku menjadi pendamping hidupmu, Khai? Memilikimu seutuhnya?“ Aric menatap Naira lekat-lekat. Naira menelan salivanya susah payah. Lidahnya terasa kelu, tak tahu harus berkata apa lagi setelah men
“Jadi gimana, Nai? Lo masih belum ketemu Aric?“ tanya Meera. Malam itu, sepulang dari rumah sakit, Naira melakukan video call dengan ketiga sahabatnya. “Belum, Meer.“ Naira menjawab lesu dengan mata berkaca-kaca. “Si Erlangga nggak ngerjain Lo kan, Nai?“ sahut Cantika. Naira mengangkat bahu. “Keknya sih enggak. Cuma emang kebijakan rumah sakitnya ketat. Andai punya nomor Aric, pasti nggak bakalan sesusah ini,“ keluhnya. Ke tiga sahabatnya saling melirik. Merasa iba pada Naira. Melihat seberapa besar effort perempuan itu mengejar cintanya. “Lo nggak punya nomor Erlangga juga?“ tanya Meera. “Enggak, Meer.“ Naira menghela napas berat. “Terus gimana? Kamu masih mau di situ atau gimana?“ tanya Adila. Naira terdiam sejenak. “Aku … belum tahu.“ Naira tak mau mengatakan kalau tabungannya menipis. Dia takut ke tiga sahabatnya itu turun tangan membantunya. Setelah panggilan video call berakhir, Naira berbaring miring sambil memeluk guling. Memikirkan apa kiranya langkah yang harus di
Naira duduk di tepi ranjang hotelnya, menatap ke luar jendela yang berembun. Udara terasa menusuk, meski penghangat ruangan menyala. Langit di luar tampak kelabu, menandai musim gugur yang nyaris berakhir. Dia menarik nafas panjang, menyentuh kaca jendela dengan ujung jarinya, menyeka embun tipis yang menghalangi pandangannya. Trotoar di bawah sudah mulai ramai. Orang-orang berjalan terburu-buru, membungkus diri dengan mantel tebal, seolah tak sabar ingin menghindari dingin. Dari kejauhan, Naira melihat sekelompok burung kecil berterbangan, mencari tempat berlindung. Pemandangan itu membuatnya termenung. “Musim salju hampir tiba,” gumamnya pelan, sambil memeluk tubuhnya sendiri. Pagi itu terasa berbeda, bukan hanya karena udara yang dingin, tetapi juga karena hatinya yang masih bertahan dalam kegelisahan. Ada harapan kecil yang terus dia jaga, meski perlahan mulai meredup. Setelah mengisi perut, Naira kembali ke rumah sakit dengan semangat baru. Dia yakin, hari kedua akan berbe
Waktu berlalu, Naira sibuk menyiapkan keberangkatannya. Dia sudah memesan tiket pesawat, hotel selama di sana, mencari tahu tentang rumah sakit tempat Aric bekerja, dan memastikan semua kebutuhan si kembar terpenuhi.“Mommy nggak bakalan lama kan ke luar negerinya?“ tanya Razka saat Naira meminta izin sebelum menidurkan mereka.Naira mengangguk sambil membelai rambut putra Razka dan Shaka bergantian.“Insya Allah, paling lama seminggu, Sayang. Selama mommy pergi, kalian jangan bertengkar, harus saling mengayomi,“ kata Naira.“Kalau aku sih oke, Mom. Tapi entah tuh Razka. Selama ini dia kan yang suka bikin ulah lebih dulu,“ sahut Shaka.Naira tertawa kecil, meski matanya mulai berkaca-kaca. Sedih sebenarnya harus meninggalkan si kembar. Andai punya tabungan lebih banyak, pasti dia akan mengajak mereka serta.“Pokoknya kalian jangan bertengkar. Abang harus mengayomi Adek, dan Adek harus hormat sama Abang.”“Siap, Mommy.“**Hari keberangkatan pun akhirnya telah tiba. Naira berdiri di ba
Naira menatap mantan suaminya. Dia sama sekali tak marah. Setelah melihat tanggung jawab Hangga pada si kembar, rasa sakit lagi di hati seolah enyah entah kemana. Dia justru mendoakan yang terbaik untuk lelaki itu. “Selamat ya, Mas. Semoga kali ini Mas Hangga benar-benar bahagia. Aku harap dia juga jadi pelabuhan terakhir buat Mas.” “Aamiin,” jawab Hangga sambil tersenyum. “Terima kasih, Nai. Doa kamu berarti banget.” Hangga pun menyuruh si kembar meminta izin pada Bu Anya. Tanpa membantah, Shaka dan Razka langsung masuk menghampiri Bu Anya yang sedang memasak di dapur. Sedangkan Hangga memandang Naira dengan tatapan serius. Ada sesuatu yang sangat ingin dia tanyakan pada Naira. “Ngomong-ngomong, gimana hubungan kamu sama Aric? Aku dengar kalian dekat lagi?” Naira balas menatap Hangga dengan satu alis terangkat. Lalu tertawa kecil sebelum akhirnya menghela napas dan menggelengkan kepala. “Nggak, Mas. Jangankan dekat … yang ada Aric malah pindah ke luar negeri. Aku ngga