Apa yang harus aku lakukan? Naira membatin pilu sambil menyeret langkah. Duduk di pinggiran ranjang. Cukup lama berpikir, ia pun menemukan jalan yang dirasa paling baik.
Setelah cukup tenang, Naira merapihkan penampilannya dan kembali menjalankan rutinitasnya.Di gudang, Naira tak menanggapi obrolan atasan dan para rekannya. Begitupun saat jam istirahat tiba. Ia memilih diam di tempatnya, sibuk memikirkan nasib ke depannya. Hingga tak menyadari kehadiran Aric di hadapannya.“Khusyu banget. Ngelamunin apa sih?“Suara Aric menariknya dari lamunan. Naira mendongak, menatap Aric yang tersenyum sambil mengangkat dua kotak nasi. Lalu pandangannya pun lantas mengabut, mengingat banyak hal haram yang dilakukannya dengan Aric. Dalam diam, Naira bertekad akan menjauhi lelaki itu secepatnya. Setelah tujuannya tercapai.“Khairana ...“Aric mengibaskan tangannya di depan wajah Naira. Membuat perempuan ia memalingkan wajah sambil menghela napPov NairaAku tertawa sinis membaca puluhan chat grup WA Bagaskara Family. Grup yang sudah lama kuarsipkan itu, kali ini ribut membahas Mbak Medina. Dua video terakhir yang diberikan Meera, memang melenceng dari perkiraanku. Bukan hanya video saat Mbak Medina mendatangi dukun dan keterangan dari orang-orang sekitar, Meera juga mengirimkan video yang mengharuskanku memberi imbalan lebih. Ternyata diam-diam, Mbak Medina menjalin hubungan dengan lelaki yang kukenal sebagai mantan kekasihnya. Di video itu, Mbak Medina tengah berci uman dengan lelaki yang berstasus suami orang. Bukan hanya beradu bibir, bahkan tangan lelaki itu juga menggerayangi tu buh Mbak Medina. Entah dari mana, orang suruhan Meera mendapatkannya. Aku tak peduli. Karena bagiku, yang penting kedok Mbak Medina terbongkar. Itu saja.Aktifitasku terhenti saat terdengar suara ketukan pintu. Sambil menderap langkah, kuraih hijab instan di sofa ruang tamu.
Setelah proses pemulihan, aku bergegas kembali ke ruang Kenanga. Saat masuk, kulihat Mas Hangga duduk di pinggiran ranjang di samping Mbak Medina yang ternyata belum melahirkan.“Bibi, Paman, Mbak,“ ucapku saat mereka belum menyadari kehadiranku. “Eh, Naira. Sudah selesai, Nak?“Aku mengernyit heran mendengar suara Bibi Tanti yang ramah, tidak seperti biasanya.“Sudah, Bi.“ Aku menjawab sambil menatap Mas Hangga yang mengusap-usap kening dan menggenggam tangan Mbak Medina.“Sudah bukaan berapa, Mbak?“ tanyaku. Tapi Mbak Medina hanya diam saja, mungkin masih marah padaku.“Masih bukaan dua.“ Bibi Tante menjawab sambil tersenyum.Aku membulatkan bibir. Lalu mencoba melihat kembali ke arah Mas Hangga yang kini juga balas menatapku. Melihat raut wajahnya yang tak bersahabat, aku pun segera memalingkan pandangan. Lalu beralih menatap Paman Ismail.“Paman, aku mau langsung pulang saja,“ ucapku.
Aku meringis saat tubuh terasa berguncang. Lalu bergeming saat membuka mata dan menyadari kalau aku berada di dalam mobil bersama ... Aric. Lelaki itu fokus pada jalanannya dengan wajah yang tampak mengeras.“Ric ...“ panggilku tapi dia tak menggubris dan justru menambah kecepatan. Membuatku mengeratkan pegangan pada sabuk pengaman.Setelah sekitar sepuluh menit berkendara, mobil memasuki halaman rumah Aric. Ia turun lebih dulu, kemudian membukakan pintu untukku. Lalu menyeretku dengan paksa, hingga aku berjalan dengan terseok-seok.Setelah memasuki rumahnya, ia kembali menyeretku menaiki tangga dan membawaku masuk ke sebuah ruangan yang sepertinya kamarnya.“Kamu ngapain nonton konser seperti itu?“Aric bertanya dengan suara dingin dan cukup keras. Membuatku seketika meneguk ludah dan meringis.Setelah itu, terdengar helaan napas beratnya. Lalu dia menarikku duduk di sofa panjang.“Kamu ngapain
Malam semakin pekat. Cuaca dingin kian menusuk kulit. Kueratkan pelukan pada Aric. Walau logika jelas menentangnya. Entahlah, selain terasa hangat, ada rasa nyaman yang kurasakan saat tubuh kami berpelukan. Perlahan aku membuka mata saat terdengar suara azan. Saat membuka mata, tiba-tiba saja teringat pada foto dan video Mbak Medina yang tengah bersama lelaki lain. Lalu apa bedanya aku dengannya? Aku juga sekarang tengah berada di pelukan lelaki lain. Bahkan dia memeluk pinggang ini sangat erat dan sebelumnya, kamu pun berciu man panas. Aku mendengkus kasar. Mengamatinya yang terlelap begitu tenang. Melihat alis tebal, hidung mancung kokoh dan bibirnya, membuatku tak mampu menahan diri untuk tidak menyentuhnya. Cukup lama menyentuhnya, aku pun membulatkan tekad untuk ... menyudahi semuanya. “Khairana ... kamu sudah bangun?“ Aku tersentak mendengar suara seraknya. Lalu tersenyum tipis saat dia membelai pipi i
“Please, Ric. Aku mohon ... Lupakan semuanya. Lupakan semua yang terjadi di antara kita,“ ujarku frustasi karena ucapannya langsung membayang di benak ini. Dia menarik tangan ini. Memaksaku untuk menatap matanya yang sayu. “Apa yang membuatmu ingin melupakan semuanya? Apa aku pernah menyakitimu?“ tanyanya lembut. Aku menggeleng cepat. “Kamu baik, Ric. Kamu tampan, baik, perhatian dan romantis. Kamu juga bisa membuatku nyam—“ Aku mengumpat pelan dan merutuki diri saat sadar sudah berkata jujur. Ingin kutarik lagi kata-kata itu, tapi percuma juga karena kini, Aric tersenyum lebar. Akhirnya hanya menghela napas dan menatapnya lekat-lekat. “Kamu memang sempurna, Ric. Tapi tetap saja kita harus melupakannya dan aku harus kembali pada Mas Hangga,“ ujarku berdusta dan matanya pun langsung mendelik tajam. “Apa sih yang membuatmu masih mau bertahan lagi dengannya? Ap
Tiga minggu berlalu. Aku masih bekerja seperti biasa, tapi tidak dengan Aric. Sejak malam itu tak pernah kutemukan lagi sosoknya. Entah ke mana perginya, karena nomornya sudah tidak aktif. Tak dipungkiri, ada hampa yang kurasakan setelah sosoknya tak ada. Sejak itu juga Mas Hangga belum pernah menghubungiku. Melihat dari status WA-nya, tampaknya dia disibukan dengan putri juga istri barunya dan aku tak peduli itu. Bahkan aku merasa lebih nyaman seperti sekarang. Rasanya juga tak sabar ingin segera menanggalkan status sebagai istrinya dan fokus pada dua janin di perut ini. . Aku mengernyit heran setibanya di rumah dan mendapati mobil Mas Hangga di halaman. Dengan benak yang dijejali banyak tanya, aku melangkah masuk dan mendapatinya tengah duduk santai di sofa sambil memainkan gawai. Tanpa menyapa, aku gegas masuk ke kamar dan duduk di depan meja rias. Jujur saja, hati masih sakit saat karena perkataannya tempo har
Aku tak langsung membalas dan memilih membuka pesan dari Hilya..[Mbak dimana? Enggak lupa kan kalau sore ini ada acara aqiqah?]Pesan dari mereka membuat perasaan jadi tak karuan. Aku pun langsung membuka pemberitahuan status WA terkini. Tapi tak ada status apapun dari saudara Mas Hangga yang lain. Pun dengan WA grup. Padahal biasanya mereka tak pernah absen mengunggah foto kegiatan terbaru. Apa mungkin mereka sangat sibuk? Tapi seingatku mereka tak pernah ikut rewang. Walau perasaan tak karuan, aku memantapkan diri untuk pergi ke sana.Hampir dua puluh menit berkendara, aku pun tiba di pagar rumah Ibu. Namun halaman tampak sepi, jauh berbeda dengan saat tujuh bulanan Mbak Medina. Tak ada tanda-tanda ada para tetangga yang datang. Lalu saat aku melaju masuk, mataku menangkap mobil Aric terparkir di dekat pohon rambutan. Sedangkan pintu rumah tertutup rapat.Entah kenapa jantungku berpacu dengan cepat saat turun
“Naira ... Tunggu!“Aku yang hendak menyalakan motor, menoleh sejenak mendengar suara ibu. Ibu diikuti Mbak Hanin, Hasna dan Hilya langsung menghampiriku. Dia menatapku dengan wajah memerah.“Ibu nggak nyangka kalau kamu semurahan ini, Naira. Apa salah Hangga? Kenapa kamu tega berselingkuh? Padahal Hangga sudah lapang dada menerima kekuranganmu.“Aku tersenyum kecut mendengarnya.“Iya, Naira. Aku nggak nyangka kalau kamu semurahan ini. Ternyata kamu nggak ada bedanya sama Medina. Bahkan lebih murahan dari Medina.“ Hasna menimpali.Aku mencebik dan bersidekap, lalu menatap mereka satu-persatu.“Aku hanya melakukan apa yang anak ibu lakukan. Anak ibu berselingkuh, terus menikah siri. Sebagai makmum yang baik, aku coba mengamalkannya. Itu saja.“Mata mereka sontak terbelalak.“Jujur, Mbak, Hilya kecewa sama Mbak. Mbak nggak seperti Mbak Naira yang Hilya kenal. Kenapa Mbak melakukan hal serendah ini? Hilya yakin, bu
Naira tertawa geli sambil geleng-geleng kepala. “Bulan madu kita sudah berakhir, Sayang. Saatnya kembali ke kehidupan yang sebenarnya.” Aric langsung mengerucutkan bibir. Lalu melangkah keluar kamar. Sedangkan Naira lantas membersihkan tubuhnya yang terasa lengket. Sebelum membuka pintu, Aric mengintip dari jendela. Tapi sayang, yang bertamu tak terlihat. Aric pun akhirnya langsung membuka pintu untuk tamu yang tak diundangnya itu. “Assalamualaikum, Bu Hajah Naira!“ Aric disambut suara riang ketiga sahabat Naira. Meera, Cantika dan Adila. “Waalaikumussalam,“ jawab Aric, kikuk sambil tersenyum nyengir. “Eh, sorry, Ric. Kirain kita Naira,“ kata Cantika. “Its oke, no problem. Silahkan duduk dan anggap saja rumah sendiri,“ ujar Aric. “Thanks, Ric.“ Meera, Cantika dan Adila menyahut kompak. “Nairanya mana, Ric?“ tanya Meera sambil menatap interior rumah Aric yang benar-benar berkelas. “Nyonya lagi mandi. Kalian tunggu saja, ya. Kalau mau minum, ambil saja di kulkas,“
Aric menoleh, menatap istrinya dengan lembut. “Aku juga nggak akan pernah melupakannya, Khai. Semoga perjalanan ini jadi awal yang baik untuk kita.” Naira tersenyum, merasa hatinya penuh dengan cinta dan syukur. Perjalanan itu tidak hanya mendekatkan mereka kepada Allah, tetapi juga semakin menguatkan cinta mereka sebagai suami istri. Tiba di rumah Aric, si kembar langsung dijemput Hangga. Lelaki itu akan melamar calon istrinya, dan menginginkan si kembar turut hadir di momen itu. Naira dan Aric tak keberatan. Justru Aric merasa inilah waktunya berduaan dengan Naira. Malam pun tiba. Suasana terasa sepi tanpa kehadiran si kembar. Di dapur, Naira berdiri sibuk memanaskan makanan untuk makan malam. Aric sendiri duduk di ruang makan, matanya sesekali melirik ke arah istrinya. Dia merasakan sesuatu yang berbeda malam itu. Udara terasa lebih dingin dari biasanya. Membangunkan sisi kelelakiannya. “Babe,” panggilnya lembut. “Ya, Sayang?” jawab Naira tanpa menoleh, fokus pada pa
Aric memperhatikan mereka dari jarak dekat. Dalam diamnya dia merasa bersyukur bisa membawa keluarganya ke Tanah Suci. Bagi Aric, perjalanan ini bukan hanya ibadah, tetapi juga hadiah yang sengaja dipersembahkan untuk istrinya, sebagai bentuk cinta dan pengabdian. Di dalam pesawat, si kembar tertidur di pangkuan Aric. Naira yang duduk di sebelah mereka, memandangi Aric. Melihat wajah Aric yang terlihat damai, Naira lantas melangitkan doa. Memohon agar perjalanan ini membawa keberkahan bagi mereka sekeluarga. ** Tiba di Mekkah, tubuh Naira terasa membeku. Melihat Masjidil Haram dengan segala kemegahannya, dia merasa seperti berada di dunia lain. Tapi saat melihat Ka’bah untuk pertama kalinya, air matanya langsung mengalir deras. “Masya Allah… Aric, ini benar-benar indah. Apa ini nyata? Aku tidak sedang bermimpi kan?” tanyanya dengan suara bergetar. Aric berdiri di sampingnya, mengangguk pelan. “Ini nyata, Khai. Alhamdulillah, kita sampai di sini.” Mereka berjalan me
“Ric … ini ….“ Netra Naira berkaca-kaca saat membaca isi surat yang diberikan Aric. Seakan masih tak percaya dengan apa yang baru saja dibacanya. Naira pun beranjak duduk. Lalu memeluk surat itu erat. “Masya Allah … Alhamdulillah,” gumamnya, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Tangannya sedikit bergetar saatmenatap Aric. “Kita … akan umrah?” Aric mengangguk, senyumnya semakin melebar. Lalu memeluk pinggang Naira. “Aku sudah mendaftarkan kita. Kamu, aku, dan si kembar. Semuanya sudah aku atur.” Air mata Naira mengalir perlahan. Hatinya penuh haru dan syukur. Dia kembali mendekap surat itu sambil menatap suaminya dengan pandangan mengabur. “Kenapa kamu selalu tahu cara membuatku bahagia, Ric?” Aric mengusap kepala Naira lembut. “Karena sudah lama aku mencintaimu. Jadi jangan heran kalau aku tahu segalanya. Dan sekarang aku suamimu, Khai. Bahagiamu adalah tugasku.” * “Yang bener Lo, Nai?“ tanya Meera saat Naira mengabari tentang rencana keberangkatan umr
“Sudah dulu mesra-mesraannya. Tuh lihat, mereka dari tadi pengen foto bareng kalian,” kata Bu Hania. Naira pun langsung melepaskan tangan Aric dari pinggangnya. Lalu beranjak berdiri. Sementara Aric hanya menghela napas panjang. Lalu ikut berdiri, dan melayani orang-orang yang ingin berfoto dengan mereka. ** Naira berdiri di depan jendela besar yang menghadap langsung ke pantai. Malam begitu tenang, hanya suara deburan ombak yang terdengar, bersenandung lembut seperti ingin menenangkan setiap hati yang mendengarnya. Angin malam pun seakan tak mau kalah menebarkan pesonanya, membawa aroma khas laut, bercampur wangi bunga-bunga tropis yang tumbuh di sekitarnya. Gaun merah panjang Naira bergoyang pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya menatap langit bertabur bintang, sesekali bibirnya tersenyum samar, mengingat hari bahagia yang baru saja mereka lalui. “Masih betah menatap laut?” Suara berat nan lembut itu membuat Naira sedikit tersentak. Naira menol
“Ya Allah … cantik banget Lo, Nai!” pekik Meera. Dia langsung menghampiri Naira. Menatap penampilan sahabatnya itu dengan takjub. “Iya. Kamu cantik banget, Nai. Nggak heran Aric klepek-klepek sama kamu,“ sahut Adila. “Bener. Mana bodymu oke banget. Enggak kek gue,“ timpal Cantika sambil menatap badannya sendiri. Sejak ikut program KB, tubuhnya memang mengembang tak karuan. “Oh iya, keluarga kamu udah sampai Nai. Mereka pengen ketemu kamu,” kata Bu Anya mengalihkan perhatian Naira dan ketiga sahabatnya. “Keluarga?“ Meera menyahut heran. “Maksudnya Omnya Naira, Bun?“ tanyanya. Bu Anya mengangguk. “Kan dia yang mau jadi walinya Naira. Iya kan, Nai?“ ujarnya. Naira mengangguk. “Kalau gitu, bunda suruh masuk saja ya?“ tanya Bu Anya. “Iya silahkan, Bun.“ Bu Anya pun keluar dari ruang khusus rias itu. Setelah Bu Anya tak ada, Meera langsung menanyai Naira. “Serius Lo undang mereka, Nai?“ tanyanya. “Bukan aku, Meer. Tapi Aric. Kata Aric bagaimanapun, mereka keluarga a
“Kalau Om mau melamar jadi Papi kalian … kira-kira bakalan kalian terima nggak?“ Mendengar pertanyaan Aric, Shaka dan Razka sontak saling pandang. Lalu keduanya menatap Aric lekat-lekat. “Om Dokter beneran mau jadi Papi kita?“ tanya Razka. “Ya.“ Aric tersenyum. “Aku sih setuju, Om. Yang penting Om nggak pisahkan kita dari Mommy,“ kata Shaka. Dalam benaknya masih tercetak jelas bagaimana upaya Sean memisahkan mereka dari Naira. “Mana bisa begitu. Kalau Om jadi Papi kalian, ya kita harus sama-sama. Dimanapun, kapanpun, dengan kondisi apapun, Om harus selalu sama kalian,“ jawab Aric. Shaka tersenyum samar. “Jadi gimana?“ lanjut Aric. “Aku setuju. Asalkan Om bisa bikin Mommy cantik setiap hari,” jawab Razka. Aric mengernyit tak paham. “Mommy itu cantik kalau tersenyum, Om. Jadi Om harus bisa bikin Mommy tersenyum setiap hari,“ ujar Shaka, seakan tahu arti kerutan di wajah Aric. “Oh … begitu ya?“ Aric mangut-mangut. “Kalau begitu, bantu Om bikin Mommy kalian selalu ter
Setelah resepsi pernikahan Hilma selesai, Aric pun lantas mengantar Naira pulang. Mobil yang mereka tumpangi, meluncur perlahan di jalanan yang ramai lancar. “Kamu lelah, Babe?“ tanya Aric sambil melirik Naira yang bersandar di kursi dengan mata terpejam. “Lumayan. Tapi aku happy, kok,“ jawab Naira sambil membuka matanya dan tersenyum tipis. Aric ikut tersenyum. “Aku lebih bahagia darimu, Babe. Karena akhirnya aku bisa mengenalkan perempuan yang kucintai pada Daddy, Ibu, dan semua keluarga,“ katanya. Naira menatapnya beberapa saat tanpa mengerjap. “Kamu tahu? Sudah lama sekali aku menantikan momen ini. Mengenalkanmu pada seluruh keluarga, dan mengatakan pada mereka kalau kamu lah satu-satunya perempuan yang tak lekang menempati hati ini,“ ujar Aric lagi. Mata Naira memanas seketika. Walau terasa berlebihan, tapi ucapan Aric benar-benar membuatnya terharu. “Kamu lebay ih,“ kelakarnya sambil pura-pura tertawa. Menyamarkan genangan air yang menggantung di pelupuk matanya. Aric i
“Hah? Serius?“ pekik Hilma hampir berteriak, suaranya cukup menarik perhatian tamu terdekat.“Kenapa?“ Aric terkekeh melihat reaksi Hilma. Hilma menggeleng. Lalu menatap Pak Frans dan Bu Hania yang ikut bahagia melihat Aric akhirnya mendapatkan cintanya.“Apapun yang terjadi di antara kalian, ibu sama Daddy ikut senang karena akhirnya kalian bisa bersama,“ ujar Bu Hania.“Iya kan, Mas?“ Dia menatap Pak Frans yang langsung mengangguk.“Aku juga ikut senang, Bu. Tapi—“Ucap Hilma, tapi terhenti saat tiba-tiba saja Aric membisikkan sesuatu padanya. Hilma sesekali melirik pada Naira, lalu mengangguk.“Makasih, Bocil!“ seru Aric sambil beranjak ke sisi Naira.“Kamu tunggu dulu di sini, ya!“ serunya.“Memangnya kamu mau ke mana?“ Naira menatapnya penasaran.“Ada perlu sebentar,“ jawab Aric. Naira mengangguk ragu. Sambil menunggu Aric, dia pun lantas menyalami Hilma. Tak lupa mendoakan yang terbaik untuk calon iparnya itu. Setelah itu dia menyalami Pak Frans dan Bu Hania, yang langsung meme