Tiga minggu berlalu. Aku masih bekerja seperti biasa, tapi tidak dengan Aric. Sejak malam itu tak pernah kutemukan lagi sosoknya. Entah ke mana perginya, karena nomornya sudah tidak aktif. Tak dipungkiri, ada hampa yang kurasakan setelah sosoknya tak ada.
Sejak itu juga Mas Hangga belum pernah menghubungiku. Melihat dari status WA-nya, tampaknya dia disibukan dengan putri juga istri barunya dan aku tak peduli itu. Bahkan aku merasa lebih nyaman seperti sekarang. Rasanya juga tak sabar ingin segera menanggalkan status sebagai istrinya dan fokus pada dua janin di perut ini. . Aku mengernyit heran setibanya di rumah dan mendapati mobil Mas Hangga di halaman. Dengan benak yang dijejali banyak tanya, aku melangkah masuk dan mendapatinya tengah duduk santai di sofa sambil memainkan gawai. Tanpa menyapa, aku gegas masuk ke kamar dan duduk di depan meja rias. Jujur saja, hati masih sakit saat karena perkataannya tempo harAku tak langsung membalas dan memilih membuka pesan dari Hilya..[Mbak dimana? Enggak lupa kan kalau sore ini ada acara aqiqah?]Pesan dari mereka membuat perasaan jadi tak karuan. Aku pun langsung membuka pemberitahuan status WA terkini. Tapi tak ada status apapun dari saudara Mas Hangga yang lain. Pun dengan WA grup. Padahal biasanya mereka tak pernah absen mengunggah foto kegiatan terbaru. Apa mungkin mereka sangat sibuk? Tapi seingatku mereka tak pernah ikut rewang. Walau perasaan tak karuan, aku memantapkan diri untuk pergi ke sana.Hampir dua puluh menit berkendara, aku pun tiba di pagar rumah Ibu. Namun halaman tampak sepi, jauh berbeda dengan saat tujuh bulanan Mbak Medina. Tak ada tanda-tanda ada para tetangga yang datang. Lalu saat aku melaju masuk, mataku menangkap mobil Aric terparkir di dekat pohon rambutan. Sedangkan pintu rumah tertutup rapat.Entah kenapa jantungku berpacu dengan cepat saat turun
“Naira ... Tunggu!“Aku yang hendak menyalakan motor, menoleh sejenak mendengar suara ibu. Ibu diikuti Mbak Hanin, Hasna dan Hilya langsung menghampiriku. Dia menatapku dengan wajah memerah.“Ibu nggak nyangka kalau kamu semurahan ini, Naira. Apa salah Hangga? Kenapa kamu tega berselingkuh? Padahal Hangga sudah lapang dada menerima kekuranganmu.“Aku tersenyum kecut mendengarnya.“Iya, Naira. Aku nggak nyangka kalau kamu semurahan ini. Ternyata kamu nggak ada bedanya sama Medina. Bahkan lebih murahan dari Medina.“ Hasna menimpali.Aku mencebik dan bersidekap, lalu menatap mereka satu-persatu.“Aku hanya melakukan apa yang anak ibu lakukan. Anak ibu berselingkuh, terus menikah siri. Sebagai makmum yang baik, aku coba mengamalkannya. Itu saja.“Mata mereka sontak terbelalak.“Jujur, Mbak, Hilya kecewa sama Mbak. Mbak nggak seperti Mbak Naira yang Hilya kenal. Kenapa Mbak melakukan hal serendah ini? Hilya yakin, bu
“Proses perceraianku memang sedang bergulir, Ric. Tapi seperti yang aku katakan malam itu ... aku tak bisa kembali padamu. Lupakan aku, lupakan semua tentang kita—““Tapi aku nggak bisa, Khai!“ tekannya.“Bisa atau tidak, aku nggak peduli, Ric. Karena aku tak menginginkanmu.““Bohong!““Terserah apa katamu, Ric. Aku pamit, Ric. Sekali lagi, lupakan kalau Naira Khairana pernah singgah di kehidupanmu. Aku doakan semoga kamu bahagia dan mendapatkan pasangan yang sepadan, seiman denganmu.“Aku bangkit berdiri sambil menahan sendu yang mengabuti diri. Lalu buru-buru melangkah dengan mantap, walau terdengar jelas suaranya yang menolak keputusanku.Begitu sampai di luar gerbang, aku buru-buru menyetop taksi yang lewat. Tangis yang sedari tadi kutahan pun pecah tak terkendali. Membuat atensi supir taksi seketika teralih padaku.“Mbak nggak apa-apa?“ tanyanya.“Enggak, Pak. Jalan saja.“Aku menjawab sambil menye
Aku tersenyum kecut dan menggeleng pelan, dan beralih menatap mereka.“Lalu apa?“ tanya Adila.“Aku hamil—““Serius?“Mereka menatapku dengan mata berbinar.“Ya. Aku hamil anak Hangga. Lelaki yang berkali-kali mengataiku mandul,“ ucapku dengan suara bergetar.“Ya Ampun ...“Mereka langsung merangkulku.“Congrat, Nai. Akhirnya Lo bakalan jadi ibu,“ ucap Cantika.“Iya, akhirnya penantian kamu berbuat manis. Selamat ya, Nai.“ Adila menimpali.“Kalau itu masalahnya, gue yakin, Aric bakalan nerima dengan lapang dada. Gue yakin, nanti dia bisa jadi hot daddy buat anak Lo,“ ujar Cantika yang disambut delikan tajam Meera dan Adila. Sementara aku hanya tersenyum tipis.“Bukan itu. Dia justru nerima kehamilanku. Bahkan janji bakal jadi yang terbaik buat kami. Tapi aku tetap nggak bisa nerima dia. Karena bukan hanya itu permasalahnnya,“ cetusku.“Lalu apa?“ tanya Meera terdengar gemas.
Kupikir setelah Naira pergi, tak akan ada perubahan berarti dalam hidupku. Tapi ternyata tidak. Setelah kepergiaannya, aku justru tersiksa. Wajah cantiknya, tubuh rampingnya, ketulusannya dan … Perselingkuhannya terus membayang silih berganti. ”Nggak ke grosir kamu, Ngga?” tanya ibu. Aku menoleh. Menatapnya yang entah sejak kapan datang. ”Nggak, Bu. Di grosir sudah ada Mas Ganjar,” jawabku. Mas Ganjar itu kakak iparku alias suaminya Mbak Hanin. Dia orang kepercayaanku, dan sangat bisa diandalkan. ”Walaupun ada Ganjar, tapi sekali-kali kamu juga harus ke grosir, Ngga. Sejak pisah sama si Naira kamu ngedekem terus di rumah. Nggak bosan kamu?” balas ibu. Aku mendengkus pelan, dan menggelengkan kepala. Justru berdiam di rumah adalah caraku menghapus rindu pada Naira. Percaya atau tidak. Tetapi setelah kami bercerai, rasa rindu tak henti menghujamku. Tak ada hari tanpa mengingat sosoknya. Walau
”Aku lagi pengen aja, Mbak. Sekalian sidak juga, gimana pekerjaan kalian. Dan kalian bukannya bantu Hilya tapi malah santai-santai,” jawabku. Mbak Hanin langsung mengerucutkan bibirnya. ”Ya wajarlah kami senang-senang juga. Suami kami kan yang bantu kamu ngelola grosir ini. Sudah sewajarnya kalau kami santai-santai.”Aku mendengkus pelan. Malas meladeninya, aku pun meminta laporan bulan ini pada Hilya.”Sebentar, Mas, biar Hilya antarkan nanti ke ruangan Mas,” ujar Hilya.Aku mengangguk dan beranjak menuju ruangan kebesaranku. Begitu memasuki ruangan bercat abu muda, bau rokok langsung menyeruak ke indera penciuman. Mataku seketika terbelalak melihat beberapa potongan rokok bekas bertebaran di mana-mana.”Mbak Hanin, Hasna!” teriakku seraya mengambil sapu di sudut ruangan. Tak lama dua saudaraku itu masuk dengan wajah mengernyit.”Ada apa?” tanya Mbak Hanin.”Siapa yang beran
Tampaknya, kali ini Medina benar-benar marah. Waktu isya sudah berlalu, dan belum ada tanda-tanda kepulangannya. Untung saja Meisya masih terlelap dalam tidurnya. Untung juga Meisya tak hanya meminum Asi saja. Jadi tak masalah jika tak ada Medina.Suara salam, membuatku beranjak dari sofa. Membukakan pintu dan mendapati Ibu berdiri di ambang pintu dengan tatapan yang aneh.”Ada apa, Bu?” tanyaku. Ibu tak langsung menjawab, Hanya sedikit menggeser tubuhku. Lalu masuk dan duduk di sofa.”Mana Medina?” tanyanya sambil meliarkan pandangan ke sekeliling.”Nggak tau. Tadi dia merajuk gara-gara kusuruh masak,” jawabku. Ibu tampak tersenyum kecut.”Ibu lihat dia di kafe baru deket mini market. Sama laki-laki,” ujarnya membuat mataku terbelalak. Benarkah? Tapi sesaat setelah melahirkan, Medina sudah janji tak akan menduakanku. ”Coba kamu samperin sana!” serunya. Aku mengembuskan napas kasar.
"Kamu...." Aku menatap sengit lelaki selingkuhan Naira itu. "Apa kabar, Pak Hangga?" ujarnya santai sambil mengulurkan tangan. "Baik." Aku menjawab tanpa menyambut uluran tangannya. Aric. Lelaki tampan bertubuh atletis itu lantas menarik tangannya. Lalu mengedarkan. pandangan ke sekeliling. "Kebetulan kita bertemu di sini, Pak Hangga. Ada yang mau saya bicarakan sama Anda. Bisa kita bicara sebentar, Pak Hangga?" tanyanya. Aku menatapnya penuh selidik. Mau membicarakan apa? Pamer perselingkuhannya dengan Naira? "Saya mau meluruskan kekeliruan selama ini, Pak. Tentang hubungan saya dengan Khaira," sambungnya. Aku tersenyum sinis. Lihat, dia bahkan mempunyai panggilan khusus untuk mantan istriku itu. "Saya yakin bapak akan menyesal kalau tahu yang sebenarnya." Dia benar-benar cerewet! Aku menghela napas panja
Jakarta. Aku memang merindukannya. Merindukan rumah yang sekarang kusewakan juga. Tapi belum terbesit sedikit pun dalam benakku untuk kembali kesana. Buka karena luka yang ditorehkan Mas Hangga. Tapi aku juga belum siap bertemu Aric. “Kebiasaan nih si Naira. Lagi ngobrol malah melamun.“ Meera menyenggol pelan lenganku. Aku terkekeh ringan. “Sorry,“ ucapku. “Lo berdua harus tau satu hal. Sejak pindah ke sini, si Naira itu agak-agak anu,“ kata Meera. Adila dan Cantika saling melempar pandang. “Dia sering banget ngelamun, padahal lagi posisi ngobrol,“ sambung Meera. “Kenapa jadi gitu kamu, Nai? Apa jangan-jangan kamu kepikiran Aric ya?“ ledek Adila seraya cengengesan. Aku tersenyum tipis. “Eh beneran, Dil. Tuh si Naira senyum, berarti beneran dia kangen si Aric,“ sambut Cantika sambil memainkan alisnya. Aku tertawa pelan. Biarlah mereka berasumsi s
Waktu begitu cepat bergulir. Tak terasa, enam bulan sudah aku menyandang status sebagai ibu dari dua anak kembar. Selama itu juga kuhabiskan waktu dengan mereka. Sebelum besok meninggalkan mereka untuk mengais rezeki. Ya, kuputuskan menerima tawaran Bu Annisa. Selain karena memang butuh, aku juga ingin mengembangkan kemampuanku di bidang desain pakaian. “Nai, ini Razka pup keknya.“ Aku yang tengah melipat pakaian, menoleh pada Meera yang tengah menggendong si adik. “Oke, bentar,“ sahutku seraya mencabut kabel setrika. Lalu beranjak menghampiri Meera. “Besok lo jadi kerja di Bu Annisa?“ tanya Meera. Aku mengangguk. “Insya Allah.“ “Kenapa harus kerja sih? Duit lo kan masih banyak,“ celetuk Meera. Selalu saja dia berkata seperti itu. “Enggak sebanyak kamu,“ balasku. Meera mencebik. “Oh iya, gue punya surprise buat
“Nah bener itu. Kapan lo merit, Meer? Nggak takut si Ken digondol ani-ani?“ Cantika menimpali sambil mengerlingkan mata pada Meera. Meera memutar bola mata. “Ya takut sih. Tapi gue lebih takut pernikahan gue gagal.““Harusnya lo lebih takut bobok berdua, Meer. Lo harusnya takut diazab sama Allah,“ celetuk Ivan—suami Cantika.Aku, Adila dan Cantik sontak mengulum senyum mendengarnya. Mahesa tertawa tanpa suara, sedangkan Meera tampak memerah pipinya.“Si*lan lo, Van. Untung bunda nginep di rumah Bang Rio,“ kata Meera sambil menatap tajam pada Ivan yang tampak mengangkat bahu.“Terserah deh. Tapi sebagai cowok yang bertanggung jawab, gue sangat menyayangkan, Meer. Kalau cuma bobok berdua, yang rugi itu cuma lo,“ cetus Ivan.Aku terdiam mendengarnya. Mendadak teringat dosa yang kulakukan dengan Aric. Andai waktu bisa diputar kembali, tentu aku tak ingin melakukan kebodohan itu.“Bene
Menjelang siang, kami kedatangan tamu spesial. Dia Bu Annisa, pemilik butik sekaligus sahabat Bunda saat SMA. Ini kali pertamanya kami bertemu. Karena selama ini memang bahan jahitan dan yang sudah selesai dijahit, diantar jemput oleh pegawai. Dia datang tak seorang diri. Ditemani sang anak yang menunggu di luar. “Jadi ini yang namanya Naira?“ tanyanya saat aku menyalaminya. “Iya, Nis.“ Bukan aku yang menjawab, tapi Bunda. “Masya Allah … Kamu cantik banget, Sayang. Kamu juga masih muda,“ ucapnya. Aku tersenyum tipis “Kamu ada anak secantik ini kenapa diam-diam saja, Any? Tau gini, dari kemarin aku ke sini,“ sambungnya sambil menatap Bunda yang tengah menata cemilan. “Kemarin kan Naira masih dalam masa iddah. Mana bisa aku main kenalin-kenalin aja. Bisa ngantri nanti yang mau jadi jodohnya Naira,“ sahut
“Kalian ngapain di sini?“ Pertanyaan itu kembali mengalun dari mulut Teh Alisa. Aku lantas melirik Meera yang menatap iparnya itu datar. “Kita mau ke dapur. Lapar,“ jawab Meera. Lalu dia menarik tanganku. “Ayo, Nai!“ Aku pun lantas mengikuti langkah Meera. Masuk ke dapur, aku dan Meera sama-sama menghela napas lega. “Tadi lo mau ngomong apa?“ tanya Meera. Aku hendak membuka suara, tapi urung karena Teh Alisa ternyata mengikuti kami. Dia bahkan berdiri seperti mengamati kami berdua. “Bukannya di depan masih banyak tamu, ya? Kenapa kamu malah makan?“ tanya Teh Alisa. Dia menatapku seakan ingin mengulitiku saja. “Ya namanya juga lapar. Lagian emak-emak di sana lagi ngobrol sama Bunda, kok. Yaudah, mending kita makan aja.“ Lagi-lagi Meera yang menjawab. Teh Alisa terdengar mendengkus. Lalu meninggalkan kami begitu saja.
“Ah … congrat, Nai. Akhirnya lo jadi ibu,“ ucap Meera sambil memelukku. Gadis itu benar-benar tak ada capeknya. Padahal dia baru tiba, tapi langsung datang ke sini untuk menemaniku. “Thanks, Meer. Akhirnya kamu juga jadi Aunty,“ sahutku. Meera mengangguk. Lalu terdiam sejenak sambil menatap ke arah perutku. “Eh, perut lo nggak papa kan, Nai?“ tanyanya. “Its oke, Meer. Im fine.“ Aku menjawab sambil tersenyum. “Syukurlah,“ sahut Meera sambil mengambil cemilan yang entah sejak kapan ada di lemari. “Gue penasaran, kira-kira siapa yang nyelekain lo? Apa jangan-jangan si Alisa ya?“ ujarnya sambil memberikan sebungkus cemilan padaku. “Jangan suuzan!“ sahutku. Meera langsung mengerucutkan bibir. “Bukan suuzan, tapi kan emang cuma dia yang nggak suka sama lo. Kalau sampai dia yang ngelakuin itu, gue nggak bakalan segan laporin dia ke polisi,“
”Assalamualaikum.” Naira dan Bu Anya yang sedang menikmati sarapan lantas menoleh mendengar suara salam dibarengi kedatangan Rio. ”Waalaikumsalam,” jawab keduanya kompak. ”Aku numpang sarapan di sini, Bun.” Tanpa basa-basi, Rio menaruh tas kerjanya di kursi yang kosong. Lalu duduk di samping Bu Anya. ”Alisa nggak masak?” tanya Bu Anya. Tentu saja hanya basa-basi semata. Karena dia tahu, menantunya itu jarang memasak dan lebih sering membeli makanan siap santap. Rio tak menjawab. Dia langsung mengambil dua roti goreng. Lalu menuangkan susu ke gelas yang kosong. ”Kalian bertengkar ya?” Bu Anya menatap putranya intens. Rio masih bungkam. Lebih memilih menggigit roti yang isinya selai kacang coklat. Bu Anya menghela napas panjang. ”Kalau dipikir-pikir kalian itu lebih banyak bertengkarnya daripada akurnya,” celetuknya
"Nai, makan dulu!” Naira yang tengah menjahit menghentikan aktifitasnya sejenak, dan lantas menoleh pada Bu Anya. "Bentar, Bun. Tanggung," sahutnya sambil tersenyum nyengir. Bu Anya langsung mencibir. "Tanggung … tanggung. Inget Ada dua janin di perut kamu, Nai," katanya. "lya, Bun. Aku inget, kok." Naira tersenyum nyengir. Bu Anya menghela napas panjang. Malas mendebat, wanita paruh baya berhijab hijau pupus itu lantas mendaratkan bobotnya di kursi depan mesin obras. Lalu menatap perut Naira yang semakin besar. ”Jangan capek-capek, Nai. Kasihan fisik sama dua janin kamu,” cetusnya. Naira tersenyum tipis. "Insya Allah, enggak capek kok, Bun." "Ah, kamu mah ngebales terus. Udah ah, bunda tunggu di ruang makan, ya!” Bu Anya berujar seraya beranjak berdiri. "Iya, Bun." Naira berge
”Loh Medina, wajahmu kenapa?” Mamah Tanti—mertuaku, tampak heran melihat wajah sembab Medina. Medina tak menjawab, dia langsung masuk begitu. Mamah Tanti beralih menatapku. ”Kamu apakan Medina, Hangga?” ”Bapak mana, Mah?” Aku bertanya balik seraya mencium punggung tangannya. Tak lama Bapak mertuaku keluar dari kamarnya. ”Hangga?” Bapak mengerutkan dahi melihat kehadiranku. Aku pun beranjak menghampirinya dan meraih tangannya. ”Ada yang mau Hangga bicarakan sama Mamah sama Bapak,” ujarku sambil menatap ke duanya bergantian. ”Masalah apa?” tanya Mamah Tanti. ”Suruh Hangga duduk dulu, Mah. Ayo, Hangga!” Bapak merangkul bahuku. Aku mengangguk. ”Ada masalah serius?” tanya Bapak. Aku mengangguk pelan. ”Masalah apa?” Bapak kembali bertanya dengan tenang. ”Hangga menalak Medina.”