“Kurang aja-r!” Umpat Azzam dari kejauhan ketika mendengar ucapan Risa seperti itu. Ia ingin mendekati Risa, namun urung, karena ia tidak ingin menjadi bahan olokan para warga yang kebanyakan ibu-ibu, bahkan Imas saja sudah menjadi bahan olokan mereka. Azzam memilih menjauh, merenungi diri dibawah pohon mangga yang terletak di samping rumah, ia menyaksikan 50% rumah yang ia tempati dulu bersama Risa penuh dengan kebahagiaan sudah ambruk dan hampir rata dengan tanah. Apakah Azzam menyesal? Tidak. Azzam mengepalkan kedua tinjunya, menahan amarah yang menggelegak di ubun-ubun.“Lihat saja Risa, aku akan membalas semua kehancuran ini.” Gumamnya menatap Risa dari kejauhan.“Atau aku harus hadirkan pak RT dan pak Sobari? Agar ibu ingat dan dia...” Risa menunjuk ke arah Imas dengan tatapan sengit, “Tahu jika Azzam tidak memiliki hak apapun atas rumah ini, ataupun sebidang tanah ini.” Tegas Risa lagi yang membuat Imas tercengang, sedangkan Azzam yang berada di kejauhan hanya mengumpat dalam h
Imas menahan amarah yang mendidih di dalam dadanya saat meletakkan Azka dengan kasar di samping Azzam yang sudah terlelap. Kedua anaknya itu menangis karena kelaparan, dan Imas merasa sangat kesal dengan perlakuan Hafsah, ibu mertuanya yang seolah tidak peduli."Matamu buta, aku capek, ngantuk!" Bentak Azzam ketus, terkejut dengan tingkah Imas yang tiba-tiba menaruh Azka di sampingnya."Anak-anak kelaparan, Mas. Mereka butuh makan," sahut Imas, tidak kalah ketus dari Azzam. Hatinya terasa sesak, melihat anak-anak yang tak berdosa harus menanggung akibat dari ketidakpedulian keluarga ini."Kau tidak bisa mengurus mereka, kau tinggal olahkan makanan di dapur, kenapa harus melapor padaku?" sentak Azzam lagi sembari duduk dan menyisir rambutnya dengan geram. Ia seolah mengabaikan keberadaan anak-anaknya yang menangis dan lapar. Imas merasa hampir putus asa, menahan tangis yang hendak pecah. Ia menatap Azzam dengan pandangan yang penuh kekecewaan."Aku bersikap seperti karena ibumu, mas. I
Imas melemparkan piring yang ia pegang karena kesal sedari tadi ia menyalakan api di tungku kayu tidak kunjung hidup juga. Kedua tangannya sudah kotor, nafasnya terengah. Ita yang melihat itu segera memungut piring tersebut, sedangkan Lina segera membujuk Azka agar tidak menangis lagi.“Kau bisa diam tidak sih, Azka! Kenapa cengeng sekali, lagian kemana ayahmu. Pergi ngambil pisau saja sebulan, mas Azzaaaaam!” Teriak Imas semakin kesal. Azka bukannya diam, justru semakin menangis histeris, perut yang tadinya terasa lapar kini mulai menguap karena terlalu ribet. Ingin memesan makanan via gofood, uang yang ia pegang kemarin sebanyak 5 juta sudah habis.“Kurang ajar!” Umpat Imas sudah tidak tahan, dia mengobrak abrik tungku tersebut hingga berserak, ia mendengus kesal. Ia beranjak bangkit, menatap satu persatu anaknya yang terdiam, hanya Azka yang terisak lirih.“Masuk.” Perintahnya. Imas ingin marah akan kondisi seperti ini, namun ini sudah pilihannya, ia tidak menyangka jika menikah de
Risa menghempaskan air ke wajahnya, mencoba menenangkan emosinya yang sedang memuncak. Air yang mengalir deras dari keran itu seolah menyimbolkan amarah yang menderu di dalam hatinya. Ia menangis tersedu, merasakan sakit yang begitu mendalam. Tak ada yang pernah mengira bahwa rumah tangga yang awalnya bahagia harus berakhir seperti ini. Wanita mana yang tak akan hancur ketika suami dan mertua justru lebih memihak pada gundik yang dibawa suaminya? Mereka semua seolah melupakan perasaannya dan hanya memikirkan kebahagiaan mereka sendiri. Namun, Risa bersyukur masih memiliki kedua putrinya dan Nuri, adik ipar yang selalu mendukungnya. Risa mengusap wajahnya dengan handuk, kemudian keluar dari kamar mandi dengan mata yang sembab. Ia menatap pantulan dirinya di cermin, merenungi nasibnya. "Apakah aku tidak memiliki hak untuk bahagia?" gumamnya lirih. "Apakah aku tidak menarik lagi?" Risa masih bertanda tanya pada dirinya sendiri.Tatapan Risa beralih pada foto keluarga yang ada di atas m
Dante berdiri di hadapan Risa dengan senyum mengerikan, matanya menatap tajam wanita itu. "Kau pikir aku hanya menginginkan uangmu?" ucapnya sambil memainkan pisau belati yang ada di tangannya, membuat Risa semakin ketakutan. Risa mencoba menenangkan hatinya yang kacau, menggenggam stang sepeda motornya dengan erat. "Jika kau mau motor ini juga, silahkan ambil. Tapi tolong, jangan sakiti aku, anak-anak sedang menungguku pulang," mohon Risa dengan degup jantung yang tidak beraturan. Kedua telapak tangannya yang mencengkram kuat stang sepeda motornya mulai berkeringat, padahal malam ini cuaca begitu dingin sekali. "Aku mau tubuhmu, cantik." Kata Dante dengan nada merendahkan, ia menyentuh pipi Risa dengan ujung pisau belatinya. Risa merasa ngeri, seakan-akan setiap sentuhan pisau tersebut akan melukai kulitnya yang halus. Ketika ujung pisau tersebut menyentuh kulitnya, terasa begitu dingin, membuat desir datangnya semakin kencang. Kedua matanya berkaca-kaca, menahan rasa ketakutan ya
Imas harap-harap cemas, berulang kali ia menghubungi Dante, namun tidak dijawab juga. Ia menghempaskan tubuhnya di atas dipan bambu di teras samping rumah Hafsah, ia sengaja duduk disana karena sambil mengawasi anak-anaknya yang sedang bermain. Imas terpaksa masih tinggal di rumah Hafsah karena Azzam tidak sanggup untuk mengontrakkan rumah. Mereka menempati rumah Hafsah bagian belakang dekat gudang, dan menutup pintu menuju ke dapur rumah utama, mau tidak mau Imas harus bertahan. Karena dia tidak tahu harus bernaung kemana lagi.“Kemana sih anak itu? Kenapa telpon dari tadi gak di angkat. Jangan-jangan Risa sudah mati dan Dante ditangkap polisi lagi?” Gumamnya mulai panik, Imas langsung berdiri, mondar mandir bingung.“Risa mati? Kau membunuhnya?” tanya Hafsah, Imas langsung menoleh.“I-ibu! Ngageti aja, sejak kapan ibu ada disitu?” tanya Imas, wajahnya langsung berubah pucat, ia meneguk salivanya dengan kasar.“Kau punya uang untuk menyewa orang?” tanya Hafsah lagi penuh intimidasi.
Azzam hanya terdiam ketika salah satu rekan kerjanya berkata seperti itu ia hanya menghembuskan nafas dengan kasar sambil menyeka keringat yang membasahi dahinya.“Semua ini gara-gara Risa, andai saja dia tidak menyebarkan video itu, pasti aku masih bekerja di kantor camat. Si-alan.” Umpat Azzam dalam hati, padahal kemarin-kemarin ia sudah mulai ingin berdamai dengan keadaan ini, akan tetapi ada saja kesialan yang menimpanya karena kejadian tersebarnya video itu.“Ini bayaran kamu untuk 3 hari ini, semenjak kamu bekerja di sini, ada saja kesialan yang menimpa kami semua. Dari ambruknya bangunan, hilangnya beberapa material dan gaji dipotong pemilik proyek. Dan ini, pemborong mau memotong gaji kami lagi hanya karena kamu, jadi, sebelum semua itu terjadi, lebih baik kamu stop bekerja di sini, paham?! Ambil ini.” Tukas mandor tersebut sambil menyerahkan 3 lembar uang pecahan 50 ribu pada Azzam dengan cara melemparkan pada wajahnya.Azzam memejamkan matanya, tinjunya mengepal, meneguk sal
“Siapa kamu, jangan ikut campur.” Hafsah menepiskan tangan Pram dengan kasar. Kedua matanya melotot lebar, sedangkan Imas beranjak bangkit dan berdiri di belakang Hafsah yang menatap nyalang kearah Pram.“Kenalkan, saya Angkasa Pramudya. Jangan pernah ganggu mereka jika tidak mau berurusan dengan saya.” Tegasnya sambil melangkah menarik lengan Nuri agar mundur menjauh dari Hafsah. Nuri langsung saja mendekati Risa yang masih berdiri terpaku, rasa nyeri pada perutnya kini mulai terasa kembali. Risa meringis kesakitan, tangannya menyentuh lembut pada perutnya yang terluka dan belum sembuh total.“Laki-laki itu yang mbak maksud?” tanya Nuri dengan suara lirih.“Sepertinya iya, Nur. Tapi dia bilang siapa tadi namanya.” Risa menoleh kearah Nuri sambil meringis kesakitan entah kenapa tiba-tiba saja perutnya terasa sakit, padahal tadi baik-baik saja sebelum Imas dan Hafsah datang. Bahkan Risa sudah merasa lebih baik dari beberapa hari yang lalu.“Mau siapapun kau, aku tidak peduli. Jangan ik
Claudia menelan ludah, merasakan kepalanya berputar dengan beban pikiran yang kini menghantamnya. Risa, yang berdiri tidak jauh dari mereka, menatap dengan tatapan yang penuh kemenangan, seolah sudah memenangkan pertarungan tanpa berkeringat. Pram, dengan sikap dominannya, menatap Claudia dengan tegas, menuntut kepatuhan. “Baiklah, aku akan menyelesaikan ini,” ucap Claudia dengan suara serak, hatinya berkecamuk antara rasa malu dan keinginan untuk melawan. Namun, di hadapan Pram yang berwibawa dan Risa yang menyeringai, pilihan tampak begitu terbatas. Claudia berjalan ke arah rak yang berantakan, tangannya gemetar saat ia mulai merapikan barang-barang yang berserakan. Setiap gerakan yang ia lakukan seakan menandakan kekalahan. Pram mengikutinya, mengawasi setiap detail dengan mata elang, tidak memberi ruang untuk kesalahan sedikit pun. Risa, di sisi lain, berdiri dengan tangan terlipat, matanya berkilat dengan kepuasan yang nyata. Nuri sesekali memberikan komentar kecil yang menyaki
Risa dan Nuri langsung saja keluar dari mobil berjalan dengan sedikit terhuyung, perut terasa mual dan kepala seperti sedang berputar-putar.“Hueek!” Risa mengeluarkan isi perutnya, kepalanya tiba-tiba saja terasa berdenyut, begitu juga Nuri, ia juga muntah-muntah. Karena selama ini mereka tidak pernah mengendarai mobil seugal-ugalan ini.“Kalian tidak apa-apa?” Panik Pram, ia mengusap punggung Risa dan Nuri secara bersamaan.“Tidak apa-apa bagaimana? Mas Pram bisa lihat sendirikan, kami hampir mati karena kamu ngebut bawa mobilnya. Untung saja jantung ini buatan Allah, kalau gak sudah tercecer di jalanan.” Sentak Risa merasa kesal sembari menepiskan tangan Pram, ia menyeka mulut menggunakan punggung tangannya. Namun Pram langsung saja menyodorkan sapu tangannya pada Risa. Sedang Nuri memilih untuk duduk, meraup oksigen dengan rakus, karena tadi, ia merasa berhenti bernafas ketika mobil melaju dengan kencang.“Maaf, saya hanya tidak ingin Claudia lepas. Saya ingin memberi peringatan p
Claudia menyeringai puas ketika melihat mobil Risa keluar dari parkiran. Ia mendengus kesal, sepulangnya dari luar negeri berharap jika Pram mengatakan sangat merindukan dan tidak bisa hidup tanpanya, eh ternyata ia mendapatkan kabar dan kenyataan jika Pram, sang adik, ralat, Claudia dan Pram tidak memiliki hubungan darah sama sekali, hanya saudara angkat. Claudia mendapatkan kabar jika Pram sedang dekat dengan seorang wanita yang statusnya justru telah menjadi janda. Itu yang membuat amarah Claudia semakin membuncah. “Entah apa istimewanya perempuan itu,” dengus Claudia, lalu ia menutup dengan kasar kaca jendela ruangan tersebut setelah mobil Risa memasuki jalan raya. “Bagaimanapun caranya, Pram harus menjadi milikku.” Tukasnya dengan nada penuh amarah, giginya bergemeletuk kasar, kedua tinjunya mengepal. Lalu ia beranjak bangkit, ia ingin menemui seseorang dan akan mencari tahu lebih lanjut tentang Risa. Ia akan menguliknya hingga tuntas dan akan menyingkirkan Risa. “Lihat sa
Risa berjalan menuju ruangannya dengan langkah cepat, berkas-berkas yang baru saja ditandatangani oleh Pram dalam genggamannya. Ia merasa puas dengan hasil kerjasama yang telah dicapai bersama grup Pramudya. Namun, kebahagiaan itu segera terganggu oleh getaran ponselnya. Drrt! Ponsel Risa bergetar di dalam saku blazernya. Ia segera merogohnya dan membaca pesan yang masuk dari Nuri, adik iparnya yang juga menekuni usaha jualan mereka hingga bekerja sama dengan grup Pramudya. [Mbak sedang sibuk tidak, kalau tidak, bisa ke toko sekarang juga,] bunyi pesan dari Nuri. [Seharusnya mbak harus menyelesaikan laporan akhir bulan ini dan akan menjemput Azki dan Meli. Memangnya ada apa?] Risa mengetik balasan dengan jari-jarinya yang lincah, rasa penasarannya mulai terpicu. [Sudah, yang penting mbak langsung saja ke toko, penting.] Nuri kembali membalas, kali ini dengan nada yang lebih mendesak. Risa mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Merasa cemas, Risa segera mengakhir
Risa lalu mendekat pada Nuri, membisikkan suatu rencana yang menurutnya bisa membawa ibu mertuanya pulang ke rumahnya ini. Walau bagaimanapun, Risa masih menyayangi Hafsah, dia tidak pernah benci dengan mertuanya tersebut. Karena Risa sudah menganggap Hafsah seperti ibunya sendiri, itu sebabnya ia merasa tidak sakit hari meskipun Hafsah sudah kelewat batas memperlakukan dan memfitnahnya demi membela Azzam dan Imas.“Aduh, mbak, itu sudah tidak mempan. Aku sudah katakan tadi sama Ibu, tapi ibu tetap memilih hidup bersama mas Azzam dan pelakor itu. Kita lihat saja mbak, sebulan kedepan, ibu betah apa gak tinggal bareng mas Azzam di kontrakan sempit. Karena mas Azzam juga tidak punya uang sepeserpun, lalu mas Azzam juga sudah menjadi pengangguran besar-besaran,” papar Nuri setelah Risa membisikkan idenya, namun kenyataannya Hafsah tidak takut jika tabungannya habis ketika tinggal bersama dengan Azzam.“Kamu serius?” tanya Risa merasa lesu.“Benar mbak Risa, bu Hafsah dengan tegas memilih
Nuri tersenyum lebar ketika mendengar tebakan Imas terbukti benar. Namun, ia tak menyangka bahwa Jenny dan Siska akan cukup membantu dalam rencananya. Akting keduanya terlihat sangat natural dan meyakinkan. Jenny sesenggukan sambil memeluk Siska erat-erat, seolah merasakan kesedihan yang sama."Jika ibu mau hidup tenang dan tak lagi terbebani, silahkan ikut denganku," ujar Nuri dengan lembut."Tapi jika ibu mau memulai hidup baru dari awal, silahkan ikut mas Azzam. Aku melakukan semua ini karena sayang pada ibu, dan ingin melindungi ibu dari bahaya yang mengancam, karena agunan yang tertulis di surat perjanjian yang telah bapak tandatangani akan segera diambil alih oleh para rentenir ini." Sambung Nuri sambil menunjuk kedua pria berpakaian safari tersebut, mereka duduk tidak jauh dengan Nuri, ekspresi wajah Hafsah tampak bimbang, tangannya gemetar saat menerima penawaran dari Nuri. Ia menatap ke arah Azzam yang duduk di seberangnya, mencari petunjuk dan kepastian. Azzam memandang Hafs
Hafsah berdiri di tepi gundukan tanah merah, menatap nanar ke liang lahat yang baru saja ditutup. Di tangannya, ia menggenggam erat keranjang berisi bunga-bunga segar yang ia petik di kebun belakang rumahnya. Dalam hati, ia masih terisak dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa suaminya, pak Harjo, telah pergi untuk selama-lamanya. Perlahan, Hafsah meraih bunga-bunga dari keranjang itu dan mulai menaburkannya di atas gundukan tanah merah. Setiap bunga yang jatuh seolah mewakili doa dan harapannya agar pak Harjo diberikan ketenangan di alam sana. Aroma bunga-bunga itu menggantikan bau tanah yang basah, namun tak mampu menghilangkan rasa sakit yang mendera hati Hafsah."Semoga Allah meringankan hukuman atas segala dosa-dosamu, pak." Lirih Hafsah sambil menyeka air yang masih mengalir dari pelupuk matanya.Di sebelah Hafsah, Imas berdiri dengan wajah penuh simpati."Ibu harus membalas rasa sakit ini pada Risa, jangan biarkan di bebas begitu saja, Bu." Imas semakin mengompori Hafsah, karen
Imas menggenggam ponselnya dengan kuat, menatap nyalang ke arah Risa yang terlibat obrolan dengan pak RT dan beberapa warga yang sibuk menyiapkan tenda dan membentangkan tikar agar para warga yang melayat ada tempat duduk ketika membacakan surat yasin nantinya. Risa terlihat anggun dengan gamis berwarna gelap dan wajah yang tanpa riasan, sesekali ia meringis karena menahan rasa sakit pada perutnya. Dan ada warga yang menyadari hal itu."Mbak Risa sedang sakit?" tanyanya, Risa hanya mengulas senyum terpaksa sambil menahan rasa sakit, perutnya terasa kaku karena terlalu lama berdiri. Sementara Melisa dan Azkira sudah ada di dalam rumah Hafsah, mereka sudah terlelap, karena hari memang sudah malam."Ya, Risa baru saja mendapatkan musibah. Perutnya di tusuk seseorang ketika dia pulang kerja. Dan harus mendapatkan beberapa jahitan." Sahut Atikah sambil merangkul tubuh Risa."Astaga!""Ya Allah, untung baik-baik saja, mbak.""Ya sudah, istirahat di dalam saja, mbak. Sampe pucet begitu." Usu
“Ada apa ini, kenapa ibu dan Imas terus saja berkelahi setiap hari, memangnya kalian berdua ini tidak bisa akur sehari saja?” tanya pak Harjo sambil memegangi kepalanya yang terasa nyut-nyutan, lalu pak Harjo memegangi bagian dada kirinya yang terasa nyeri sekali.“Aku juga tidak habis pikir dengan ibu, apa bedanya Imas dengan Risa. Mereka sama-sama menantu ibu dan melahirkan cucu-cucu ibu. Seharusnya sikap ibu tidak bisa jomplang seperti ini dong, bahkan ibu dulu sangat peduli dengan Melisa dan Azkira, lalu kenapa ibu tidak bisa bersikap sama kepada Azka?” Azzam mulai terpancing emosi atas sikap Hafsah akhir-akhir ini.“Kau lupa, kalau Melisa dan Azkira bukan anak hasil curian. Lagian yakin sekali jika anak itu darah dagingmu, anaknya yang lain saja bapaknya gak jelas. Kau terlalu bodoh dan naif, Zam.” Sahut Hafsah sangat menohok sekali yang membuat amarah Imas semakin membludak.“Jangan fitnah, bu. Ita dan Lina ada bapaknya, mereka memiliki orang tua yang jelas. Bapaknya aja yang ga