"Terkadang aku masih tak menyangka ternyata keluargamu sekaya ini, Amira! Padahal saat sekolah dulu kau begitu sederhana walaupun tiap hari memang naik turun mobil mewah."Zara mengutarakan unek-uneknya di hadapan Amira yang tengah bersiap dalam ruang pakaian di kamarnya dibantu seorang pelayan.Sebuah setelan kerja berwarna gelap terlihat melekat sempurna di tubuh rampingnya."Kehadiranku memang tak bisa ditampik sebagai aib di keluarga ini, Zara. Jangankan dirimu. Wali kelasku saja hanya tahu bahwa aku adalah kerabat jauh kakek, karena begitulah cara mereka menutupi statusku dari publik selama belasan tahun lamanya. Aku tahu mungkin kakek sedang menunggu waktu yang tepat untuk mengumumkannya. Namun, sayang azal lebih dulu menjemputnya sebelum hari itu tiba." Zara terbungkam saat melihat ekspresi datar yang ditunjukkan Amira saat menuturkannya. Refleks dia berjalan mendekat dan merengkuh tubuh sahabatnya sejak SMP tersebut."Mira ... inilah alasan kenapa aku bersedia meninggalkan mi
"Bang! Bang! Bang!" Ilham mengguncang tubuh Jojo yang baru saja merebahkan diri di sebuah karpet berbulu lembut dalam kamar mereka."Apaan, sih, Ham? Gue baru mau tidur siang habis dijajah si Zara.""Coba dengerin, deh!" Ilham menyerahkan sebuah earphone kepada Jojo."Apa ini?" "Dengerin aja."Jojo berdecak sejenak, lalu mulai mendengar dengan saksama rekaman suara dari laptop milik Ilham.Tak lama mata Jojo membelalak sempurna."Eh, anjrit begimana bisa, Ham?"Kemarin gue sisipin chip di bajunya Mbak Andin. Ternyata bener dia nyamperin Mas Rama.""Bentar, bentar! Jadi ini begimana maksudnya? Sorry otak gue kadang emang lemot banget, Ham.""Jadi, gini ... awalnya gue curiga kenapa CCTV di kamar Mas Rama sama Mbak Andin nggak bisa diakses. Iseng dah gue jalan-jalan ke ruang CCTV setelah sogok bagian penjagaan sama cilok berisi obat tidur. Ternyata kecurigaan gue emang beralasan, Bang. Mereka beberapa kali keluar dari kamar yang sama!""Ohmaygad. Positif thingking aja kali, Ham. Mungki
Ting!Lift pun sampai di tempat yang dituju. Mereka keluar satu per satu, dan masuk ke ruang meeting hampir bersamaan. Menyisakan Al yang menjaga di luar. "Sebentar, Nona!" Langkah Amira terhenti tepat di ambang pintu. Dia menoleh menatap Al. "Ya, Al?" "Saat meeting berlangsung nanti, usahakan jangan duduk, ya. Ini! Siapa tahu Nona membutuhkannya nanti." Al mengeluarkan sebuah flashdisk dari kantong celananya."Meskipun kebingungan akhirnya Amira mengangguk juga. "Oke. Terima kasih, Al."Al hanya mengangguk sembari tersenyum kecil. Tiba di dalam ruang meeting, Amira melihat hampir tiga per empat kursi sudah terisi. Saat hendak duduk tiba-tiba dia mengingat ucapan Al. Dan memilih untuk berdiri lalu memulai presentasi. "Tolong nyalakan in fokus-nya," pinta Amira pada salah satu staf. Namun, bukannya bergegas menyalakannya, staf pria itu malah menghampiri Amira dan berbisik di telinganya. "Maaf, Bu. Tapi filenya tak ada."Amira mengernyit dahi. "Bagaimana bisa? Kemarin, kan aku
"Kalau bersedia kapan-kapan, kita dinner di rumahku, bagaimana?" tawar Amira pada Mrs. Margaret setelah meeting selesai."Dengan senang hati tentu saja aku akan datang, Mira. Bersama dengan suami, Dustin, dan Anne."Amira tersenyum lebar, lalu kembali memeluk ibu kandung Dustin itu sebelum berlalu. "Sekali lagi terima kasih, Mrs. Margaret.""Sama-sama. Kau tak perlu sungkan. Lagipula sebentar lagi kau akan jadi anak menantuku, bukan?" Mrs. Margaret tertawa kecil sementara Amira hanya menanggapinya dengan senyum terpaksa. "Oh, ayolah, Mira. Aku hanya bercanda. Walaupun kenyataannya putraku memang begitu tergila-gila padamu."Amira terdiam sejenak, lalu mengangkat kepala. "Dustin berhak mendapatkan yang jauh lebih baik dariku, Mrs.""Tapi menurutku tak ada yang lebih baik darimu. Cantik, cerdas, masih muda, dan tangguh."Seketika Amira terbungkam. Batinnya mulai menjerit mengkhianati diri sendiri. "Aku hanya merasa tak pantas bersanding dengan putramu yang nyaris sempurna, Mrs."Mere
"Kita naek motor, nih, Ham?" tanya Jojo saat melihat Ilham keluar dari garasi dengan sebuah motor gede. "Hooh, nggak ada waktu lagi soalnya Bang. Nunggu Non Amira pulang--entar keburu basi dan lumutan.""Terus laptopnya?""Tenang, masih nyala. Walaupun dah kedip-kedip kek orang cacingan.""Ya udah kalau gitu. Gaskeun, Ham. Lagian suntuk juga dekem di rumah mulu jadi babunya si Zara.""Haha. Kayaknya kalian cocok, deh, Bang. Berantem mulu soalnya.""Hmm ... kalau emang jodoh siapa yang tahu, yepan?"Ilham kembali terbahak. "Anjay, ternyata lu ngarep juga.""Bukan ngarep, Ham. Tapi usaha. Nggak dapet Non Mimi, kan bisa sama temennya, buahaha--asyem." Seketika tawa Jojo terhenti saat melihat Zara tiba-tiba muncul di hadapan mereka. "Anjir sejak kapan dia berdiri di sono?" bisik Jojo pada Ilham. "Nggak tahu, Bang. Perasaan baru ngedip bentar. Terus gimana, dong?""Mau ke mana kalian?" Zara melotot sembari berpangku tangan di atas stang motor yang ditumpangi Jojo dan Ilham. "Ng, itu,
Amira melangkah lebar memasuki gedung Rumah Sakit Harapan tak lama setelah dia mendapat kabar dari kepolisian. Segala urusan yang semula sudah dijadwalkan, tanpa pikir panjang langsung dia tinggalkan demi prioritas para pegawal. Degub jantungnya yang berdetak tak keruan seiring mengiringi langkahnya yang terseok memasuki lift bersama Al yang tak kalah paniknya. Meski bibir ranum itu terbungkam, tak henti dia berdoa agar polisi tersebut salah mengidentifikasi korban. Lift berhenti di lantai dua. Bergegas mereka berjalan menuju sebuah ruang mayat yang terletak di ujung koridor."Non." Sedikit ragu, Al menyentuh pundak Amira. Perempuan itu menoleh masih dengan kecemasan yang sama. "Tarik napas dulu. Tenangkan pikiran," pintanya."Mana bisa, Al," sentak Amira setengah geram.Al tetap bersikukuh meyakinkan. "InsyaAllah bisa."Pada akhirnya Amira menurut juga. Di ambang pintu ruang mayat dia berpegangan pada dinding penyangga, lalu menghela napas dalam-dalam."Sekarang, ayo kita masuk." A
"Terkadang aku lelah, Al. Hingga ingin rasanya mengakhiri semua dan pergi tanpa apa pun, bersama Azriel dan Nicholle untuk tinggal bersama Enin di Desa. Namun, keadaan seakan memaksaku untuk tetap tinggal, menyelesaikan apa yang telah kusepakati pada kakek tanpa tahu harus memulai dari mana. Aku hanya tak ingin lebih banyak darah bertumpahan lagi, aku tak ingin ada korban baru lagi." Amira menyeka bulir bening yang lolos dari pelupuk matanya.Al yang tengah fokus menyetir sesekali melirik Amira, atau Zara yang duduk di jok belakang dari balik spion.Perempuan berambut pendek itu memberi isyarat dengan anggukan dagu agar Al menenangkan Amira."Bagaimana kalau kalian resign saja, sebisa mungkin aku akan membantu jika kalian ingin membuka usaha. Pekerjaan ini sepertinya cukup berbahaya bagi kalian. Taruhannya nya--" "Amira." Tubuh perempuan itu menegang saat sadar panggilan itu bukan berasal dari Zara melainkan Al. "Bisa kita bicara sebagai teman, alih-alih atasan dan bawahan?"Amira me
Amira membulatkan bibirnya. "Oh, begitu. Ya sudah, aku duluan ke atas, ya. Sudah mau masuk waktu maghrib. Nanti kita berkumpul lagi saat makan malam." Amira dan Zara pun berlalu dari pandangan Andini."Kamu lihat Nic, Zar?" "Kayaknya dia di dapur, deh, Mir. Akhir-akhir ini Nicholle suka nemenin Mbok Ambar."Amira mengernyitkan dahi."Terus mereka komunikasinya bagaimana?"Zara mengedikkan bahunya. "Entah, pake google translet, mungkin.""Ya ampun, Zara." Amira hanya menggeleng pelan.mereka pun memisahkan diri dan masuk ke ruang masing-masing. Sebelum masuk ke kamarnya Amira sempat mengintip dari balik pintu kamar Azriel yang setengah terbuka. Kebetulan kamar mereka memang terletak berhadapan.Di meja belajarnya, Azriel terlihat tengah sibuk berkutat dengan IPad, mengerjakan tugas yang dikirimkan melalui online. Ternyata Azriel cukup bersemangat di hari pertamanya sekolah.Setelah puas memerhatikan putranya, Amira pun masuk ke dalam. Merobohkan diri di atas kasur sembari melepas pas