Amira melangkah lebar memasuki gedung Rumah Sakit Harapan tak lama setelah dia mendapat kabar dari kepolisian. Segala urusan yang semula sudah dijadwalkan, tanpa pikir panjang langsung dia tinggalkan demi prioritas para pegawal. Degub jantungnya yang berdetak tak keruan seiring mengiringi langkahnya yang terseok memasuki lift bersama Al yang tak kalah paniknya. Meski bibir ranum itu terbungkam, tak henti dia berdoa agar polisi tersebut salah mengidentifikasi korban. Lift berhenti di lantai dua. Bergegas mereka berjalan menuju sebuah ruang mayat yang terletak di ujung koridor."Non." Sedikit ragu, Al menyentuh pundak Amira. Perempuan itu menoleh masih dengan kecemasan yang sama. "Tarik napas dulu. Tenangkan pikiran," pintanya."Mana bisa, Al," sentak Amira setengah geram.Al tetap bersikukuh meyakinkan. "InsyaAllah bisa."Pada akhirnya Amira menurut juga. Di ambang pintu ruang mayat dia berpegangan pada dinding penyangga, lalu menghela napas dalam-dalam."Sekarang, ayo kita masuk." A
"Terkadang aku lelah, Al. Hingga ingin rasanya mengakhiri semua dan pergi tanpa apa pun, bersama Azriel dan Nicholle untuk tinggal bersama Enin di Desa. Namun, keadaan seakan memaksaku untuk tetap tinggal, menyelesaikan apa yang telah kusepakati pada kakek tanpa tahu harus memulai dari mana. Aku hanya tak ingin lebih banyak darah bertumpahan lagi, aku tak ingin ada korban baru lagi." Amira menyeka bulir bening yang lolos dari pelupuk matanya.Al yang tengah fokus menyetir sesekali melirik Amira, atau Zara yang duduk di jok belakang dari balik spion.Perempuan berambut pendek itu memberi isyarat dengan anggukan dagu agar Al menenangkan Amira."Bagaimana kalau kalian resign saja, sebisa mungkin aku akan membantu jika kalian ingin membuka usaha. Pekerjaan ini sepertinya cukup berbahaya bagi kalian. Taruhannya nya--" "Amira." Tubuh perempuan itu menegang saat sadar panggilan itu bukan berasal dari Zara melainkan Al. "Bisa kita bicara sebagai teman, alih-alih atasan dan bawahan?"Amira me
Amira membulatkan bibirnya. "Oh, begitu. Ya sudah, aku duluan ke atas, ya. Sudah mau masuk waktu maghrib. Nanti kita berkumpul lagi saat makan malam." Amira dan Zara pun berlalu dari pandangan Andini."Kamu lihat Nic, Zar?" "Kayaknya dia di dapur, deh, Mir. Akhir-akhir ini Nicholle suka nemenin Mbok Ambar."Amira mengernyitkan dahi."Terus mereka komunikasinya bagaimana?"Zara mengedikkan bahunya. "Entah, pake google translet, mungkin.""Ya ampun, Zara." Amira hanya menggeleng pelan.mereka pun memisahkan diri dan masuk ke ruang masing-masing. Sebelum masuk ke kamarnya Amira sempat mengintip dari balik pintu kamar Azriel yang setengah terbuka. Kebetulan kamar mereka memang terletak berhadapan.Di meja belajarnya, Azriel terlihat tengah sibuk berkutat dengan IPad, mengerjakan tugas yang dikirimkan melalui online. Ternyata Azriel cukup bersemangat di hari pertamanya sekolah.Setelah puas memerhatikan putranya, Amira pun masuk ke dalam. Merobohkan diri di atas kasur sembari melepas pas
"Menurut keterangan beberapa saksi dan bukti-bukti. Saudara Hanung Adijaya terjerat pasal berlapis, seperti yang sudah tercantum dalam pasal 340 KUHP tentang pembunuhan, juga pasal 310 ayat 1 tentang fitnah dan pencemaran nama baik pada saudari Lena Aprilia, serta pasal 242 ayat 1 tentang keterangan palsu. Dengan ini kami putuskan bahwa terdakwa dijatuhi hukuman maksimal tiga puluh tahun penjara, dan denda tiga miliar rupiah."Palu hakim pun diketuk. Bersamaan dengan itu kepala Hanung tertunduk. Masih dengan kedua jemari yang tertaut dia menoleh ke arah Amira yang berada di barisan paling depan bersama Rafael dan Rama, sementara Dona sama sekali tak terlihat batang hidungnya. Beberapa bulir air mata terlihat lolos dari pelupuk mata dan membasahi pipinya yang kemerahan. Amira bangkit menghampiri Hanung yang tersenyum lemah menatapnya.Tanpa aba-aba perempuan itu berlari dan menerjang tubuh pamannya, dia terisak dalam dekapan Hanung."Air mata berharga itu sama sekali tak pantas kau ja
"Zar! Kira-kira secara keseluruhan meeting room yang tertutup di rumah ini ada berapa?" Amira bertanya pada Zara sepulang dari kantor, sembari menyisir pandangan ke seluruhan bangunan megah di sekelilingnya. "Kalau nggak salah dua, deh, Mir. Satu lantai dasar--di sini, yang satu lagi di lantai tiga," sahut Zara."Sofanya?" tambah Amira."Kalau yang paling atas kayak ruang keluarga biasa. Sofanya ada dua berhadapan. Kalau yang dibawah itu muat lebih banyak, sofanya juga kayak buat meeting biasa. Dua-duanya ada TV ukuran 42 inci."Amira manggut-manggut tanda mengerti."Yang di lantai ini kursinya tolong ganti pake sofa panjang, ya!" pinta Amira."Oh, boleh-boleh, Mir. Ada lagi?""Sama minta tolong kabarin bagian kitchen buat nambah stok besok. Kita bakal kedatangan beberapa tamu soalnya."Zara menulis semua catatan yang Amira minta di dalam sebuah tab berbentuk persegi dengan pen khususnya."Oh, iya, Zar. Perkembangan kondisi Jojo sama Ilham bagaimana?" Zara mengangkat kepalanya, seket
Matahari tampak terik siang hari ini. Namun, embusan angin masih terasa menggoyangkan pohon-pohon yang rindang di sekeliling bangunan megah tersebut. Akhir pekan di kediaman Adijaya dimulai dengan mobil-mobil mewah yang terparkir di pelataran. Lalu-lalang para pelayan menyiapkan jamuan makan yang sudah dipersiapkan sejak beberapa hari lalu pun menjadi pertanda akan diadakannya sebuah pertemuan antar keluarga. Seorang wanita paruh baya yang mengenakan dress selutut terlihat baru saja keluar dari salah satu mobil yang berjejer. Rambut panjangnya yang disemir pirang, tampak terurai menyentuh punggung mungilnya. Sebuah kaca mata hitam yang dipenuhi dengan permata mengkilap bertengger di hidung bangirnya. Namun, ada sedikit yang berbeda dari penampilan wanita ini. Bibirnya yang penuh tak lagi dihiasi gincu berwarna mencolok, hanya warna nude yang dia bubuhkan, hingga terkesan sedikit pucat. "Mari Bu Dona, saya antar menuju ruangan yang sudah disediakan."Zara menuntun Dona menuju meeting
"Selamat datang Pak Rendy. Mari saya antar ke ruangan." Zara menyambut Rendy yang baru saja turun dari mobil Ferrari dan mengiringnya menuju lantai tiga. Dua hari lalu lelaki itu melakukan penerbangan langsung dari London menuju Jakarta, setelah melakukan kesepakatan dengan Amira terkait Andini yang masih sah sebagai istrinya. Selama dua bulan menghambiskan waktu dalam pengasingan di negara yang dipimpin oleh Ratu Elisabeth tersebut, Rendy banyak belajar tentang arti kehidupan. Dia juga lebih banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan amal, serta menyempatkan diri untuk berkonsultasi dengan seksolog terkait penyimpangan seksualnya. Rendy merasa bahwa waktu yang dia habiskan untuk main-main sudah selesai. Kehidupan terlalu singkat bila hanya dihabiskan untuk mengejar dunia dan segala isinya yang fana. Toh, harta dan kekuasaan yang susah payah dia perjuangkan sejauh ini tak membuat dirinya puas menikmati hidup. Sampai di lantai tiga, Zara menuntun Rendy menuju ruangan dengan dua orang
Amira masuk lebih dulu ke ruangan di mana Mrs. Margaret, Dokter Sandi, dan Dona berada. Sejenak dia berhenti di hadapan dua orang penjaga untuk menyampaikan beberapa pesan. "Masuk ke dalam kalau merasakan kondisi sudah tidak lagi kondusif!""Baik, Bu." Kedua orang lelaki berbadan kekar itu mengangguk bersamaan. "Ayo!" ajak Amira pada seorang pelayan yang mendorong troli berisi makanan menuju ruangan. Suara stilleto yang beradu dengan ubin menginterupsi obrolan canggung antara tiga orang yang duduk di atas sofa berwarna gelap. "Maaf menunggu lama. Silakan dinikmati! Ini cocktail yang menyegarkan bila disajikan saat cuaca panas begini." Amira tersenyum lebar menatap ketiganya. Satu per satu gelas bening berisi cocktail yang dibawa pelayan bertopi tersebut dia sodorkan pada Dona, Mrs. Margaret serta Dokter Sandi. "Kenapa, Dok?" tanya Amira saat Dokter Sandi terdiam lama, memerhatikan gelas di tangannya. "Cocktail ini aman, kok. Tidak ada sianida atau zat arsenik. InsyaAllah Anda ak
Resepsi pernikahan berakhir lancar, meski sempat ada drama cinta segitiga yang berujung dengan patah hatinya Jojo. Meskipun begitu kondisi kembali kondusif mengingat lelaki bertubuh tinggi kecil itu cukup pandai membalikan keadaan, dan tiba-tiba bangkit dari pingsan dan meneriakan 'PRANK' menggunakan microphone yang entah bagaimana masih ada di genggaman tangannya untuk menutupi rasa malu atau memperbaiki apa yang seharusnya tak terjadi. Finalnya semua masalah clear saat perempuan berambut sebahu itu menghajarnya, lalu Al dan Zara pun resmi saling mengungkapkan perasaan yang selama ini tertutupi gengsi. Dengan hati besar Jojo memilih mengesampingkan perasaannya demi persahabatan yang sudah susah payah dibangun sejak awal. Sementara itu di vila tak jauh dari Pine Hill, Cibodas. Amira dan Rafael mengawali malam pertama mereka dengan sholat berjamaah. Setelah selesai melipat alat sembahyang, keduanya pun duduk dengan canggung di tepi pembaringan. Kedua tangan Amira terlihat bertaut d
"Semua orang mungkin menyayangkan kenapa pada akhirnya aku memilih seseorang yang baru datang, dibandingkan dia yang sejak awal berjuang. Tapi kenyamanan tak bisa paksakan, Zara. Sejak aku tahu Dustin menjadi bagian dari masa laluku yang kelam, aku tak bisa membohongi diri bahwa ketakutan itu masih selalu menghantui. Sesuatu yang sudah pecah tak akan bisa kembali utuh meski sudah diperbaiki sedemikian rupa, begitu pun kepercayaan dan keyakinan dalam menjatuhkan pilihan. Ucapan Rafael kala itu berhasil meruntuhkan dinding ego yang telah lama kubangun tinggi. Mulanya pernikahan tak pernah menjadi bagian dari rencana masa depanku, tapi setelah lelaki itu datang semua bantahan itu berhasil dia patahkan."Zara termangu menatap Amira di samping pelaminan saat Rafael izin untuk mengobrol dengan Al dan ibunya, serta Bu Fatma. Dia paham betul bagaimana kondisi Amira, hingga tak bisa berbuat apa-apa saat perempuan itu menjatuhkan pilihannya pada sang pengacara. Lagi pula Zara tak bisa terus-me
Ketika sebuah perasaan muncul tanpa disadari, saat itulah setiap insan menyadari bahwa perasaan yang murni selalu timbul pada seseorang yang terkadang tidak dikehendaki. Nasehat tak lagi berarti, tindakan mulai tak terkendali, hingga waktu perlahan mulai berlari.Menata hati yang sudah berserakan karena masa lalu kelam, memanglah sulit. Namun, lebih sulit lagi menyembuhkan luka seorang wanita saat dia sudah terjatuh dalam kubangan derita, mengalami krisis kepercayaan, hingga akhirnya menutup diri dan tenggelam dalam kesendirian.Situasi tersebut berhasil dilewati Rafael Herlambang. Waktu satu tahun mungkin terkesan singkat dalam meluluhkan hati keras seorang Amira Hasna Adijaya. Meski keraguan pekat sempat membuatnya mengurungkan niat saat mendengar wanita itu bahkan sempat menolak lelaki yang sudah ada di sampingnya lebih dari delapan tahun lamanya. Namun, tekad yang bulat berhasil membuatnya ada di posisi sekarang. ***Kedua tangan berbeda ukuran itu masih saling bertautan di atas
Hampa, adalah perasaan yang saat ini tengah Amira rasakan. Kesepian yang mencekam membuatnya tak yakin bisa kembali menjalani hari dengan senyuman, meski segala problema kehidupan telah berhasil dia selesaikan.Kehilangan, menjadi satu-satu yang memberikan dampak besar. Rumah megah dengan segala kemewahan ini tak ayal membuatnya nyaman di tengah keramaian para pelayan, justru sepi bak di tengah hutan. Sepekan berlalu sejak Rama dikebumikan, wartawan masih hilir-mudik di depan pelataran. Pemberitan tentang kasus rama dan keluarga Adijaya masih menjadi headline teratas berbagai surat kabar dan media online. Perlingkuhan, anak hasil hubungan terlarang, dan isu kemandulan semua terkuak. Kini, aib keluarganya menjadi konsumsi publik tanpa bisa dicegah. Seminggu ini bahkan dia tak berani keluar rumah dan menyelesaikan segala pekerjaan kantor di balik pintu kamar. Tak ada yang bisa Amira lakukan. Kini, uang tak lagi bisa digunakan untuk membungkam kebohongan yang akan terus berdampak di m
"Dalam hidup, terkadang memang begitu banyak hal mengejutkan yang terjadi di luar perkiraan. Kelahiran, azal, serta takdir semua sudah diatur oleh sang pemilik kehidupan. Bahkan seseorang yang mulanya kita percaya bisa menjadi orang yang paling kita benci. Roda itu berputar, Amira. Tak perlu mengukur seperti apa keadilan yang sudah Tuhan beri pada setiap makhluk-Nya. Karena semua sudah pada porsinya masing-masing. Mungkin saja di luar sana ada yang dicoba lebih, tapi tidak mengeluh." Di atas tanah merah itu Amira bersimpuh, tak peduli meski lengket dan pekatnya bentala mengotori rok putih yang dikenakannya.Setetes bulir bening kembali mengalir turun membasahi pipi mulus perempuan itu, saat matanya terpejam untuk kedua kali di hadapan pusara terakhir para anggota keluarganya. Pagi ini, satu lagi jasad anggota keluarga Adijaya telah dikebumikan di samping makam yang lain. Keputusan untuk menguburkan jasad tersebut sempat ditentang beberapa pihak, karena kehadirannya dianggap sebagai
"Itu suara tembakan dari dalam, kan?" Zara mengguncang bahu Dede, ketika mendengar sayup-sayup suara tembakan yang memekakkan telinga terdengar dari dalam gudang, di tengah keheningan yang tercipta setelah semua musuh berhasil dikalahkan.Para korban terlihat sudah bergelimpangan di sekitar gudang. Ada yang luka ringan, berat, bahkan sampai tewas mengenaskan. Beruntung semua sekutu yang dibawa Zara hampir setengahnya berhasil selamat dan hanya terkena luka ringan, pun Zara dan Dede. Mereka terlihat saling mengobati sembari menunggu pihak berwajib datang untuk mengevakuasi para korban dan menangkap pihak-pihak yang bertanggung jawab atas penculikan dan pelarian Rama yang buron selama hampir 2 x 24 jam. "Berarti Al berhasil menyelamatkan Amira, Azriel, dan Nicholle?" Zara kembali bertanya. Raut wajahnya semakin panik, karena Dede tak jua menjawabnya.Sembari membalut luka di lengannya, Dede hanya bisa menggeleng pelan. "Saya nggak tahu, Mbak. Dari awal perjalanan aja Bang Al udah ngga
"Jadi, di sini tempatnya?" Zara bertanya pada Al yang memarkirkan mobilnya beberapa meter dari lokasi gudang yang diberi tahu Amira sebelum keberangkatannya.Perempuan itu berpesan bahwa mereka boleh datang bila Amira tak jua kembali setelah larut malam. Entah kenapa sejak awal Amira sudah punya keyakinan meski diberi uang, Rama tak akan pernah membiarkannya pulang dalam kondisi hidup, karena dendam mendalam."Ya." Al menjawab singkat pertanyaan Zara. "Jadi, rencananya gimana, Bang?" tanya Dede yang bersedia mengorbankan dirinya sekali lagi untuk keselamatan orang sebaik Amira. Dia juga bersedia melakukan hal itu untuk membalas perbuatan Rama, setelah tahu bahwa dia adalah dalang di balik kecelakaan Ilham dan Jojo hingga menyebabkan keduanya jatuh koma. "Zara, Dede, dan yang lain alihkan perhatian para penjaga di depan. Hati-hati, mereka membawa senjata laras panjang. Sementara aku dan Dustin akan masuk ke dalam menggunakan pintu belakang." Beberapa orang yang Al maksud adalah para
"Anda yakin, Nona?" Sekali lagi Rafael berusaha meyakinkan Amira. Terlihat Mobil Jeep sudah terparkir di pelataran untuk dikendarai Amira menuju lokasi tujuan dengan dua tas travel besar yang penuh terisi uang berjumlah miliaran rupiah.Tak lama setelah telepon dari Rama ditutupnya, Amira langsung meminta bantuan Rafael untuk mencairkannya. Setelah hampir 1 x 24 jam diproses bank, uang pun sudah siap di tangan meski sebagian hanya berupa cek yang sudah ditanda tangan, karena tak memungkinkan membawa uang triliunan dalam sekali jalan. Senja mulai berpendar, garis jingga yang berbaur dengan awan putih menambah indah suasana sore di langit Jakarta. Dengan jaket parasut yang melapisi pakaian serba gelap di dalamnya, Amira sudah bersiap berangkat ke lokasi di mana Rama menyekap Azriel dan Nicholle. Ketakutan telah ditelan rasa kekhawatiran, hingga yang kentara di wajahnya hanya ambisi untuk segera menyelesaikan semuanya dan menghajar Rama selagi bisa. "Nyawa anak dan sahabatku lebih be
"ARGHHH.... "Brak!Prang!Bruk!Pecahan barang serta teriakan frustrasi terdengar di kamar utama kediaman Adijaya. Sudah tiga jam berlalu sejak Rama hilang dalam pengawasan polisi dan Azriel serta Nicholle tak bisa dihubungi. Semua tampak jelas dan berkaitan kini. Amira benar-benar tak menyangka bahwa sesuatu yang mengerikan seperti ini akhirnya terjadi. Zara terlihat maju mundur saat berusaha menenangkan Amira karena melihat barang-barang terlempar tepat di hadapannya. "Kamu sudah memastikan semua pelayan yang berkaitan dengan Rama diberhentikan, kan?" sentak Amira yang membuat Zara sedikit terlonjak dari tempatnya. "Su-sudah, Mir. Aku yakin tak ada satu pun yang tersisa."Amira mengusap wajah sejenak. "Siapa saja yang pergi bersama Azriel dan Nicholle pagi tadi?""Cuma Yoga dan dua pelayan wanita.""Sebentar." Mata Amira tiba-tiba membulat saat dia berhasil mengingat sesuatu. "Ya?""Di mana Yoga saat Jojo dan Ilham kecelakaan dan dirawat di rumah sakit?""Ng, dia izin pulang,