Alva Alexander sama sekali tidak menyangka kalau Arzetta akan terbangun di saat dia sedang menjebak Jason dan menangkapnya di dalam kamar inapnya. Saat paginya, anak buahnya melaporkan kalau melihat pergerakan Jason yang berkeliaran di sekitarnya dengan menyamar sebagai pegawai rumah sakit mengawasi ruangan rawat inap Zetta dari CCTV, tentu saja Alva gusar. Dia tidak bisa membiarkan Jason bebas berkeliaran sesukanya jadi dia ikuti permintaan anak buahnya untuk menjebaknya.Kalau saja Alva tahu, maka tidak akan dia biarkan Jason masuk dan kembali membuat Zetta takut. Ah sial!! Ini salahnya.Di sisi lain, Alva lebih dari lega saat mendapati Zetta yang sudah sadar meskipun sedang terisak di atas tempat tidurnya menutup mata. Dia bahagia. Zettanya, wanitanya sudah bangun. Tidak ada hal lain yang diinginkan Alva selain hal itu.Ah ya tentu saja saat ini prioritas utamanya menjauhkan Zetta dari Jason yang membawa pisau lipat di tangannya nampak berbahaya. Kalau Jason nekat mendekati Zetta d
Zetta membuka mulutnya dan menerima suapan bubur dari Alva yang sejak tadi menemaninya makan."Tidak ada rasanya makanan ini, Alva." Zetta mencoba untuk menjauhkan tangan Alva yang memegang sendok.Alva berdecak, "Siapa yang bilang makanan rumah sakit itu enak. Tapi kau tetap harus makan, nanti bisa kurus."Zetta memutar bola matanya dan memeluk erat kedua lututnya yang dia tekuk dan kembali menerima suapan Alva."Kalau aku keluar dari sini aku ingin makan spagetti di Italia," katanya kemudian."Astaga!! Permintaanmu banyak sekali. Kemarin bilang mau ke Maldives lihat pantai terus mau ke Bali lihat Desa Ubud terus sekarang mau makan Spagetti ke Italia. Kau lagi mabuk atau mau menghabiskan uangku??" Alva menggelengkan kepalanya heran, lalu tersenyum tampan, "Dari pada jauh-jauh beli di Italia mendingan aku yang buatkan." Alva mengedipkan matanya genit.Zetta mencibir, "Memangnya selain ahli menggoda dan merayu wanita kamu juga ahli memasak?""Jangan meremehkan." Alva berucap kesal. "Ak
"Bagaimana hasil meetingnya? Apa Alva setuju?"Jeremy memijit pelipisnya dengan tangan lainnya memegang ponsel berdiri di belakang meja Zetta menatap pemandangan di luar."Dia marah Pak. Tidak terima di desak seperti ini.""Ah, sudah aku duga. Tidak mungkin anak lelakiku itu langsung setuju.""Apa memang harus seperti ini Pak Gabriell?" Tanya Jeremy."Harus. Aku tidak memiliki pilihan lain."Andai saja Alva tahu siapa yang menjadi dalang dari keputusan para petinggi itu."Kalau tidak di desak seperti ini, Alva tidak akan cepat mengambil keputusan Jeremy. Sudah cukup aku melihat anakku menderita. Dan sekarang saat semuanya sudah kembali tenang, aku harus melakukan hal yang aku bisa untuk membuatnya cepat-cepat berpikir tentang pernikahan.""Bukan karena kebelet pengen cucu Pak?"Gabriell terkekeh, "Itu sih tujuan utama."Jeremy menghela napasnya. "Aku akan mencari tahu apa yang akan di lakukan Alva selanjutnya untuk menangani hal ini.""Bagus. Kalau bisa panas-panasin dia untuk segara
Alva melajukan mobilnya menembus pekatnya malam di bawah derasnya hujan yang melebat untuk sampai ke apartemennya. Dia terlambat pulang karena harus bertemu dengan beberapa client. Sebelum kembali ke rumah sakit, Alva berniat pulang dulu sebentar ke apartemennya sekaligus memerintahkan pegawainya untuk membersihkannya apartemennya secara keseluruhan karena Alva berniat membawa Zetta pulang dan tinggal bersamanya di sana setelah keluar dari rumah sakit.Panggilan di ponselnya yang tersambung dengan elektrik mobilnya membuyarkan lamunanya. Dalam sekali tekan, suara David yang dia beri tugas menjaga Zetta langsung terdengar. Alva langsung menegakkan punggungnya waspada."Ada apa?!!""Bos, Nona Zetta histeris dan menangis di dalam kamarnya. Saat ini dokter sedang memberikan obat penenang."Alva mencengkram erat kemudi mobilnya dan membanting setirnya berbelok ke arah berlawanan dengan tujuannya semula, "Apa yang terjadi?!!""Tadi ada seseorang yang menemuinya."Alva menahan geram. "Apa ya
Eliana hanya bisa menatap Zetta yang sudah terlihat sehat meskipun memar di wajahnya masih nampak. Mereka duduk saling berhadapan di sofa rawat inapnya. Tante Sonia memilih pulang dan berjanji akan kembali lagi nanti. Jadi mereka memiliki banyak waktu untuk berbicara."Zetta."Eliana langsung mengambil kedua telapak tangan Zetta yang bertaut."Aku benar-benar minta maaf karena menutupi semuanya dan membuatmu celaka. Aku takut dengan ancaman Jason dan tidak berani memberitahumu. Maafkan aku Zetta." Air matanya mulai menetes.Zetta yang saat melihatnya tadi sempat menangis, kini memandanginya dalam diam. Eliana tidak tahu lagi bagaimana caranya agar Zetta mau memaafkannya."Kamu pantas untuk marah dan membenciku. Aku akan menerimanya."Zetta tetap bergeming di tempatnya membuat perasaan bersalah Eliana semakin besar. Butuh waktu dan keberanian baginya untuk datang dan bertatap muka dengan Zetta. Eliana hanya bisa menangis seraya menundukkan wajah saat tiba-tiba Zetta mendekat dan memelu
Usapan lembut di wajahnya memaksa Zetta untuk membuka matanya. Angin pagi yang berhembus menyegarkan pikirannya. Alva yang tadi mendorong kursi rodanya dari ruangan rawat inapnya, saat ini sudah duduk berlutut di sampingnya di depan kolam buatan yang ada di area taman rumah sakit. Belum banyak pasien atau pengunjung yang terlihat berlalu lalang.Zetta membalas senyuman Alva dan mengusapkan jemarinya di sekitar rahang lelaki itu merasakan tekturnya yang sedikit kasar akibat dari bulu-bulu halus yang terasa begitu menggelitik telapak tangannya."Kamu harus bercukur Pak Alva," katanya kemudian."Akan aku lakukan kalau kamu yang bersedia membersihkannya untukku." Tangan Alva menggenggam tangan Zetta yang ada di wajahnya."Bayarannya dobel karena pekerjaan itu tidak ada dalam job desk sekretarisku."Alva tergelak. Zetta menikmati suara tawanya."Memang tidak ada. Bagaimana kalau kita bernegosiasi agar aku tidak cepat bangkrut hanya karena membayarmu dobel untuk mencukur bulu-bulu ini."Zet
Alva sangat mensyukuri banyak hal yang terjadi belakangan ini.Kesembuhan Zetta adalah yang utama. Sebulan sejak dia keluar dari rumah sakit, kesehatannya sudah mulai membaik. Meskipun di awal-awal minggu, saat tengah malam Zetta tiba-tiba saja menjerit sendiri seperti orang ketakutan. Tentu saja Alva yang akan langsung menenangkannya dan memeluknya sampai dia kembali tertidur. Mereka memang sudah resmi tinggal bersama dalam satu kamar di atas tempat tidur king size nya.Hanya tidur berdua saling menceritakan banyak hal tentang hidup mereka bertahun-tahun sebelumnya seperti sebuah momen perkenalan sambil memandangi lampu-lampu kota New York dan berpelukan erat. Alva sekalipun tidak melakukan hal yang lebih jauh selain mencium Zetta. Dia lebih dari mengerti akan kondisi kejiwaan Zetta dan tidak mau memaksanya. Wanita itu akan mengatakannya sendiri kalau memang dia sudah siap.Alva tidak pernah mempermasalahkannya meskipun setiap malam mereka tidur berdua tanpa melibatkan kegiatan berci
"Apa dia tidak mau bertemu denganku?"Jason meminum kopinya duduk santai di samping Austin yang baru saja datang dari kantornya. Suasana di sekitar rumah sakit medical di bangsal VVIP nampak lenggang. Jason memilih duduk di bangku kayu favoritnya sejak satu jam lalu mencoba menghirup hembusan hawa dingin Australia yang menampar kulitnya membuatnya bisa berfikir lebih jernih."Arzetta butuh waktu untuk menemuimu. Memangnya setelah apa yang kamu lakukan dia tidak ketakutan?"Jason menunduk menatap paper cup kopinya. Selama dia berada di bawah pengawasan Austin, setiap malam banyak hal yang dia pikirkan di dalam kamarnya. Tentang rasa cintanya untuk Zetta, keinginan besar untuk memilikinya dan harapan untuk bisa bersamanya di masa depan. Juga memikirkan tentang kelakuan iblisnya yang malah tega menyakiti satu-satunya wanita yang di cintainya hingga memilih mencari perlindungan pada lelaki lain. Jelas ini semua salahnya. Wajar saja jika Zetta menolak melihatnya dan mengusirnya. Kenyataan
London, Enam tahun kemudian,Arzetta duduk memandangi megahnya London Eye yang bercahaya biru indah di kejauhan dengan senyuman mengembang di wajah. Terpaan angin malam musim semi menerbangkan helaian rambut panjangnya yang kemudian dia rapikan dengan tangan. Diedarkannya pandangan ke sekelilingnya yang ramai seraya menunggu.Semenjak menikah dan memiliki seorang putri, Arzetta tidak habis-habisnya merasa bersyukur karena bisa merasakan perasaan bahagia tidak terkira dengan berkah yang diberikan padanya. Mengingat perjuangan panjang mereka yang tidak mudah di lalui untuk bisa bersama sampai akhirnya menikah.Masa lalu sebentuk kenangan yang akan tetap terpatri di dalam ingatannya sampai kapanpun. Kadang di saat malam ketika dia terbangun dan mendapati Alva sedang tertidur pulas sambil memeluk putri kecilnya yang tidur di antara mereka membuatnya meneteskan air mata bahagia. Tidak ada hal lain yang diinginkan Zetta selain kebahagiaan suami dan putrinya.Alva Alexander sendiri sudah ber
"Di mana mereka?" desis Alva dengan tangan terkepal saat menemukan Gevan, Zafier dan Jeremy di lobby hotel."Wuih cepet banget kamu—""DI MANA MEREKA?" bentak Alva seraya menarik kerah kemeja Zafier dengan amarah."Oke. Tenangkan dirimu, Bung," sela Gevan."Bagaimana aku bisa tenang kalau ada lelaki lain yang mengganggu Istriku?" ucapnya seraya melepaskan cekalannya dan mengacak rambutnya sendiri.Gevan berdecak, "Mungkin dia client-nya Zetta.""Ah, bodoh amat! Aku harus naik ke atas dan mencari tahu.""Kita temani," ucap Jeremy yang langsung menekan tombol lift, "Supaya kamu nggak ngamuk seperti singa.""Ahh brengsek! Makin runyam aja. Ini tuh gara-gara kalian!" Alva memukul perut Zaf, melepak kepala Gevan dan menendang kaki Jeremy dengan kesal di dalam lift yang membawa mereka ke lantai atas."Shit!" umpat Gevan sementara Jeremy mengertakkan giginya."Orang sabar di sayang Tuhan, Bung," gumam Zafier seraya memegangi perutnya yang langsung mendapat kepalan tangan Alva.Hari sudah ha
"Hmm, Sayang—" Alva mengacak rambutnya dan duduk di sofa ruang tamu rumahnya dengan penampilan yang berantakan juga bau minuman keras yang menyengat. Semalaman ketiga lelaki brengsek itu sudah memprovokasi untuk menumpahkan kekesalan karena lelaki yang mengobrol dengan Zetta itu ke minuman keras yang akhirnya membuatnya mabuk dan tidak sadarkan diri di salah satu kamar hotel sampai pagi sendirian dan harus kalang kabut pulang ke rumah dan mendapati Arzetta menunggunya di ruang tamu dengan wajah yang menyeramkan."Aku—" Alva bingung ingin menjelaskan dengan cara seperti apa supaya Zetta tidak marah."Kemarin sudah jelas aku bilang kalau kamu harus pulang satu jam lebih awal dari yang seharusnya karena kita rencananya mau ke rumah Mama. Aku sudah berusaha menghubungi kamu tapi nyatanya ponselmu tidak bisa dihubungi. Aku tidak tidur semalaman menunggu kamu pulang di sofa itu tapi ternyata kamu pulang pagi dan dalam keadaan kacau setelah mabuk seperti ini—" Zetta melipat lengannya di dad
Satu tahun kemudian, di Alexander Corp. New York "Eh setan!" Gevan refleks kaget."Eh, bokong!" ucap Zafier membuat Gevan langsung menendang kakinya."Kalian berdua sinting!" Jeremy mengatai mereka dalam bahasa Indonesia yang sekarang sukses dikuasainya."APA-APAAN INI?" sembur Alva Alexander yang tadi membuka pintu ruang kerjanya dengan kasar saat mengetahui ada tiga lelaki yang sedang asyik menikmati koleksi red wine di dalam kantornya tanpa di undang.Dia baru saja memimpin rapat direksi dan kedatangan ketiga orang terpenting dalam hidupnya itu tanpa pemberitahuan jelas membuatnya terus bertanya-tanya. Alva mendekati mereka seraya menggelengkan kepala, "Kalian nggak punya kerjaan?""Oh aku jelas orang penting yang selalu sibuk—""Sibuk bercinta maksudmu?" sela Alva menanggapi Zafier yang meminum wine dengan kaki disilangkan."Itu salah satunya," balasnya dengan santai. Alva memutar bola matanya."Kenapa sih kamu itu masuk ke kantor sendiri pakai aksi gebrak pintu model begitu sepe
"Apa?""Apanya?" Alva balik bertanya."Kenapa sejak tadi kamu memandangiku seperti itu?"Alva menaikkan alisnya, "Memandangi bagaimana?"Zetta sedikit memajukan tubuhnya dan menumpukan kedua lengannya di atas meja, "Kamu menatapku seakan-akan ingin menelanjangiku saat ini.""Ohh—" Alva terkekeh, ikut memajukan tubuhnya dan bertopang dagu di depan Zetta, "Aku memang ingin sekali merobek gaun pengantinmu ini sekarang juga bahkan sebelum kita menginjakkan kaki di Maldives, Nyonya Alva Alexander," Tatapan gairah itu tergambar jelas di mata Alva.Zetta mendengus, "Aku harus terbiasa dengan panggilan itu.""Tentu saja, aku ini Suamimu sekarang," Alva menyisir rambutnya ke belakang dengan senyuman menawan."Lalu—" Zetta meneguk Red Wine dalam sekali teguk tanpa mengalihkan tatapan dari wajah Suaminya. Lalu mengambil strawberry di tumpukan paling atas buah-buahan yang ada di samping botol Red Wine dan memakannya dengan gerakan erotis. Ia mengecup dan memakan buah itu dengan sensual tepat di d
"Katakan? Apa yang sebenarnya terjadi Zetta?" Alva menatap Zetta yang dia geret keluar dari gereja setelah menyuruh semua yang hadir di sana untuk tidak bergerak dari tempatnya sementara dia meminta penjelasan ke Zetta yang tiba-tiba muncul di siang bolong dengan busana pengantin dan tersenyum menatapnya."Kenapa kamu tiba-tiba bisa ada di sini sementara enam bulan yang lalu kamu jelas-jelas menolak kembali bersamaku bahkan menyuruhku pulang dan tidak usah mencarimu lagi?" Zetta hanya diam melihat kebingungan Alva. "Aku bahkan berpikir kalau kamu sudah menikah dengan lelaki Jepang itu!!!" "Nakamiya?" Zetta menggeleng. "Tidak. Dia guru merangkai bungaku." Alva mengerjapkan matanya, "Jadi kamu memang kursus di sana sambil menghukumku dengan membuatku terlunta-lunta di Jepang mencarimu selama lebih dari setahun?"Zetta tersenyum tanpa dosa, "Begitulah. Aku berniat membuka toko bunga di sini." Alva ternganga. "Aku pikir kamu tinggal menyuruh anak buahmu untuk mencariku. Aku sedikit ter
Alva terdiam di depan gereja katedral yang dulu menjadi tempat pilihannya saat berniat menikahi wanita yang dicintainya secara mendadak tapi tidak pernah terlaksana. Tangga gereja sudah dipercantik dengan hiasan bunga. Lebih mewah dari yang dulu di lakukannya. Pintu di depan sana tertutup. Alva tertegun sesaat.Setelah beberapa bulan ini, dia mencoba untuk merelakan meski sangat tidak rela dan belajar untuk pelan-pelan melupakan tapi tidak sanggup, saat ini semua kenangan yang dia milikki tentang Zetta menyeruak. Dadanya begitu sakit seperti di hantam ribuan godam kasat mata. Hatinya dan hidupnya sudah dia tinggalkan di Jepang. Jadi saat Mamanya menatapnya dengan tatapan frustasi dan mengatakan akan dinikahkan dengan wanita pilihannya, Alva hanya mengangguk mengiyakan. Terserah saja. Alva sama sekali tidak peduli. Tubuhnya bebas untuk dimiliki tapi tidak hatinya."Semuanya sudah menunggu Pak." Edwin membuyarkan lamunannya. "Ayo masuk."Alva berjalan dengan langkah pelan menaiki anak t
Alva masuk ke dalam gereja yang terlihat sepi itu seraya mengedarkan pandangan. Setelah bertanya sana sini akhirnya dia bisa menemukannya. Bangunannya tua tapi masih terawat dengan baik. Tiba-tiba dia terpaku memandangi satu sosok yang duduk sendirian di bagian depan terlihat sedang asyik berdoa. Alva melangkah dengan pelan dan duduk di sampingnya. Zetta menoleh dan tersentak kaget. Alva menatap ke arah depan dan mulai berdoa di sana mengabaikan Zetta yang diam memandanginya."568 hari atau 13.632 jam aku berkelana di Jepang untuk mencarimu Zetta," desah Alva. "Tolong dengarkan dulu perkataanku kali ini." Alva menoleh dan melihat mata abu-abu itu memandanginya dalam diam lalu Zetta menghela napasnya dan duduk bersandar di sana memilih menghadap ke depan."Aku memberimu satu kesempatan untuk berbicara. Setelah itu kamu harus kembali ke New York dan jangan mencariku lagi."Alva diam. Zetta menunggu. "Apa kamu bahagia di sini?" Alva yang juga melihat ke depan berkata lirih membuat Zetta
Kyoto, Jepang.2 Minggu kemudian,Alva menggenggam erat secarik kertas di tangannya saat memandangi toko bunga di hadapannya. Jantungnya berdetak kencang membayangkan bagaimana reaksi Zetta saat dia akhirnya menemukannya setelah melalui waktu yang tidak sebentar untuk mencarinya. Tidak peduli meski tangan kirinya di perban karena patah tulang setelah bertabrakan dengan pengendara sepeda waktu itu dan harus dirawat di rumah sakit.Akhirnya dia menemukan toko bunga itu yang siang ini terlihat ramai pengunjung. Bertanya-tanya dalam hati, apa yang sedang Zetta lakukan di sana? Kursus merangkai bunga?Alva menarik napasnya lalu menghembuskannya dan bergerak masuk ke dalam toko yang langsung di sambut seorang wanita muda berwajah oriental yang mengikat satu rambutnya ke atas membentuk kuncir kuda."Ada yang bisa dibantu?" bahasa inggrisnya lancar tanpa cela. Alva tidak menjawab karena sibuk memandangi area dalam toko memperhatikan semua yang ada di sana."Permisi tuan? Ada yang bisa di bant