Percikan minuman keras mendarat di wajah tiga pemuda dari klan GLUTTONY. Sontak, mereka berdiri sambil mengepalkan tangan. Tatapan geram dilayangkan pada seorang gadis berkuncir yang datang sambil membanting gelas.
Carmelia, biasa dipanggil Carla. Berusia tujuh belas, sembrono, dan hyperactive. Menjadi gadis termuda di AUSTIC dan masuk klan WRATH
karena masalah temperamennya.“Benar kan, apa yang kudengar?” tuntut Carla, “kalian akan menerima pekerjaan dari orang luar? Ayo mengaku!”
Suasana di bar itu menegang. Beberapa anggota AUSTIC lainnya juga berhamburan masuk. Mengerumi Carla dengan lima pemuda itu.
“Jangan sembarangan bicara, Carla! Kami hanya mengobrol biasa,” elak Hans—salah satu klan GLUTTONY yang dilabrak.
Carla berdecih. Ia mengangkat kepalanya sambil memelotot.
“Kalian benar-b
Handsfree yang menguntaikan alunan melodi lembut terpaksa lepas dari telinga Merin. Padahal tidak biasanya Merin mendengarkan jenis lagu seperti itu. Khusus hari ini, dia mengenyahkan playlist lagu beraliran keras. Tujuannya simpel, untuk bisa menangis.Merin hampir mengutuk diri sendiri. Mengapa susah sekali baginya untuk menderaskan air mata? Sepanjang malam dia menonton drama Korea, tapi sampai tamat pun dia hanya melongo.Gadis itu menyambar gunting. Kemudian, mengoyak isi bantal dan mengobrak-abrik busanya. Berharap dengan mendramatisir keadaan, dia bisa menangis sekaligus mengamuk. Namun, dia malah tertawa keras dengan nada meringis. Merasa konyol pada dirinya sendiri.Sampai akhirnya, dia menemukan unpopular opinion tentang lagu di internet. Bila bahagia, orang akan fokus pada ritmenya. Bila sedih, orang akan fokus pada liriknya.Maka dari itu, dia datang ke kampus lebih awal. Duduk di kelas yang masih kosong. Sibuk men-scroll lirik sambil menghayati sebuah lagu yang diputar
Merin mengeraskan kepalan, butiran air mata terakhir pun jatuh. Dia menjerit, lalu berlari melompati jendela merkusuar. Tubuhnya menukik keras untuk menggapai Eldric.Beruntung, laju gravitasi Merin jauh lebih cepat sebab dia tak terlilit tali.Bunyi debam membelah langit begitu Merin berhasil memeluk Eldric, amat erat. Eldric pun mendekap gadis itu dengan penuh kekuatannya. Keduanya memejamkan mata, bersiap untuk hantaman keras bersama debur lautan.Namun, fungsi smartlensMerin kembali mengecohnya. Eldric berusaha keras agar tubuh Merin tak terkena benturan lantai di kelas. Sedikit erangan menandai punggungnya telah terjerembab di lantai.Dalam dekapan Eldric, Merin mengernyitkan dahi. Merasa aneh dan bertanya-tanya. Kenapa tak ada efek air menyiprat, kenapa bajunya tak basah, dan kenapa dia tak merasa asin. Barangkali smartlens-nya bisa error, atau benturan ke dada Eldric membuatnya rusak?Konyol. Memangnya, dia manusia be
Langkah Olivia tergontai lemas. Mata sembab dengan sorot kekosongan, lingkaran hitam membuat mata sipitnya tenggelam. Tenggelam akan kesedihan yang mendalam. Bahu gadis itu terus merosot, seolah enggan lebih jauh memasuki kamar mayat. Seolah mengulur waktu agar bisa bangun dari mimpi buruk.Ya, dia berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.Mimpi terkutuk yang dibenci semua anak di belahan dunia mana pun. Tentang bagaimana orang-orang berkumpul dengan wajah tertunduk. Memberikan penghormatan terakhir untuk orangtua mereka yang tertidur, selamanya.Percy, Carla, Sam terus mengawasi di belakang. Mereka gusar Olivia akan pingsan lagi, tapi gadis itu terus mengenyahkan pegangan mereka. Tak ada yang bisa membujuk orang yang ditinggalkan untuk baik-baik saja. Tidak ada.Bibir olivia terbuka, sedikit menganga melihat kain putih telah menutupi tubuh sang ayah. Hanya sampai dada, wajah yang hampir membiru dan mata telah terpejam. Carla tidak sanggup, anak itu langsu
Pria berjas putih dengan alat kedokteran di sakunya menghampiri Olivia dan teman-teman. Satutangan dokter itu menenteng sebuah surat berisi hasil autopsi pemeriksaan eksternal, termasuk hasiltes toksikologi di dalamnya.Loey memegang erat bahu Olivia dan membantunya berdiri. Gadis itu menyeka air mata di wajahnya,mencoba menguatkan diri. Sambil menelan ludah, Olivia mengambil surat dan membuka isinya.Matanya memindai setiap baris dan kolom bahasa kedokteran. Ia tidak sepenuhnya paham, tapidisanalah gunanya sang dokter.“Sama seperti hasil pemeriksaan dua puluh penumpang lainnya, terdeteksi racun arsenik dalam jumlahbesar di tubuh Tuan Letto. Hasil pemeriksaan juga menunjukkan bahwa racun itu berasal dari airminum yang terkontaminasi,” jelas Pak Dokter sambil bersedekap.“Saya akan memberikan informasi lebih lanjut setelah autopsi inte
Video mati, disambut oleh senyuman puas Tuan Robert.“Bagaimana? Anda punya alibi untuk menyangkalnya?” tanya Nyonya Carol.Prof. Takeda tergelak. “Itu kesaksian palsu, mereka berakting! Malam itu, aku berada di—”Ruang memori di otak Prof. Takeda mendadak buntu. Seolah menabrak tembok raksasa yang tak bisaditerobos. Tengkuknya terasa berat di tengah pikiran yang berputar-putar.Tak sudi menyerah, Prof. Takeda memaksakan diri untuk mengingat apa yang dilakukannya malamitu. Dia ingat ketika dalam perjalanan pulang menuju apartement-nya. Berjalan sendirian di parkiran,masuk ke dalam mobilnya, dan saat mesin mobil dinyalakan ...Dia tak bisa mengingat apa pun, kecuali udara di dalamnya yang tercium berbeda.“Kenapa profesor itu kelihatan linglung?” bisik Merin. Gadis itu ber
“Tidak mungkin!” Eldric menggelengkan kepala, penglihatannya tak menentu. Ia menolak percayaatas pernyataan Jasper. Tentang Prof. Takeda. Hubungannya dengan Pak Letto. Bukti pembunuhanIsabella, hingga peristiwa keracunan masal.Sementara itu, hidung Merin kempas-kempis. Dia menekan bahu Jasper, melayangkan tatapan tajamdan membuat pria itu merunduk.“Kamu yakin? Prof. Takeda adalah dalang dibalik kekacauan ini?”Olivia meringis. “Aku tidak percaya dia menggunakan ayahku—”“Tunggu, tapi siapa anonim yang mengancam Pak Letto?” tanya Eldric.Percy mendengkus pelan. “Kami kehilangan jejak. Kami tidak mengira Pak Letto akan pergi secepatini. Yang jelas, menurut Pak Letto, dia mengaku orang terdekat Isabella.”“Sial! Sial! Sial! Sekarang kita tidak tahu siapa mus
“Kau—bagaimana bisa? Apa hakmu melakukan ini?” Prof. Takeda menegakkan tubuhnya. Iamendekati Daffa dengan terseok-seok. Melihat kesempatan, Nyonya Carol langsung mendepakkakinya. Profesor itu berlutut sambil mengerang, kedua tangannya lantas dililit ke belakang. Wanitaitu segera merebut pistol kembali.Daffa menghela napas. “Pertama, saya adalah kekasih Isabella. Jadi, saya berhak memperjuangkankeadilan untuk orang yang kucintai ....” Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan.Merin tersentak. “Si bajing—” Eldric refleks membekam mulut gadisnya dan sama-sama bersembunyidi sisi yang gelap.“Take a slow, Baby. Tujuan kita bukan untuk merusak petunjukkan,” bisik Eldric.Beruntung, umpatannya tidak sampai terdengar ke atas ring.Daffa mendesah penuh penyesalan. “Ah, andai
Udara terasa menusuk ketika malam kian temaram. Lorong-lorong sel hampir tak berbayang saatEldric melangkah dari persembunyiannya. Wujud dari pria itu baru tampak setelah sepatu hitamnyatersorot lampu di depan sel Prof. Takeda.Dari kepala hingga ujung kaki kini terlihat sempurna. Dada bidangnya tampak kokoh bersama ritmelangkah penuh karisma. Eldric memakai kacamata pintarnya, target-target yang menghalangi operasitunggal pun teridentifikasi.Sipir bertambah jadi tiga orang, bersenjata lengkap. Semuanya terjaga—menatap lurus ke depan. Diatas dinding terlihat CCTV yang kepalanya terus menengok-nengok.Eldric mendongak. “Kalian lihat itu? Bisa ditangani?” tanya Eldric pada Loey via earphone-nya.“Tentu saja,” ujar Loey. Ia menatap layar dengan view yang sama sesuai kacamata Eldric.“Wah, malah aku yang gugup!” celetuk Carla. Loey melirik gadis itu yang berada di atas kepalanya,lalu melirik juga ke segala sisi—terutama Merin dan Olivia yang menghimpit bahunya.Baru kali ini dia di
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Eldric yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Eldric maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Eldric menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita. Rupanya media paling gesit menyebarluaskan isu panas.” Pak Luther menggelengkan kepala, menyayangkan kondisi kali
Langka sekali Eldric menjelajahi tidur tanpa mimpi. Di hari-hari kerja, hampir setiap bangun pagi Eldric mencatat bunga tidur yang teramu dari kejadian di dunia nyata dan pikiran alam bawah sadar.Seringkali aktivitas yang terjadi di Fantasia, tereka ulang di mimpinya. Dirinya sendiri masuk dan menjadi pahlawan di sana, sesuai dengan apa yang diinginkan. Eldric mendambakan peran itu, daripada—sebagai pemimpin—sekadar menatap layar yang menampilkan takdir para kriminal istimewa.Berbeda di pulau pribadinya, kualitas tidur Eldric meningkat dalam hal positif. Dia jarang bermimpi buruk, apalagi tentang kematian tahanan-tahanannya.Ketukan pintu beritme pelan mengusik gendang telinga Eldric. Alisnya berkerut-kerut. Terdorong untuk bangun, tapi matanya terlampau rapat bak di lem. “Hmm ... Merin ... Sayangku ....” Eldric mengigau. Telapak tangannya hendak mendarat di perut istrinya, tapi yang ada hanya kekosongan. Lolos begitu saja terdampar di atas seprai.Eldric memaksa kedua matanya terbu
“Dua hari ... Eldric? Eksekusi?” racau Merin. Ludahnya perih ketika melewati tenggorokkan.Merin melirik tanggal pengambilan gambar. 22/12/2021.“Mereka mengambil gambar hari ini,” kata Merin, “mereka akan membahayakan Eldric besok lusa!” Merin berdiri dalam satu entakkan, jantungnya berdebar tak karuan. Seakan melompat-lompat, bersamaan dengan menggebunya keinginan untuk kembali pada suaminya. Dia memang harus kembali sekarang.Situasi berbalik 180 derajat. Dunia tentramnya akan menemui kehancuran besar yang tak disangka-sangka. Kekacauan di depan mata, dan Merin melaknati semua orang di balik ini semua. Orang-orang biadab yang berani merusak kedamaian kehidupan pernikahannya.Tapi, mengingat alarm kematian suaminya ada di tangannya, Merin terguncang oleh berbagai macam emosi yang menyerbu dari segala penjuru. Amarah, kekecewaan, serta didominasi oleh ketakutan.Merin takut ... sungguh wanita itu takut hal buruk terjadi pada Eldric. Membayangkan Eldric pergi selamanya, sama saja meli
“Nangis? Eldric! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Merin, berusaha menengadah di leher Eldric.Eldric menggesek dagunya ke puncak kepala Merin. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien.Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri.Eldric mempererat dekapannya pada Merin, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan.“Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Eldric.Merin memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.”“Loh, kenapa? Mereka rela mati untuk menyelamatkan anak-a
Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Merin.Kesadaran Merin tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering.“Eldric di mana, Bu?” tanyanya parau.“Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Eldric, langsung bersimpuh di bawah ranjang.Satu tangan Merin yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Eldric. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Eldric cemas. Meski yang sebenarnya Merin rasakan adalah dingin yang menusuk.Eldric meringis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?”“Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Merin, pita suaranya setipis desau angin.Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Merin sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol, Tuan. Sepertinya, dikompres saja
Tumit Carla menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Carla kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Carla tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas.Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Olivia dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet.Dia semangat menemani Percy lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana.Seperti orang bodoh, Carla cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Carla. Namun ketika memandang Percy dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu.Carla merangkapkan
PADA TENGAH MALAM SEBELUMNYARembulan tepat berada di atas dua golongan manusia. Perempuan yang tengah dilanda mimpi buruk, dan pria paruh baya yang sedang bergelut dengan nerakanya.Masuk lebih dalam di zona merah, laras pistol menekan pelipis pria itu. Dengan tangan terikat ke belakang, seseorang berpakaian serba hitam menendang lututnya. Menahan erangan, dia bertumpu pada lutut agar tidak tersungkur.Dari balik semak-semak, kehadiran Black hampir tak terlihat. Namun, sepasang kaki bersepatu mengkilat berhenti di depan pria yang bersimpuh.“Hai, Luther, rindu buah hatimu?” sapa Black, nadanya mengejek atau barangkali lebih ke tak acuh.Menggeram, Pak Luther mengangkat kepalanya. Tatapan kebencian tercermin dari urat-urat merah di matanya. Namun, alis yang semula berkerut hebat malah menipis. Tatapan Pak Luther segera melemah ketika selembar foto ditunjukkan.Seorang balita. Jake asli. Tersenyum lebar di taman bermain, sementara ada seorang di belakangnya. Mengawasi balita malang itu
Merin memeluk punggung sofa, pipinya mengembung di bagian atas. Cemberut. Dia sudah seperti itu sejak Eldric memberitahunya kalau kemungkinan teman-temannya batal datang.“Ayo!” seru Eldric, mencolek pipi istrinya sambil berlalu.Keluar dari singgasana megah dan damai, tapi berbahaya saking nyamannya. Kalau mereka terus di situ, bisa-bisa dalam waktu sebulan pulau pribadi itu tak tereksplor. Dihabiskan 24 jam di kasur adem, sofa empuk, cemilan banyak, sambil menonton film kesukaan.Pastinya, Eldric dan Merin akan melakukan itu. Tapi nanti, setelah daftar petualangan mereka di pulau pribadi terceklis.Sangat menyenangkan bagi Merin saat tahu bucket list-nya memuat hal-hal yang belum dicoba sepanjang hidup. Namun ketika jadwal petualangannya tiba, kabar menjengkelkan sialan merusak harinya. Padahal, dia menantikan kedatangan teman-temannya. Pasti heboh kalau mereka tahu pulau Fantasia semenakjubkan dari sekadar yang ditampilkan di layar ponsel. Mau tidak mau, berapa pun persentase mood
Gemericik air turun hanya di zona para perusuh yang sebagian pingsan; sebagian lainnya menggeliat di jalanan seperti ikan terdampar—bergumul bersama rasa sesak yang ada.Beberapa drone berukuran jumbo perlahan mengubah gemericik itu menjadi serbuan ember tumpah layaknya di waterboom.Semua para perusuh terperajat bangun, anggota AUSTIC menyanggah mereka berdiri, lalu menjaga mereka di suatu titik.“Loey dan Olivia telat sekali mengirim hujan buatan,” kritik Sam.Percy mengendikkan bahu. “Semoga walikota tidak menuduh kita merundung mereka.”“Kenapa kakak tidak membiarkanku di sana sampai drone datang? Gas itu kan tidak akan membuatku dan para perusuh mati,” tanya Carla sambil menyisikan helaian poni yang basah.“Aku tidak tahan melihatmu lama menderi—” Percy memalingkan wajah sambil tersenyum kecil, sementara Carla berkedip polos dan berbinar. Menggemaskan.Percy berdeham. “Kamu terlihat seperti sedang menahan buang air. Kupikir kamu akan ngompol.”“Apa? Memangnya gas itu bisa bikin o