Nyaringnya decit para tikus semakin membuat jengkel seorang pria berbadan tegap. Berkali-kali dia mengorek telinga, tidak betah berada di sana. Namun, segala informasi harus langsung masuk ke telinganya. Hanya dia seorang. Tidak boleh ada yang terlewat, apalagi sampai bocor ke tangan orang lain.Gedung bekas pusat perbelanjaan itu tak membiarkan cahaya bulan masuk. Membuat separuh tubuh pria itu tertelan kegelapan.Ada orang lain yang berada di sana. Satu pria lainnya, tapi dalam versi yang menyedihkan. Melirih. Bersimpuh. Harga dirinya telah sepenuhnya hilang begitu dia bersujud di depan sepatu hitam mengkilat si pria tegap.“Katakan! Kenapa dia bisa muncul di tempat itu? Bukankah kamu bilang aturan tidak memperbolehkannya?” geram si pria tegap.“A-am-ampun, Tuan. Sa-sa-saya juga tidak mengerti. Semua arahan waktu mendadak kacau. Entah apa yang terjadi pada drone, sehingga kemunculannya saat lambat. Saya tidak—”“DIAM!” Sepatu itu menghantam wajah si pria menyedihkan.“Bukan itu yang
Dua jam sebelumnya . . .Merin menyipit sambil mengigiti telunjuk. Tanpa beralih dari Eldric yang berlagak sibuk menyiapkan sarapan. “Hmm, aku yakin dia dalam kondisi sadar,” gumamnya sendirian.Hanya dua lapis sandwich saja seharusnya tidak menyita waktu lama. Pria itu sengaja mengulur-ngulur waktu supaya cepat pukul delapan, jadi dia bisa langsung bekerja.“Argh, Profesor!” teriak Merin membuat Eldric berhenti bolak-balik.“Apa? Kamu sudah hilang kesopanan ya?” gerutu Eldric.Merin berdecih. “Lagi pula, usia kita tak jauh berbeda,”“Tapi, tetap saja—”“Argh, cepat beritahu aku! Tadi malam kamu benar-benar mabuk atau tidak?????” rengeknya. Ia menghampiri Eldric dengan menghentak-hentakan kaki.Eldric mengatupkan bibir, nada bicaranya melembut. “Sudah kubilang, aku mabuk.”“Jadi, kamu benar-benar tidak ingat?” tanya Merin lagi, “bohong! Pasti kamu ingat,”“I-i-ingat apa?” Eldric tergagap, menjauhi Merin yang mencondongkan wajahnya“Chu????” celetuk Merin. Eldric mengangkat alis. “Chuu
“Nona ... nona, sini biar kubantu bawakan bukumu,” seru Daffa.Poni panjangnya mengapung-ngapung saat mati-matian mengejar Merin. Bagaimana bisa gadis itu berjalan seperti cheetah? Gerutunya dalam hati. Sementara itu, Merin dengan ketus tak mengindahkan celotehan anak itu. Daffa tak menyerah. Meski ngos-ngosan, Daffa menaikkan tali ransel dan terus mengejar.“Nona ... aku juga tinggal di Indonesia loh! Kita bisa mengobrol banyak, Nona—”DUKK! Merin tiba-tiba berhenti. Sontak, Daffa menabrak punggungnya. Daffa kira, tahanannya itu akhirnya mau berbalik dan bicara padanya. Namun, Merin justru berdiri mematung. Menatap nanar orang di depannya.Daffa mengikuti ke mana mata gadis itu berlabuh. Dan, disanalah dia ...“Profesor Takeda?” celetuk Daffa.Merin menghela napas. Kedua ujung bibir ditariknya dengan penuh percaya diri. Gadis itu menjejalkan semua buku dipangkuannya pada Daffa, lalu berjalan layaknya model.“Akhirnya saya berkesempatan bertemu dengan anda, Profesor. Saya belum sempat
Meski dihimpun pada suatu ruang padat bernama bumi, tetap saja setiap makhluk tinggal di dunia yang berbeda. Berkat keistimewaannya, manusia bahkan membangun dunianya sendiri—yang kini dipijaki oleh seorang gadis yang sama gilanya.Merin mengintip dari jendela. Menyelisik situasi di segala sisi, bekas kekacauan terlihat jelas. Kawanan rusa itu benar-benar membuat area universitas jadi kotor. Tanaman-tanaman hias rusak semua, kotoran dan air liur berceceran baik di lantai maupun tembok.Beberapa di antara mereka berpencar, beberapa lainnya terbujur kaku menjadi mayat. Virus itu benar-benar menggiring mereka menuju kematian. Dan, Jangan aneh. Dunia ilusi ini memang dirancang untuk membuat Merin muak. Gadis itu menyipitkan mata, dia menggaris bawahi bahkan ini bukan permainan bertahan hidup—melainkan permainan sakit jiwa.Merin tidak akan lupa poin terakhir di surat perjanjian. Akan datang hari dimana semua penderitaannya ditayangkan dan dinikmati publik. Dengan begitu, masyarakat akan p
Sepasang bola mata menyala di balik pria berkepala rusa itu. Terselip tatapan nanar di dalamnya, dirancang penuh rasa muak, serta kesadisan. Manusia. Merin tahu pasti dia manusia. Caranya berkedip, deru napasnya, pergerakan dadanya—sebuah cerminan bagaimana manusia hidup.Namun, gadis itu tidak yakin apakah dia sungguhan atau hanya tipuan hologram. Besar kemungkinan, mereka telah menyewa manusia lain. Mengingat peristiwa tempo hari membuat manusia hologram terlalu beresiko dalam masa pengujian.Mendadak dalam satu entakan, jemari si pemburu mencengkeram leher Merin, mendorongnya hingga menghantam permukaan kaca. Gadis itu merasa linu seketika, tapi dia menahan erangannya. Sebab, para rusa itu bisa kapan saja memperumit suasana.Napas Merin mulai tersendat dan terbatuk-batuk.“Apa yang kamu inginkan?” tanya gadis itu dengan parau. Tanpa berhenti meronta, ia mencoba mengambil celah un
“Kamu tidak harus memenjarakan hatimu sendiri, hanya untuk menciptakan neraka.”Eldric terkesima mendengar kalimat yang dilontarkan sang ibu sebelum menutup teleponnya. Hatinya hening, berhenti berkecamuk. Kilasan memori tentang Merin mengawan di benaknya.Benar. Pasti ada alasan kenapa malam itu, ia melangkah menemui Merin. Mengkhawatirkan gadis itu setengah mati. Memerhatikan hal sekecil apa pun darinya. Larut dalam fantasi keindahan yang ditorehkan, hingga menciptakan secerca pelita di hati.Waktu istirahat hampir habis. Begitu Eldric masuk kembali, Prof. Takeda menyambutnya di depan pintu. Menyodorkan alat VR yang mengirimkan pria itu ke Fantasia, bergabung dengan Merin dan Daffa—sama seperti beberapa jam sebelumnya.“Lanjutkan tugasmu. Ingat, kita selalu terhubung dengan
Percikan minuman keras mendarat di wajah tiga pemuda dari klan GLUTTONY. Sontak, mereka berdiri sambil mengepalkan tangan. Tatapan geram dilayangkan pada seorang gadis berkuncir yang datang sambil membanting gelas.Carmelia, biasa dipanggil Carla. Berusia tujuh belas, sembrono, dan hyperactive. Menjadi gadis termuda di AUSTIC dan masuk klan WRATHkarena masalah temperamennya.“Benar kan, apa yang kudengar?” tuntut Carla, “kalian akan menerima pekerjaan dari orang luar? Ayo mengaku!”Suasana di bar itu menegang. Beberapa anggota AUSTIC lainnya juga berhamburan masuk. Mengerumi Carla dengan lima pemuda itu.“Jangan sembarangan bicara, Carla! Kami hanya mengobrol biasa,” elak Hans—salah satu klan GLUTTONY yang dilabrak.Carla berdecih. Ia mengangkat kepalanya sambil memelotot.“Kalian benar-b
Handsfree yang menguntaikan alunan melodi lembut terpaksa lepas dari telinga Merin. Padahal tidak biasanya Merin mendengarkan jenis lagu seperti itu. Khusus hari ini, dia mengenyahkan playlist lagu beraliran keras. Tujuannya simpel, untuk bisa menangis.Merin hampir mengutuk diri sendiri. Mengapa susah sekali baginya untuk menderaskan air mata? Sepanjang malam dia menonton drama Korea, tapi sampai tamat pun dia hanya melongo.Gadis itu menyambar gunting. Kemudian, mengoyak isi bantal dan mengobrak-abrik busanya. Berharap dengan mendramatisir keadaan, dia bisa menangis sekaligus mengamuk. Namun, dia malah tertawa keras dengan nada meringis. Merasa konyol pada dirinya sendiri.Sampai akhirnya, dia menemukan unpopular opinion tentang lagu di internet. Bila bahagia, orang akan fokus pada ritmenya. Bila sedih, orang akan fokus pada liriknya.Maka dari itu, dia datang ke kampus lebih awal. Duduk di kelas yang masih kosong. Sibuk men-scroll lirik sambil menghayati sebuah lagu yang diputar
“Kak Luther menunggumu di sana.” Lia menunjuk punggung kakaknya yang berdiri tegap di ujung tebing. Kedua tangannya disilangkan ke belakang. Berulang kali menoleh ke segala sisi hamparan laut di bawahnya. Sepertinya Pak Luther fokus sekali merasukkan energi tenang dari air ke dalam jiwa raganya. Ia berbalik, nyaris tergelincir kerikil. Merasakan kehadiran Eldric yang membuat sendi-sendi kakinya melemah. “Akhirnya Anda datang,” sambut Pak Luther tersenyum kecut. “Akan kutinggalkan kalian berdua. Kasian Jake sendirian di kamarnya,” timpal Lia sebelum akhirnya pergi. Eldric maju ke tak jauh dari bibir tebing, berdiri di samping Pak Luther. “Saya datang untuk pamit,” ungkap Eldric menyesal. “Ya, saya barusan membaca berita. Rupanya media paling gesit menyebarluaskan isu panas.” Pak Luther menggelengkan kepala, menyayangkan kondisi kali
Langka sekali Eldric menjelajahi tidur tanpa mimpi. Di hari-hari kerja, hampir setiap bangun pagi Eldric mencatat bunga tidur yang teramu dari kejadian di dunia nyata dan pikiran alam bawah sadar.Seringkali aktivitas yang terjadi di Fantasia, tereka ulang di mimpinya. Dirinya sendiri masuk dan menjadi pahlawan di sana, sesuai dengan apa yang diinginkan. Eldric mendambakan peran itu, daripada—sebagai pemimpin—sekadar menatap layar yang menampilkan takdir para kriminal istimewa.Berbeda di pulau pribadinya, kualitas tidur Eldric meningkat dalam hal positif. Dia jarang bermimpi buruk, apalagi tentang kematian tahanan-tahanannya.Ketukan pintu beritme pelan mengusik gendang telinga Eldric. Alisnya berkerut-kerut. Terdorong untuk bangun, tapi matanya terlampau rapat bak di lem. “Hmm ... Merin ... Sayangku ....” Eldric mengigau. Telapak tangannya hendak mendarat di perut istrinya, tapi yang ada hanya kekosongan. Lolos begitu saja terdampar di atas seprai.Eldric memaksa kedua matanya terbu
“Dua hari ... Eldric? Eksekusi?” racau Merin. Ludahnya perih ketika melewati tenggorokkan.Merin melirik tanggal pengambilan gambar. 22/12/2021.“Mereka mengambil gambar hari ini,” kata Merin, “mereka akan membahayakan Eldric besok lusa!” Merin berdiri dalam satu entakkan, jantungnya berdebar tak karuan. Seakan melompat-lompat, bersamaan dengan menggebunya keinginan untuk kembali pada suaminya. Dia memang harus kembali sekarang.Situasi berbalik 180 derajat. Dunia tentramnya akan menemui kehancuran besar yang tak disangka-sangka. Kekacauan di depan mata, dan Merin melaknati semua orang di balik ini semua. Orang-orang biadab yang berani merusak kedamaian kehidupan pernikahannya.Tapi, mengingat alarm kematian suaminya ada di tangannya, Merin terguncang oleh berbagai macam emosi yang menyerbu dari segala penjuru. Amarah, kekecewaan, serta didominasi oleh ketakutan.Merin takut ... sungguh wanita itu takut hal buruk terjadi pada Eldric. Membayangkan Eldric pergi selamanya, sama saja meli
“Nangis? Eldric! Kamu menangis nonton film anti hero?” seru Merin, berusaha menengadah di leher Eldric.Eldric menggesek dagunya ke puncak kepala Merin. Membiarkan setitik airmata menetes sekaligus supaya perhatian istrinya balik ke layar proyektor. Dinding yang semula putih bersih, sekarang menampilkan jelas adegan-adegan fantastis. Di mana para penjahat kelas kakap serentak berbalik, mengubah langkah mereka dan tidak meninggalkan warga kota yang tengah diserang alien.Tidak acuh pada fakta bahwa mereka sebenarnya melangkah pada kematian. Bunuh diri.Eldric mempererat dekapannya pada Merin, selimut pun ikut andil menggulung keduanya dalam kehangatan.“Kamu tidak merasa tersentuh? Manusia yang biasa anggap jahat, ternyata punya sudut pandangnya sendiri untuk menyelamatkan dunia. Lihat! Mereka masih mengikuti hati nurani,” ujar Eldric.Merin memutar bola mata. “Ya ... di dunia nyata, kuanggap orang-orang itu adalah orang bodoh.”“Loh, kenapa? Mereka rela mati untuk menyelamatkan anak-a
Permukaan handuk basah yang semula dingin, kini merasukkan kehangatan ke telapak tangan Bu Angel. Sudah kali ketiga dia mencelupkan lagi handuk ke baskom berbahan alumunium. Memerah benda berbulu halus itu hingga kering, lalu ditempatkan di atas kening Merin.Kesadaran Merin tergugah karena dingin menyesap. Sembari berusaha membuka matanya yang rapat, perempuan itu membasahi bibirnya yang kering.“Eldric di mana, Bu?” tanyanya parau.“Aku di sini, jangan khawatir,” sahut Eldric, langsung bersimpuh di bawah ranjang.Satu tangan Merin yang terselip di balik selimut diambil alih oleh Eldric. Dia membungkus tangan itu, hawa panas yang terembus membuat Eldric cemas. Meski yang sebenarnya Merin rasakan adalah dingin yang menusuk.Eldric meringis gelisah. “Demammu kenapa belum turun juga?”“Mungkin kemarin terlalu lama terendam,” kata Merin, pita suaranya setipis desau angin.Bu Angel berdiri. “Karena Nyonya Merin sudah bangun, saya akan siapkan paracetamol, Tuan. Sepertinya, dikompres saja
Tumit Carla menendang kencang kaleng bekas. Dentingannya nyaring membentur tiang di depan markas. Raut wajah Carla kusut, menemui medan yang butuh sedikit tenaga bagi kakinya. Menggerutu, Carla tidak habis pikir kenapa ada tanjakkan segala untuk bisa ke markas.Padahal tadi pagi, dia yang paling bersemangat di antara Olivia dan Loey. Dia adalah orang pertama yang mengisi toilet. Mandi lebih awal dan sudah menyemprot seluruh tubuh dengan parfum beraroma premen karet.Dia semangat menemani Percy lagi, sama seperti beberapa hari ke belakang. Yang tak sadarkan diri di ranjang rumah sakit. Walau gadis itu seringkali bingung sendiri apa yang harus dilakukan di sana.Seperti orang bodoh, Carla cuma bisa melongo di depan suster yang mengganti cairan infus juga tak berani bertanya saat dokter memeriksa. Situasi formal selalu jadi momen menyebalkan bagi Carla. Namun ketika memandang Percy dengan kedua matanya yang tertutup rapat, badai bergemuruh lagi di dalam hati gadis itu.Carla merangkapkan
PADA TENGAH MALAM SEBELUMNYARembulan tepat berada di atas dua golongan manusia. Perempuan yang tengah dilanda mimpi buruk, dan pria paruh baya yang sedang bergelut dengan nerakanya.Masuk lebih dalam di zona merah, laras pistol menekan pelipis pria itu. Dengan tangan terikat ke belakang, seseorang berpakaian serba hitam menendang lututnya. Menahan erangan, dia bertumpu pada lutut agar tidak tersungkur.Dari balik semak-semak, kehadiran Black hampir tak terlihat. Namun, sepasang kaki bersepatu mengkilat berhenti di depan pria yang bersimpuh.“Hai, Luther, rindu buah hatimu?” sapa Black, nadanya mengejek atau barangkali lebih ke tak acuh.Menggeram, Pak Luther mengangkat kepalanya. Tatapan kebencian tercermin dari urat-urat merah di matanya. Namun, alis yang semula berkerut hebat malah menipis. Tatapan Pak Luther segera melemah ketika selembar foto ditunjukkan.Seorang balita. Jake asli. Tersenyum lebar di taman bermain, sementara ada seorang di belakangnya. Mengawasi balita malang itu
Merin memeluk punggung sofa, pipinya mengembung di bagian atas. Cemberut. Dia sudah seperti itu sejak Eldric memberitahunya kalau kemungkinan teman-temannya batal datang.“Ayo!” seru Eldric, mencolek pipi istrinya sambil berlalu.Keluar dari singgasana megah dan damai, tapi berbahaya saking nyamannya. Kalau mereka terus di situ, bisa-bisa dalam waktu sebulan pulau pribadi itu tak tereksplor. Dihabiskan 24 jam di kasur adem, sofa empuk, cemilan banyak, sambil menonton film kesukaan.Pastinya, Eldric dan Merin akan melakukan itu. Tapi nanti, setelah daftar petualangan mereka di pulau pribadi terceklis.Sangat menyenangkan bagi Merin saat tahu bucket list-nya memuat hal-hal yang belum dicoba sepanjang hidup. Namun ketika jadwal petualangannya tiba, kabar menjengkelkan sialan merusak harinya. Padahal, dia menantikan kedatangan teman-temannya. Pasti heboh kalau mereka tahu pulau Fantasia semenakjubkan dari sekadar yang ditampilkan di layar ponsel. Mau tidak mau, berapa pun persentase mood
Gemericik air turun hanya di zona para perusuh yang sebagian pingsan; sebagian lainnya menggeliat di jalanan seperti ikan terdampar—bergumul bersama rasa sesak yang ada.Beberapa drone berukuran jumbo perlahan mengubah gemericik itu menjadi serbuan ember tumpah layaknya di waterboom.Semua para perusuh terperajat bangun, anggota AUSTIC menyanggah mereka berdiri, lalu menjaga mereka di suatu titik.“Loey dan Olivia telat sekali mengirim hujan buatan,” kritik Sam.Percy mengendikkan bahu. “Semoga walikota tidak menuduh kita merundung mereka.”“Kenapa kakak tidak membiarkanku di sana sampai drone datang? Gas itu kan tidak akan membuatku dan para perusuh mati,” tanya Carla sambil menyisikan helaian poni yang basah.“Aku tidak tahan melihatmu lama menderi—” Percy memalingkan wajah sambil tersenyum kecil, sementara Carla berkedip polos dan berbinar. Menggemaskan.Percy berdeham. “Kamu terlihat seperti sedang menahan buang air. Kupikir kamu akan ngompol.”“Apa? Memangnya gas itu bisa bikin o