Pov Salmah Aku terkejut ketika malam itu, tiba-tiba dia meminta haknya. Bukankah dia bilang pernikahan ini hanya demi Adrian, anaknya. Kenapa malam itu tiba-tiba dia meminta. Aku cukup terkejut dan bingung mengambil sikap. Sebagai orang dewasa, aku mengerti sekali seperti apa kebutuhan seorang laki-laki. Namun, pernikahan ini dimulai dengan sesuatu yang dipaksakan. Sehingga aku tak tahu harus menjawab iya atau tidak. “Kita bukan ABG, lagi, Yah. Gak perlu sayang-sayangan!” ketusku. Makin hari makin sering absurd saja kelakuannya. Dia malah terkekeh, lalu menutup pintu dan bersandar pada daunnya. Dia malah menatap wajahku lekat. “Tapi wajah kamu merona waktu aku panggil, Sayang. Hmmm … suka ‘kan?” Astaghfirulloh … Pak Dirga? Kenapa kelakuannya makin ajaib saja. Dia menunduk sampai wajahku dan wajahnya hampir tak berjarak dan menanyakan kalimat itu dalam jarak beberapa senti saja. Reflek aku mundur ke belakang, tapi lengan itu gesit menarik pinggangku. “Salmah … kapan kita baikan,
Pov 3“Boleh gabung ya, Mbak! Mas!” tukas seorang lelaki dewasa. Usianya mungkin tak jauh beda dengan Dirga. Cukup jomplang dengan gadis yang tampak masih sangat muda yang duduk di samping Salmah. Salmah hanya mengangguk, begitupun Dirga. Mereka tak banyak yang berkomentar, hanya sekadar saling sapa seperlunya. Lalu mereka sibuk dengan makanan yang sudah dipesan Dirga. Makanan sebanyak ini yang membuat Salmah malah rindu pada kedua buah hatinya. Sesekali Dirga mengambilkan daging kepiting ke piring Salmah. Salmah sibuk menyuap, tak terlalu peduli pada pasangan di sampingnya. Hubungan Dirga dan Salmah, makin hari makin dekat saja. Tak bisa ditampik oleh Dirga jika Salmah memang telaten dalam melayaninya. Meskipun, entah apakah sudah ada cinta atau belum di hati perempuan itu. Namun, setidaknya, Dirga sudah merasa memilikinya. Kasyikan mereka berdua agak terganggu oleh kebisingan laki-laki yang mengangkat telepon di sampingnya. “Ya, Mah! Oh … Papa lagi meeting! Iya sama klien!” Lak
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (44)Pov 3“S--Salmah?” Wajah Reta berkali lipat lebih memerah. Rasanya kini tak ada lagi hal yang bisa disombongkannya di depan Salmah. Reta merasa, hari ini, dirinya seolah tengah dikuliti dan dipermalukan di depan khalayak ramai. “Anak kamu ketakutan Reta! Badannya panas juga! Segera pulanglah, kasihan dia!” Salmah menuntuk Dani dan mendekat ke arah mantan sahabatnya itu. “Ck, gak usah sok baik! Kamu dalam hati puas ‘kan? Puas menertawaiku?” Reta tersenyum sinis seraya menarik lengan Dani ke arahnya dengan kasar. “Terserah!” Salmah tak mau memperpanjang permasalahan. “Jangan sombong dulu, Salmah! Mendang-mendang sudah punya suami lagi yang kaya raya … paling nasib kamu sebentar lagi juga sama sepertiku. Jangan-jangan dia hanya menginginkan anaknya saja. Orang zaman sekarang banyak yang malas melihara anak dari kecil!” ejek Reta seakan semua orang adalah sama seperti Ilham. “Sayang! Kenapa kamu harus membuang waktu dengan mereka
Pov 3“Tapi golongan darah anak Bapak itu, O+, Pak! Kami tak salah. Kalau tak ada, kami harus segera menghubungi pihak PMI untuk meminta stock darah.” “Baik, Sus! Coba cari pendonor dari luar saja!” tukas Ilham dengan hati was-was dan cemas. Entah kenapa pikiran buruk tiba-tiba melintas. “Jangan-jangan Dani bukan anak kandungku? Jangan-jangan Reta hanya membohongiku?” batin Ilham meracau sendiri. Kepalanya berdenyut nyeri mendapati kemungkinan apa yang terjadi.Pada saat menunggu, Ilham mencoba mencari-cari informasi dari internet terkait golongan darah yang membuatnya ragu. [Golongan darah ayah AB ibu A, maka kemungkinan golongan darah anak apa?][ Jika golongan darah ayah ab dan ibu golongan darahnya a, maka apakah mungkin anak akan bergolongan darah o]Ilham mengetikkan beberapa kali kalimat itu dengan hati yang tak tenang. Bagaimanapun, hati kecilnya sudah mulai merasa was-was. Apakah benar Dani yang Reta bilang sebagai anaknya itu benar darah dagingnya?Beberapa hasil pencaria
Pov HeruAku turun dari mobil yang seharian ini kukendarai. Aku baru saja selesai narik mobil online. Semenjak para penagih utang itu menyita mobilku. Mau tak mau, aku harus memutar otak demi menyambung hidup. Akhirnya aku memberanikan diri menghampiri Koh Ahong. Dia punya mobil lebih dari satu. Dia juga punya pangkalan angkot.Waktu ke sana pertama, tak ada pekerjaan. Semua mobil punya supir masing-masing. Akhirnya aku mencoba-coba lagi mencari pekerjaan lain. Namun, keberuntungan tak berpihak sampai beberapa waktu lamanya, hingga salah satu pengemudi mobil online Koh Ahong pulang kampung. Akhirnya dia memanggiku. Mulai hari itulah, aku menjalani pekerjaan baruku menjadi supir mobil online. Hanya saja, aku tetap saja was-was, takut dikenali para penagih utang yang belum terbayar semua. Asset pabrik sudah dilelang demi membayar pesangon karyawan. Tak bisa mengelak karena ketua serikat sudah memblow up masalah ini ke PHI. Akhirnya aku hanya bisa pasrah dan melarikan diri. Soalnya utang
“Alisha! Ida!” Teriakkan Rifani membuatku dan Ida yang baru hendak masuk ke dalam asrama menoleh. Ida baru saja menyambutku. Dia tak pulang akhir pekan ini. Jadi seharian ini dia di asrama dan menghabiskan waktu dengan menunggu, katanya. Ya, dia memang salah satu penghuni asrama yang jarang pulang. Aku tersenyum pada Rifani, lalu kami berjabat tangan singkat. “Baru sampai, Rifa? Wah dianter sama Mama kamu, ya?” “Iya, biasalah punya Papa kandung, rasa Papa tiri,” ketus Rifani sambil melirik Ibunya. Aku hanya tersenyum maklum. Gak enak juga lihat wajah Ibunya Rifani yang kelihatan tak nyaman. “Yang sabar ya, Rifa … eh kami masuk dulu, ya!” Aku berpamitan padanya. Aku baru sampai juga. “Oke ….” Dia tampak memaksakan tersenyum. Setelah itu, aku menarik lengan Idawati. Namun, entah kenapa … aku merasa ada orang yang tengah memperhatikanku. Kepalaku menoleh, pandanganku lurus melewati gerbang dan mendapati sebuah mobil terparkir. Namun, ketika aku menatapnya … mobil itu berlalu begit
Pov SalmahDetik pergi, menit datang berganti, berputar menjadi hitungan jam, berubah menjadi hari. Minggu pun akhirnya berganti bulan. Aku selalu berdoa untuk kebaikan semuanya. Untuk kebaikan Alisha, Adrian dan juga rumah tangga yang kini mulai lebih iklhas aku jalani. “Bund … kalau warna ini cocok gak?” Mas Dirga mencolek bahuku yang sedang melipat pakaian. Kami sedang berada di ruang tengah. Aku sedang memisahkan pakaian untuk hadir di acara kenaikan kelas Alisha dan Adrian nanti. Besok akan kusetrika. Aku dan Mas Dirga akan hadir di sana dengan batik coupel seperti biasa. Ya, walaupun kami akan berbagi tugas. Karena Alisha dan Adrian berbeda sekolah. Meski berada dalam satu naungan yayasan yang sama. Kami harus terpisah besok pada hari H nya.“Bukannya kemarin sudah setuju yang ini?” Aku menunjuk pada beberapa helai pakaian yang sudah aku pisahkan. “Hmmm, awalnya sih, iya … tapi habis dipikir ulang, kayaknya ini lebih cocok deh, Bund!” Dia menunjukkan sebuah gambar pada layar g
Pov SalmahLangkahku yang mengayun bersemangat, perlahan melambat. Di lorong sekolahan di mana beberapa orang tampak berlalu lalang. Sepasang mataku terfokus pada sepasang laki-laki dan perempuan. Aku bisa melihatnya dari arah samping. Berulang kali aku mengucek mata, meyakinkan apa yang kupandang itu adalah benar. Berulang kali, tapi tetap saja tak berubah. Yang ada di depan sana … benar-benar Mas Dirga dengan Fatima. Kenapa-kenapa Fatima harus muncul pada saat-saat seperti ini? Kenapa dia harus kembali setelah belasan tahun pergi? Dia memang sahabatku, dia memang Ibu yang mengandung Adrian dan bersusah payah pada saat itu. Namun, kenapa dia harus kembali selambat ini? Ini sudah terlalu lambat … bahkan sudah sangat terlambat. Aku tak mungkin mengalah dan membiarkan dia merebut Adrian dan Mas Dirga dari sisiku. Aku mematung beberapa saat, mencoba menetralkan debaran dalam dada yang tak bisa kukendalikan lagi. Namun, perlahan kukuatkan hati. Aku yakinkan pada diri sendiri, semua aka
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (73)Manusia hanya bisa merencanakan. Allah yang menentukan. Di dunia ini ada dua takdir yaitu muallaq dan mubram. Aku percaya itu. Seperti garisan nasibku dan Adrian. Allah tunjukkan janjinya. Barang siapa orang yang ingin mengubah nasibnya, maka harus berusaha mengubahnya sendiri. Tertuang jelas dalam Q.S Ar-Ra’du ayat sebelas. Namun, lain halnya dengan takdir yang sudah pasti, seperti kematian. Allah memiliki kuasanya sendiri. Aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Semua tawa indah dan penantian yang sudah setengahnya kami lewati, mendadak berubah duka. Aku terduduk di sisi pusara. Tanah merah ini masih basah. Sejak tadi tak henti kutaburi bunga bersama doa. Ibu dan Mamanya GIilang menemaniku, hari sudah senja, tapi rasanya enggan sekali aku beranjak dari sana. “Mama sama Ibu pulang saja. Sudah sore.” “Kamu juga pulang, Sha. Gilang sudah pulang ke pangkuan-Nya. Kita harus ikhlas.” Suara itu menyuruhku ikhlas, dia sendiri sejak tad
“Entar ya, Sha. Aku lagi sibuk juga. Tahu gak, hari ini surprise banget. Masa Ibuku ngenalin buat calon Bapak. Tahu gak orangnya siapa? Sopir mobil online, Sha? Ya ampuun selera Ibu jauh banget tahu, Sha. Aku masih shock ini.” Sopir mobil online? Entah kenapa … tiba-tiba aku teringat pada Bapak. Dia pun sopir mobil online juga. Ah, tapi ‘kan sopir mobil online ‘kan banyak. Memangnya, Bapak saja yang duda? Ya sudah, akhirnya aku pun tak memaksa Rifani biar dia menyelesaikan permasalahan hatinya sendiri. Yang penting usahaku sudah mulai berjalan. Siapapun dia yang sudah menginvestasikan uangnya pada usahaku. Aku hanya mendoakan, semoga segala hajatnya dipermudah. Aku pun segera menghubungi Titan. Satu laundry center pertama akhirnya kudirikan. Di sini kami menyewa sebuah bangunan ruko sederhana di tepi jalan. Untuk sistemnya, sedikit banyak aku belajar ketika pernah kerja di Pak Ramdan. Untuk sistem manajemennya, aku banyak diberikan advise oleh ayah Dirga dan juga sedikit banyak t
Dua keluarga telah sepakat. Meskipun mulai minggu depan, Gilang sudah akan mulai pergi ke Kendal, di sanalah mulai dirintisnya zona industri baru. Rupanya dia bekerja di bagian advertisement untuk sebuah developer yang tengah melebarkan jangkauan pemasaranya hingga keluar jawa barat. Ayah Dirga sempat menawari juga jika ada vacancy di perusahaannya, jika Gilang bersedia maka akan diprioritaskan. Namun, rupanya Gilang sama denganku. Dia pun memiliki prinsif untuk berdiri di atas kaki sendiri terlebih dulu. Seperginya Gilang ke Kendal. Aku teringat hal yang belum kuselesaikan. Sore itu, Ayah Dirga dan Ibu tengah menikmati ubi rebus di teras. Warung makannya sudah ada yang nungguin satu orang. Ibu bilang, ada anak tetangga yang butuh kerjaan. Jadinya Ibu pun mempekerjakannya. Walaupun awalnya memang tak berniat mencari tenaga bantuan. Soalnya Ibu membuka warung makan ini pun kalau sekarang hanya untuk mengisi waktu. Aku menghampirinya lalu duduk sambil membawa satu cangkir teh hangat.
“Baguslah dia datang sekarang? Aku hanya ingin tahu seperti apa sikapnya setelah tahu siapa ayahku yang sebenarnya? Apakah dia akan menghilang kembali seperti Mizan?” gumamku dalam diam. Gilang baru menghampiriku setelah kami selesai sesi foto. Dia tersenyum dan menatapku. Sadar akan arti tatapannya, aku segera menoleh pada Ibu. Perempuan istimewa yang selalu menempati urutan pertama di hatiku. “Bu, kenalin … ini Gilang, teman Icha!” “Gilang, Tante!” “Makasih sudah jadi teman baik buat Icha, ya!” “Ini Ayahku, dan ini Ayahku juga!” tukasku pada Bapak juga pada Ayah Dirga. “Gilang, Om!” Dia tersenyum dan menyalami Bapak juga Ayah Dirga. Lalu dia dan Adrian bersalaman juga. “Ahm … kebetulan ketemu semua di sini. Mau minta izin sekalian, apa boleh kalau keluarga Gilang silaturahmi ke rumah Om, Tante?” Aku tertegun beberapa saat. Apa tak salah dengar? “Ahm, itu pun kalau tak merepotkan.” Suara Gilang membuatku tersadar kembali, sedang di mana kami. “Silakan, Gilang. Om tunggu! Ka
Hari wisuda yang ditunggu pun akhirnya tiba. Senyum mengembang dari bibirku. Polesan make up natural tak serta merta membuat aura kebahagiaanku luntur dan kalah dengan mereka yang menggunakan make up tebal. Aku dan Ibu sudah mengenakan kebaya couple hari ini. Ayah Dirga dan Adrian tampak gagah dengan batik couple yang mereke kenakan. Kedua laki-laki yang tengah duduk bersisian itu, seperti seseorang di masa lalu dan masa depan. Wajah Adrian sangat mirip dengan Ayah Dirga, begitupun tubuh tinggi tegapnya. Adikku kini sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa. “Kita berangkat sekarang, Bu?” tanyaku ketika pintu depan sudah Ibu kuncikan. “Oke! Mari.” Ayah Dirga yang menyahut. Dia pun lekas berdiri dan melempar kunci mobil ke arah Adrian sambil bicara, “Yan, nyetir!”“Siap, Ayah Bos!”tukas Adrian sigap. Kami pun berangkat. Adrian yang menyetir. Adrian duduk di sampingnya. Aku dan Ibu duduk di kursi belakang. Wisuda diadakan di kampus. Aku duduk diam, sambil menimbang-nimbang. Kapan wak
Skripsi yang disusun akhirnya selesai. Perjuangan berdarah-darah itu patut dirayakan. Tak ada makan-makan mewah, kini Alisha, Rifani dan Titan tengah berada di kamar Titan sambil makan cuanki pedas. Kami memilih kamar Titan karena di sana ada televisi. Ruangannya sih sama saja dengan kamarku. “Slide presentasi kamu dah jadi, Sha?” Titan melirik ke arahku yang sudah menutup laptop. “Alhamdulilah, syudah …,” tukasku sambil memiringkan kepala. “Kamu, Fan?” Titan menoleh pada Rifani. “Ahm, nanti dibantuin Alisha,” tukasnya tanpa merasa bersalah. “Dih, kok aku, sih?” Aku pura-pura merajuk. Padahal ya memang sudah biasa kalau Rifani merengek seperti itu. Rahasia umum. “Eh, eh, itu kecelakaan kereta yang tadi jam enam sorean itu! Data-data korban ninggalnya sudah muncul!” Suara Titan mengalihkan fokus kami dari obrolan pada layar kaca. “Kereta jurusan surabaya keberangkatan jam lima sore ini, mengalamai kecelakaan. Setelah bertahap dilakukan evakuasi oleh petugas setempat, berikut na
Pov 3“Bu Re …,” tukasnya seraya mengerjap-ngerjap. Perkataannya menggantung begitu saja. Ini kali kedua mereka dipertemukan tanpa sengaja. Meskipun pada pertemuan pertama, Reta tak mengenali pengemudi yang tak lain adalah Heru karena dia memakai masker. Namun, saat ini kebetulan belum dipakai lagi perlengkapan menyamarnya. “Mas Heru?” Reta pun melonjak tak kalah kaget. Rupanya pengemudi mobil online yang dipesannya adalah mantan suaminya sendiri yaitu, Heru. Keduanya berdiam diri beberapa detik, tapi kemudian suara Heru membuyarkan keadaan yang canggung itu, “Silakan naik, Reta!” “Ah iya, Mas.” Lalu Reta naik dan memilih duduk di kursi penumpang. Heru melajukan mobilnya sesuai titik. Keheningan tak bisa dielakkan hingga Reta membuka suara ketika mereka melewati sebuah pemakaman. “Dani dimakamkan di sana, Mas. Kalau hati kamu sudah gak kesal, temuilah dia. Dia anak kamu, Mas.” Deg!Ada yang seolah menghujam pada dada Heru. Dia sampai menginjak rem dan menoleh pada Reta. “D---Da
Pov 3Sepulang dari menghadiri pertunangan Mizan, hati Alisha masih tak baik-baik saja. Dia sendiri tak tahu itu perasaan apa. Jika dikatakan cinta, mungkin terlalu dini untuk Alisha mengakuinya. Besarnya adalah rasa tak percaya. Alisha tak percaya begitu cepatnya Mizan memutuskan calon pendampingnya. Meskipun dia tahu, itu tak lepas dari permintaan ibunya Mizan. Hidup harus berjalan ke depan. Alisha kembali memusatkan fokusnya pada skripsi yang tengah dihadapinya. Semua perjuangan yang selama ini dilalui, akan menjadi kurang nilainya jika hasil akhir tak memuaskan. Karena itu, Alisha benar-benar memutuskan semua hubungan dengan hal-hal yang mengganggu konstrasinya, termasuk, Gilang.Sementara itu di sudut kota lainnya, seorang perempuan tengah terisak menghadapi pusara anak lelakinya. Tubuhnya kurus dan tampak sekali banyak kerutan di wajahnya. Dialah Reta. Semenjak kejadian terserempet mobil di depan sebuah kampus beberapa waktu lalu. Dia menolak pertolongan warga. Bukan tanpa ala
Aku berjalan keluar dari gerbang kampus sambil memikirkan hal itu. Hal yang tak ingin kupikirkan tapi terpikir dengan sendirinya. Hanya saja lamunanku buyar ketika terdengar debuman yang cukup kencang disertai jeritan lalu satu mobil terseret hingga beberapa meter jauhnya dan menabrak trotoar. “Astaghfirulloh!” Aku lekas berjalan hendak mendekati orang-orang yang mulai berkerubung. Ternyata tabrakan itu melibatkan dua orang penyebrang jalan. Tampak darah bercecer di jalanan dan seketika kakikku merasa lemas. Aku berpegangan pada tiang lampu jalan dan berhenti meski belum melihat jelas kondisi korban.”Sha! Ayo naik!”Suara itu aku kenal. Benar saja, dia adalah Gilang. Aku tersenyum dan menatapnya heran, “Loh sudah pulang?” “Iya, yuk!” Dia mengangguk. “Ada yang tabrakan, Lang!” “Iya, sudah banyak yang nolong! Lo pucat kayak gitu pun. Ayo gue antar pulang! Jangan sampai korban bertambah gara-gara lo pingsan, Sha!” “Oke.” Aku pun urung mendekati kerumunan. Lagipula kakikku sudah le