Pov SalmahLangkahku yang mengayun bersemangat, perlahan melambat. Di lorong sekolahan di mana beberapa orang tampak berlalu lalang. Sepasang mataku terfokus pada sepasang laki-laki dan perempuan. Aku bisa melihatnya dari arah samping. Berulang kali aku mengucek mata, meyakinkan apa yang kupandang itu adalah benar. Berulang kali, tapi tetap saja tak berubah. Yang ada di depan sana … benar-benar Mas Dirga dengan Fatima. Kenapa-kenapa Fatima harus muncul pada saat-saat seperti ini? Kenapa dia harus kembali setelah belasan tahun pergi? Dia memang sahabatku, dia memang Ibu yang mengandung Adrian dan bersusah payah pada saat itu. Namun, kenapa dia harus kembali selambat ini? Ini sudah terlalu lambat … bahkan sudah sangat terlambat. Aku tak mungkin mengalah dan membiarkan dia merebut Adrian dan Mas Dirga dari sisiku. Aku mematung beberapa saat, mencoba menetralkan debaran dalam dada yang tak bisa kukendalikan lagi. Namun, perlahan kukuatkan hati. Aku yakinkan pada diri sendiri, semua aka
Acara kenaikkan kelas pun usai. Kini waktunya kami liburan panjang. Hal yang paling membahagiakan adalah bisa pulang. Kangen rumah, kangen bantal dan kangen semuanya. Idawati pun sudah pulang duluan dengan Ibu tirinya. Mereka akan ke Tangerang katanya. Namun, Idawati bilang selama musim liburan nanti akan main ke Karawang juga. Aku sudah bersiap dengan ranselku dan berpamitan pada pengelola asrama. Berjalan dengan langkah yang terasa ringan. Lalu duduk di sekitar halte yang disediakan. Ibu dan Ayah Dirga katanya menjemput Adrian dulu ke asramanya. Aku menunggu sambil memperhatikan hiruk pikuk kendaraan. Beberapa siswa pun ada yang menunggu juga di sini. Suasana cukup ramai. Tak berapa lama, mobil ayah Dirga datang. Aku berlari kecil menghampirinya yang terpaksa harus mengantri dengan beberapa angkutan umum yang ngetem di sekitar asrama. Biasanya menjelang akhir pekan atau pas liburan. Ada orang tua mereka yang menjemput menggunakan angkutan umum juga. Jadi tak hanya mobil-mobil ba
Ayah Dirga mulai membakar sate. Peluhnya sudah mengucur. Berada di dekat arang, membuat udara Kota Karawang yang tak pernah sejuk ini, bertambah panas. Namun, aku melihat wajahnya yang sudah berumur itu tampak tersirat rasa bahagia. Fokusku yang tengah memperhatikan Ayah Dirga teralihkan ketika sebuah mobil berhenti. Lalu dua orang perempuan keluar dari kursi penumpang. “Ida?!” Aku bergegas bangun dan berjalan ke arah Idawati. Dia turun bersama Ibu tirinya yang kala itu. Aneh sekali, kenapa tiba-tiba mereka terdampar di sini?“Kalian habis dari mana?” tanyaku sambil mendekat dan menyalami Ibu tirinya Idawati setelah memeluk sekilas sahabatku itu. “Sengaja ke sini! Kasih kamu kejutan!” Idawati bicara dengan riang. “Eh, jadi? Sengaja?” Aku menyipitkan mata. Merasa heran dengan kedatangannya yang tiba-tiba dan juga jawabannya. “Hmmm … jadi, boleh ‘kan kami menginap di rumah kalian?” Pertanyaan Idawati membuatku tertegun beberapa saat. Bukan apa-apa, kamar kami tak banyak. Kalau Idaw
“Bun, habisin yang punya ayah saja. Ayah sudah kenyang!” Aku melongo melihat Ayah Driga yang beranjak pergi, tapi sebelum dia bangun, tak biasanya satu kecupan dia hadiahkan pada kening Ibu. Prang!Kami terkejut, ternyata gelas di dekat Tante Fatima yang tersenggol dan menimpa piringnya. Sementara itu, sekilas aku melihat sudut matanya memperhatikan punggung Ayah Dirga. “Ada apa dengan mereka sebenarnya?” Hanya saja, pertanyaan itu cukup kusimpan saja di dalam hati. Mana berani aku bertanya pada Ibu. Apalagi kulihat wajah Ayah Dirga yang seperti tak nyaman. Usai sarapan, kulihat Tante Fatima membantu Ibu memasak untuk di warung. Mereka bertiga bersama Nek Wasti. Dari jauh, terlihat akrab. Sementara itu, aku dan Idawati memilih bermain games. Jarang-jarang bisa sesantai ini dan tak terpisah dari gawai. Di asrama, semuanya serba terbatas dan dilarang. Sesekali kami tertawa karena permainan games ini diselingi obrolan. Adrian masih ada di rumah. Hari ini, belum aku tahu acara dia. M
Aku yang berada di ruang tengah, bergegas masuk ke kamar Adrian, lalu mencari kontak Genta. Ah, dapat. Setelah itu, tak banyak pikir panjang, aku segera menghubunginya, “Hallo, Genta! Adrian sudah sampai?” tanyaku tak sabar. Ingin segera memberi tahu pada Adrian tentang Tante Fatima yang sebenarnya. “Hallo, ini siapa? Ceweknya, ya?” “Hah? Adrian pacaran?!” Mendengar pertanyaan Genta membuatku sedikit kaget. Jadi selama ini kalau ke rumah Genta, Adrian ketemuan sama perempuan? “Eh, bukan, bukan. Kamu ini siapa? Cari Adrian tiba-tiba?” “Eh, Genta! Kamu emang gak kenal suara Mbak, hah?!” omelku.“M--Mbak? Mbak siapa, ya?” Genta malah tampak bingung.“Alihsa, Genta! Ini Alisha! Astaghfirulloh!” omelku lagi. “Oalah ya ampuuun bidadariku!” Suara Genta yang spontan membuat aku mengernyit. “Eh, Kak Icha, Ta?” Lalu suara Adrian terdengar samar, sebelum aku bicara lagi terdengar suaranya. “Hallo, Kak!” “Ian, kamu di rumah Genta? Jauh gak?” “Kenapa, sih, Kak?” “Kakak mau ke sana! Gent
“Adrian?!” Ibu dan Tante Fatima menoleh bersama-sama. Aku mengikuti Adrian dari belakang yang kulihat sejak tadi matanya sudah berkaca-kaca. Bibirnya gemetar. Lalu dia membagi pandangan pada Ibu dan Tante Fatima yang sama-sama terkejutnya. “Tante! Kamu tak berhak bicara begitu sama Ibuku! Walaupun jika benar, kamu yang mengandungku, tapi Ibu yang membesarkanku!” Suara Adrian terdengar bergetar. Aku tak bisa melihat wajahnya karena aku berada di belakangnya. “Ian ….” Suara Ibu terdengar lirih. Netranya mengembun. Kulihat Fatima sudah menyeka air matanya dan menunduk lesu. “Maafin, Mama Adrian ….” Suara Tante Fatima bergetar. Adrian tak bicara. Dia hanya mematung dan kulihat napasnya bergerak cepat. Aku menghampirinya dan kutepuk pundaknya. “Ian, bicaralah …,” tukasku. Kuingatkan pada apa yang tadi kami rencanakan. Tadinya kami akan menemui Ibu, lalu bicara pada Tante Fatima untuk tak mengganggu kami setelah mendapat kejelasan dari Ibu. “Maafin Mama, Adrian … Maaf.” Tante Fatima m
Di asrama, Idawati sudah menungguku. Sepertinya dia masih terkaget-kaget dengan kejadian kemarin. Hanya saja, aku mencoba bersikap biasa. “Sudah sampai, Da?” Aku berbasa-basi. “Sha, sorry, ya!” Idawati mendekat dan menatapku. Bukannya menjawab pertanyaanku, tapi dia malah membuka topik baru.“Untuk?” tanyaku lagi. “Aku gak tahu, Ibu tiriku ternyata Ibu kandung adikmu.” “Oh, itu … sudah, gak apa-apa.” “Gak enak saja, Sha.” “Semua orang punya masa lalu, Da. Kita mana boleh menghakiminya.” “Iya, Sha.”Ketukan pada pintu kamar kami membuat obrolanku dengan Ida terhenti. Rifani yang datang. Seperti biasa, wajahnya muram. “Sini, cerita!” Aku menepuk tempat kosong di sampingku. Rifani berhambur, tapi bukannya bercerita. Dia malah menangis. Aku dan Idawati saling bertukar pandang. Kami bertiga cukup dekat karena bagaimanapun memiliki latar belakang keluarga yang sama. Sama-sama bermasalah. Aku dan Idawati hanya duduk diam membiarkan dia menyelesaikan tangisnya. Kadang, tak semua hal
“Sha!” tepukan pada bahu mengagetkanku. Mizan masih mematung dan kini dia mengulurkan buket bunga padaku. “Apa ini, Zan?” “Ucapan selamat dariku, Sha. Kamu keren. Tak banyak perempuan tangguh seperti kamu.” Dia tersenyum dan entah kenapa, hatiku malah teringat pada Genta. “Thanks.” Aku menerima buket bunga itu. Di setiap kelulusan sudah lazim memberikan buket bunga sebagai ucapan. Bunga yang dia belikan adalah bunga tulip orange. Di mana melambangkan kehangatan, kegembiraan dan lambang sebuah keberuntungan. "Wish me luck!" tukasnya lagi sambil tersenyum. "Mee too." Aku menimpali dann mengangguk. Setelah saling mengucapkan selamat, acara pun bubar. Ayah Dirga dan Ibu seperti biasa mengajak kami merayakannya dengan makan di luar. Tak ada lagi pembahasan mau kuliah di mana? Hanya membahas masalah tempat tinggal dan lainnya. Jelas nilaiku yang di atas rata-rata menjadi golden ticket untuk masuk ke kampus yang masih satu grup dengan SMP dan SMA-ku ini.Idawati yang mendapati peringka
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (73)Manusia hanya bisa merencanakan. Allah yang menentukan. Di dunia ini ada dua takdir yaitu muallaq dan mubram. Aku percaya itu. Seperti garisan nasibku dan Adrian. Allah tunjukkan janjinya. Barang siapa orang yang ingin mengubah nasibnya, maka harus berusaha mengubahnya sendiri. Tertuang jelas dalam Q.S Ar-Ra’du ayat sebelas. Namun, lain halnya dengan takdir yang sudah pasti, seperti kematian. Allah memiliki kuasanya sendiri. Aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Semua tawa indah dan penantian yang sudah setengahnya kami lewati, mendadak berubah duka. Aku terduduk di sisi pusara. Tanah merah ini masih basah. Sejak tadi tak henti kutaburi bunga bersama doa. Ibu dan Mamanya GIilang menemaniku, hari sudah senja, tapi rasanya enggan sekali aku beranjak dari sana. “Mama sama Ibu pulang saja. Sudah sore.” “Kamu juga pulang, Sha. Gilang sudah pulang ke pangkuan-Nya. Kita harus ikhlas.” Suara itu menyuruhku ikhlas, dia sendiri sejak tad
“Entar ya, Sha. Aku lagi sibuk juga. Tahu gak, hari ini surprise banget. Masa Ibuku ngenalin buat calon Bapak. Tahu gak orangnya siapa? Sopir mobil online, Sha? Ya ampuun selera Ibu jauh banget tahu, Sha. Aku masih shock ini.” Sopir mobil online? Entah kenapa … tiba-tiba aku teringat pada Bapak. Dia pun sopir mobil online juga. Ah, tapi ‘kan sopir mobil online ‘kan banyak. Memangnya, Bapak saja yang duda? Ya sudah, akhirnya aku pun tak memaksa Rifani biar dia menyelesaikan permasalahan hatinya sendiri. Yang penting usahaku sudah mulai berjalan. Siapapun dia yang sudah menginvestasikan uangnya pada usahaku. Aku hanya mendoakan, semoga segala hajatnya dipermudah. Aku pun segera menghubungi Titan. Satu laundry center pertama akhirnya kudirikan. Di sini kami menyewa sebuah bangunan ruko sederhana di tepi jalan. Untuk sistemnya, sedikit banyak aku belajar ketika pernah kerja di Pak Ramdan. Untuk sistem manajemennya, aku banyak diberikan advise oleh ayah Dirga dan juga sedikit banyak t
Dua keluarga telah sepakat. Meskipun mulai minggu depan, Gilang sudah akan mulai pergi ke Kendal, di sanalah mulai dirintisnya zona industri baru. Rupanya dia bekerja di bagian advertisement untuk sebuah developer yang tengah melebarkan jangkauan pemasaranya hingga keluar jawa barat. Ayah Dirga sempat menawari juga jika ada vacancy di perusahaannya, jika Gilang bersedia maka akan diprioritaskan. Namun, rupanya Gilang sama denganku. Dia pun memiliki prinsif untuk berdiri di atas kaki sendiri terlebih dulu. Seperginya Gilang ke Kendal. Aku teringat hal yang belum kuselesaikan. Sore itu, Ayah Dirga dan Ibu tengah menikmati ubi rebus di teras. Warung makannya sudah ada yang nungguin satu orang. Ibu bilang, ada anak tetangga yang butuh kerjaan. Jadinya Ibu pun mempekerjakannya. Walaupun awalnya memang tak berniat mencari tenaga bantuan. Soalnya Ibu membuka warung makan ini pun kalau sekarang hanya untuk mengisi waktu. Aku menghampirinya lalu duduk sambil membawa satu cangkir teh hangat.
“Baguslah dia datang sekarang? Aku hanya ingin tahu seperti apa sikapnya setelah tahu siapa ayahku yang sebenarnya? Apakah dia akan menghilang kembali seperti Mizan?” gumamku dalam diam. Gilang baru menghampiriku setelah kami selesai sesi foto. Dia tersenyum dan menatapku. Sadar akan arti tatapannya, aku segera menoleh pada Ibu. Perempuan istimewa yang selalu menempati urutan pertama di hatiku. “Bu, kenalin … ini Gilang, teman Icha!” “Gilang, Tante!” “Makasih sudah jadi teman baik buat Icha, ya!” “Ini Ayahku, dan ini Ayahku juga!” tukasku pada Bapak juga pada Ayah Dirga. “Gilang, Om!” Dia tersenyum dan menyalami Bapak juga Ayah Dirga. Lalu dia dan Adrian bersalaman juga. “Ahm … kebetulan ketemu semua di sini. Mau minta izin sekalian, apa boleh kalau keluarga Gilang silaturahmi ke rumah Om, Tante?” Aku tertegun beberapa saat. Apa tak salah dengar? “Ahm, itu pun kalau tak merepotkan.” Suara Gilang membuatku tersadar kembali, sedang di mana kami. “Silakan, Gilang. Om tunggu! Ka
Hari wisuda yang ditunggu pun akhirnya tiba. Senyum mengembang dari bibirku. Polesan make up natural tak serta merta membuat aura kebahagiaanku luntur dan kalah dengan mereka yang menggunakan make up tebal. Aku dan Ibu sudah mengenakan kebaya couple hari ini. Ayah Dirga dan Adrian tampak gagah dengan batik couple yang mereke kenakan. Kedua laki-laki yang tengah duduk bersisian itu, seperti seseorang di masa lalu dan masa depan. Wajah Adrian sangat mirip dengan Ayah Dirga, begitupun tubuh tinggi tegapnya. Adikku kini sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa. “Kita berangkat sekarang, Bu?” tanyaku ketika pintu depan sudah Ibu kuncikan. “Oke! Mari.” Ayah Dirga yang menyahut. Dia pun lekas berdiri dan melempar kunci mobil ke arah Adrian sambil bicara, “Yan, nyetir!”“Siap, Ayah Bos!”tukas Adrian sigap. Kami pun berangkat. Adrian yang menyetir. Adrian duduk di sampingnya. Aku dan Ibu duduk di kursi belakang. Wisuda diadakan di kampus. Aku duduk diam, sambil menimbang-nimbang. Kapan wak
Skripsi yang disusun akhirnya selesai. Perjuangan berdarah-darah itu patut dirayakan. Tak ada makan-makan mewah, kini Alisha, Rifani dan Titan tengah berada di kamar Titan sambil makan cuanki pedas. Kami memilih kamar Titan karena di sana ada televisi. Ruangannya sih sama saja dengan kamarku. “Slide presentasi kamu dah jadi, Sha?” Titan melirik ke arahku yang sudah menutup laptop. “Alhamdulilah, syudah …,” tukasku sambil memiringkan kepala. “Kamu, Fan?” Titan menoleh pada Rifani. “Ahm, nanti dibantuin Alisha,” tukasnya tanpa merasa bersalah. “Dih, kok aku, sih?” Aku pura-pura merajuk. Padahal ya memang sudah biasa kalau Rifani merengek seperti itu. Rahasia umum. “Eh, eh, itu kecelakaan kereta yang tadi jam enam sorean itu! Data-data korban ninggalnya sudah muncul!” Suara Titan mengalihkan fokus kami dari obrolan pada layar kaca. “Kereta jurusan surabaya keberangkatan jam lima sore ini, mengalamai kecelakaan. Setelah bertahap dilakukan evakuasi oleh petugas setempat, berikut na
Pov 3“Bu Re …,” tukasnya seraya mengerjap-ngerjap. Perkataannya menggantung begitu saja. Ini kali kedua mereka dipertemukan tanpa sengaja. Meskipun pada pertemuan pertama, Reta tak mengenali pengemudi yang tak lain adalah Heru karena dia memakai masker. Namun, saat ini kebetulan belum dipakai lagi perlengkapan menyamarnya. “Mas Heru?” Reta pun melonjak tak kalah kaget. Rupanya pengemudi mobil online yang dipesannya adalah mantan suaminya sendiri yaitu, Heru. Keduanya berdiam diri beberapa detik, tapi kemudian suara Heru membuyarkan keadaan yang canggung itu, “Silakan naik, Reta!” “Ah iya, Mas.” Lalu Reta naik dan memilih duduk di kursi penumpang. Heru melajukan mobilnya sesuai titik. Keheningan tak bisa dielakkan hingga Reta membuka suara ketika mereka melewati sebuah pemakaman. “Dani dimakamkan di sana, Mas. Kalau hati kamu sudah gak kesal, temuilah dia. Dia anak kamu, Mas.” Deg!Ada yang seolah menghujam pada dada Heru. Dia sampai menginjak rem dan menoleh pada Reta. “D---Da
Pov 3Sepulang dari menghadiri pertunangan Mizan, hati Alisha masih tak baik-baik saja. Dia sendiri tak tahu itu perasaan apa. Jika dikatakan cinta, mungkin terlalu dini untuk Alisha mengakuinya. Besarnya adalah rasa tak percaya. Alisha tak percaya begitu cepatnya Mizan memutuskan calon pendampingnya. Meskipun dia tahu, itu tak lepas dari permintaan ibunya Mizan. Hidup harus berjalan ke depan. Alisha kembali memusatkan fokusnya pada skripsi yang tengah dihadapinya. Semua perjuangan yang selama ini dilalui, akan menjadi kurang nilainya jika hasil akhir tak memuaskan. Karena itu, Alisha benar-benar memutuskan semua hubungan dengan hal-hal yang mengganggu konstrasinya, termasuk, Gilang.Sementara itu di sudut kota lainnya, seorang perempuan tengah terisak menghadapi pusara anak lelakinya. Tubuhnya kurus dan tampak sekali banyak kerutan di wajahnya. Dialah Reta. Semenjak kejadian terserempet mobil di depan sebuah kampus beberapa waktu lalu. Dia menolak pertolongan warga. Bukan tanpa ala
Aku berjalan keluar dari gerbang kampus sambil memikirkan hal itu. Hal yang tak ingin kupikirkan tapi terpikir dengan sendirinya. Hanya saja lamunanku buyar ketika terdengar debuman yang cukup kencang disertai jeritan lalu satu mobil terseret hingga beberapa meter jauhnya dan menabrak trotoar. “Astaghfirulloh!” Aku lekas berjalan hendak mendekati orang-orang yang mulai berkerubung. Ternyata tabrakan itu melibatkan dua orang penyebrang jalan. Tampak darah bercecer di jalanan dan seketika kakikku merasa lemas. Aku berpegangan pada tiang lampu jalan dan berhenti meski belum melihat jelas kondisi korban.”Sha! Ayo naik!”Suara itu aku kenal. Benar saja, dia adalah Gilang. Aku tersenyum dan menatapnya heran, “Loh sudah pulang?” “Iya, yuk!” Dia mengangguk. “Ada yang tabrakan, Lang!” “Iya, sudah banyak yang nolong! Lo pucat kayak gitu pun. Ayo gue antar pulang! Jangan sampai korban bertambah gara-gara lo pingsan, Sha!” “Oke.” Aku pun urung mendekati kerumunan. Lagipula kakikku sudah le