Pov Heru Aku selalu mengawasinya diam-diam. Setiap kali mencari penumpang, aku pasti menyempatkan diri mampir ke komplek sekolah elit itu. Jika beruntung, aku bisa melihat Alishaku di sana. Hanya melihat, bahkan aku tak berani untuk sekadar menyapa. Dia sudah besar, sudah remaja, cantik seperti Salmah. Sebagian wajahnya mirip juga denganku, yang kata Salmah dulu memang tampan. Menyesal. Aku benar-benar menyesal. Namun, sepertinya tak guna juga penyesalan ini sekarang. Semua sudah hancur karena egoku sendiri.Aku membuka tas pinggang di mana selalu kubawa-bawa uang yang kusisihkan, kuhitung beberapa lembar uang yang ada. Tadinya aku mau memberikannya di hari kelulusannya pas SMA. Namun, melihatnya dikerubungi teman-temannya dan juga Dirga dan Salmah. Nyaliku menciut. Sampai hari ini, uang ini masih kusimpan. Tak seberapa, tapi aku benar-benar ingin berguna untuk dia. Semenjak hari kelulusannya itu. Aku tak pernah melihatnya lagi. Mungkin dia tengah liburan. Aku narik mobil online s
Aku merasa terkejut ketika tiba-tiba saja Mas Ramdan---pengurus tempat indekosku mengetuk pintu kamar. “Ini buat Alisha, ya! Terima kasih sudah memilih tempat kami untuk tempat kosnya!” Aku menatap tas punggung berwarna hitam itu. Modelnya tampak sederhana, tapi aku tahu ini adalah tas dengan merk ternama.“Betulan, Pak? Dapat cashback tas?” Aku menatapnya tak percaya.“Iya, kebetulan ini stock terakhir,” tukasnya. “Alhamdulilah, makasih!” Aku menerima tas itu sepertinya cocok untuk tempat laptop. “Sama-sama, Neng!” Pak Ramdan mengangguk dan berpamitan. “Oh iya, Neng. Itu AC-nya sudah nyala, ya!” Pak Ramdan menghentikan langkah dan berbalik menatap ke arahku. “Loh, kan saya minta yang AC-nya rusak saja, Pak. Kalau sudah dibenerin, naik dong harganya?” Aku sedikit mencelos. Padalah sudah punya banyak plan dengan uang yang diberikan Ayah Dirga. Mungkin aku akan berjualan juga agar bisa nambah-nambah pemasukkan. “Enggak, kok, Neng! Harganya masih sama. Permisi, ya!” Pak Ramdan tam
Suara itu. Aku lekas mendongak untuk memastikan. Rasanya sudah lama sekali tak mendengarnya. Apakah pemilik suara itu adalah orang yang sama dengan yang aku pikirkan? “Sebentar, coba saya hubungi ke telepon rumah!” Bi Marsah lekas mengambil gagang telepon yang memang ada di meja depan. Kudengar dia berbicara dengan Pak Ramdan. Tak lama, dia menutup teleponnya. “Silakan, Pak! Ditunggu saja, ya! Sebentar lagi Pak Ramdan keluar.” Sepasang mata aku tajamkan, tapi wajahnya tak terlihat jelas. Dia mengenakan masker. Hanya saja … gesture tubuh itu aku kenal. Perlahan setrikaan yang tengah kugunakan itu kusimpan. Laki-laki itu sepertinya tak menyadari keberadaanku yang terhalang oleh pakaian-pakaian yang tergantung. Aku mendekat dan menyibak baju-baju yang masih menunggu kering betul. Sepasang mataku menyipit memperhatikan gerak-geriknya. Dia tampak menunggu dengan gelisah. Sesekali tangannya mengusap ujung hidung, menyugar rambut, dan sesekali melirik jam tangan. Bahkan ujung sepatunya y
Usai berbicara dengan Pak Ramdan, aku kembali ke dalam kamar. Rupanya dia hanya hendak memberiku wejangan. Panjang kali lebar. Huft.Aku tahu, semua yang dia sampaikan adalah benar. Namun, dia hanya memandang semua itu dari konsep logika. Dia tak merabanya dari sudut hati yang terluka. Apalagi, dia adalah seorang laki-laki. Bukankah kata orang-orang, laki-laki cenderung memakai akal dan mengesampingkan perasaan? Jadi dia hanya memandang dan menilai dari kaca mata pemikiran, pantas dan tidak, dosa dan tidak. Dia sama sekali tak akan paham pada apa yang aku rasakan.Memaafkan dia yang sudah membuang dan menyia-nyiakan itu sulit. Apalagi menghapus lukanya? Mulai hari itu, hubunganku dengan Pak Ramdan merenggang. Aku pun tak mau sering terlibat apapun dengannya, selain urusan laundry dan tempat indekosku. Sebetulnya pemilik indekos ini Bu Hasanah, hanya saja beliau terlalu sibuk dengan urusan keluar. Hampir setiap hari aku melihatnya keluar. Jadi yang mengurusi semuanya adalah Pak Ramda
“Fokus, Alisha! Kamu di sini untuk belajar, bukan? Lupakan dulu semua hal yang mengganggu termasuk Mizan.” “Baiklah … aku sudah terbiasa ditinggalkan,” batinku bicara sambil tersenyum miris pada hidup yang aku jalani. Aku menjalani hari-hariku kembali dengan fokus pada tujuan yaitu nilai bagus agar bisa lulus cumlaude. Pada tahun ini, Adrian sudah masuk juga satu tingkat di bawahku. Dia indekos bareng teman kuliahnya, untuk menghemat uang katanya. Ya, aku dan Adrian punya cara yang berbeda. Kalau aku, tak terlalu suka berbagi tentang tempat. Hanya memang jika terdesak seperti di asrama kemarin, apa boleh buat. Hanya saja, jika ada pilihan, aku lebih memiliih menekan keinginanku yang lainnya dan tetap memilih tinggal sendirian. Lebih bebas, lebih privat. Satu tahun akhirnya bisa kulalui sebagai mahasiswa dan karyawan laundry. Beberapa teman yang tahu aku nyambi sebagai pekerja laundry, kerap sengaja melaundry ke tempatku. Katanya itung-itung bantu teman. Senang, bahkan Pak Ramdan
Tak banyak obrolan yang terjadi. Aku juga cukup segan untuk bertanya alasan di balik menghilangnya Mizan selama ini. Namun kedatangannya hari ini yang mengejutkan membuat aku pun sadar, dia masih menganggapku teman. Sepeda motor menepi ketika kami sudah tiba di depan rumah Ibu. Namun kedatanganku dengan Mizan disambut tatapan tiga pemuda. Di sana ada Adrian, Garda dan Genta.Mizan menurunkanku lalu menyalami adikku dan dua temannya itu. Sorot mata Adrian seolah tengah bicara, “Ooo … pantesan gak mau pulang bareng!” Namun, aku pura-pura saja gak paham dan menyapa mereka sebentar lalu ke dalam. Ibu dan Ayah Dirga pun tak kalah kagetnya. Aku melihat itu dari raut wajah Ibu. Namun, tak bertahan lama. Dia pun kembali ramah seperti biasa. Begitupun ayah Dirga. “Oh, Mas Mizan ini satu kampus sama Icha?” tanya Ibu sambil membantuku membawa barang-barang ke kamar. “Enggak, Bu. Dulu satu kelas waktu SMA saja. Hanya saja sekarang kuliahnya misah.” Ibu ke dalam kamarku dan menyimpan barang b
Keesokan harinya, Gilang benar-benar menjemput. Aku cukup terbantu karena memang cukup banyak yang memesan. Ketika aku datang, barang-barang yang mereka pesan langsung diambil. “Alhamdulilah ….”Aku tersenyum melihat lembaran rupiah sudah di tangan. Hari ini ada sekitar tiga puluh bungkus yang terjual dengan harga lima ribuan. Seratus lima puluh ribu. Nominal yang aku dapatkan ini jauh lebih banyak dari pada berlelah-lelah menyetrika di laundry. Meskipun memang, uangnya masih harus kusimpan sebagian dan kuputar lagi buat modal. Namun, inilah bedanya bekerja di orang dengan berjualan. Jika bekerja, pendapatan memang aman, tapi terbatas. Jika jualan kalau laku bisa dapat dua kali lipatnya, hanya saja kalau sepi, ya risiko tanggung sendiri. Hanya bagaimana saja pintar-pintar menyimpan ketika laku seperti saat ini. Hari-hari kujalani dengan status baru, mahasiswi penjual keripik. Aku tak membawa banyak hanya sesuai pesanan saja. Setidaknya, aku tak direpotkan dengan harus membawa keripi
Pov Heru Kepala masih terasa amat berat. Mataku yang terbuka perlahan mengerjap. Kumenyipit dan menggeleng untuk menghalau kunang-kunang yang beterbangan. Pandanganku yang mengabur, perlahan menjadi jelas dan semakin jelas. Plafon putih dan lampu adalah hal yang pertama kulihat, lalu beralih pada jam dinding dan tangan yang terasa kemang dan nyeri. Seluruh badan pun terasa ngilu. “Aduh!” Tanganku rupanya sudah terpasang jarum infus. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Hingga perlahan terurai bayangan ketika siang tadi aku mengikuti Alisha pulang. Hal yang akhir-akhir ini rutin kulakukan ketika belum mendapat tarikan penumpang. Ingin sekali aku memberinya tumpangan. Mengantar jemputnya sekolah. Hal yang sejak dia kecil tak pernah aku lakukan. Namun, aku tak berani. Dia pasti menolakku lagi. Akhirnya dari pada nanti dia menghindar, lebih baik aku mengikuti diam-diam. Aku bisa pastikan dia baik-baik saja. Aku tak menyangka, Dirga rupanya membeda-bedakan kasih sayangny
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (73)Manusia hanya bisa merencanakan. Allah yang menentukan. Di dunia ini ada dua takdir yaitu muallaq dan mubram. Aku percaya itu. Seperti garisan nasibku dan Adrian. Allah tunjukkan janjinya. Barang siapa orang yang ingin mengubah nasibnya, maka harus berusaha mengubahnya sendiri. Tertuang jelas dalam Q.S Ar-Ra’du ayat sebelas. Namun, lain halnya dengan takdir yang sudah pasti, seperti kematian. Allah memiliki kuasanya sendiri. Aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Semua tawa indah dan penantian yang sudah setengahnya kami lewati, mendadak berubah duka. Aku terduduk di sisi pusara. Tanah merah ini masih basah. Sejak tadi tak henti kutaburi bunga bersama doa. Ibu dan Mamanya GIilang menemaniku, hari sudah senja, tapi rasanya enggan sekali aku beranjak dari sana. “Mama sama Ibu pulang saja. Sudah sore.” “Kamu juga pulang, Sha. Gilang sudah pulang ke pangkuan-Nya. Kita harus ikhlas.” Suara itu menyuruhku ikhlas, dia sendiri sejak tad
“Entar ya, Sha. Aku lagi sibuk juga. Tahu gak, hari ini surprise banget. Masa Ibuku ngenalin buat calon Bapak. Tahu gak orangnya siapa? Sopir mobil online, Sha? Ya ampuun selera Ibu jauh banget tahu, Sha. Aku masih shock ini.” Sopir mobil online? Entah kenapa … tiba-tiba aku teringat pada Bapak. Dia pun sopir mobil online juga. Ah, tapi ‘kan sopir mobil online ‘kan banyak. Memangnya, Bapak saja yang duda? Ya sudah, akhirnya aku pun tak memaksa Rifani biar dia menyelesaikan permasalahan hatinya sendiri. Yang penting usahaku sudah mulai berjalan. Siapapun dia yang sudah menginvestasikan uangnya pada usahaku. Aku hanya mendoakan, semoga segala hajatnya dipermudah. Aku pun segera menghubungi Titan. Satu laundry center pertama akhirnya kudirikan. Di sini kami menyewa sebuah bangunan ruko sederhana di tepi jalan. Untuk sistemnya, sedikit banyak aku belajar ketika pernah kerja di Pak Ramdan. Untuk sistem manajemennya, aku banyak diberikan advise oleh ayah Dirga dan juga sedikit banyak t
Dua keluarga telah sepakat. Meskipun mulai minggu depan, Gilang sudah akan mulai pergi ke Kendal, di sanalah mulai dirintisnya zona industri baru. Rupanya dia bekerja di bagian advertisement untuk sebuah developer yang tengah melebarkan jangkauan pemasaranya hingga keluar jawa barat. Ayah Dirga sempat menawari juga jika ada vacancy di perusahaannya, jika Gilang bersedia maka akan diprioritaskan. Namun, rupanya Gilang sama denganku. Dia pun memiliki prinsif untuk berdiri di atas kaki sendiri terlebih dulu. Seperginya Gilang ke Kendal. Aku teringat hal yang belum kuselesaikan. Sore itu, Ayah Dirga dan Ibu tengah menikmati ubi rebus di teras. Warung makannya sudah ada yang nungguin satu orang. Ibu bilang, ada anak tetangga yang butuh kerjaan. Jadinya Ibu pun mempekerjakannya. Walaupun awalnya memang tak berniat mencari tenaga bantuan. Soalnya Ibu membuka warung makan ini pun kalau sekarang hanya untuk mengisi waktu. Aku menghampirinya lalu duduk sambil membawa satu cangkir teh hangat.
“Baguslah dia datang sekarang? Aku hanya ingin tahu seperti apa sikapnya setelah tahu siapa ayahku yang sebenarnya? Apakah dia akan menghilang kembali seperti Mizan?” gumamku dalam diam. Gilang baru menghampiriku setelah kami selesai sesi foto. Dia tersenyum dan menatapku. Sadar akan arti tatapannya, aku segera menoleh pada Ibu. Perempuan istimewa yang selalu menempati urutan pertama di hatiku. “Bu, kenalin … ini Gilang, teman Icha!” “Gilang, Tante!” “Makasih sudah jadi teman baik buat Icha, ya!” “Ini Ayahku, dan ini Ayahku juga!” tukasku pada Bapak juga pada Ayah Dirga. “Gilang, Om!” Dia tersenyum dan menyalami Bapak juga Ayah Dirga. Lalu dia dan Adrian bersalaman juga. “Ahm … kebetulan ketemu semua di sini. Mau minta izin sekalian, apa boleh kalau keluarga Gilang silaturahmi ke rumah Om, Tante?” Aku tertegun beberapa saat. Apa tak salah dengar? “Ahm, itu pun kalau tak merepotkan.” Suara Gilang membuatku tersadar kembali, sedang di mana kami. “Silakan, Gilang. Om tunggu! Ka
Hari wisuda yang ditunggu pun akhirnya tiba. Senyum mengembang dari bibirku. Polesan make up natural tak serta merta membuat aura kebahagiaanku luntur dan kalah dengan mereka yang menggunakan make up tebal. Aku dan Ibu sudah mengenakan kebaya couple hari ini. Ayah Dirga dan Adrian tampak gagah dengan batik couple yang mereke kenakan. Kedua laki-laki yang tengah duduk bersisian itu, seperti seseorang di masa lalu dan masa depan. Wajah Adrian sangat mirip dengan Ayah Dirga, begitupun tubuh tinggi tegapnya. Adikku kini sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa. “Kita berangkat sekarang, Bu?” tanyaku ketika pintu depan sudah Ibu kuncikan. “Oke! Mari.” Ayah Dirga yang menyahut. Dia pun lekas berdiri dan melempar kunci mobil ke arah Adrian sambil bicara, “Yan, nyetir!”“Siap, Ayah Bos!”tukas Adrian sigap. Kami pun berangkat. Adrian yang menyetir. Adrian duduk di sampingnya. Aku dan Ibu duduk di kursi belakang. Wisuda diadakan di kampus. Aku duduk diam, sambil menimbang-nimbang. Kapan wak
Skripsi yang disusun akhirnya selesai. Perjuangan berdarah-darah itu patut dirayakan. Tak ada makan-makan mewah, kini Alisha, Rifani dan Titan tengah berada di kamar Titan sambil makan cuanki pedas. Kami memilih kamar Titan karena di sana ada televisi. Ruangannya sih sama saja dengan kamarku. “Slide presentasi kamu dah jadi, Sha?” Titan melirik ke arahku yang sudah menutup laptop. “Alhamdulilah, syudah …,” tukasku sambil memiringkan kepala. “Kamu, Fan?” Titan menoleh pada Rifani. “Ahm, nanti dibantuin Alisha,” tukasnya tanpa merasa bersalah. “Dih, kok aku, sih?” Aku pura-pura merajuk. Padahal ya memang sudah biasa kalau Rifani merengek seperti itu. Rahasia umum. “Eh, eh, itu kecelakaan kereta yang tadi jam enam sorean itu! Data-data korban ninggalnya sudah muncul!” Suara Titan mengalihkan fokus kami dari obrolan pada layar kaca. “Kereta jurusan surabaya keberangkatan jam lima sore ini, mengalamai kecelakaan. Setelah bertahap dilakukan evakuasi oleh petugas setempat, berikut na
Pov 3“Bu Re …,” tukasnya seraya mengerjap-ngerjap. Perkataannya menggantung begitu saja. Ini kali kedua mereka dipertemukan tanpa sengaja. Meskipun pada pertemuan pertama, Reta tak mengenali pengemudi yang tak lain adalah Heru karena dia memakai masker. Namun, saat ini kebetulan belum dipakai lagi perlengkapan menyamarnya. “Mas Heru?” Reta pun melonjak tak kalah kaget. Rupanya pengemudi mobil online yang dipesannya adalah mantan suaminya sendiri yaitu, Heru. Keduanya berdiam diri beberapa detik, tapi kemudian suara Heru membuyarkan keadaan yang canggung itu, “Silakan naik, Reta!” “Ah iya, Mas.” Lalu Reta naik dan memilih duduk di kursi penumpang. Heru melajukan mobilnya sesuai titik. Keheningan tak bisa dielakkan hingga Reta membuka suara ketika mereka melewati sebuah pemakaman. “Dani dimakamkan di sana, Mas. Kalau hati kamu sudah gak kesal, temuilah dia. Dia anak kamu, Mas.” Deg!Ada yang seolah menghujam pada dada Heru. Dia sampai menginjak rem dan menoleh pada Reta. “D---Da
Pov 3Sepulang dari menghadiri pertunangan Mizan, hati Alisha masih tak baik-baik saja. Dia sendiri tak tahu itu perasaan apa. Jika dikatakan cinta, mungkin terlalu dini untuk Alisha mengakuinya. Besarnya adalah rasa tak percaya. Alisha tak percaya begitu cepatnya Mizan memutuskan calon pendampingnya. Meskipun dia tahu, itu tak lepas dari permintaan ibunya Mizan. Hidup harus berjalan ke depan. Alisha kembali memusatkan fokusnya pada skripsi yang tengah dihadapinya. Semua perjuangan yang selama ini dilalui, akan menjadi kurang nilainya jika hasil akhir tak memuaskan. Karena itu, Alisha benar-benar memutuskan semua hubungan dengan hal-hal yang mengganggu konstrasinya, termasuk, Gilang.Sementara itu di sudut kota lainnya, seorang perempuan tengah terisak menghadapi pusara anak lelakinya. Tubuhnya kurus dan tampak sekali banyak kerutan di wajahnya. Dialah Reta. Semenjak kejadian terserempet mobil di depan sebuah kampus beberapa waktu lalu. Dia menolak pertolongan warga. Bukan tanpa ala
Aku berjalan keluar dari gerbang kampus sambil memikirkan hal itu. Hal yang tak ingin kupikirkan tapi terpikir dengan sendirinya. Hanya saja lamunanku buyar ketika terdengar debuman yang cukup kencang disertai jeritan lalu satu mobil terseret hingga beberapa meter jauhnya dan menabrak trotoar. “Astaghfirulloh!” Aku lekas berjalan hendak mendekati orang-orang yang mulai berkerubung. Ternyata tabrakan itu melibatkan dua orang penyebrang jalan. Tampak darah bercecer di jalanan dan seketika kakikku merasa lemas. Aku berpegangan pada tiang lampu jalan dan berhenti meski belum melihat jelas kondisi korban.”Sha! Ayo naik!”Suara itu aku kenal. Benar saja, dia adalah Gilang. Aku tersenyum dan menatapnya heran, “Loh sudah pulang?” “Iya, yuk!” Dia mengangguk. “Ada yang tabrakan, Lang!” “Iya, sudah banyak yang nolong! Lo pucat kayak gitu pun. Ayo gue antar pulang! Jangan sampai korban bertambah gara-gara lo pingsan, Sha!” “Oke.” Aku pun urung mendekati kerumunan. Lagipula kakikku sudah le