Pov Salmah“Salmah … saya memang salah … tapi tolong … dengarkan penjelasan saya.” Dia menunduk. Tampak seperti putus asa. Aku bergeming. Kudengar dia memanggilku lagi. “Salmah ….” Aku menghela napas, lalu melirik ke arahnya, “Sudahlah, Pak Dirga. Apapun yang Bapak katakan tak akan mengembalikan keadaan. Saya hanya butuh waktu. Butuh waktu untuk berdamai dengan hati saya sendiri.” Suaraku melemah. Melihat wajahnya yang penuh raut penyesalan, membuatku sedikit iba. Apalagi selama aku kenal dengan dia, Pak Dirga adalah sosok orang baik. “Ya, saya tahu. Namu, setidaknya bisa mengubah sudut pandangmu terhadap saya, Salmah. Saya tak ingin kamu berpikiran yang bukan-bukan.” “Untuk apa? Sepertinya tidak perlu. Bukankah pernikahan ini pun hanya demi Adrian---anak Pak Dirga? Jadi … cukup berikan saya waktu untuk menata hari menerima semua ini. Saya, hanya terlalu shock.” “Tidak! Saya akan tetap menjelaskannya! Duduklah dan dengarkan, saya mohon, Salmah.” Dia mulai mengeluarkan sifat as
Pov Dirga[Pak Rohim, pulang saja! Saya menginap di sini! Besok pagi tolong, koper saya bawakan, ya!] Aku mengirim pesan pada Pak Rohim, supirku.[Baik, Pak. Besok saya bawakan pesanan Bapak.] Dan semua berjalan sesuai rencana. Sedikit kejutan kecil dariku tampak berhasil. Salmah terperanjat, mungkin lebih tepatnya shock melihat aku ada di dalam rumahnya sepagi ini. Tadi malam, aku sengaja memang bersembunyi di kamar Adrian. “Salmah itu terlihat keras kepala dan judes jika dia tak menyukai suatu hal, tapi percaya pada Bapak … dia itu baik, hatinya lembut dan akan mudah berubah pikiran pada hal yang menurutnya masuk akal. Ya … seperti pernikahannya kemarin dengan Rayyan … detik-detik terakhir dia menolak karena merasa dibohongi. Bisa juga ketika dia tahu kalau kamu adalah ayah kandung Adrian, dia akan melunak lebih cepat lagi.” Itulah kalimat dari Bapak mertuaku kala itu. “Bapak titip Salmah … Bapak memang baru mengenal kamu, Dirga … tapi insting seorang ayah tak akan salah. Bapak b
Pov Alisha Dulu, aku sangat ingin Ibu menikahi Om Dirga. Namun setelah aku tahu jika Om Dirga adalah ayah kandungnya Adrian, rasanya aku merasa sedih. Entah kenapa, aku malah merasa menjadi bagian yang tak penting dari mereka lagi. Adrian adalah segalanya bagi Om Dirga, dia anaknya. Sedangkan aku … apa? Aku bukan siapa-siapanya.Masuk ke sekolah bertaraf internasional ini, dulu kukira adalah benar keberuntungan karena kami rajin. Kedatangan Pak Rayyan seolah memberi kami angin segar. Namun, pada hari itu … aku tahu semuanya. Om Dirga yang bercerita kalau dia yang menyuruh Pak Rayyan mendaftarkan kami ke sini. Sungguh, semenjak hari itu aku mulai merasa semakin tak berarti. Namun, aku berjanji … aku akan belajar keras agar SMA nanti, aku benar-benar masih berada di sekolah elit ini dengan hasil usahaku sendiri, bukan dari belas kasihan Om Dirga lagi. Aku tak pernah meminta dilahirkan dari Rahim siapa, tak pernah meminta memiliki lelaki yang disebut ayah itu seperti apa. Namun, e
Pov Heru Menyesal, ya gitulah kurang lebihnya. Aku kira, ditinggalkan Salmah, tak akan berpengaruh pada hidupku. Namun, ternyata aku salah. Reta tak sebaik yang aku kira. Dia meninggalkanku ketika keuangan perusahaan sedang goyah. Reta memang cantik dan selalu membuatku terpesona. Namun, di balik semua dan semua itu pun karena aku kewalahan mengikuti gaya hidupnya. Berawal dari arisannya yang berbeda tempat setiap minggu hingga per bulan bisa mencapai puluhan juta. Belum lagi gaya hidup konsumtifnya, cicil ini dan itu. Dan yang membuat kepala hampir pecah dibuatnya. Perlahan … keuangan perusahaan terkikis. Ditambah ada perusahaan karton box baru PMA Jepang yang memunculkan produk serupa dengan harga lebih murah. Aku kelimpungan. Forecast turun drastis tanpa penjelasan yang pasti. Namun, selaku pelaku usaha aku paham. Semua orang mencari harga terbaik di pasaran. Akhirnya terpaksa, aku pun menurunkan harga pasar demi mempertahankan customer sambil memikirkan caranya menggali profit
Pov Salmah “Ehmmm! Pak Heru?” Pak Dirga datang dari dalam restoran dan menghampiri kami. Mas Heru yang sedang memluk Alisha dan Adrian mendongak. Lalu menyapa Pak Dirga seraya melepas pelukan yang tak terbalas itu. “Selamat malam, Pak Dirga!” “Malam, Pak Heru!” Mereka berbasa-basi. Aku lebih memilih jadi penonton dan tak iku campur obrolan keduanya. Tampak sekali Mas Heru berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, dari sorot mata yang semrawut dan wajahnya yang layu itu, aku tahu … dia sedang menghadapi masalah serius. Belasan tahun bersama, sedikit banyak aku sudah tahu seperti apa wataknya.Basa-basi itu berakhir dengan keterkejutan pada wajah Mas Heru ketika Pak Dirga memperkenalkanku sebagai istrinya. Lalu dengan lembut dia memanggilku dengan panggilan yang baru kudengar hari ini. “Mari Sayang!” tukasnya. Sepasang mata itu menatap lekat padaku. Lalu dia mengisyaratkanku untuk menggandeng lengannya. Aku hanya mengangguk, lalu menurut saja mengaitkan tanganku pada lengan pada
Sepulangnya ke rumah ini, aku bergegas masuk ke dalam kamar. Tak kuhiraukan lagi kejahilan-kejahilan Adrian. Aku sudah rindu, rindu pada kamarku. “Kak Icha, besok aku mau maen ke rumah Garda. Ikut gak?” “Enggak.” “Nanti Genta bawa makanan enak, gak kebagian, loh!” “Biar.” Aku baru hendak menutup pintu, ketika tangan Adrian menahannya, “Kak!” “Apalagi sih, Iaann?!” Nadaku sudah naik satu oktaf. Adrian menggaruk kepala dan nyengir kuda. “Di asrama putra, gak ada yang bawel kayak Kak Icha. Jadi puas-puasin mumpung di rumah,” kekehnya. Aku mendelik. Padahal di sekolah, kami bertemu. Hanya saja memang beda kelas dan waktu bertemu kami tak banyak. Berarti keisengannya yang meningkat berkali lipat ini karena kangen? Dasar bocah! “Udah belum ngomongnya?” Aku menatap wajah Adrian sambil berkacak pinggang. Dia tampak berpikir, tapi sekilas menatap ragu padaku. “Gak jadi, deh! Takut Kak Icha marah. Nanti aku diaduin ke Ibu. Dadah Kak Icha, mimpiin aku, ya!”“Ogah!” ketusku sambil menut
“Genta? Kok ada di sini? Tadi katanya Adrian mau ke rumah Garda sama ke rumah Kamu.” Aku menautkan alis. Genta tampak celingukkan dan menggaruk kepala. “Ahm itu, Kak … ini, aku juga mau ke rumah Garda, iya, ke rumah Garda. Ayo, naik, Kak!” tukasnya salah tingkah.Tak enak menolak ajakan Genta. Aku berniat naik, tapi rasanya masih ragu. Apalagi wajah Genta tampak seperti gugup begitu.“Kamu kayak gugup gitu, Kak Icha takut jatuhlah!” “Enggak, kok, Kak! Genta udah biasa mah naik sepeda.” “Yakin?” “Seribu persen yakin! Ayolah naik, biar Genta dapat pahala.” Akhirnya aku naik walau ragu. “Oke, kita jalan!” tukasnya seraya menggowes sepedanya dengan semangat. “Hati-hati, Ta! Awas, ya! Jangan sampai jatuh!” tekanku padanya. “Asiap Kak Icha!” Namun, baru saja bibirnya terkatup, tiba-tiba saja sepeda Genta membentur sesuatu dan menjadi oleng. Gubrak!“Aduh, Gentaaaa!” Nadaku naik satu oktaf. Kami kini terjerembab di sekokan. Genta kehilangan keseimbangan karena menabrak batu. Satu ka
Pov Salmah Aku terkejut ketika malam itu, tiba-tiba dia meminta haknya. Bukankah dia bilang pernikahan ini hanya demi Adrian, anaknya. Kenapa malam itu tiba-tiba dia meminta. Aku cukup terkejut dan bingung mengambil sikap. Sebagai orang dewasa, aku mengerti sekali seperti apa kebutuhan seorang laki-laki. Namun, pernikahan ini dimulai dengan sesuatu yang dipaksakan. Sehingga aku tak tahu harus menjawab iya atau tidak. “Kita bukan ABG, lagi, Yah. Gak perlu sayang-sayangan!” ketusku. Makin hari makin sering absurd saja kelakuannya. Dia malah terkekeh, lalu menutup pintu dan bersandar pada daunnya. Dia malah menatap wajahku lekat. “Tapi wajah kamu merona waktu aku panggil, Sayang. Hmmm … suka ‘kan?” Astaghfirulloh … Pak Dirga? Kenapa kelakuannya makin ajaib saja. Dia menunduk sampai wajahku dan wajahnya hampir tak berjarak dan menanyakan kalimat itu dalam jarak beberapa senti saja. Reflek aku mundur ke belakang, tapi lengan itu gesit menarik pinggangku. “Salmah … kapan kita baikan,
KAMI YANG DISIA-SIAKAN BAPAK, SUKSES JADI SARJANA (73)Manusia hanya bisa merencanakan. Allah yang menentukan. Di dunia ini ada dua takdir yaitu muallaq dan mubram. Aku percaya itu. Seperti garisan nasibku dan Adrian. Allah tunjukkan janjinya. Barang siapa orang yang ingin mengubah nasibnya, maka harus berusaha mengubahnya sendiri. Tertuang jelas dalam Q.S Ar-Ra’du ayat sebelas. Namun, lain halnya dengan takdir yang sudah pasti, seperti kematian. Allah memiliki kuasanya sendiri. Aku merasa hancur sehancur-hancurnya. Semua tawa indah dan penantian yang sudah setengahnya kami lewati, mendadak berubah duka. Aku terduduk di sisi pusara. Tanah merah ini masih basah. Sejak tadi tak henti kutaburi bunga bersama doa. Ibu dan Mamanya GIilang menemaniku, hari sudah senja, tapi rasanya enggan sekali aku beranjak dari sana. “Mama sama Ibu pulang saja. Sudah sore.” “Kamu juga pulang, Sha. Gilang sudah pulang ke pangkuan-Nya. Kita harus ikhlas.” Suara itu menyuruhku ikhlas, dia sendiri sejak tad
“Entar ya, Sha. Aku lagi sibuk juga. Tahu gak, hari ini surprise banget. Masa Ibuku ngenalin buat calon Bapak. Tahu gak orangnya siapa? Sopir mobil online, Sha? Ya ampuun selera Ibu jauh banget tahu, Sha. Aku masih shock ini.” Sopir mobil online? Entah kenapa … tiba-tiba aku teringat pada Bapak. Dia pun sopir mobil online juga. Ah, tapi ‘kan sopir mobil online ‘kan banyak. Memangnya, Bapak saja yang duda? Ya sudah, akhirnya aku pun tak memaksa Rifani biar dia menyelesaikan permasalahan hatinya sendiri. Yang penting usahaku sudah mulai berjalan. Siapapun dia yang sudah menginvestasikan uangnya pada usahaku. Aku hanya mendoakan, semoga segala hajatnya dipermudah. Aku pun segera menghubungi Titan. Satu laundry center pertama akhirnya kudirikan. Di sini kami menyewa sebuah bangunan ruko sederhana di tepi jalan. Untuk sistemnya, sedikit banyak aku belajar ketika pernah kerja di Pak Ramdan. Untuk sistem manajemennya, aku banyak diberikan advise oleh ayah Dirga dan juga sedikit banyak t
Dua keluarga telah sepakat. Meskipun mulai minggu depan, Gilang sudah akan mulai pergi ke Kendal, di sanalah mulai dirintisnya zona industri baru. Rupanya dia bekerja di bagian advertisement untuk sebuah developer yang tengah melebarkan jangkauan pemasaranya hingga keluar jawa barat. Ayah Dirga sempat menawari juga jika ada vacancy di perusahaannya, jika Gilang bersedia maka akan diprioritaskan. Namun, rupanya Gilang sama denganku. Dia pun memiliki prinsif untuk berdiri di atas kaki sendiri terlebih dulu. Seperginya Gilang ke Kendal. Aku teringat hal yang belum kuselesaikan. Sore itu, Ayah Dirga dan Ibu tengah menikmati ubi rebus di teras. Warung makannya sudah ada yang nungguin satu orang. Ibu bilang, ada anak tetangga yang butuh kerjaan. Jadinya Ibu pun mempekerjakannya. Walaupun awalnya memang tak berniat mencari tenaga bantuan. Soalnya Ibu membuka warung makan ini pun kalau sekarang hanya untuk mengisi waktu. Aku menghampirinya lalu duduk sambil membawa satu cangkir teh hangat.
“Baguslah dia datang sekarang? Aku hanya ingin tahu seperti apa sikapnya setelah tahu siapa ayahku yang sebenarnya? Apakah dia akan menghilang kembali seperti Mizan?” gumamku dalam diam. Gilang baru menghampiriku setelah kami selesai sesi foto. Dia tersenyum dan menatapku. Sadar akan arti tatapannya, aku segera menoleh pada Ibu. Perempuan istimewa yang selalu menempati urutan pertama di hatiku. “Bu, kenalin … ini Gilang, teman Icha!” “Gilang, Tante!” “Makasih sudah jadi teman baik buat Icha, ya!” “Ini Ayahku, dan ini Ayahku juga!” tukasku pada Bapak juga pada Ayah Dirga. “Gilang, Om!” Dia tersenyum dan menyalami Bapak juga Ayah Dirga. Lalu dia dan Adrian bersalaman juga. “Ahm … kebetulan ketemu semua di sini. Mau minta izin sekalian, apa boleh kalau keluarga Gilang silaturahmi ke rumah Om, Tante?” Aku tertegun beberapa saat. Apa tak salah dengar? “Ahm, itu pun kalau tak merepotkan.” Suara Gilang membuatku tersadar kembali, sedang di mana kami. “Silakan, Gilang. Om tunggu! Ka
Hari wisuda yang ditunggu pun akhirnya tiba. Senyum mengembang dari bibirku. Polesan make up natural tak serta merta membuat aura kebahagiaanku luntur dan kalah dengan mereka yang menggunakan make up tebal. Aku dan Ibu sudah mengenakan kebaya couple hari ini. Ayah Dirga dan Adrian tampak gagah dengan batik couple yang mereke kenakan. Kedua laki-laki yang tengah duduk bersisian itu, seperti seseorang di masa lalu dan masa depan. Wajah Adrian sangat mirip dengan Ayah Dirga, begitupun tubuh tinggi tegapnya. Adikku kini sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa. “Kita berangkat sekarang, Bu?” tanyaku ketika pintu depan sudah Ibu kuncikan. “Oke! Mari.” Ayah Dirga yang menyahut. Dia pun lekas berdiri dan melempar kunci mobil ke arah Adrian sambil bicara, “Yan, nyetir!”“Siap, Ayah Bos!”tukas Adrian sigap. Kami pun berangkat. Adrian yang menyetir. Adrian duduk di sampingnya. Aku dan Ibu duduk di kursi belakang. Wisuda diadakan di kampus. Aku duduk diam, sambil menimbang-nimbang. Kapan wak
Skripsi yang disusun akhirnya selesai. Perjuangan berdarah-darah itu patut dirayakan. Tak ada makan-makan mewah, kini Alisha, Rifani dan Titan tengah berada di kamar Titan sambil makan cuanki pedas. Kami memilih kamar Titan karena di sana ada televisi. Ruangannya sih sama saja dengan kamarku. “Slide presentasi kamu dah jadi, Sha?” Titan melirik ke arahku yang sudah menutup laptop. “Alhamdulilah, syudah …,” tukasku sambil memiringkan kepala. “Kamu, Fan?” Titan menoleh pada Rifani. “Ahm, nanti dibantuin Alisha,” tukasnya tanpa merasa bersalah. “Dih, kok aku, sih?” Aku pura-pura merajuk. Padahal ya memang sudah biasa kalau Rifani merengek seperti itu. Rahasia umum. “Eh, eh, itu kecelakaan kereta yang tadi jam enam sorean itu! Data-data korban ninggalnya sudah muncul!” Suara Titan mengalihkan fokus kami dari obrolan pada layar kaca. “Kereta jurusan surabaya keberangkatan jam lima sore ini, mengalamai kecelakaan. Setelah bertahap dilakukan evakuasi oleh petugas setempat, berikut na
Pov 3“Bu Re …,” tukasnya seraya mengerjap-ngerjap. Perkataannya menggantung begitu saja. Ini kali kedua mereka dipertemukan tanpa sengaja. Meskipun pada pertemuan pertama, Reta tak mengenali pengemudi yang tak lain adalah Heru karena dia memakai masker. Namun, saat ini kebetulan belum dipakai lagi perlengkapan menyamarnya. “Mas Heru?” Reta pun melonjak tak kalah kaget. Rupanya pengemudi mobil online yang dipesannya adalah mantan suaminya sendiri yaitu, Heru. Keduanya berdiam diri beberapa detik, tapi kemudian suara Heru membuyarkan keadaan yang canggung itu, “Silakan naik, Reta!” “Ah iya, Mas.” Lalu Reta naik dan memilih duduk di kursi penumpang. Heru melajukan mobilnya sesuai titik. Keheningan tak bisa dielakkan hingga Reta membuka suara ketika mereka melewati sebuah pemakaman. “Dani dimakamkan di sana, Mas. Kalau hati kamu sudah gak kesal, temuilah dia. Dia anak kamu, Mas.” Deg!Ada yang seolah menghujam pada dada Heru. Dia sampai menginjak rem dan menoleh pada Reta. “D---Da
Pov 3Sepulang dari menghadiri pertunangan Mizan, hati Alisha masih tak baik-baik saja. Dia sendiri tak tahu itu perasaan apa. Jika dikatakan cinta, mungkin terlalu dini untuk Alisha mengakuinya. Besarnya adalah rasa tak percaya. Alisha tak percaya begitu cepatnya Mizan memutuskan calon pendampingnya. Meskipun dia tahu, itu tak lepas dari permintaan ibunya Mizan. Hidup harus berjalan ke depan. Alisha kembali memusatkan fokusnya pada skripsi yang tengah dihadapinya. Semua perjuangan yang selama ini dilalui, akan menjadi kurang nilainya jika hasil akhir tak memuaskan. Karena itu, Alisha benar-benar memutuskan semua hubungan dengan hal-hal yang mengganggu konstrasinya, termasuk, Gilang.Sementara itu di sudut kota lainnya, seorang perempuan tengah terisak menghadapi pusara anak lelakinya. Tubuhnya kurus dan tampak sekali banyak kerutan di wajahnya. Dialah Reta. Semenjak kejadian terserempet mobil di depan sebuah kampus beberapa waktu lalu. Dia menolak pertolongan warga. Bukan tanpa ala
Aku berjalan keluar dari gerbang kampus sambil memikirkan hal itu. Hal yang tak ingin kupikirkan tapi terpikir dengan sendirinya. Hanya saja lamunanku buyar ketika terdengar debuman yang cukup kencang disertai jeritan lalu satu mobil terseret hingga beberapa meter jauhnya dan menabrak trotoar. “Astaghfirulloh!” Aku lekas berjalan hendak mendekati orang-orang yang mulai berkerubung. Ternyata tabrakan itu melibatkan dua orang penyebrang jalan. Tampak darah bercecer di jalanan dan seketika kakikku merasa lemas. Aku berpegangan pada tiang lampu jalan dan berhenti meski belum melihat jelas kondisi korban.”Sha! Ayo naik!”Suara itu aku kenal. Benar saja, dia adalah Gilang. Aku tersenyum dan menatapnya heran, “Loh sudah pulang?” “Iya, yuk!” Dia mengangguk. “Ada yang tabrakan, Lang!” “Iya, sudah banyak yang nolong! Lo pucat kayak gitu pun. Ayo gue antar pulang! Jangan sampai korban bertambah gara-gara lo pingsan, Sha!” “Oke.” Aku pun urung mendekati kerumunan. Lagipula kakikku sudah le