Sang mentari dengan gagahnya menyinari bumi. Tak ada keraguan teriknya menyengat setiap jiwa, namun tak membuat Byanca, Clara, Ken dan Rayya patah semangat untuk menunggangi kuda. Lorenzo dan Gypsy—sang kuda sudah siap menunggu mereka.
“Mi, kita naik Lorenzo saja!” Ken menarik tangan Byanca. “Hai, Lorenzo,” sapanya begitu manis.
Sementara Clara dan Rayya mulai mendekati Gypsy. “Ayo kita kalahkan Ken, Tante…” Rayya mengulurkan lidahnya ke arah Ken.
Pelatih—yang sengaja dipanggil Byanca memberi instruksi kemudian mengajak mereka beserta Lorenzo dan Gypsy untuk mengelilingi lapangan terlebih dahulu. Setelah itu barulah mereka menunggangi kuda.
Sepanjang permainan yang ada dalam bayangan Byanca adalah kenangan ia bersama Bian. Ia masih mengingat dengan jelas bagaimana Bian begitu antusias mengajarinya menunggangi kuda. Sebenarnya Byanca sudah pernah berlatih naik kuda, namun ketika bertemu Bian rasa canggungnya datang dan seketika ia tak mengingat bagaimana caranya menunggangi kuda. Begitulah terkadang dengan orang yang kita cinta, mendadak kita jadi melupakan semua kecerdasan hingga yang tersisa hanya kecanggungan.
“Mi…”
Byanca mengalihkan pandangannya kepada Ken. Anak itu sedang mengerucutkan bibir karena ternyata Clara dan Rayya sudah mendahului mereka. “Maafin, Mami, ya,” bisik Byanca. “Baiklah, anak manis kita akan kalahkan mereka.”
Ken bertepuk tangan bahagia. Ia mencengkram sisi-sisi kuda agar tak terjatuh. “Ayo, Lorenzo… Kalahkan Gypsy!!!”
Seperti mengerti, Lorenzo mulai mendahului Gypsy. Ia berlari begitu kencang meninggalkan bayang-bayang ditelan pasir. Dari arah belakang terdengar suara teriakan Rayya yang menginterupsi Gypsy agar menyusul Lorenzo, sementara Ken tertawa senang karena bisa menang.
Kejadian ini membawa Byanca kembali pada kenangan usang, ketika ia dan Bian saling berlomba dan berpacu dengan kuda masing-masing menuju garis finish. Byanca sudah bisa menebak bahwa pemenangnya pasti Bian, namun akalnya seakan mengkhianati. Ia terus berupaya agar menang. Tenang dalam mengendalikan Lorenzo adalah salah satu cara untuk menang, pikirnya.
Tanpa Byanca sadari, Bian mengintruksikan Gypsy berjalan pelan agar memberi ruang pada Lorenzo menang. Byanca tidak tahu itu, ia hanya terus memacu dan menyemangati Lorenzo sampai akhirnya Lorenzo menginjakkan garis yang telah disepakati. Bian berpura-pura kesal dengan wajah ditekuk, ia menghampiri Byanca dan merentangkan tangan. “Selamat sayang. Lain kali tidak akan kubiarkan kamu menang.”
Untuk pertama kalinya, Byanca bisa mengungguli Bian dalam menunggangi kuda. Oleh sebab itu, Byanca meminta hadiah dan tanpa diduga Bian memberikannya sebuah tiket untuk liburan. Sungguh menggelikan sekaligus menyenangkan. Namun sebelumnya, Bian memberitahu Byanca bahwa ia memang sengaja mengalah. Byanca seperti terjatuh dari kayangan. Baru saja bahagia sudah merana.
“Mi….”
Teriakan Ken membuyarkan lamunan Byanca, ia segera memasuki dunia nyata. Panik ketika menyadari bahwa Lorenzo hilang keseimbangan. Ia berjalan sedikit terburu-buru dan dapat mengakibatkan Ken dan Byanca jatuh.
“Pegang yang erat, Ken!”
Byanca menarik fokusnya pada Lorenzo agar ia tak terjatuh. Ia berusaha tenang dalam duduknya. Berusaha tetap duduk dalam posisi yang pas, tidak ke kanan maupun ke kiri. Ia juga meminta Ken agar di posisi yang sama. Tak lama setelahnya, Lorenzo mulai memelankan larinya dan di saat itulah Byanca pelan-pelan menginterupsi agar berhenti.
“Hampir saja,” leganya.
Clara dan Rayya berlari dengan kencang, “Kalian tidak apa-apa?” Clara membolak-balik badan Ken, “ Ada yang luka?”
Ken menggeleng.
“Oh… syukurlah!”
Byanca tak tahu harus berkata apa. Hampir saja ia melukai Ken. Ia lalai menjaga Ken padahal Ken berada di dekatnya. “Maafin Mami, Ken.” Byanca tanpa daya memeluk Ken. Menghirup aroma keringat yang bercampur parfum di tubuh Ken. Ia sangat lega ketika Lorenzo masih bisa diajak kerja sama.
“Lain kali anda tidak boleh melamun, Bu Byanca.” Instruktur memberikan Byanca sebuah minuman botol.
“Ya, Coach. Maaf.”
Merasa tidak ada tenaga dan selera untuk bermain kuda kembali, Byanca mengajak Ken, Clara dan Rayya memasuki rumah. Ken bersembunyi dalam gendongan Byanca, seakan tahu jika perasaan Byanca diliputi rindu akan Bian. “Mi, jangan sedih, oke?” suara halusnya menyapu telinga Byanca. Sangat pelan dan terdengar perhatian. Byanca tak mampu untuk tidak tersenyum.
Ingatan tentang Bian yang masuk tanpa permisi, hampir saja membahayakan kondisi. Byanca tak ingin mengulang kecerobohannya, namun kali ini bayangan Bian hadir kembali. Setapak yang sedang mereka jalani pernah menjadi saksi Bian menggendong Byanca dari lapangan kuda menuju rumah. Kala itu, Byanca keseleo, akibat dari kebanyakan berlari.
“By… Kamu makan apa sih sehari-hari?”
“Aku berat, ya? Turunin aja deh!”
Bukannya mengikuti perkataan Byanca, Bian justru semakin menekan punggung Byanca agar lebih menempel kepadanya. “Aku belum selesai ngomong.”
Byanca terperanjat dan hanya bergumam di telinga Bian.
“Jangan menggoda ku, By!”
Byanca menghadiahi Bian dengan pukulan ringan di lengannya. “Mesum!”
“Hahaha… kalau sama istri sendiri mah bebas.” Bian sengaja mengecohkan Byanca, ia berlari sementara Byanca dalam gendongan dibaluti rasa takut. Takut terjatuh hingga mau tak mau ia memeluk Bian dengan erat.
“Bi.. aku takut. Ngga usah lari, okey?”
Bian adalah Bian. Yang suka jahil kepada Byanca. Ia memekakan telinga dan semakin berlari kencang. “Kamu ringan. Aku tidak keberatan setiap hari gendong kamu.”
Pipi Byanca bersemu merah, bibirnya mengumbar senyuman. Jantungnya kian berdecak. Namun Bian tak dapat melihat ekspresinya itu, maka ia membenamkan wajah ke leher Bian. “I Love you,” ucapnya malu-malu.
Entah apa yang ada dalam pikiran Bian, ia semakin bersemangat berlari kencang, tak memedulikan bagaimana takutnya Byanca. Ia segera memasuki rumah tanpa salam, berjalan menuju lantai dua yang merupakan kamar mereka. “Aku sudah memperingati mu, By. Jangan menggoda ku, tapi kamu sepertinya memang sengaja. Nikmati hukumanmu, Sayang.”
Setelah itu tak ada percakapan di antaranya. Byanca sudah tahu arah percakapan mereka, maka ia memilih diam dan pasrah atas apapun yang akan dilakukan Bian. Baginya, semua yang dilakukan Bian terhadapnya adalah bentuk kasih sayang. Semua perhatian itu adalah candu yang ingin ia teguk setiap hari, setiap waktu bahkan jika bisa setiap detiknya.
“Mami memikirkan apa?” Ken memiringkan kepalanya untuk melihat langsung wajah Byanca. Ia meletakkan kedua tangannya di wajah dengan keringat itu, kemudian menyatukan hidung mereka. “Mami kangen Daddy, ya?”
Byanca tak mampu mengelak, karena berbohong dengan Ken sama saja membohongi dirinya sendiri namun ia pun tak mau mengakui secara gamblang. Jadilah ia hanya diam dan tersenyum pada Ken.
“Nanti Ken akan telepon Daddy lagi dan minta dia pulang, okey?”
Sepulang sekolah tadi memang Ken sudah menghubungi Bian. Namun, nomor Bian tak bisa dijangkau, atau sebenarnya Bian memang sengaja. Logikanya, di kota besar seperti ini mana mungkin sinyal tidak ada. Rasanya hampir di seluruh kantor memasang alat radar penangkap sinyal.
“Daddy mungkin lagi sibuk, Mi. Jangan sedih.”
Rayya kecil melambaikan tangan. Mobil jemputannya sudah tiba. Mungkin Mama Rayya sudah merindukan sang putri. Langit pun sudah merindukan mentari, kini ia ingin membawa mentari pulang dan berganti dengan rembulan.“Ada yang sedih ni.”“Siapa yang sedih?”Clara hanya mengangkat bahunya kemudian ia merosotkan tubuh ke atas sofa. “Rayya pulang, sepi pun datang.”Ken mencebikkan bibirnya. Dia tak setuju jika Rayya tiada maka rumah akan sepi. Memang gadis itu bisa apa selain menangis. Bahkan Ken masih mengingat, Rayya yang tiba-tiba menangis usai makan siang tadi. Ia terus memanggil mamanya. Untung saja Tante Clara menyimpan nomor telepon Tante Amira—Mama Rayya, jika tidak, bisa dipastikan rumah Ken banjir air mata.“Mikirin apa, Nak?” Byanca mengelus surai hitam Ken. Ia mengangkat tubuh Ken ke atas pangkuannya. Byanca sangat suka
“Daddy tadi Tante Cla menunggangi Gypsy. Tidak apa ‘kan, Dad?” Ken meletakkan ponselnya bersandar di punggung ranjang, sementara ia sedang tengkurap dengan menopang kedua tangan di dagu.Clara melirik pada Ken. Penasaran apa kiranya aduan bocah kecil ini pada ayahnya. Ia juga memerhatikan wajah Byanca yang terlihat sendu sebelum masuk ke kamar mandi. Pasti ia merindukan Bian.“Tante Cla?”Ken dengan cepat mengangguk. Ia menatap Tante Cla—meminta persetujuan agar kamera ponselnya mengarah pada Clara. Tapi, Clara menolak. Yang benar saja, ia ingin melihat wajah Bian. Memikirkannya saja Clara jadi kesal.“Oh, tidak apa dong,” segera Bian berkata karena melihat wajah putranya sendu. “Pasti seru banget main kudanya. Gypsy atau Lorenzo tidak ada yang nakal kan?”Ken menggeleng lemah. “Tidak, Dad. Hanya saja…&rdquo
“By…tepungnya yang mana?” Clara mengangkat dua buah stoples berisi tepung. Dari warnanya yang putih, Clara sangat susah membedakan antara tepung tapioka dan tepung terigu.Sejak subuh tadi, keduanya memutuskan berkolaborasi di dapur. Membuat sesuatu yang baru untuk menu sarapan. Setelah percakapan pada pukul dua dini hari, Byanca memutuskan untuk bercerita semuanya kepada Clara. Ia merincikan setiap kejadian antara dia dan Bian. Byanca juga mengaku bahwa saat ini ia sedang tidak baik-baik saja. Ada rasa sedih, kesal dan amarah yang tak tersalurkan, namun harus Byanca biarkan mengendap dalam hati saja. Kini, tak ada lagi rahasia, Byanca yakin jika Clara mampu menjaga ceritanya. Alhasil, mereka tak tidur lagi dan berakhir dengan aksi memasak.Clara bukanlah seorang wanita yang akrab dengan segala tetek bengek penghuni dapur, hanya saja ketika bersama Byanca entah mengapa ia sangat antusias memasak. Ia sangat suka melihat tan
Byanca tak berselera untuk bekerja. Ia menitipkan segala urusan perusahaan pada Nirina, asistennya. Ini baru kali pertama ia lakukan, biasanya sesibuk apapun atau secapek apapun Byanca tetap profesional. Berdiri dan menaungi perusahaan yang ia rintis sejak usia 20 tahun itu dengan senang hati. Namun, tidak dengan sekarang. Semangatnya hilang bersama angan. Ombak menenggelamkannya ke dasar laut.Menemani Ken seperti candu baginya. Berapa waktu yang ia gunakan untuk bekerja hingga tidak memperhatikan perkembangan putra semata wayangnya. Lihatlah, sekarang Ken sudah pandai berenang. Ia tak takut lagi dan terlihat lihai. Entah sejak kapan itu terjadi, Byanca tak tahu dan ia menyesal membiarkan waktu berjalan sesuka hatinya.“Ken pintar banget. Masih umur empat tahun udah jago ini itu.” Clara datang dengan membawa dua minuman kaleng untuk mereka.Clara pun sama dengan Byanca—tak berselera kerja. Clara memang
‘Abian, anak pasangan musisi David Backson dan Rentina Sarasti mengaku sudah bercerai dengan istrinya, Byanca’‘Tak ada angin, tak ada hujan. Tiba-tiba saja Bian mengumumkan sudah bercerai dengan istrinya dan akan segera melangsungkan pernikahan dengan Indira Baskoro’Tepat pada pukul sepuluh pagi, Bian menghadiri sebuah konferensi pers. Dimana ia mengakui bahwa sedang berkencan dengan Indira dan juga mengakui telah resmi menyandang status duda. Sekitar tiga bulan mendatang, mereka akan menggelar sebuah resepsi pernikahan.Tak ada raut sendu di wajah Bian, justru ia terlihat santai dan tenang. Seakan yang diaktakannya adalah sebuah kenyataan. Tidak, itu sama sekali tidak benar. Ia dan Byanca belum resmi bercerai. Bian hanya melayangkan talak lewat telepon. Byanca ingin memaki di depan Bian, setengah mati ia menahan rasa yang seenaknya dihancurkan begitu saja tanpa sisa. Bian jahat, Bian bukan Bian
Basri menghela napas berat, kemudian ia menatap Byanca. “Tidak ada. Beliau hanya berpesan bahwa rumah ini beserta isinya, villa yang ada di Bali, Appartement lama, Alphard dan Range Rover semua akan ditangguhkan atas nama anda dan Ken. Ah, iya saya lupa ia juga memberikan saham 10% atas perusahaannya untuk Ken dewasa kelak, Bu.”“Saya tidak butuh harta.” Dada Byanca naik turun menahan emosi. Apa Bian berpikir bahwa selama ini Byanca bersamanya hanya karena harta? Apa Bian tak merasakan ketulusan di hati Byanca. Keterlaluan sekali. Bian sama sekali menjijikkan dan tak punya hati. Mengapa Byanca bisa mencintai pria seperti itu.“Sampaikan pada Bian. Aku tak menginginkan harta. Yang aku inginkan adalah ia datang menemui ku dan Ken. Setidaknya ia menyampaikan maksudnya dengan baik. Aku tidak akan menahannya untuk pergi atau menghancurkan mimpi indahnya untuk menikah lagi. Tidak sama sekali. Yang aku inginkan hanya s
Yang membencimu akan semakin membenci ketika kamu dalam kerterpurukan. Tak peduli seberapa baik usahamu menyenangkannya. Karena itu semua hanya kamuflase.“Pak Bian tidak ada. Anda dilarang masuk!” Resepsionis itu — Amel mengusir Byanca dengan nada ketus. Ia bahkan berkacak pinggang seakan lupa bahwa dulu ia sangat menghormati wanita ini.“Amel jangan kurang ajar kamu. Saya mau ketemu Bian,” tekan Byanca. Ia sebenarnya bukan tipe orang yang selalu mempermalukan diri di hadapan publik. Namun, Amel terus saja menghalangi langkahnya.“Kamu yang kurang ajar. Saya sudah bilang kalau kamu tidak boleh masuk.” Amel mencengkeram tangan Byanca kemudian mendorongnya keluar.“Pak… Usir wanita ini! Dia mengganggu saja.”Seorang sekuriti berlari menghampiri Byanca dan segera menarik pergelangan tangan Byanca. Ia tak mengenal siapa se
“Kalau ada apa-apa telepon Tante, ya?” Clara mengelus rambut tebal Ken. Sebenarnya dia enggan berpisah dengan Byanca dan Ken. Ia ingin tetap bersama keduanya. Baginya, Byanca tidak hanya sahabat namun sudah seperti kerabat. Namun, dia juga setuju pada Tante Rina. Jika Byanca berlama-lama di sini yang ada ia akan semakin terluka, lebih baik ia ke Korea bersama Tante Rina, untung-untung Byanca dapat Oppa yang lebih tampan dari Bian. Biar Bian menyesal.“Nirina, aku percaya pada kamu. Tolong urus perusahaan. Sekitar dua atau tiga hari lagi seorang direktur baru akan datang. Mami mengutus keponakannya mengelola perusahaan untukku.” Byanca menyerahkan segala dokumen kepada Nirina.“Aku ingin semua aset dan sahamku ditangguhkan atas nama Ken. Tolong ya.” Byanca memiliki perasaan tak enak atas nasib perusahaannya mendatang, oleh karenanya ia sudah memberikan beberapa persiapan untuk Nirina. Setidaknya ia bisa men
Tidak ada yang bisa menerima sebuah perpisahan. Baik pisah hidup maupun mati. Semua yang pernah bersama ingin selalu bersama hingga akhir hayat bahkan di kehidupan selanjutnya. Dunia fana ini selalu diimingi dengan kebahagiaan semata. Nyatanya kebahagiaan itu semu.Renata melakukan aksinya untuk memisahkan Dewo dan Rina karena kebenciannya pada ayah Dewo, Pramasta yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, menurut Rentina sejak sahabatnya itu—Dewo—mengenal Rina waktunya sangat sedikit untuk Rentina. Hal itu semakin memupuk rasa kebenciaannya.Strategi demi strategi untuk balas dendam telah direncanakan. Salah satu yang direalisasikannya adalah masuknya orang ketiga dalam rumah tangga Dewo. Sebenarnya itu tidak murni rencananya. Rams berselingkuh dengan seorang wanita bernama Mellisa. Suatu hari, Rams mengatakan bahwa Mellisa tengah mengandung anak mereka. Rentina tidak dapat menerima itu, dia pun kesal pada Rams dan mengancam Rams atas
Rentina tersadar dari hanyutan masa lalunya. Matanya memerah menatap Dewo. Aura kebencian terpancar dari lensa hitam tersebut. Aliran darahnya seakan membuncah untuk membalaskan dendam kepada Dewo. Sialnya, rantai yang kuat ini menjeratnya.“Pramasta apa kabar?”Ini adalah kali pertama ia menyebut nama ayah Dewo tanpa menggunakan embel-embel panggilan ‘om’ untuk kesopanan. Sejak ia menyelidiki lebih lanjut ucapan mantan supirnya, Rentina tidak menelan informasi itu mentah-mentah melainkan ia menyelidiki lebih lanjut. Masih ada harapan Rentina bahwa ayah temannya itu tidak bersalah. Satu demi satu bukti dan saksi Rentina kumpulkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya bahwa kecurigaan itu adalah benar.Lalu apa yang dilakukan Rentina?Apakah ia langsung membalaskan dendamnya pada Pramasta?Tidak!!Ya, jawabannya tidak. Rentina tidak melakukan apapun kepada Pramasta karena ketika ia telah berhasil mengumpulkan semua buk
Perusahaan warisan ayah Rentina telah dikelola oleh adik kandung ayahnya sendiri yang mana nantinya akan diserahkan kepadanya. Rentina tidak terlalu mengambil berat hal itu karena ia menganggap dirinya masih belum mampu untuk mengelola perusahaan tersebut. Rentina hanya menerima hasil setiap bulan dan dimanfaatkan untuk biaya sekolahnya. Rentina sering berkunjung hanya untuk mendapatkan teka-teki atas kematian orang tuanya. Dia mulai melibatkan diri dalam pekerjaan di perusahaan. Mulanya hanya untuk memecahkan teka-teki, lama kelamaan menjadi ketertarikan untuk bekerja di sana. Rentina meminta kepada omnya untuk diajak bekerja, ia pun ingin mengambil peran dari mulai yang terendah dahulu. Rentina mempelajari setiap liku pekerjaan tersebut. Perusahaan ayah mengalami gejolak hingga hampir gulung tikar. Om Irwan, omnya mengaku sudah melakukan banyak cara untuk menstabilkan permasalahan tersebut. Permasalahan ini dipicu karena mereka salah memilih distributor. Uang yang
Flashback on“Rentina, ikhlaskan kepergian mereka!” ucap tantenya sambil memeluk tubuh remaja Rentina.Rentina mengatupkan mulutnya. Membungkam kesedihan yang membendung. Hari itu adalah hari yang sangat buruk bagi Rentina. Tak pernah ia bayangkan bahwa hari itu datang, hari dimana ia kehilangan dua orang yang disayanginya yaitu papa dan mamanya.“Tante, kata ikhlas memang mudah diucapkan tetapi, sangat sulit untuk diimplementasikan. Bagaimana aku akan menjalani hariku tanpa mereka? Aku hanya anak tunggal. Aku tak memiliki apapun dan siapapun lagi.”Rentina tahu bahwa ini kehendak Tuhan akan tetapi ia belum siap. Hati dan kepalanya terus berbicara akan sendiri yang akan dihadapinya. Rentina menekuk lututnya kemudian memeluk lutut itu, menggambarkan bahwa ia hanya bisa bertahan dengan dirinya sendiri. Hartanya adalah dirinya sendiri. Ia menangkup dan menangis sekencang-kencangnya. Para pelayat yang mengirimkan doa kepada orangtuanya
“Apa sebenarnya penyebab kalian merusak rumah tangga ku?”Rina tak mampu menahan seluruh gejolak pertanyaan yang telah dari Singapore ia pendam. Rina tak mementingkan waktu jika saat ini antara Rentina dan Dewo sedang bersitegang. Ia hanya ingin tahu agar dadanya tak sesak menahan.Mata Rentina beralih pada Rina. Alih-alih menjawab, ia justru menyunggingkan senyuman seakan mengejek Rina. Senyuman yang dulunya hangat kini menjadi tajam yang mampu menyabik hati Rina.“Karena kamu terlalu sombong, Rina.”Rina terpancing untuk menghampiri Rentina. Entah hanya sekedar mendekatkan telinganya agar memastikan bahwa ia tak salah dengar. Namun, Dewo segera mencegahnya. Dewo menarik tangan Rina dan membisikkan kata-kata penenang.Rina memejamkan mata kemudian mengatur emosinya. Ia tak boleh terpancing demi permasalahan ini cepat diselesaikan. Melihat wajah Rentina terlalu lama akan mempengaruhi kesehatan jantungnya.“Kamu
Rina menyunggingkan senyuman kepada Bian setelah mendengar teriakan Indira. Wanita itu sangat kacau dan berantakan. Rina mengira bahwa mentalnya telah terguncang. Ia mendekati Dewo dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada Indira. Dewo hanya menjawab dengan mengangkat bahunya membuat Rina menghela napas malas. Sudah dalam keadaan seperti ini pun Dewo masih sempat untuk bermain rahasia. Di hadapan Rams dan Rentina terbentang sebuah sofa panjang dengan sebuah meja di hadapannya yang berisi banyak makanan dan juga minuman. Dewo mengajak mereka semua untuk duduk. “Rentina, Rams dan Indira kehadiranku membawa mereka semua ke sini bukan untuk menghukum kalian. Aku tahu semua orang pasti pernah melakukan kesalahan tidak terkecuali diriku sendiri. Aku ingin kita menyelesaikan dengan damai dan secara kekeluargaan. Tolong akui semua kesalahan kalian!” Tak munafik bahwa kekesalan Dewo kepada tiga manusia di hadapannya sudah mengubun-ubun tetapi ia masih memiliki h
Pesawat yang ditumpangi mendarat indah di Bandar udara Soekarno Hatta. Dewo beserta rombongan segera menaiki mobil yang telah disediakan. Perjalanan selanjtunya adalah menuju tempat penyekapan Rams dan Rentina. Sepanjang perjalanan, semua tampak tak banyak bicara. Hanya diam dan menerka-nerka akan bagaimana kelanjutan cerita ini.Begitu sampai tempat penyekapan, Salim telah menunggu mereka. Ia segera mendekat dan menyapa satu-persatu. Dewo tersenyum ramah dan juga berjalan di samping Salim.“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” Siapapun pasti akan sangat penasaran. Begitu pula dengan Salim. Sudah lama ia menanti hari ini. Ia juga sudah lelah menebak konspirasi di antara semuanya.“Dimana Bema dan Brian?” Dewo berhenti dan memperhatikan sekitar. Hal tersebut juga membuat semuanya berhenti dan mengikuti arah pandang Dewo.“Aku sudah meminta mereka datang tetapi tidak tahu kemana dua anak itu.” Tak ingin membuat suasana hati
Langit cerah menutupi raut kemarahan dari dua anak manusia yang saling berhadapan dengan kondisi tubuh terikat tali. Mereka adalah Rentina dan Rams. Rentina menggerakkan tubuhnya; menggapai-gapai tangan Rams. Ia tak bisa dengan lantang menyuarakan isi kepalanya sebab mulutnya ditutupi lakban hitam yang menyebalkan.Rentina berusaha berbicara lewat mata. Sayangnya Rams nampak tak tertarik, ia memutar lehernya dan lebih memilih menatap dinding yang dipenuhi sarang laba-laba tersebut. Lebih baik melihat itu dari pada menatap Rentina dengan segala gejolak emosinya.“Apa kau tak ingin mengalahkan Dewo di dunia bisnis?” Rams mengingat dengan jelas kata-kata yang diucapkan Rentina dahulu. Kata yang menjadi mantra untuknya melakukan segala cara agar mengalahkan Dewo. Meski Dewo bukan tandingannya di dunia bisnis tetapi Rams mengal
Berdamai dengan keadaan adalah jalan yang dipilih Rina meski hati masih berbentur dengan luka masa lalu, tetapi ia begitu sadar bahwa semua karena jebakan. Rina memang mencoba untuk memaafkan Mellisa. Melihat Archi yang sedikit trauma membuat Rina merasa iba. Ia pernah melihat jiwa Byanca terguncang. Oleh sebab itu, ia tak ingin Archi juga nekat melakukan apa yang Byanca lakukan dahulu.Mellisa merasa terharu atas sikap Rina. Ia berulang mengucapkan terima kasih bahkan ia secara refelks memeluk Rina. Semua ini di luar ekspektasinya. Mellisa iri dengan Rina yang memiliki hati begitu lembut. Ia berjanji akan menjadikan dirinya lebih baik lagi untuk membalas kebaikan Rina. Untuk Dewo, ia tak akan mengejarnya lagi. Terserah pada Dewo untuk hidup seperti apa, lagi pula mereka telah berpisah sejak beberapa bulan yang lalu.Usai melepaskan pelukan Mellisa, Rina menatap Dewo dengan ekspresi tak terbaca. Dewo menaikkan sebelah alisnya tanda tak mengerti arti tatapan itu. Rina t