Ini sangat memalukan, tanpa mengatakan apapun, Nirina menutupi dadanya dan berlari tanpa pamit. Ia ingin menggali tanah dan bersembunyi di dalamnya. Kau sangat ceroboh, Nirina. Ia mengutuk dirinya sendiri.
Hingga waktunya pulang pun. Nirina memilih menundukkan kepala dan meminimalisir komunikasi diantara mereka. Ia hanya akan menjawab apa yang ditanyakan Max, sementara Max yang memahami bahwa Nirina sedang menyesali perbuatannya terlihat biasa saja. Ia tak ingin menyinggung permasalahan itu kembali dan bersikap biasa aja. Mereka tampak seperti saling menghindari tatapan satu sama lain.
Ketika sampai ke apartemen, Max segera membersihkan tubuhnya dan seketika ia mengingat Nirina. Senyuman terpatri di wajahnya. Namun segera ia enyahkan. Ia tak boleh memiliki perasaan berlebih terhadap Nirina. Itu sangat merepotkan nantinya. Ia mel
“Memangnya kenapa jika makan di pinggir jalan. Yang penting enak!” teriaknya. Mengapa orang kaya cenderung memilih makanan berdasarkan tempat berjualan bukan kepada cita rasanya. Tidakkah mereka tahu bahwa makanan di pinggir jalan kebanyakan lebih nikmat dari pada makanan mahal? Selain menawarkan harga yang ekonomis, makanan seperti itu juga beragam dan rasa sangat familiar di lidah.Huh, sudahlah! Ia tak menghiraukan persetujuan dari Max. Lebih baik ia merealisasikan keinginannya. Membayangkan bakso dengan kuah berkaldu tersebut mampu membakar tenggorokannya. Tak ingin menyiakan waktu lagi. Dengan itu, dia melangkah untuk menyeberang jalan.Max mendengar bahwa wanita di belakangnya menghentakkan kaki dan Max berpura-pura tak mendengar. Ia bersenandung kecil dan melangkah lagi, berharap wanita di belakangnya akan berlari menyusulnya.Tin.. tinBrakkkk….Seketika beberapa k
“Sebenarnya jika perusahaan itu runtuh, Om bisa mewarisinya perusahaan Om tetapi Byanca selalu menolak. Dasar keras kepala.” Dewo membayangkan wajah mungil putrinya. Ia tak pernah memanjakan diri dengan kemewahan yang ditawarkan kedua orang tuanya, padahal baik Mami maupun Papi sama-sama memiliki usaha yang sangat maju dan dia tidak mau mengambil keuntungan.“Tapi ada satu permasalahan yang ingin Om minta kamu juga membantu menanganinya,” ucap Dewo lagi.“Apakah itu tentang Bian?” tebak Max.Dan Dewo mengangguk. Max menghela napas kasar. Apa kiranya yang mampu ia lakukan.“Max kamu tahu jika Bian tak sehebat itu dalam dunia bisnis, ia juga tak punya pijakan karena perusahaan Rams juga sedang bermasalah. Aku mau kau menekannya tapi jangan buat ia sampai gulung tikar.”Kedua alis Max menyatu dengan sempurna. “Maksud Om?”“Kita hanya akan menekannya hingga ia frustrasi tetapi tak
“Opa akan datang, Mi?” Ken menanti jawaban Byanca dengan kesenagan yang tak bisa ia sembunyikan. Sejak suara ponsel ibunya berbunyi, ia sudah terbangun dan diam-diam mendengarkan percakapan diantara ibunya dan si penelepon yang ternyata adalah opanya, Dewo.Byanca tersenyum dan mengelus rambut halus Ken. “Iya, Sayang.”Ken langsung bersorak ria. Ia melompat di atas kasur. Sudah sangat lama ia tak memancing atau berkebun. Oh tidak, bermain catur juga. Bermain bola dan masih banyak lagi. Ken tentu sangat senang karena hanya Opa yang bisa mengajarinya permainan yang berbeda. Ken jadi tidak sabar menanti itu. Biasanya Opa akan membawanya bermain di luar rumah, entah mereka memulai bersepeda kemudian berkebun dan memancing lalu diakhiri dengan bermain sepak bola, yang tentunya setiap pulang ke rumah Ken akan membawa luka ringan di bagian lutut atau pun lengannya. Itu tidak masalah, justru ia senang dan nantinya Mami lah yang akan mengomel sambil meng
Byanca mengajak Dewo berbicara setelah memastikan bahwa Ken sudah tertidur. Anak itu terus saja mengoceh dan bermain dengan opanya seakan energinya tak pernah habis. Jika Byanca mengajaknya tidur, maka ia akan cemberut dan bersembunyi di dalam pelukan Dewo. Sungguh anak yang manis.“Papi apa kabar?” Byanca tampak memainkan jarinya di sisi gelas di hadapannya.“Alhamdulillah baik, Sayang. Kamu bagaimana By?”Byanca memaksakan untuk tersenyum. “Seperti ini, Pi. Baik-baik saja insyaallah.”Dewo mengelus kepala Byanca. “Sini peluk, Papi. Papi kangen.”Adalah hal yang menyulitkan bagi Byanca untuk memulai bercerita tentang permasalahannya. Oleh sebab itu Dewo hanya ingin memeluk tubuh rapuh itu.Segera Byanca beringsut ke dalam pelukan Papi. Dewo membubuhi kecupan dan mengelus rambut hingga punggung Byanca. Keadaan nyaman dan damai dirasakan Byanca. Tak terasa air
“Tapi sayangnya seseorang lebih menyukai kulit bertekstur seperti kulit buaya daripada kulit sehalus bambu.” Byanca menatap Mami dengan guratan tak enak. Ini berada di beranda umum, tidak baik untuk mengumbar aib orang lain. Bagaimana jika orangnya mendengar. “Benarkah? Saya baru tahu ada orang yang seperti itu, Nyonya?” Kini giliran pegawai spa yang memijat Mami yang berbicara. Mami menyunggingkan senyumannya. “Ya. Orang seperti itu tidak pantas dijadikan kekasih.” Entah siapa orang yang dimaksud Mami, Byanca pun tak memahami. Ia curiga jika ibunya ini sudah terbiasa menghina orang lain di belakang. Nanti, akan Byanca bicarakan dengan Mami perihal kebiasaan buruk ini yang bisa menjadi berbahaya untuknya jua. Selepas spa, Mami mendapat panggilan dari perusahaan bahwa salah satu dari desainernya mendapatkan surat panggilan dari kepolisian karena dianggap melakukan palgiat karya. Perusahaan Mami adalah perusahaan yang bergerak di bidang ritel. B
Suara ponsel Dewo mengakhiri aksi mereka. Dengan terpaksa, ia meletakkan Ken dengan posisinya nyaman yaitu bersandar di dadanya. Kemudian ia mengangkat panggilan tersebut. “Dia tidak merepotkan, Papi. Dia sangat baik hari ini.” “…..” “Hmm.. baiklah. Papi akan membawa Ken ke sana. Tolong kirimi alamatnya!” “….” “Apa Mami juga ikut?” “….” “Baiklah. Kami akan segera ke sana.&rdquo
Tok.. tok.. Baru beberapa detik, ia merebahkan tubuh di atas sofa dalam ruangannya, suara ketukan pintu membangunkannya kembali. Dengan nada malas, ia mengizinkan seseorang di balik pintu itu masuk. “Mi..” Kepala Byanca menyembul dengan cengiran di wajahnya. Ia pelan-pelan masuk karena ia mengetahui ibunya sedang tak enak badan, Byanca berinisiatif untuk memijatnya. “Mami rebahanlah, Byanca akan memijat Mami.” *** “Ken memperhatikan siapa, Nak?” Dewo mengikuti arah pandang Ken. Terhitung sudah lebih dari sepuluh menit ia melihat ke depan bahkan es krim di tangannya dibiarkan meleleh. Tak jauh dari mereka atau tepatnya di depan mereka, ada seorang anak perempuan kecil—mungkin seusia Ken—sedang bermain dengan ayahnya. Ia tertawa setiap kali ayahnya menghembuskan gelembung dan ia pun berlari dengan senang. Anak perempuan itu memakai baju gaun berpita merah jambu di pinggangnya terlihat seperti putri raja sementara ayahnya dengan gag
Rina mendengus kesal, ia turun dan segera mencubit pinggang Byanca. Bukannya mengaduh sakit, Byanca justru tertawa. “Cie, ditungguin Papi tuh.”Wajah Rina memerah tanpa harus mengoleskan blush on. Tatapannya dan Dewo saling bertemu. Ada perasaan yang tak tersampaikan lewat obrolan mata itu. Rina segera membuang muka dan dengan malas mengajak Byanca segera masuk.“Hi, Ken. Ayo masuk!” Ia mengambil sebelah tangan Ken dan menggandengnya. Sementara tangan Ken yang lain juga sedang digenggam oleh Dewo. Ken tak berniat melepaskannya dan jadilah ia digandeng oleh Opa dan Oma. Byanca tentu senang melihat itu dari belakang. Ia mengambil ponsel dan mengarahkan kamera ke arah mereka. Suatu saat nanti, ia akan mengandalkan foto ini untuk keuntungan pribadi.“Momem langka yang tak akan pernah kulupa,” ujarnya dengan bersenandung.Makan malam itu diisi dengan kecangggungan. Rina maupun Dewo tampak tak banyak bicara, hanya Ken yang be
Tidak ada yang bisa menerima sebuah perpisahan. Baik pisah hidup maupun mati. Semua yang pernah bersama ingin selalu bersama hingga akhir hayat bahkan di kehidupan selanjutnya. Dunia fana ini selalu diimingi dengan kebahagiaan semata. Nyatanya kebahagiaan itu semu.Renata melakukan aksinya untuk memisahkan Dewo dan Rina karena kebenciannya pada ayah Dewo, Pramasta yang telah merenggut nyawa kedua orang tuanya. Tidak hanya itu, menurut Rentina sejak sahabatnya itu—Dewo—mengenal Rina waktunya sangat sedikit untuk Rentina. Hal itu semakin memupuk rasa kebenciaannya.Strategi demi strategi untuk balas dendam telah direncanakan. Salah satu yang direalisasikannya adalah masuknya orang ketiga dalam rumah tangga Dewo. Sebenarnya itu tidak murni rencananya. Rams berselingkuh dengan seorang wanita bernama Mellisa. Suatu hari, Rams mengatakan bahwa Mellisa tengah mengandung anak mereka. Rentina tidak dapat menerima itu, dia pun kesal pada Rams dan mengancam Rams atas
Rentina tersadar dari hanyutan masa lalunya. Matanya memerah menatap Dewo. Aura kebencian terpancar dari lensa hitam tersebut. Aliran darahnya seakan membuncah untuk membalaskan dendam kepada Dewo. Sialnya, rantai yang kuat ini menjeratnya.“Pramasta apa kabar?”Ini adalah kali pertama ia menyebut nama ayah Dewo tanpa menggunakan embel-embel panggilan ‘om’ untuk kesopanan. Sejak ia menyelidiki lebih lanjut ucapan mantan supirnya, Rentina tidak menelan informasi itu mentah-mentah melainkan ia menyelidiki lebih lanjut. Masih ada harapan Rentina bahwa ayah temannya itu tidak bersalah. Satu demi satu bukti dan saksi Rentina kumpulkan selama bertahun-tahun hingga akhirnya bahwa kecurigaan itu adalah benar.Lalu apa yang dilakukan Rentina?Apakah ia langsung membalaskan dendamnya pada Pramasta?Tidak!!Ya, jawabannya tidak. Rentina tidak melakukan apapun kepada Pramasta karena ketika ia telah berhasil mengumpulkan semua buk
Perusahaan warisan ayah Rentina telah dikelola oleh adik kandung ayahnya sendiri yang mana nantinya akan diserahkan kepadanya. Rentina tidak terlalu mengambil berat hal itu karena ia menganggap dirinya masih belum mampu untuk mengelola perusahaan tersebut. Rentina hanya menerima hasil setiap bulan dan dimanfaatkan untuk biaya sekolahnya. Rentina sering berkunjung hanya untuk mendapatkan teka-teki atas kematian orang tuanya. Dia mulai melibatkan diri dalam pekerjaan di perusahaan. Mulanya hanya untuk memecahkan teka-teki, lama kelamaan menjadi ketertarikan untuk bekerja di sana. Rentina meminta kepada omnya untuk diajak bekerja, ia pun ingin mengambil peran dari mulai yang terendah dahulu. Rentina mempelajari setiap liku pekerjaan tersebut. Perusahaan ayah mengalami gejolak hingga hampir gulung tikar. Om Irwan, omnya mengaku sudah melakukan banyak cara untuk menstabilkan permasalahan tersebut. Permasalahan ini dipicu karena mereka salah memilih distributor. Uang yang
Flashback on“Rentina, ikhlaskan kepergian mereka!” ucap tantenya sambil memeluk tubuh remaja Rentina.Rentina mengatupkan mulutnya. Membungkam kesedihan yang membendung. Hari itu adalah hari yang sangat buruk bagi Rentina. Tak pernah ia bayangkan bahwa hari itu datang, hari dimana ia kehilangan dua orang yang disayanginya yaitu papa dan mamanya.“Tante, kata ikhlas memang mudah diucapkan tetapi, sangat sulit untuk diimplementasikan. Bagaimana aku akan menjalani hariku tanpa mereka? Aku hanya anak tunggal. Aku tak memiliki apapun dan siapapun lagi.”Rentina tahu bahwa ini kehendak Tuhan akan tetapi ia belum siap. Hati dan kepalanya terus berbicara akan sendiri yang akan dihadapinya. Rentina menekuk lututnya kemudian memeluk lutut itu, menggambarkan bahwa ia hanya bisa bertahan dengan dirinya sendiri. Hartanya adalah dirinya sendiri. Ia menangkup dan menangis sekencang-kencangnya. Para pelayat yang mengirimkan doa kepada orangtuanya
“Apa sebenarnya penyebab kalian merusak rumah tangga ku?”Rina tak mampu menahan seluruh gejolak pertanyaan yang telah dari Singapore ia pendam. Rina tak mementingkan waktu jika saat ini antara Rentina dan Dewo sedang bersitegang. Ia hanya ingin tahu agar dadanya tak sesak menahan.Mata Rentina beralih pada Rina. Alih-alih menjawab, ia justru menyunggingkan senyuman seakan mengejek Rina. Senyuman yang dulunya hangat kini menjadi tajam yang mampu menyabik hati Rina.“Karena kamu terlalu sombong, Rina.”Rina terpancing untuk menghampiri Rentina. Entah hanya sekedar mendekatkan telinganya agar memastikan bahwa ia tak salah dengar. Namun, Dewo segera mencegahnya. Dewo menarik tangan Rina dan membisikkan kata-kata penenang.Rina memejamkan mata kemudian mengatur emosinya. Ia tak boleh terpancing demi permasalahan ini cepat diselesaikan. Melihat wajah Rentina terlalu lama akan mempengaruhi kesehatan jantungnya.“Kamu
Rina menyunggingkan senyuman kepada Bian setelah mendengar teriakan Indira. Wanita itu sangat kacau dan berantakan. Rina mengira bahwa mentalnya telah terguncang. Ia mendekati Dewo dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi kepada Indira. Dewo hanya menjawab dengan mengangkat bahunya membuat Rina menghela napas malas. Sudah dalam keadaan seperti ini pun Dewo masih sempat untuk bermain rahasia. Di hadapan Rams dan Rentina terbentang sebuah sofa panjang dengan sebuah meja di hadapannya yang berisi banyak makanan dan juga minuman. Dewo mengajak mereka semua untuk duduk. “Rentina, Rams dan Indira kehadiranku membawa mereka semua ke sini bukan untuk menghukum kalian. Aku tahu semua orang pasti pernah melakukan kesalahan tidak terkecuali diriku sendiri. Aku ingin kita menyelesaikan dengan damai dan secara kekeluargaan. Tolong akui semua kesalahan kalian!” Tak munafik bahwa kekesalan Dewo kepada tiga manusia di hadapannya sudah mengubun-ubun tetapi ia masih memiliki h
Pesawat yang ditumpangi mendarat indah di Bandar udara Soekarno Hatta. Dewo beserta rombongan segera menaiki mobil yang telah disediakan. Perjalanan selanjtunya adalah menuju tempat penyekapan Rams dan Rentina. Sepanjang perjalanan, semua tampak tak banyak bicara. Hanya diam dan menerka-nerka akan bagaimana kelanjutan cerita ini.Begitu sampai tempat penyekapan, Salim telah menunggu mereka. Ia segera mendekat dan menyapa satu-persatu. Dewo tersenyum ramah dan juga berjalan di samping Salim.“Lalu, apa yang akan kau lakukan?” Siapapun pasti akan sangat penasaran. Begitu pula dengan Salim. Sudah lama ia menanti hari ini. Ia juga sudah lelah menebak konspirasi di antara semuanya.“Dimana Bema dan Brian?” Dewo berhenti dan memperhatikan sekitar. Hal tersebut juga membuat semuanya berhenti dan mengikuti arah pandang Dewo.“Aku sudah meminta mereka datang tetapi tidak tahu kemana dua anak itu.” Tak ingin membuat suasana hati
Langit cerah menutupi raut kemarahan dari dua anak manusia yang saling berhadapan dengan kondisi tubuh terikat tali. Mereka adalah Rentina dan Rams. Rentina menggerakkan tubuhnya; menggapai-gapai tangan Rams. Ia tak bisa dengan lantang menyuarakan isi kepalanya sebab mulutnya ditutupi lakban hitam yang menyebalkan.Rentina berusaha berbicara lewat mata. Sayangnya Rams nampak tak tertarik, ia memutar lehernya dan lebih memilih menatap dinding yang dipenuhi sarang laba-laba tersebut. Lebih baik melihat itu dari pada menatap Rentina dengan segala gejolak emosinya.“Apa kau tak ingin mengalahkan Dewo di dunia bisnis?” Rams mengingat dengan jelas kata-kata yang diucapkan Rentina dahulu. Kata yang menjadi mantra untuknya melakukan segala cara agar mengalahkan Dewo. Meski Dewo bukan tandingannya di dunia bisnis tetapi Rams mengal
Berdamai dengan keadaan adalah jalan yang dipilih Rina meski hati masih berbentur dengan luka masa lalu, tetapi ia begitu sadar bahwa semua karena jebakan. Rina memang mencoba untuk memaafkan Mellisa. Melihat Archi yang sedikit trauma membuat Rina merasa iba. Ia pernah melihat jiwa Byanca terguncang. Oleh sebab itu, ia tak ingin Archi juga nekat melakukan apa yang Byanca lakukan dahulu.Mellisa merasa terharu atas sikap Rina. Ia berulang mengucapkan terima kasih bahkan ia secara refelks memeluk Rina. Semua ini di luar ekspektasinya. Mellisa iri dengan Rina yang memiliki hati begitu lembut. Ia berjanji akan menjadikan dirinya lebih baik lagi untuk membalas kebaikan Rina. Untuk Dewo, ia tak akan mengejarnya lagi. Terserah pada Dewo untuk hidup seperti apa, lagi pula mereka telah berpisah sejak beberapa bulan yang lalu.Usai melepaskan pelukan Mellisa, Rina menatap Dewo dengan ekspresi tak terbaca. Dewo menaikkan sebelah alisnya tanda tak mengerti arti tatapan itu. Rina t