“Ya, Jay. Bicaralah.” Reinaldo menjauhi konter dapur di hari Minggu pagi. Ia menerima panggilan telepon dari Jay, hacker kepercayaannya dan meninggalkan Senja begitu saja. Wanita yang sedang asyik menghaluskan bumbu dengan hand blender hanya menatap punggung Rei yang menjauh, beberapa detik lalu pria itu memang menunjukkan layar ponsel sebagai pemberitahuan ia akan menerima panggilan itu. “Madam Senja bersamamu?” tanya Jay. “Hm. Dia ada di dapur. Katakan, Jay.” “Denta dan rekannya bergerak makin massive menyebar rumor melalui link media sosial. Kekasihmu akan mendapatkan pukulan terberatnya Senin bseok. Kamu yakin akan diam saja?” Rei mengetuk-ngetukkan jarinya di meja tinggi. Lalu ia mengarahkan pendangan sedikit saja ke arah Senja yang berada di balik konter dapur. Wanita itu tampak begitu cantik dan hidup. Ia memasak sambil bersenandung, memperlihatkan betapa bahagia hatinya. Tegakah ia membiarkan Senja dilukai Denta? “Sejauh apa kerusakannya?” tanyanya kemudian. “Madam Se
“Lalu, apa yang terjadi?” Reinaldo sedang berada di ruangan kantornya yang mewah. Sosok pria kurus berambut gondrong dengan kumis dan cambang awut-awutan berada di depannya. Visualnya tampak aneh di tengah kerapian dan kemewahan kantor Reinaldo. Tetapi dialah senjata rahasia Reinaldo. Hacker yang hanya mau memenuhi panggilan Reinaldo dan datang ke kantornya seperti orang tidak penting sekedar mengantarkan dokumen. “Dia sempat memperhitungkanmu. Karena di beberapa kesempatan, kamu tampil berdua dengan Senja,” jawab Jay. “Bagus!” Reinaldo menggeretakkan jemarinya dengan wajah puas. “Tetapi kemudian dia memutuskan, kamu tidak memiliki tendensi apapun dengan Senja,” lanjut Jay. “O, crap! Kenapa begitu?” “Dia lebih curiga, ini adalah salah satu perlawanan Nana Citra karena mulai diabaikan oleh Denta. Ia berpikir, Nana Citra yang masih memiliki koneksi dengan beberapa supplier Mariska Couture, membantu mengklarifikasi bahwa berita kegoncangan finansial itu tidak benar.” Senyum mirin
Konferensi pers telah usai ketika Senja bersiap melangkah keluar dari rumah modenya. Namun, sekelompok wartawan ternyata belum puas dengan penjelasan profesional Senja selama konferensi resmi. Kini mereka mengejar pendapat pribadi dan personal direktur utama sekaligus designer pertama Mariska Couture. Halaman depan rumah mode itu masih dipenuhi oleh para wartawan. Senja yang melihat dari dalam, menarik napas dan bersiap untuk menyerbu keluar, bertekad tidak akan mengeluarkan pernyataan apapun. Ia takkan terpancing lebih jauh karena merasa perlu menjaga reputasi Mariska Couture yang sebentar lagi akan bersaing di kancah internasional. “Madam tidak apa-apa?” tanya Astrimei khawatir. Senja menggeleng. “Pak Parlin sudah kau siapkan?” tanyanya kemudian. Sekarang Astrimei mengangguk. Sekretaris Senja itu tampak memeriksa ponsel. “Pak Parlin sudah di dalam mobil dan siap berangkat kapanpun Madam siap.” Senja menarik napas sekali lagi lalu mengangguk. Astrimei mendorong pintu, berdua m
Mentari musim panas sedang memeluk kota Paris ketika Senja dan rombongan Mariska Couture tiba di kota ini. Di sepanjang Sungai Seine, kerlip cahaya matahari menari di atas air. Menara Eiffel berdiri megah, seperti menara suar yang mengundang dunia untuk menyaksikan keajaiban Paris. Di tengah kota, persiapan untuk Paris Fashion Week sedang mencapai puncaknya. Butik-butik mewah di sepanjang Champs-Élysées memamerkan koleksi terbaru mereka, jendela-jendela toko dihiasi dengan gaun-gaun haute couture yang memukau. Di kafe-kafe tepi jalan, para desainer, model, dan kritikus mode berkumpul, berdiskusi tentang tren terbaru dan inspirasi artistik. Senja menatap itu semua dari mobil yang berjalan menuju ke hotel tempat ia dan rombongan menginap. Saat melewati Grand Palais, mata Senja menatap kagum. Di sinilah para desainer papan atas dunia akan memamerkan karya-karya terbaik mereka. Para model dengan langkah anggun melenggang di atas panggung, memamerkan gaun-gaun yang terbuat dari bahan-ba
Malam sebelum peragaan busana besar, Senja duduk di ruang kerja hotelnya, dikelilingi oleh sketsa dan kain-kain pilihan untuk koleksi terbarunya. Ia seharusnya fokus pada acara besok, tetapi notifikasi ponsel yang terus berbunyi membuatnya terganggu Saat ia membuka layar, matanya membelalak. Artikel dari beberapa media mode ternama di Prancis memenuhi berandanya, dengan judul yang cukup untuk membuat darahnya mendidih. “Desainer Asia dengan Reputasi Kontroversial: Kenaikan Senja Mariska dan Hubungan Misterius dengan Reinaldo Wicaksana.” Jari-jarinya gemetar saat ia mengklik salah satu artikel. [Dunia mode Paris menyambut kehadiran Senja Mariska, seorang desainer berbakat dari Indonesia, yang tiba-tiba melejit setelah perceraiannya dengan mantan suaminya, pengusaha Denta Prayudha. Namun, sumber yang dekat dengan industri menyebutkan bahwa kebangkitannya bukan semata-mata karena bakat. Ada spekulasi bahwa hubungannya dengan Reinaldo Wicaksana, investor besar yang mendukung ekspa
Senja kembali ke kamar hotelnya pada malam hari. Menara Eiffel yang memancarkan lampu berwarna warni setiap beberapa detik sekali, tak mampu menghibur Senja. Seharian ini ia telah cukup bagus memakai topeng kebahagiaan. Walaupun runway-nya berjalan cukup sukses dan Senja dielu-elukan di setiap kesempatan. Tetap saja rasanya kekhawatiran atas beritanya kemarin, menggerogoti hati. Apalagi selama sibuk seharian ini, Reinaldo juga tak menampakkan batang hidungnya. Senja mengembuskan napas berat saat membuka kamar pintu hotelnya dan melangkah masuk. “Hari yang melelahkan?” tanya Reinaldo, berdiri menyambutnya yang masih melepas satu sepatu. “Begitulah. Rasanya semua pujian itu hanya fatamorgana,” keluh Senja. “Kamu yakin?” Reinaldo mengulurkan kedua tangannya pada Senja yang telah melepas sepatu. Wanita itu melangkah masuk ke dalam pelukannya dan Reinaldo mendaratkan bibirnya ke kening Senja, seolah sudah terbiasa di sanalah tempatnya berada. “Aku punya sesuatu untuk menaikkan mood-
“Semua siap?” Senja mengedarkan pandangan k arah tim-nya. Semuanya mengangguk dengan wajah antusias. “Sebentar lagi, dunia akan melihat Mariska Couture. Semua ini terjadi bukan hanya karena aku, tetapi berkat kalian juga. Ijinkan aku mengucapkan terima kasih dari lubuk hati yang terdalam.“ Senja berkata sambil meletakkan telapak tangan di dadanya. “Sebelum mulai, mari kita berdoa untuk kelancaran acara.” Senja dan tim menundukkan kepala dengan khidmat. Berdoa menurut agama masing-masing. Jauh di sudut panggung, Reinaldo memperhatikan dengan matanya yang tajam. Ia telah mengetahui pergerakan wartawan yang mengincar Senja. Maka, ia berada di sini untuk melindungi wanita yang kini dicintainya. Saat jam pertunjukan semakin dekat, para tamu VIP mulai berdatangan. Mereka mengenakan pakaian terbaik mereka, siap menyaksikan pertunjukan mode yang akan menjadi sorotan Paris Fashion Week. Lampu-lampu terang menyorot ke panggung runway yang megah, dihiasi dekorasi menyerupai bebatuan yan
Pesta perayaan kesuksesan Mariska Couture di Paris Fashion Week malam itu berlangsung di "Le Diamant Noir," sebuah klub eksklusif yang terletak di jantung kota Paris. Para tamu yang hadir terdiri dari desainer, model, selebriti, dan tokoh-tokoh penting di dunia mode, mengenakan pakaian terbaik mereka. Gaun-gaun haute couture berkilauan di bawah lampu sorot, sementara jas-jas desainer tampak elegan dan berkelas. Aroma parfum mahal bercampur dengan aroma sampanye dan koktail eksotis, menciptakan suasana yang mewah dan menggoda. Di tengah lantai dansa, DJ memainkan musik elektronik yang enerjik. Membuat para tamu bergoyang mengikuti irama. Tawa dan obrolan terdengar di mana-mana. Beberapa model terlihat berpose untuk fotografer, sementara yang lain menikmati koktail di bar. Sebuah meja panjang dipenuhi dengan hidangan lezat. Koki-koki berbintang Michelin telah menyiapkan berbagai macam hidangan pembuka, hidangan utama, dan hidangan penutup yang menggugah selera. Foie gras, kaviar, dan
Plaak!! Tamparan itu mendarat di pipi mulus Nana Citra. Wanita itu terdorong ke belakang dan jatuh di atas tempat tidurnya. “Berani-beraninya dirimu!” dengkus Denta yang telah memerah mukanya. Citra hanya bisa menangis tanpa suara sambil memegangi pipinya yang terasa nyeri menyengat. Untung ia mendatangi rumah Denta tanpa membawa Dewi, puteri mereka. Bagaimana kalau ia sedang menggendong Dewi ketika Denta kalap begini? “Aku hanya meminta hakku, Mas,” ujarnya dengan suara bergetar. “Hak apa, bangsat!” raung Denta marah. “Aku sudah melahirkan anakmu. Aku mau dinikahi secara resmi. Itu saja.” “Omong kosong! Kamu gak bisa ngasih aku anak lakik! Menikah secara resmi? Merepotkan! Toh aku menafkahimu, kan?!” “Apa masih disebut menafkahi kalau kamu hanya memberi ketika diminta, Mas? Sebagian besar kebutuhan Dewi, aku yang memenuhinya. Aku harus bekerja. Dewi jarang melihatku dan lebih sering bersama Ibu.” Citra tak tahan lagi, mulai bersuara keras dan melawan Denta. “Berani kamu!” D
"Akhirnya, selesai juga," gumam Senja, meregangkan tubuhnya yang terasa kaku setelah berjam-jam berkutat dengan laporan pertanggungjawaban dana Milan Fashion Week. Kekurangan bekerja keluar negeri tanpa membawa asisten, ya begini. Senja harus bekerja sendiri. Ia sungguh merindukan Astrimei. Untungnya, ada Reinaldo sang tunangan yang menemaninya di sini. Pria itu tersenyum lembut sambil mengusap punggungnya. "Kamu luar biasa, Senja. Semua koleksimu memukau,proyekmu sukses. Begitu juga yang ini," puji Reinaldo, membuat senyum tak pupus dari wajah Senja. Sebenarnya, berkat Reinald jugalah ia mulus menjalankan proyek Milan Fashion Week dan kembali menjadi panggungnya untuk bersinar. "Terima kasih, Rei. Tapi sekarang, aku butuh istirahat," kata Senja, menyandarkan kepalanya di bahu Reinaldo. Mereka sedang duduk di sebuah kafe tepi kanal di distrik Navigli, menikmati sore yang cerah. "Tentu saja, Sayang. Kita punya waktu dua hari di Milan sebelum kembali ke Jakarta," kata Reinaldo, meng
“Selamat, Sayang. Acaranya sukses dan kamu tampak hebat di atas panggung tadi.” Senja yang baru turun dari panggung, kedua tangan memeluk buket besar, kerepotan menerima ucapan selamat dari Reinaldo yang terasa berlebihan. Pria itu memeluk dan menciumnya seolah ingin mempertontonkan pada dunia, bahwa dirinya hanya milik Reinaldo seorang. Meski agak risih, Senja tak mampu menolak. Ia yersenyum bahagia, kesuksesannya malam ini melampaui segala pencapaiannya sepanjang berkarir bersama Mariska Couture. “Terima kasih.” Senja berkata sambil kebingungan saat Reinaldo mengambil buket-buket bunganya dengan satu tangan sementara tangan lain meraih pinggangnya yang ramping dan merangkulnya. Senja sampa berdiri miring-miring karena ia dan Reinaldo berhimpitan nyaris tenggelam dalam buket bunga. “Mengapa aku mendapat sambutan begitu gempita?” tanyanya di tengah keriuhan tepuk tangan dari tim yang ada di belakang panggung. Senja bertanya sambil melempar senyum sana-sini. Reinaldo tetap lekat m
“Mari, kita saksikan busana-busana dari designer kenamaan Indonesia, yang membawa warna baru dalam mode dunia selaras dengan nuansa musim panas yang ceria!” Suara itu menggema di atas runway yang kosong, musik menghentak, sejurus kemudian satu persatu model kelas dunia berlenggak lenggok di atasnya. Berbaris rapi dengan fashion memukau menempel di tubuh mereka. Lampu sorot menari-nari di atas panggung megah Teatro alla Scala, menerangi gemerlap koleksi haute couture yang memukau. Di balik panggung, kesibukan luar biasa dipimpin oleh Senja Mariska sendiri. Ia melakukan supervisi untuk setiap pakaian yang dikenakan oleh model sebelum mereka dilepas berjalan di atas runway. “Madam Mariska!” Beberapa kali teriakan itu akan berkumandang, berasal dari designer-designer muda di bawah pimpinan Madamoiselle Giselle yang khusus mengundang Senja Mariska untuk berkolaborasi dengannya. “Bagaimana dengan ini?” Salah seorang designer muda mendorong model wanita dengan tinggi menjulang ke dep
"Selamat datang di Milan, Senja." Kalimat itu diucapkan dengan hangat oleh seorang pria berwajah ramah, menyambut kedatangan Senja di bandara kota mode tersebut. Pria itu adalah Marco, perwakilan dari rumah mode milik Madamoiselle Giselle yang mengundang Senja untuk memamerkan koleksi haute couture-nya di Milan Fashion Week. "Terima kasih, Marco," jawab Senja dengan senyum tipis, matanya mengamati sekeliling bandara yang ramai. Ia baru saja menempuh perjalanan panjang dari Jakarta, dan rasa lelah mulai menyergap. "Perjalanan yang panjang, ya?" tanya Marco, seolah bisa membaca pikiran Senja. Dengan gaya maskulin, ia meminta koper Senja dan membantu membawakannya. "Mari, mobil sudah menunggu. Kami akan mengantarmu ke hotel, kamu bisa beristirahat sebentar sebelum jadwal padat dimulai." Senja mengangguk, mengikuti Marco keluar dari bandara. Udara Milan yang dingin menyapa kulitnya, berbeda jauh dengan hangatnya Jakarta. Mobil mewah berwarna hitam mengkilap sudah terparkir di depan
Ketika Denta menghadapi kemelut rumah tangga keduanya. Senja sedang moncer dan mendaki karier ke level lebih tinggi. Ia sibuk menyiapkan design haute couture pesanan Madam Giselle. Ini tidak mudah. Haute couture melibatkan pembuatan pakaian yang sangat rumit dan detail, dengan menggunakan teknik jahitan tangan yang presisi dan bahan-bahan berkualitas tinggi. Bahannya pun khusus untuk pelanggan khusus. Secara sederhana, haute couture adalah puncak dari dunia mode, yang menggabungkan keahlian, kreativitas, dan eksklusivitas untuk menciptakan pakaian yang benar-benar luar biasa. Senja sedang meninjau sketsa desain bersama tim designer muda ketika Astrimei masuk ke ruang kerja dengan tablet di tangannya. "Madam, Madamoiselle Giselle baru saja mengirimkan beberapa perubahan untuk gaun haute couture-nya." Sekretaris Senja itu berjalan masuk sambil menatap tablet, hampir menabrak Arion Sylvano, designer muda paling tampan di Mariska Couture. “Ups, maaf.” “Tak apa, Nona,”sahut Arion
“Kau akan menikahinya?” Suara Yaman, pelan dan gemetar. Tak lagi menggebu-gebu seperti tadi. Matanya yang sedikit keruh, menatap tak percaya ke arah Reinaldo. Pria itu mengangguk mengiyakan pertanyaan Yaman. Kening Yaman menjadi berkerut, “Seberapa kaya kau?” tudingnya. “Paman,” keluh Senja tak kuasa, hanya bisa meletakkan dahi ke telapak tangannya. Tak mampu menatap ke arah Reinaldo. Pria yang lebih muda dari Senja itu tersenyum miring, terlihat sangat percaya diri. “Sangat kaya, Paman,” jawabnya kemudian. Yaman memincingkan mata tanda tak percaya. Reinaldo tertawa pelan. “Saya memiliki agensi sendiri, bekerja sama dengan kawan dari Amerika Serikat kamu membuka agensi model di lima kota besar dunia. New York, Barcelona, Seoul, Lyon dan Jakarta.” Yaman menganga, Senja memutar mata. Ia tahu Reinaldo berkata yang sesungguhnya, hanya saja tak merasa nyaman dengan tatapan serakah Yaman. “Keponakan Paman takkan kekurangan saat bersama saya.” Yaman mendecih, “Aku tak peduli dengann
Akhir pekan berikutnya, Senja yang tak lagi diganggu Citra, pada akhirnya mewujudkan keinginan Reinaldo untuk membawanya ke Graha Ceria Werdha, sebuah panti jompo profesional yang merawat paman satu-satunya yang telah renta. “Rei,” panggil Senja saat mereka dalam perjalan di dalam mobil. “Hm?” Reinaldo, menyetir dengan satu tangan sementara tangan yang lain memainkan jemari Senja, menjawab tanpa menoleh. “Aku hanya ingin kamu tahu lebih dulu. Bahwasanya Paman Yaman dan aku, tidak memiliki hubungan yang baik,” tutur Senja, suaranya sedikit tersekat. “Pamanmu tidak tulus merawatmu saat kamu masih kecil hingga remaja?” Itu bukan pertanyaan. Itu pernyataan dari Reinaldo. “Dari mana kamu tahu?” tanya Senja terkejut. Reinaldo memutar matanya dengan lucu. “Madam Senja, sepertinya kamu belum merasa dirimu sekarang ini sudah menjadi designer terkemuka ya?” godanya kemudian. Senja mendecak sebal lalu berupaya melepaskan tangannya dari genggaman Reinaldo. “Hey!” pria itu bersuara keberata
Citra keluar dari kafe dengan langkah tergesa, jari-jarinya mencengkeram erat ponselnya. Wajahnya masih diliputi kebingungan, tetapi di balik itu, ada bara kecil yang mulai menyala, sebuah kecurigaan yang menolak padam. Dari dalam mobilnya, Senja mengamati hasil manipulasi Reinaldo. Ia memperhatikan bagaimana Citra memasuki taksi dengan ekspresi muram. "Dia terpengaruh," gumamnya samar. Reinaldo masuk ke dalam mobil beberapa menit kemudian. Wajahnya terlihat puas. Tak sedikitpun terlihat keraguan atau rasa bersalah, malah ada kelegaan di matanya. "Semua sesuai rencanamu," kata Senja pelan. Reinaldo tidak langsung menjawab. Ia meraih dagu Senja, mengangkatnya sedikit, lalu menatapnya dalam. "Ya, Sayang. Kau bebas dari dua parasit." Senja mengembuskan napas lega. "Aku tidak tahu apakah harus lega atau bersalah, Rei. Aku merasa seperti orang jahat." Reinaldo menghela napas, lalu membelai rambut Senja dengan lembut. "Sayang, dengarkan aku." Ia menggenggam tangan Senja dengan kuat,