KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 48Pagi ini aku terbangun dengan kepala yang berat dan perut yang mual seperti diaduk. Aku tetap melakukan aktivitasku seperti biasa dan bersikap seperti biasa. "Dinda, kayaknya muka Dinda pucat," ucap suamiku. Suamiku kemudian menempelkan tangannya di dahiku. "Tapi nggak demam, apa Dinda pusing?""Nggak kok, mungkin cuma capek kemarin perjalanan jauh. Katanya, hari ini Kanda ada urusan, udah pesan taxi online belum?" "Udah, tapi Kanda khawatir sama Dinda. Kanda batalin aja ya, nggak jadi pergi." "Eh, orang aku nggak apa-apa. Kanda pergi aja ya, beneran aku nggak apa-apa." "Ya udah, Kanda pergi dulu. Assalamualaikum.""Waalaikumsalam," jawabku.Aku melanjutkan pekerjaan rumah dengan menyapu lantai, tapi baru sebagian yang aku sapu kepalaku rasanya pusing sekali. Aku berpegangan pada tembok, hampir saja terjatuh kalau tidak dipegang oleh Mbak Nisa."Kalau pusing tidur aja di kamar, biar aku yang terusin nyapunya!" Mbak Nisa mengambil alih sapu di tangan da
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 49PoV Nisa, Rasa BersalahAku sama sekali tidak mengerti dengan jalan pikiran ayah, bagaimana mungkin ayah mau menikah dengan gadis di bawah umur.Alasannya adalah anak. Ya, ayahku terobsesi dengan anak laki-laki. Sebenarnya kalau saja aku wanita yang sempurna mungkin ayah tidak akan melakukan pernikahan gil* itu.Aku hanya dikabari lewat sambungan telepon oleh ayah. Aku yang saat itu sedang berada di Australia tak bisa berbuat apa-apa. Pernikahan pun terjadi tidak ada yang hadir diantara anak-anaknya ayah. Anak kandung ayah hanya satu yaitu aku, sedangkan kedua kakaku, Mbak Tania dan Mbak Lidiya adalah anak angkat.Seandainya saja ayah menikah dengan orang yang usianya patut menjadi ibuku mungkin aku akan terima. Lah ini sama cucunya saja seumuran. Cucu ayah ada dua semuanya laki-laki. Namanya Andi dan Tristan. Beberapa hari berselang setelah pernikahan ayah aku memutuskan untuk pulang dan langsung menuju ke rumah istri baru ayah. Bukan hal yang sulit buat
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 50POV NisaAyah mengingatkan siapa saja yang belum meminta maaf pada istrinya itu. Tentu saja yang belum meminta maaf adalah kedua kakak iparku dan juga aku. Mbak Lidiya dan Mbak Tania menyuruhku untuk meminta maaf pada Seva, rasanya enggan sekali untuk meminta maaf. Buat apa? "Baiklah Nisa akan minta maaf!" Akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku. Lihat saja ayah apa yang akan Nisa lakukan untuk memenuhi keinginan ayah yang haus akan permintaan maaf untuk istri baru ayah! Aku mendekati perempuan itu, terlihat ada rasa takut pada wajahnya."Maafkan Nisa Mamih Seva, istri kesayangan Ayah yang sudah merebut segalanya dari Nisa!" Aku berlutut dihadapan Seva agar ayah puas! Lihat Yah, Nisa sakit!"Jangan seperti ini, tolong berdirilah." Seva memegang kedua bahuku yang bagiku haram jika dia menyentuhnya."Jangan sentuh aku! Meminta maaf bukan berarti kamu sudah menang! Dan untuk Ayah, selamat berbahagia. Silahkan pilih istri baru Ayah biar Nisa yang pergi!" t
KAKEK TUA itu SUAMIKUPOV NisaTiga hari berselang rencana keduaku dimulai. Ayah dan aku bersandiwara kalau bisnisnya bermasalah dan harus meninggalkan rumah beserta asetnya. Ayah memberikan pilihan pada Seva untuk tinggal bersama orang tuanya tapi dia menolak bahkan menyerahkan seluruh perhiasan dan tabungan yang dia punya untuk membantu ayah, hal itu aku dengar ketika mendengar pembicaraan mereka saat melewati kamar dengan pintu terbuka.Pukul tiga pagi kami mulai berangkat diantar Pak Agus menggunakan mobil pribadi Pak Agus. Ya, Pak Agus menjadi salah satu bagian dari sandiwara ini."Agus yakin, Nona Bos mampu melewati ujian Non Nisa." Begitu yang diucapkan Agus ketika memintanya untuk ikut bersandiwara.Rumah yang kami tuju adalah salah satu perumahan yang dibangun perusahaan ayah, dan salah satu tujuan ke kota ini juga sebenarnya ayah ada kepentingan bisnis. Seva itu terlalu polos, mengira bisnis ayah benar-benar bermasalah. "Gus, saudara kamu sementara pindah kemana?" tanya Aya
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 52Bugh!Sebuah pukulan benda keras terasa di belakang bahuku. Aku limbung tak mampu lagi menjaga kesadaranku."Dinda … Kanda mohon, bangunlah." Itu suara suamiku! Benar, itu suamiku. Ingin sekali aku bersuara tapi aku tak bisa. Ayo Seva, kamu bisa! Berusahalah! Sekuat tenaga aku mencoba membuka mataku. Perlahan, samar … Yes! Aku berhasil membuka kedua mataku. "Dinda … Dinda sudah sadar?" Aku menoleh ke samping kananku. Suamiku sedang menggenggam tanganku. "Alhamdulillah … " Suamiku memelukku erat, bahkan aku bisa merasakan air matanya yang menempel di pipiku. Aku sadar, berarti aku selamat. Nisa, dimana Mbak Nisa? "Mbak Ni—sa ma—na?" tanyaku terbata."Dasar bodo*! Kenapa malah menanyakanku? Aku disini!" Aku menoleh ke samping kiriku Mbak Nisa selamat, lega rasanya. Mbak Nisa berdiri dengan air mata mengalir di pipinya. Mbak Nisa menghambur memelukku. "Apa kamu tidak punya ota*? Masih saja memikirkanku." Mbak Nisa masih saja memarahiku sambil menangis.
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 53"Tidak, ini pasti enak. Baunya saja enak." Suamiku masih saja membujukku tapi aku justru bertambah mual dengan aroma yang keluar dari makanan itu. Aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. "Makanlah, setidaknya untuk anak kita." Benar, aku tidak boleh egois ada nyawa lain di tubuhku sekarang. Aku mencoba untuk membuka mulutku dan berusaha keras menelan satu sendok makanan. Baru saja makanan itu sampai di perut kembali makanan itu aku muntahkan. Hueek!Justru aku memuntahkan semua isi yang ada di perutku. Rasanya sampai tenggorokanku pahit. Suamiku kemudian memberikan air putih untukku tapi lagi-lagi perutku menolaknya."Sudah Kanda, aku tidak bisa melanjutkannya lagi." Aku kemudian dibantunya untuk tidur kembali. Aku pejamkan mata ini dan tanganku memijit pelipis yang terasa pening. Entah sudah berapa lama aku tertidur, di ruangan ini kini hanya ada suamiku yang sedang berdiri menatap jendela dan seorang laki-laki yang sedang membersihkan ruangan. "Ka
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 54"Jangan banyak bergerak dulu," ucap suamiku sambil mengusap bahuku sementara tanganku melingkar pada perutnya. "Aku bosan tiduran terus, aku mau duduk di sofa sambil makan mangga."Akhirnya dengan dituntun suamiku aku berhasil untuk duduk di sofa dan menikmati mangga. Sebenarnya aku kuat berjalan sendiri, suamiku saja yang terlalu khawatir."Makan mangganya pelan-pelan, Sayang" "Kanda mau?" Aku menyodorkan sepotong mangga yang masih berwarna putih pada suamiku. "Buat Dinda saja, tapi jangan banyak-banyak makan mangganya nggak bagus buat pencernaan Dinda."Aku tak menghiraukan ucapan suamiku terus saja aku menikmati mangga muda yang bagiku lebih enak dari makanan apapun. ***Seminggu berselang, hari ini aku diperbolehkan untuk pulang. Senang sekali rasanya hatiku tak sabar ingin kembali ke rumah bertemu dengan keluargaku, tapi kali ini aku pulang dengan naik pesawat tentunya dengan persetujuan dokter.Dua jam penerbangan akhirnya aku sampai di bandara d
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 55"Mamih …."Kalian?Mbak Tania dan Mbak Lidiya langsung masuk menemuiku."Apa kabar, Mamih?" tanya Mbak Lidiya dengan gaya bicara yang dibuat-buat."Baik Mbak," jawabku. "Mbak Lidiya dan Mbak Tania apa kabar?""Baik donk, kita kan baru pulang dari Australia." Siapa yang tanya coba? Mau pulang dari Australia atau dari neraka juga nggak peduli. "Mih, rumahnya gede ya, Mamih pasti suka banget ya, dulu kan rumah Mamih kecil, terus jelek banget lagi!" Aku hanya tersenyum kecut mendengarnya."Mbak Tania sama Mbak Lidiya mau ketemu sama Ayah ya?""Iya, ada di rumah nggak?" sahut Mbak Tania sambil celingukan."Ada, Mbak Nisa juga ada kalau mau ketemu.""Nisa?" "Mbak Tania, Mbak Lidiya … Kapan kalian datang?" Mbak Nisa yang baru datang bersama suamiku langsung menghampiri kami."Barusan kok Nis. Kamu kapan balik ke Indonesia, kok kami nggak tau?" Pantas saja tadi waktu aku bilang ada Mbak Nisa mereka seperti bingung, ternyata mereka nggak tau kalau Mbak Nisa sudah
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa