KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 40"Ayolah, nggak usah munafik!" Pak Bagas justru memegang tanganku. "Dinda … ada apa ini?""Kanda …"Segera aku menepis tangan Pak Bagas dan berjalan ke arah suamiku."Ayo pulang!" Suamiku menggandeng tanganku dan berjalan dengan cepat. "Gus, urus dia!" perintah suamiku pada Pak Agus, entah mau diapakan Pak Bagas nantinya.Hanya ada keheningan di dalam mobil. Aku tak berani untuk memulai obrolan terlebih dahulu. Apa suamiku marah? Apa suamiku salah paham?"Kanda … apa Kanda marah?" tanyaku saat sudah sampai di rumah."Tentu saja marah! Kenapa Dinda mau-maunya dipegang tangannya sama dia?! Apa Dinda punya hubungan dengan laki-laki itu?" Ya Tuhan, suamiku sudah salah paham. Ini pertama kali suamiku berkata dengan nada tinggi padaku. Aku nggak salah Kanda … Bulir bening jatuh di pipi, rasanya sesak, sedih. "Dinda … Sayang, hei, Kanda cuma bercanda. Jangan menangis." Suamiku kini duduk di sampingku dan meraih kepalaku."Aku nggak salah," ucapku di sela isak
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 41"Ogah! Aku nggak mau potong rambut!" Tolakku pada Riska. Lagian aneh-aneh aja tuh anak."Kalau gitu, suamimu suruh make over lagi!" Nah kan malah jadi bawa-bawa suamiku juga. Ada benarnya juga ucapan Riska, rambut Kanda perlu dirapikan lagi sama rambut nakal di wajahnya juga sudah mulai tumbuh liar. Suka geli aku tuh kalau lagi itu."Bentar aku telepon suamiku dulu." Segera aku menghubungi nomor suamiku dan mengutarakan maksudku. Untung saja suamiku setuju."Ok Ris, kita ke salon sekarang, suamiku langsung kesana." Riska langsung tersenyum dan bersiap untuk berangkat.***"Bu, Seva pergi dulu ya," pamitku pada Ibu."Nanti kesini lagi 'kan?" tanya Ibu."Nggak Bu, nanti habis dari salon sekalian pulang." "Aku ikut!" Eh kok ada suara Mbak Susi, dari tadi memangnya dia dimana."Loh Mbak, kapan datang? Kok Seva baru lihat?" Tanyaku basa-basi."Baru aja ini Va, lagi ngrengek minta duit beli kuota padahal baru tiga hari yang lalu minta eh sekarang minta lagi."
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 42Drrt Drrrt DrrrtTumben nomor rumah menelpon. Ada apa ya?'Halo, Assalamualaikum''Waalaikumsalam, Nyonya … cepat pulang, Tuan jatuh di kamar mandi!' Apa?! Ya Tuhan, Kanda …"Ris … buruan pulang!" Aku berlari menuju parkiran mobil. Pikiranku kacau, kalau saja aku bisa meminta, aku ingin bisa dalam sekali hentakkan langsung pulang ke rumah."Ada apa?" tanya Riska saat sudah di dalam mobil."Suamiku jatuh di kamar mandi. Buruan jalan!" "I—ya iya!" Mobil Riska sudah melesat dari parkiran. Tuhan, lindungi suamiku, aku tak sanggup kehilangannya."Tambah lagi kecepatannya Ris!" "Va, sabar, ini udah ngebut." Air mata dari tadi sudah banjir di pipi, aku tak tau lagi harus seperti apa. Pikiran buruk sudah terlintas di benakku."Va, suamimu punya darah tinggi nggak?" tanya Riska."Nggak! Kenapa?""Kalau orang udah tua jatuh terus punya darah tinggi bisa fatal loh." Tambah panik lagi aku mendengar ucapan Riska. "Diam, Ris! Doain yang baik-baik kenapa?" Aku semak
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 43Kuletakkan kembali paperbag itu di atas meja."Ibu sama Bapak juga punya hadiah buatmu, Va," Kotak biru persegi lumayan besar diserahkannya padaku. "Apa ini Bu? Kenapa repot-repot?""Bukan apa-apa, nanti dibuka ya, semoga Seva suka. Selama ini Ibu dan Bapak tak pernah memberikanmu hadiah apapun. Mumpung sekarang ada rejeki Ibu sama Bapak kasih ini buat kamu." Perkataan Ibu membuatku terharu, usaha Ibu sudah berkembang pesat bahkan sudah ada beberapa karyawan yang membantu. Bukan hanya katering untuk kantor tapi juga untuk acara pernikahan ataupun acara lain di gedung biasanya pakai katering Ibu. "Seno juga punya kado buat Mbak Seva." Tak kalah dengan yang lainnya, Seno memberikanku kado dalam kotak berwarna merah."Adikku nggak mau kalah ini, makasih ya sayang" Aku hendak mencium kening Seno tapi malah Seno menolaknya."Malu Mbak, Seno udah gede." Ah iya lupa Seno sudah beranjak remaja sekarang, tingginya saja sudah sama denganku.Pukul sepuluh malam mere
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 44Hari ini aku bersiap untuk jemput Riska di kampus. Sekalian perkenalan nantinya aku juga akan mendaftar di kampus Riska. Ya, dulu memang aku dan Riska satu kampus, tapi semenjak aku di keluarkan dari kampus Riska juga ikut pindah. Entah apa alasannya. Rencananya aku akan masuk ke Universitas Persada, tempat kuliah Riska yang sekarang.[ Jadi jemput? Aku di depan fakultas teknik. ] Pesan dari Riska.[ Lagi di jalan bentar lagi nyampe ] send.Nah itu dia Riska, segera aku menepikan mobilku.Pintu mobil dibuka Riska kemudian Riska masuk. Riska langsung menjatuhkan bobot tubuhnya di kursi mobil. "Hari yang melelahkan untuk jiwa yang sepi, Va," ucap Riska."Kaya judul film deh," sahutku."Bukan Va, itu pantun," sahut Riska. Aku terkekeh mendengar jawaban Riska."Kenapa?" tanyaku."Dosennya aduhai gantengnya tapi galaknya luar biasa, ngalahin emak-emak yang lagi baca!" "Nah itu ada kata-kata ganteng, bisa kan dijadiin pacar buat kamu, daripada jomblo terus" sa
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 45Tunggu!" Nisa menghentikan langkahku. "Aku mau pakai mobil itu, mana kuncinya?!" Tangan Mbak Nisa sudah menengadah meminta kunci. Aku yang sudah terburu-buru langsung saja menyerahkannya, toh bisa pakai kendaraan lain. "Ini Mbak, Seva permisi dulu. Assalamualaikum." Kulangkahkan kakiku menuju gerbang meminta satpam membukakan pintu."Nyonya, mau kemana? Nggak bawa mobil?" tanya satpam rumah."Mau ke rumah ibu, Pak," jawabku. "Motor itu punya siapa Pak?" Pandanganku tertuju pada motor yang terparkir di sebelah pos satpam."Motor saya, ada apa ya?" "Aku pinjam sebentar boleh nggak?""Boleh banget, sebentar saya ambil kuncinya dulu." Pak Satpam kemudian berbalik untuk mengambil kunci. "Ini Nyonya, kuncinya." Diserahkannya kunci motor itu padaku."Terimakasih ya Pak, nanti aku penuhin bensinnya." Segera aku meluncur ke rumah ibu, rasanya perasaanku was-was memikirkan Bapak."Assalamualaikum, Bu … Pak," ucapku saat sampai di rumah."Waalaikumsalam, sudah sa
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 46"Ayo keluar, Nisa tadi lagi masak sama Ibumu." Aku tertegun, tak percaya dengan ucapan suamiku. Suamiku lantas meraih tanganku dan berjalan ke luar kamar. Benar saja, Mbak Nisa sekarang terlihat sedang menyiapkan makanan di atas tikar di depan ruang tv. Bapak, Pak Agus dan Seno juga sudah siap duduk di atas tikar."Ayo semua, sekarang kita makan bersama ya, Nak Nisa juga duduk di atas tikar. Maaf ya mejanya nggak muat jadi kita makannya di atas tikar." Ibu terlihat membawa teko berisi air teh panas dan juga gelas di tangannya. Terlihat makanan di atas tikar sudah tersaji. Ada sayur sop, bakso yang tadi aku beli, ayam goreng, ikan goreng, oseng kangkung, sambal, tahu dan tempe goreng juga lalapan sudah siap semua.Sekarang kita semua sudah duduk melingkar di atas tikar. Mbak Nisa duduk disamping Ibuku, dia terlihat akrab dengan Ibu bahkan sesekali tertawa bersama Ibu. "Ini hasil masakan Nak Nisa loh," ucap Ibu. Mbak Nisa yang dipuji Ini langsung tersenyum
KAKEK TUA itu SUAMIKUBab 47"Duh, kok gerah banget sih!" Nisa ke luar kamar sambil memegang kertas yang digunakannya untuk kipasan."Kan nggak ada AC Mbak, jadinya gerah." Mbak Nisa kemudian duduk di kursi ruang tamu. Kursi dari kayu yang tidak ada empuknya sama sekali."Laper nih, ada makanan nggak?" tanya Mbak Nisa. Sampai lupa aku, kalau dari tadi sejak sampai disini kita belum makan sama sekali. Aku ingat, tadi sepertinya ada warung saat aku masuk ke perumahan."Sebentar Mbak, Seva ke warung dulu." Bergegas aku ke kamar mengambil uang yang tersisa dan menuju ke warung. Perumahan ini sepertinya masih baru, hanya ada sedikit rumah yang baru dihuni, terlihat dari adanya jemuran di depan rumah.Akhirnya, setelah berjalan cukup melelahkan aku sampai di warung yang bercat warna biru. "Permisi … Assalamualaikum," ucapku saat di depan pintu warung."Waalaikumsalam, silahkan Neng," jawab seorang wanita seumuran Ibu. "Mbak, yang warga baru ya? Saudaranya Agus?" Aku mengernyitkan kedua al
"Cie yang sudah jadi CEO," ledek Riska saat aku sampai di kantor. "Kamu tahu?" Riska mengangguk." Tristan yang cerita semalam." "Kenapa bukan Tristan saja yang menggantikanku? Kenapa Andi?" "Andi itu di Australia pimpinan tertinggi perusahaan Va, sekarang beralih pada Mas Ivan. Andi dipindah tugaskan balik kesini jadi presiden direktur menggantikan kamu" jelas Riska. "Nggak tau aku maunya suamiku, bisa-bisanya mengundurkan diri nggak bilang-bilang." "Suamimu ingin yang terbaik buatmu Va, yakin itu," ucap Riska. *** Malam ini udara terasa dingin, bahkan pendingin ruangan tidak aku nyalakan. "Masih banyak kerjaannya?" tanya suamiku yang melihatku masih sibuk di depan laptop. "Nggak, bentar lagi selesai. Lagian kenapa Kanda harus mundur sih? Kalau nggak kenapa bukan Tristan aja yang jadi CEO?" Aku kemudian mematikan laptopku, pertanda aku sudah selesai mengerjakan pekerjaanku. Di dada bidang suamiku aku sandarkan kepalaku. "Kanda hanya ingin istirahat Dinda, Kanda mau m
"Iya, ini aku. Kenapa? Kamu kaget?" Sejujurnya iya, aku sangat kaget. Dari gelagatnya, sepertinya Mbak Susi punya niat tidak baik sama aku. "Mbak Susi mau apa?" "Mau main-main sebentar sama kamu," sahut Mbak Susi. "Apa maksud Mbak Susi?" "Aku cuma mau tau, kalau wajahmu itu sudah nggak cantik, apa suamimu masih mau sama kamu?" Aku semakin bingung dengan ucapan Mbak Susi. Mbak Susi terlihat sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. Pintu toilet yang tadinya tertutup kini terbuka semuanya. Namun yang keluar bukan wanita, tapi justru Pakde Parmin juga dengan tiga orang polisi lain, hanya satu yang wanita dia adalah Riska. Mbak Susi yang masih sibuk dengan tasnya tak sadar jika Pakde Parmin dan ketiga polisi datang mendekat, ketiga polisi bahkan langsung menyergap Mbak Susi dari belakang. Mbak Susi kaget, dan berusaha memberontak. "Lepas! Lepaskan aku!" "Kamu nggak akan bisa lepas sekarang," sahut Pakde Parmin. "Bapak tega, menangkap anak Bapak sendiri?" "Bapak harus teg
Sesampainya di parkiran aku dan Riska bergegas untuk turun. Langsung menuju ke lantai lima. Di depan ruanganku aku dan Riska kemudian berpisah. Riska ke divisinya sendiri dan aku masuk ke ruanganku sendiri.Hari itu aku lewati seperti biasa, memeriksa laporan dan menandatangani berkas. Ting Pesan masuk ke ponselku. Nomor baru lagi. Apa ini Mbak Susi lagi ya? Aku segera membukanya. Benar dia lagi yang mengirimku pesan.[ KAMU PIKIR AKU TAKUT DENGAN BODYGUARDMU YANG BERTAMBAH BANYAK? NGGAK! KAMU SALAH! ] [ Mau kamu sebenarnya apa, Mbak? Aku rasa aku nggak pernah mengusikmu, mengganggumu. ] Kubalas pesan dari Mbak Susi. Sudah muak rasanya mendiamkannya.[ BERANI JUGA KAMU MEMBALAS PESANKU. AKU MAU KAMU MENDERITA! AKU TIDAK RELA JIKA KAMU BAHAGIA! ] Mbak Susi kemudian mengirimkan sebuah foto padaku. Foto mobil Tristan yang tadi pagi aku tumpangi. Ya Tuhan, bahkan Mbak Susi tau jika aku ikut mobilnya Tristan.Aku segera keluar dari ruanganku dengan buru-buru dan menuju ke ruangan Tris
"Jangan begitu Bude. Bude nggak usah merasa bersalah. Kita doakan saja semoga Mbak Susi secepatnya kembali ke jalan yang benar." "Bude sudah berusaha menghubungi nomor Susi tapi tidak ada yang bisa." "Sudahlah Bude, suatu saat Mbak Susi pasti mencari Bude. Bagaimanapun juga seorang anak pasti suatu hari butuh ibunya. Ehm, Bude minta tolong siapkan buah ya," pintaku pada Bude. Bude kemudian beranjak menuju ke dapur menyiapkan apa yang aku minta. "Assalamualaikum …!" Terdengar suara seseorang yang selama beberapa hari ini menghilang. Suara yang aku rindukan. "Waalaikumsalam," jawabku seraya menyambut Riska. Riska langsung memelukku erat. "Kangen banget sama kamu, Va," ucap Riska. "Ah, aku nggak, biasa aja!" jawabku bohong. Riska kemudian mendorongku. "Tega banget kamu!" Aku menarik tangan Riska kemudian merangkulnya. "Gitu aja ngambek. Ya kangen lah," lanjutku. Tak lama berselang, Tristan datang. "Tiap hari dia minta pulang, katanya kangen si kembar, kangen kamu, kangen Bi R
Pagi ini, aku tengah bersiap pergi ke kantor. Jadwal sudah dikirim lewat email oleh Nana–sekretarisku. "Kanda, mungkin nanti aku pulangnya sore," ucapku pada suamiku. Suamiku sekarang lebih banyak di rumah. Hanya sesekali ke kantor itupun tidak lama. "Apa Dinda sibuk?" "Lumayan, ada berkas yang harus aku pelajari dari hasil meeting kemarin, juga ada meeting dengan klien siang nanti." Pekerjaan yang kemarin tertunda karena sibuk dengan kasus Seno, kini harus menumpuk pada hari ini. Biasanya ada Riska dan Tristan yang menghandle, tapi mereka baru akan kembali tiga hari lagi. Dari foto yang dikirim Riska, terlihat dia sangat bahagia. Syukurlah, aku ikut senang melihatnya. Sebenarnya ada rasa kehilangan beberapa hari tidak mendengar suara khas Riska. Untung saja besok setelah honeymoon mereka akan tinggal disini terlebih dahulu. Kali ini aku setuju dengan hadiah rumah yang besar dari suamiku, bisa menampung orang banyak. "Jangan terlalu capek, kalau ada apa-apa hubungi Kanda." Sua
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, saat semua prosedur pembebasan Seno telah selesai. Dengan langkah yang gembira Seno berjalan menuju ke mobil."Aku lapar," ucapku saat diperjalanan menuju pulang."Saya juga lapar, Nona Bos," sahut Pak Agus. "Kanda juga, dari siang belum makan," imbuh suamiku. "Ha ha ha." Kami semua tergelak tertawa bersama. Saking fokusnya pada Seno kami lupa mengisi perut kami.Sebelum sampai rumah, kami memutuskan untuk terlebih dahulu membeli makanan untuk dibawa pulang. Menu yang paling disukai oleh anak-anak. Ayam goreng tepung kriuk-kriuk begitu anaku menyebutnya. "Pak Agus, bagikan juga makanannya pada bodyguard serta yang lainnya ya." "Siap, Nona Bos," sahut Pak Agus."Om Seno …!" teriak Arthur saat melihat Seno masuk ke rumah. Dia langsung meminta Seno untuk menggendongnya. Padahal Arthur sudah berusia enam tahun tapi tetap saja jika ada Seno ataupun Tristan dia akan langsung minta gendong. Berbeda dengan Alvina, dia hanya akan memeluk Seno dan memi
Mendengar perintah suamiku, anak buah suamiku dengan cekatan langsung mengambil laptop dan menyalakannya. Aku dan suamiku kemudian duduk di kursi tepat di hadapan mereka.Raut wajah mereka berubah pucat setelah melihat putaran rekaman CCTV. Salah satu dari mereka memang tidak terlihat jelas wajahnya tapi jika dilihat dari rekaman CCTV mobil Seno akan sangat terlihat jelas."Apa mereka pelakunya, Va?" tanya Pakde Parmin. "Iya Pakde, tapi mereka belum mau mengaku.""Apa kalian masih mau menyangkal setelah melihat rekaman itu?" Lanjut suamiku bertanya.Mereka berdua saling pandang satu sama lain. Keringat bahkan sudah terlihat jelas mengalir pada wajah mereka. Mereka tentu saja takut, tidak ada celah lagi buat mereka untuk menghindar."Kalian mau menjawabnya atau anak buah saya yang bertindak?" ancam suamiku.Bodyguard di belakang mereka bahkan sudah menarik baju bagian leher mereka. "A—ampun, saya akan mengatakannya," ucap laki-laki berkaos putih dengan mimik wajah ketakutan."Kataka
Percakapan dengan Aldo sengaja aku keraskan volumenya, agar satu ruangan ini bisa mendengarnya. "Bagaimana ini, Kanda?" "Tenanglah, sudah ada titik terang," jawab suamiku. "Kalian, segera bawa kesini dua orang yang menanyakan alamat pada Aldo!" Perintah suamiku pada anak buahnya. "Siap Bos!" jawab mereka serempak. Aku terus mondar-mandir di teras, menanti kedatangan Pakde Parmin dan Pak Agus. "Dinda, sini duduk. Jangan mondar mandir terus seperti itu," titah suamiku. Aku tak menggubrisnya, terus saja aku melangkah maju lalu kembali lagi. "Dinda …." Lagi, suamiku memanggil namaku. Mau tak mau aku menurutinya, duduk di samping suamiku di kursi teras. Tiiin Tiin Terdengar klakson mobil di depan, dengan segera Pak Satpam membuka pintu gerbang. Pertama masuk adalah mobil sedan hitam milik suamiku, disusul kemudian mobil sport milik Seno. Aku sangat penasaran dengan mobil Seno, bahkan sebelum mobil itu berhenti aku sudah berlari menghampirinya. Pintu mobil Seno terbuka, kelua
"Dia dituduh membawa narkoba Mbak," jawab Ibu."Nggak mungkin Seno seperti itu, ini pasti ada kesalahan, atau mungkin ada yang menjebaknya!" "Permisi Bos, mereka sudah datang," ucap Pak Agus. "Suruh mereka tunggu di ruang tamu.""Siap, Bos."Suamiku kemudian meletakkan sendoknya, meminum air putih yang ada di depannya, kemudian beranjak dan meninggalkan meja makan."Bude, tolong temani Ibu ya," pintaku pada Bude Ratmi. Aku kemudian menyusul suamiku, menemui orang-orang suruhan suamiku."Aku berikan tugas untuk kalian minta rekaman CCTV hari ini yang ada di toko buku Pelita, kafe Remaja juga di sekitar kampus Seno. Selidiki juga teman yang bersama Seno!" titah suamiku. "Akan ku kirim foto Seno pada kalian!""Siap Bos!" sahut mereka serempak. Lima orang dengan pawakan tinggi kekar kini beranjak dan meninggalkan ruang tamu.***Keesokan harinya, aku tengah bersiap untuk menemani Ibu ke kantor polisi. Semua jadwal kantor sudah aku serahkan dengan Pak Ilyas, direktur keuangan pada perusa