Brandon berhasil menjauh dua langkah dari Arini begitu pintu dibuka dari luar. Wanita itu cekatan sekali, langsung mendorongnya sebelum pintu dibuka. Bisa bahaya jika Sandy atau orang yang datang bersamanya, melihat mereka berpelukan bahkan berciuman.“Lho Arini sedang di sini?” seru Sandy begitu tiba di ruangan. Pria itu berusaha untuk terlihat santai, meski tersirat nada ketus pada suaranya.“Iya, Om. Mau … ucapkan selamat datang sama Brandon,” sahut Arini gugup. Jantungnya nyaris saja meloncat ke tenggorokan, membuat mulut mendadak kering.Sandy tertawa seraya menggerakkan jari telunjuk ke arah Brandon dan Arini dengan gerakan singkat. Kemudian, ia melirik pria yang berdiri di sampingnya.“Mereka memang dekat sekali dari dulu, Mas Ilham,” infonya semringah.Ilham—ayah Sheila—tidak segera merespons perkataan Sandy. Tilikan matanya menatap Arini dari ujung rambut hingga kaki, lalu kembali lagi ke wajah wanita itu. Dia mematut lekat paras tirus yang cantik itu, sebelum mengulas senyum
Arini menelusuri netra hitam Brandon yang memancarkan harapan tinggi. Jelas terlihat pria itu menginginkannya untuk ikut serta di acara makan malam hari ini. Namun, ia tidak ingin datang karena enggan mendengarkan pembicaraan seputar pernikahan suaminya dengan Sheila. Tentu saja keluarga besar Dirgantoro akan membahas masalah itu di meja makan.“Lo aja yang pergi ya, Bran. Gue di apartemen aja tunggu lo pulang.” Arini akhirnya memecah keheningan yang tercipta di antara mereka. “Lagian kehadiran gue juga nggak penting. Aneh aja lagi gue datang ke sana.”Brandon menggeleng tegas. “Jangan lupa. Bokap Sheila yang genit itu suruh lo datang juga.”Desahan keras keluar dari sela bibir Brandon, sesaat kemudian rahangnya mengeras. “Dia kayaknya tertarik sama lo. Dari tadi bikin gue kesal.”“Makanya lebih baik gue nggak datang.” Arini memegang dada bidang Brandon yang ditutup kemeja dan dilapisi jas. “Nanti ada yang panas kalau gue datang gara-gara dilirik papanya Sheila.”Wanita itu tahu persi
Arini memaki dirinya sendiri karena lupa dengan cincin tunangan yang dibuang Brandon setelah acara dilakukan. Bagaimana ia sampai tidak ingat hal sepenting itu? Bisa bahaya jika keluarga Sheila tidak melihat cincin tunangan yang melingkar di jari manis Brandon. Apalagi ada cincin lain yang melekat di jari manis kanannya.Dia langsung memberi kode kepada Brandon agar melepas cincin pernikahan. Arini juga sudah menyiapkan jawaban, jika orang tua Sheila menanyakan cincin tunangan yang tidak ada di jari manis pria itu. Namun, jika mereka mengetahui ada cincin yang sama dikenakan Arini dan Brandon, ceritanya akan berbeda.Bukannya menanggapi, Brandon malah mengabaikan sinyal yang diberikan Arini. Tentu saja hal itu membuatnya kesal. Apalagi sang suami malah melenggang dengan santai menuju meja makan. Dia hanya bisa mengamati gerak-gerik Bran yang mengarah ke tempat duduk Sheila.Arini melangkah ke dekat kursi yang akan ditempati Brandon seraya melepaskan cincin. Dalam hitungan detik, beda
Waktu lima belas menit berjalan bagaikan siput bagi Brandon. Seperti apa yang dikatakan oleh kebanyakan orang, ketika bersama dengan orang yang tidak disukai maka jalannya waktu terasa sangat lambat. Begitu juga sebaliknya. Dia tidak pernah merasa seperti ini ketika menghabiskan waktu bersama dengan Arini.Brandon ingin sekali mengakhiri pertemuan ini secepatnya dan kembali ke pelukan wanita yang sangat dicintai. Sedang apa dia sekarang? Dan apa yang sedang Arini bicarakan dengan Ade di taman belakang? Itulah yang bergelayut memenuhi otaknya.Selama duduk di ruang tamu, Brandon tidak banyak bicara. Percakapan didominasi oleh Ilham dan istrinya. Lelaki itu bahkan tidak tahu siapa nama calon ibu mertuanya. Padahal mereka telah berkenalan saat acara pertunangan. Brandon tidak ambil pusing dan tidak ingin juga mencari tahu siapa nama wanita paruh baya tersebut.“Papa mau kalian tinggal di rumah ini setelah menikah.”Pandangan Brandon terangkat mendengar kalimat yang dilontarkan Ilham baru
AriniSepuluh hari menjelang pernikahan Brandon dan Sheila, membuat jiwa Arini semakin tidak tenang. Bukan hanya bayangan akad nikah yang bergelayut di pikirannya, tapi juga kedatangan sang ibu lima hari sebelum tanggal pernikahan Brandon dan Sheila.Arini panik luar biasa ketika mengetahui niat Asma datang ke Jakarta bulan lalu. Bagaimana jika ibunya tahu kalau Brandon menikah lagi dengan wanita lain? Terlebih lagi tanggapan Yunus saat tahu putrinya akan dimadu. Tentu pria paruh baya tersebut merasa menang, karena sudah menduga hal ini akan terjadi. Mengikat rekam jejak Brandon yang terlanjur buruk di matanya.Tidak! Arini tidak akan membiarkan itu terjadi. Sebisa mungkin, ia harus merahasiakannya dari Asma.“Jangan khawatir, Sayang. Mama Asma nggak akan tahu.”“Kalau Mama tanya ke mana kita seharian gimana?”“Bilang aja kondangan ke luar kota atau ke mana gitu.”Pada akhirnya mereka mencapai kata sepakat untuk tidak membahas masalah itu terlebih dahulu. Masih ada waktu satu bulan le
BrandonSebulan lebih menjalani peran sebagai direktur pelaksana, Brandon mulai bisa menyesuaikan diri dengan ritme kerja. Apalagi ada Habib yang sedia membantu. Pada awalnya ia merasa minder dengan kharisma dan kepintaran yang dimiliki sang sekretaris, tapi sekarang tidak lagi.Rasa cemburu yang sempat menguasai diri, kini menguap begitu saja setelah melihat tidak ada gelagat ketertarikan yang ditunjukkan Habib terhadap Arini. Sikap duda beranak satu itu profesional dan loyal. Benar-benar murni bekerja untuk Lisa dan Brandon.Suara ketukan pintu menyela kesibukan Brandon saat membaca berbagai laporan yang diserahkan Habib tadi pagi. Pandangannya tegak ke arah pintu, tampak bayangan Habib berdiri di balik tirai horizontal.“Masuk, Pak,” sahut Brandon mengalihkan perhatian dari dokumen.Dalam hitungan detik, Habib muncul di sela pintu. “Maaf, Pak. Ada yang mau bertemu.”“Siapa?” Kening Brandon mengernyit. Biasanya Arini yang kerap datang ke ruangannya, dan tidak perlu izin untuk masuk
Arini tampak sibuk mempersiapkan keperluan yang akan dibawa ke puncak sejak tadi pagi. Hari ini ia dan Brandon akan memenuhi undangan menginap di vila keluarga Dirgantoro, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Sheila beberapa hari lalu. Tidak ada salahnya menerima undangan tersebut, hitung-hitung bisa mengenal lebih dekat calon madunya.Ah, jika teringat lagi dengan hitungan hari menjelang pernikahan itu, sungguh membuat Arini gusar. Namun, ia tidak punya pilihan lain. Satu-satunya yang bisa dilakukannya adalah memberi kepercayaan penuh kepada Brandon dan Sheila. Yakin, mereka tidak akan jatuh cinta di kemudian hari.Kelelahan membuat Arini ketiduran di sepanjang jalan menuju vila yang ada di daerah puncak Bogor. Dia sampai membiarkan Brandon mengemudi seorang diri, tanpa ditemani cerita selama satu jam. Seakan mengerti, sang suami juga membiarkannya beristirahat.Brandon menengok ke kursi kemudi, kemudian membelai lembut kepala Arini yang terkulai ke kanan. Senyum terulas di wajah
Udara di sekeliling Arini mendadak lenyap ketika Sheila memergoki cincin yang melingkar di jari manis. Dia merutuk kesal pada diri sendiri, karena kecerobohan tidak melepaskan cincin itu sebelum memasuki vila. Atau bahkan melepaskannya sebelum berangkat.Pandangan manik cokelat itu beranjak ke arah Brandon yang tampak santai. Tidak seperti dirinya yang ketakutan setengah mati. Bagaimana tidak, jika Sheila tahu tentang status Arini dan Brandon sekarang, sudah pasti pernikahan akan dibatalkan.“Tangan lo, Rin,” kata Sheila melihat Arini bergeming.Wanita berambut pendek itu berdiri, kemudian melangkah ke tempat Arini dan Brandon duduk. Dengan sigap, Sheila menepis tangan Arini yang menutup jari manisnya. Dia melirik jari Brandon, lantas mendekatkannya ke jari lentik dan panjang itu.“Ini cincin nikah, ‘kan?” desisnya masih memperhatikan kedua cincin itu.Arini tetap bungkam, sedangkan Brandon menatap istrinya datar.“Rin?” desak Sheila masih memegang jari mereka berdua.Wajah Arini berp
LISAAku menatap nanar sesosok tubuh yang kini terbaring lemah di tempat tidur ruangan ICU. Pria yang menjadi cinta dalam hidup dan ayah dari putraku tak sadarkan diri dua minggu belakangan. Mas Sandy pingsan setelah Bran menyerahkan bukti penggelapan dana yang melibatkan istri mudanya, Ayu.Kalian benar, selama enam tahun belakangan diri ini dimadu olehnya. Aku tak pernah mendunga sebelumnya Mas Sandy akan mengkhianati cinta kami dengan menikahi wanita lain yang usianya jauh lebih muda dariku, apalagi seusia dengan putra kami, Brandon.Jangan ditanya lagi betapa hancur hati ini saat tahu dia menikah lagi, tapi ternyata itu tak mampu membuatku membencinya. Rumah tangga yang kami bina selama dua puluh lima tahun dengan penuh cinta mampu membuatku memaafkannya. Ya, aku sangat mencintai pria itu.“Maafkan Mas, Lis. Mas sungguh tidak ingin mengkhianati cinta kita, tapi kejadian itu membuatnya hamil. Mas harus bertanggung jawab,” ucap Mas Sandy ketika aku tahu pengkhianatannya.Ayu, maduku
Beberapa bulan kemudianEnam pasang mata melihat sesosok bayi yang sedang tertidur pulas di dalam box yang kini berada di ruang tamu. Keenam orang itu mengelilingi dengan tatapan takjub ke arah Elfarehza, putra pertama Arini dan Brandon.“Aku pengin punya anak juga!” seru Siti sambil bertepuk sekali.“Nikah gih. Udah ada calonnya ini. Tunggu apa lagi?” ledek Edo yang berdiri di sebelah Widya.“Kalian jangan pacaran lama-lama. Buruan nikah,” cetus Arini semangat.Mereka berenam melihat ke arah Arini yang sedang bermain dengan Rezky, putra Moza. Batita itu sangat bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata Arini tipe wanita yang dengan mudah mencuri perhatian anak-anak. Buktinya Rezky dan Farzan langsung lengket dengan perempuan itu.Keenam tamu tersebut mengambil duduk di tempat masing-masing, meninggalkan El—panggilan Elfarehza—yang masih tidur pulas di dalam box.“Bang Edo dan Widya kapan mau nikah?” tanya Arini menyipitkan mata ke arah mereka.Betul sekali, Edo dan Widya menjalin
Memasuki usia kandungan delapan bulan, Arini mulai diserang gangguan tidur. Posisi tidur terasa tidak nyaman membuatnya sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan. Ketika telentang, ia kesulitan bernapas. Alhasil pagi ini ia masih mengantuk.Keinginan untuk tidur lagi setelah salat Subuh, tidak bisa terwujudkan. Empat jam lagi, ia akan berangkat ke pesta pernikahan Keysa. Artinya, ini adalah kesempatan Arini bertemu dengan produser idola. Siapa lagi jika bukan Raline Rahardian yang merupakan sahabat karib mantan atasannya tersebut.Keysa yang tidak tahu tentang kehamilan Arini malah memintanya menjadi pagar ayu dan mengirimkan kebaya lima hari lalu. Jelas saja kebaya tersebut tidak muat di tubuh Arini yang sudah melar. Belum lagi kandungan yang membesar. Alhasil, ia harus meminta bantuan Georgio untuk membuat ulang gaun yang sama.“Konyol nggak sih pagar ayu lagi hamil?” celetuk Arini merasa aneh saat Keysa kekeh memintanya jadi pagar ayu, meski sudah tahu ia sedang hamil.“Sekali-
Pagi harinya, Arini terbangun dengan perasaan masih belum percaya kalau Brandon benar-benar ada di sampingnya. Pria itu tidur dengan rambut gondrong yang tidak diikat. Ternyata apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.Arini juga ingat bagaimana mereka melepas kerinduan tadi malam sampai bercinta di kamar mantan pacar Brandon. Jika diingat-ingat malu juga melakukannya di sana. Namun, tiga bulan sepi yang dilalui tidak mengizinkan mereka menunggu sampai tiba di apartemen.Mereka mengisi malam dengan berbagi cerita, termasuk bagaimana Brandon bisa tahu kalau Arini ada di rumah Moza. Barulah Arini tahu, kalau pria itu pernah melihat postingan Moza dan mendengar suaranya ketika menelepon.“Ibu hamil yang gue lihat di Teras Kota, anak kecil usia tiga tahunan, suara Moza waktu gue telepon lo sampai postingan foto hasil USG di IG Moza. Semuanya tuntun gue sampai temukan tempat lo sembunyi, In,” papar Brandon tadi malam.Selesai mandi, Arini dan Brandon langsung pamitan kepada Moza dan Suke
AriniArini tenggelam dalam pikiran sendiri. Dia masih ingat dengan pertemuan yang tidak disengaja tadi siang. Pria itu pasti Brandon, ia tidak mungkin salah mengenali suaminya sendiri. Meski penampilan orang tersebut berbeda dari biasa, tapi Arini yakin kalau sosok yang dilihat tadi adalah Brandon.Hatinya remuk menyaksikan kebahagiaan yang terpampang nyata. Sheila tersenyum lebar, begitu juga Brandon. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mencintai. Apakah itu berarti Brandon sudah benar-benar melupakannya?“Lo harus pastikan dulu, Rin. Jangan berpikiran macam-macam sebelum semuanya jelas.” Begitu kata Moza beberapa jam lalu.“Gimana kalau mereka beneran jatuh cinta, Moz?”“Ya itu risiko. Lo yang biarkan mereka nikah dengan alasan kasihan sama Tante Lisa. Sekarang hadapi, jangan lari,” tegasnya sambil memegang bahu Arini yang rapuh. “Pilihannya ada dua. Tetap berada di samping Brandon apapun yang terjadi atau lo boleh balik lagi ke sini. Gue dengan senan
BrandonBrandon termenung sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, ia terus memikirkan ibu hamil yang dilihat bersama dengan anak kecil tadi. Jelas-jelas itu bukan Arini. Jika benar, siapa anak kecil itu?Dia tahu persis Arini tidak memiliki sanak saudara, apalagi kenalan yang tinggal di daerah itu. Dugaan tersebut langsung dienyahkan Brandon. Mungkin karena sangat merindukan istrinya, sehingga berpikir wanita tadi mirip dengan Arini.Mata sayu itu terpejam ketika kepala bersandar nyaman di kursi belakang kendaraan. Otak Brandon dipaksa berpikir keras di mana istrinya berada. Ke mana lagi ia harus mencari wanita itu? Dia bahkan meminta bantuan detektif swasta untuk mencari, tapi masih belum ada kabar sampai sekarang.Terlalu berisiko jika melaporkan kepada polisi, karena bisa menimbulkan kehebohan di media elektronik dan cetak. Yunus dan Asma akan tahu kalau Arini tidak bersama dengannya sekarang. Asma jelas belum tahu perihal kepergian Arini, karena tidak menghubungi Br
AriniTiga bulan kemudian.Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.“Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?” bisiknya tadi pagi, “Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi.”Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi k
AriniSepasang kelopak lebar mulai mengerjap. Perlahan dua manik cokelat mulai terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Tangan ramping dihiasi kulit kuning langsat itu meraba ke sisi kiri tempat tidur yang kosong. Rasa rindu yang membelit beberapa hari ini sungguh sulit untuk diredam.“Gue kangen sama lo, Bran,” bisik Arini dengan mata berkaca-kaca.Dia mulai melow lagi saat ingat dengan suami tercinta. Apalagi hari ini adalah hari pernikahan Brandon dengan Sheila. Pandangan netranya beralih ke jam dinding yang berada di dinding atas meja rias kamar Moza. Pernikahan itu seharusnya diselenggarakan tiga jam lagi, tepat pukul 10.00.Mata Arini terpejam rapat saat terus berusaha menyabarkan hati dan menerima semua dengan lapang dada. Sementara ia tidak bisa kembali ke sisi Brandon sampai bayi yang dikandung lahir.“Rin.” Terdengar suara Moza diselingi ketukan pintu kamar.“Ya?” sahutnya berusaha bangkit.Kepala kembali berdenyut membuat tubuhnya enggan beranjak ke posisi duduk. Setia
BrandonTiga hari ini Brandon tidak henti mencari keberadaan Arini. Dia menghubungi Siti, Widya dan teman-teman yang lain, tapi tetap saja tidak ada yang tahu di mana wanita itu berada sekarang. Ingin menghubungi Asma di Bukittinggi, tapi diurungkan. Mustahil istrinya pulang ke sana setelah dibuang oleh keluarga sendiri.Rindu yang menggebu bercampur rasa takut membuat batin Brandon tidak tenang. Akhirnya, ia kehilangan lagi wanita yang sangat dicintai.“Lo udah janji nggak akan tinggalin gue, In,” desah Brandon di balik meja kerja.Sejak Arini pergi, semangat untuk bekerja menurun drastis. Gairah hidup seakan direnggut pergi bersama dengan wanita tersebut. Setiap malam ia selalu merindukan sang istri. Ah, lebih tepatnya di setiap aliran darahnya, ia rindu Arini. Detak jantung Brandon pun menyerukan namanya.“Pulang, In,” gumamnya penuh harap.Brandon mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi Arini, tapi hasilnya tetap nihil. Nomor sang istri masih belum aktif. Dia mengirimkan