SUASANA di antara kedua insan itu seketika berubah sendu. Tiara yang awalnya hanya menangis dalam diam, lambat laun berubah sesenggukan. Isak tangisnya terdengar menyayat hati.
Gadis itu sudah tidak peduli lagi pada rasa sungkan dan malu pada Abdi. Juga tidak memusingkan posisinya sebagai direktur muda, yang notabene adalah atasan pemuda itu.
Satu hal yang ingin dilakukan Tiara saat itu hanyalah menumpahkan segumpal rasa sesak di dalam dada. Ia ingin sumbatan tersebut hilang, agar perasaannya kembali menjadi lega.
Sementara itu Abdi jadi bingung sendiri hendak berbuat apa. Pada akhirnya pemuda itu hanya dapat diam terpekur di tempatnya.
Namun diam-diam Abdi merasa bersalah juga. Ia sadar tadi telah berkata begitu terus terang, yang tanpa ia sadari mungkin saja melukai hati Tiara.
Sekali pun yang Abdi sampaikan tadi benar, tapi cara penyampaiannya semestinya dapat lebih diperlembut lagi. Pemilihan kata-katanya juga dapat lebih diperhalus.
Mulai bab 51 ini panjangnya minimal 1.000 kata ya. Biar puas bacanya :)
UNTUK beberapa saat kedua anak manusia tersebut sama-sama diam. Tiara sudah kembali ke tempatnya semula, duduk bersandar di tiang pondok sembari memeluk kedua kaki. Dagunya ditempelkan di atas lutut. Sedangkan Abdi terlihat masih menata napasnya yang turun-naik akibat guncangan perasaan. Pemuda itu sungguh tidak menyangka bakal dipeluk Tiara sedemikian rupa. Sama sekali tak disangka-sangka. Sebagai pria yang mempunyai nafsu syahwat, tentu saja ada rasa senang pada diri Abdi. Setan di dalam dirinya pun langsung bekerja, membisikkan godaan-godaan untuk menjerumuskannya. Lihatlah, Tiara seorang gadis yang sangat cantik. Tubuhnya juga begitu menawan. Dan gadis itu sudah memelukmu, sedangkan di hutan ini hanya ada kalian berdua, tunggu apa lagi? Demikian bisikan-bisikan hawa nafsu di dalam diri Abdi bersuara. Namun benteng di dalam diri Abdi sangat kokoh. Ia tahu betul hal itu tidak boleh dilakukan. Hanya berdua-duaan laki-laki perempuan seperti mereka saj
DENGAN tatapan matanya yang masih agak mengantuk Tiara ikuti kepergian Abdi. Tubuh pemuda itu segera menghilang dalam kelebatan tanaman perdu yang memenuhi bagian bawah pepohonan. "Lihatlah, Tiara, pemuda itu selama beberapa hari mendedikasikan tenaga, waktu, dan pikirannya untuk menjagamu," batin Tiara saat tubuh Abdi sudah lenyap dari pandangan. "Pantas saja kalau dia merasa jengkel sewaktu aku membohonginya kemarin. Aku memang keterlaluan! Untung saja dia tidak menepati ucapannya yang tidak akan mau ambil peduli kalau terjadi apa-apa denganku," lanjutnya. Karena masih mengantuk, Tiara akhirnya kembali tertidur. Gadis itu sebetulnya juga merasakan tubuhnya pegal-pegal. Terutama pada bagian betis dan paha. Mungkin kelelahan akibat berjalan jauh tempo hari baru dirasakannya sekarang. Paduan rasa kantuk dan lelah membuat tidur direktur utama PT Tirya Parkindo itu sangat nyenyak sekali. Sangat nyenyak sekali, sampai-sampai ia tidak tahu jika Abd
DEMAM yang dialami Tiara ternyata sejenis panas yang naik-turun. Di pagi hari saat bangun dari tidur, suhu tubuh gadis itu terasa agak dingin. Tidak terlalu panas, tapi juga tidak seperti suhu normal. Namun saat menjelang malam, suhu tubuh gadis itu kembali naik tinggi. Saking panasnya sampai membuatnya menggigil. Sehingga ia harus memeluk kaki setiap kali duduk, dan meringkuk saat tidur. Melihat itu Abdi langsung mafhum, demam yang diderita atasannya disebabkan oleh kecapaian. Kuat dugaannya itu karena tempo hari gadis tersebut memaksakan berjalan jauh padahal kakinya masih cedera. "Kepala Ibu terasa pusing tidak?" tanya Abdi, ketika di kepalanya muncul dugaan penyakit lain. Tiara hanya gelengkan kepala dengan lemah. "Badan merasa lemas, mungkin?" tanya Abdi lagi. Ia tidak mau atasannya itu mengidap tipes. "Nggak," jawab Tiara singkat. Suaranya terdengar agak parau. Abdi menjadi lega mendengarnya. Kalau sampai panas yang diala
DITANYA begitu oleh atasanya, mau tak mau Abdi jadi kecut juga. Tentu saja ia sama sekali tak ada niat untuk menyindir. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, Tiara yang sedang ada masalah asmara tidak bisa disalahkan bila berpikir begitu. Abdi langsung terdiam dibuatnya. Dengan takut-takut si pemuda menatap serba salah pada Tiara. Atasannya itu tampak menunjukkan wajah tidak senang. "Waduh, alamat Bu Bos marah lagi nih," batin Abdi sembari menelan ludah. "Mmm, sama sekali tidak ada niat saya untuk menyindir siapa pun, Bu. Apalagi menyindir Ibu," jelas si pemuda kemudian. Sementara Tiara juga jadi merasa tidak enak sekali. Gadis itu sadar telah bersikap berlebihan. Bukankah ucapan Abdi itu sesuatu yang umum saja? Bahwa memang pengalaman pahit tak ubahnya obat dalam kehidupan. Lagi pula, bagaimana mungkin Tiara menuduh Abdi menyindirnya, sedangkan persoalan antara dirinya dan Ryan saja pemuda itu tidak tahu-menahu. Gadis itu seketika geleng-gelengkan k
SUASANA sendu di antara kedua anak manusia itu berlangsung untuk beberapa saat. Tiara masih terus tertunduk, semakin menyesali dirinya yang telah bersikap semaunya sendiri.Padahal selama terperangkap di dalam hutan ini dirinya terima beres saja. Ikut mencari bahan makanan, tidak. Ikut mengolahnya, juga tidak. Gadis itu tahunya hanya makan dan tidur saja.Di Jakarta memang Tiara juga seperti itu. Terima beres saja, makan tinggal makan. Tapi bedanya, ia mendelegasikan urusan masak-memasak dan juga mengurus rumah karena sibuk dengan urusan bisnis."Sedangkan di sini, aku terima beres karena mengalami cedera. Dan itu karena kebodohanku sendiri!" rutuk Tiara dalam hati.Seketika gadis teringat betapa marah dirinya ketika mendapat telepon dari Ryan. Kemarahan yang menyebabkannya hilang kendali, lalu menabrak pembatas jalan dan masuk ke hutan yang berada di jurang dalam.Andai saja waktu itu dirinya dapat lebih menguasai diri. Tentulah semua ini tidak ak
TIARA lantas mengeluarkan blazer dari dalam tas tangan. Ketika kemudian dilihatnya Abdi berlalu pergi menuju sungai, bergegas gadis itu melepas pakaiannya dan membasuh tubuh yang berkeringat dengan air.Awalnya hanya blus putih yang dilepas Tiara. Tapi saat mengetahui bra yang ia kenakan juga basah oleh keringat, gadis itu pun turut melepasnya. Disembunyikannya benda tersebut di dalam gulungan blus, dan diletakkan di sudut pondok.Usai mengeringkan tubuh dengan tangan sebisanya, Tiara memakai blazernya. Setelah itu ia merasa sangat lega. Badannya terasa kembali segar setelah diusap air tadi. Gerah yang tadi menyelimutinya perlahan-lahan berganti kesejukan.Tepat saat Tiara selesai berpakaian, Abdi kembali dari sungai. Wajah, kedua tangan, serta kaki pemuda itu tampak basah.“Kenapa cepat sekali?” tanya Tiara. Abdi memang hanya sebentar saja ke sungai."Saya kelupaan sesuatu, Bu. Jadi ini mau ambil dan langsung ke sungai lagi," jawab Abd
SIANG menuju malam hari itu berjalan begitu cepat. Terlebih bagi Tiara yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan berbaring, sesekali duduk-duduk, di lantai pondok.Gadis itu seolah-olah hidup di ruang tanpa waktu. Tak kenal waktu kecuali pagi, siang, sore, dan lalu malam saatnya tidur. Kegiatannya hari-hari juga hanya makan, ngobrol dengan Abdi, dan sesekali mandi.Namun semenjak cedera kakinya kembali kambuh, lalu diikuti tubuhnya demam tinggi, Tiara harus puas hanya bisa mengelap tubuhnya dengan kain basah sebelum berganti baju.Abdi dengan keras tak membolehkan Tiara mandi di sungai. Tidak sebelum suhu badan gadis itu benar-benar turun. Apa boleh buat, direktur muda itu sudah berjanji akan menuruti semua ucapan Abdi.Seperti petang hari itu. Tiara sebenarnya merasa gerah bukan main karena seharian penuh memakai blazer. Terlebih Abdi terus menyuguhi minuman hangat, yang tujuannya untuk memancing keringat dan menurunkan suhu badan.Alhasil, tubu
SEJAK pagi itu suara mesin dari kejauhan terus terdengar. Masih samar-samar. Harus memusatkan perhatian penuh agar dapat menangkap suara tersebut secara jelas.Tak urung, Tiara dibuat sangat penasaran. Berkali-kali gadis itu bertanya pada Abdi suara apa itu sebenarnya. Namun pemuda tersebut hanya menjawab tidak yakin."Suaranya terlalu jauh, Bu. Saya tidak bisa mendengar dengan jelas. Jadi, ya masih belum yakin itu suara apa sebenarnya," jawab Abdi.Itu jawaban yang selalu diberikan Abdi setiap kali Tiara bertanya sewaktu suara itu kembali muncul. Tak pernah berubah satu kata pun.Tiara semakin dibuat penasaran karena suara misterius itu rutin terdengar tiap pagi. Lalu juga pada sore hari, menjelang malam.Jelas sudah itu bukan suara kendaraan yang sedang melintas di jalan raya. Sebab tak mungkin rasanya kendaraan yang sama melintas berkali-kali. Lebih tak mungkin lagi ada banyak kendaraan sejenis yang melintas dengan waktu tertentu yang teratur.
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra