SEOLAH tak percaya pada pendengarannya sendiri, Abdi angsurkan telinganya mendekati sang ibu. Raut wajahnya menunjukkan rasa penasaran yang begitu kentara sekali.
"Ma-maksud Emak gimana? Memangnya pertunangan Abdi sama Neng Ati bisa dibatalkan?" tanya Abdi, keceplosan menanyakan perkara yang memang sangat ingin ia ketahui.
Terdengar ibu Abdi menghela napas panjang lagi berat. Tahulah wanita itu sekarang jika puteranya benar-benar telah menaruh hati pada Tiara. Jawaban itu tadi menunjukkan hal tersebut.
"Kalau kamu memang sudah nggak punya hati sama Ati, kenapa musti diteruskan? Kasihan Ati nanti, juga kasihan kamu sendiri," jawab ibu Abdi kemudian.
Abdi menelan ludah. Lalu geser posisi duduknya mendekat pada tubuh sang ibu. Sebelah tangannya terulur, memegang telapak wanita yang telah melahirkannya ke dunia tersebut.
"Tapi, Mak, bagaimana dengan Haji Sobirin? Dia kan sudah berencana menikahkan Abdi dengan Neng Ati bulan depan?" tanya Abdi, kembali
SEMENTARA di hotel, Tiara langsung naik lagi ke kamar begitu Abdi dan sepeda motornya menghilang di ujung jalan. Gadis itu langsung mengempaskan tubuhnya ke atas kasur. Disertai satu embusan napas panjang. Pandangan mata Tiara lantas menerawang ke langit-langit kamar. Namun bukan plafon putih bersih dengan ukiran cantik yang terlihat olehnya. Melainkan kelebatan bayangan semasa dirinya dan Abdi masih berada di dalam hutan. Diam-diam Tiara jadi bertanya-tanya. Mengapa Abdi yang selama bersamanya di dalam hutan tampak kalem dan dingin, tiba-tiba berubah agresif dan panas barusan? Padahal selama di hutan mereka hanya berdua saja untuk lebih dari satu bulan lamanya. "Apa mungkin karena waktu itu dia belum ada perasaan apa-apa ya?" batin Tiara kemudian. Terbayang kembali di benak Tiara satu kejadian. Bagaimana Abdi justru sibuk ingin melepaskan diri sewaktu dirinya coba memeluk si pemuda dari belakang. Waktu itu Tiara masih terluka hatinya, setelah
TERGESA Tiara membuka kuncian layar pada gawai. Nama pengirim pesan yang tadi terlihat olehnya, membuat gadis itu tak sabar ingin segera membaca isinya."Theo? Apa yang mau dia katakan?" batin Tiara seraya menunggu aplikasi chatting terbuka.Sembari menunggu, Tiara jadi ingat jika tadi ia sempat berencana menghubungi Theo. Mana tahu urusan pemuda itu sudah selesai, dan mana tahu adik salah seorang mitra bisnisnya itu berencana kembali ke Jakarta besok.Mulanya Tiara berniat menumpang. Sembari mendekatkan diri dengan Theo. Gadis mana yang tak mau menjalin kedekatan dengan Theo jika tahu pemuda itu pangeran dari Keluarga Khusuma?Namun apa yang kemudian terjadi antara dirinya dan Abdi, membuat Tiara membatalkan niat tersebut. Tiara pasrah. Kalau pun tidak bisa balik ke Jakarta pagi-pagi, pulang sore pun tidak masalah.Tidak disangka-sangka, malah Theo yang kemudian mengirimi Tiara pesan.[Besok pagi-pagi aku ajak ke pantai mau ya? Sekalian sar
MATAHARI kalah cepat pagi itu. Ketika benda langit bulat besar itu sama sekali belum menampakkan diri di ufuk langit timur, Theo sudah muncul di hotel tempat Tiara menginap.Theo memarkir mobil tak jauh dari pintu keluar, agar tidak usah berputar-putar nanti. Setelah itu bergegas itu melompat keluar dan melangkah cepat menuju lobi.Hotel masih sangat sepi. Theo hanya menjumpai seorang satpam yang mukanya merah menahan kantuk di depan lobi. Sambil memanggil nomor Tiara pemuda itu duduk di salah satu sofa empuk."Halo, Tiara? Aku sudah di lobi nih," seru Theo cepat begitu panggilannya diangkat."Ya, aku langsung turun," sahut Tiara di seberang panggilan."Oke," kata Theo sebelum menutup panggilan telepon.Sambil memasukkan gawai ke dalam saku celana, Theo mengulas sebuah senyum. Agak surprise juga pemuda itu mengetahui Tiara sudah siap dijemput.Tak sampai lima menit berselang Tiara sudah muncul dari pintu lift. Gadis itu melambaikan se
ANGIN dingin langsung menerpa kulit Tiara begitu gadis itu keluar dari mobil. Sengaja ia tak membawa jaket. Meski hawa masih cukup untuk membuat dirinya menggigil, tapi sebentar lagi matahari bakal muncul.Kedua pasangan tersebut lantas menuju ke sebuah warung makan. Theo memesan menu simpel saja untuk sarapan mereka, yakni nasi goreng seafood. Untuk minumnya cukup teh panas.Setelah itu mereka menyeberangi jalan aspal yang lengang menuju ke pantai.Seperti halnya pantai wisata lain, bagian pantai di sisi jalan dipenuhi tenda-tenda kecil dan kursi. Beberapa muda-mudi tampak sudah duduk di tiga-empat titik."Di sini?" tanya Theo sembari berhenti di sebuah tenda.Tiara tak langsung menjawab. Agaknya ia masih menimbang-nimbang. Tampak sepasang matanya lantas mengamati tenda lain yang lebih dekat ke pantai.Theo cepat tanggap. Dibawanya Tiara ke arah di mana pandangan mata gadis itu tadi tertuju. Rupanya Tiara lebih suka duduk di saung tanpa atap
PERPADUAN antara bangkitnya kenangan pahit dan pertanyaan Theo yang dianggap lancang, membuat suasana sarapan tidak menyenangkan bagi Tiara. Gadis itu menghabiskan nasi goreng di piringnya cepat-cepat.Theo diam-diam memerhatikan gelagat tersebut. Sejak dirinya bertanya tadi, Tiara langsung diam tanpa berkata-kata lagi. Sepanjang menyantap sarapan juga hanya diam.Bahkan di mata Theo, Tiara menyantap sarapannya dengan sangat tergesa-gesa. Jelas sekali terlihat jika gadis itu merasa tidak nyaman. Theo pun mengerti harus berbuat apa."Kamu sudah check out dari hotel kan?" tanya Theo kemudian.Tiara telan nasi yang tengah ia kunyah terlebih dahulu, baru menjawab, "Sudah. Tadi sebelum kamu datang aku sudah check out duluan.""Terus, barang bawaan kamu cuma tas yang tadi itu kan?" tanya Theo lagi."Iya, aku nggak bawa banyak barang," sahut Tiara cepat.Theo manggut-manggut. Ia tak mau menahan Tiara berlama-lama di tempat ini. Sebaiknya seg
BELUM tengah hari ketika mobil yang dikendarai Theo memasuki Jakarta. Udara panas nan lembap menyambut kedua muda-mudi tersebut begitu memasuki ibu kota. Tiara seketika merasa gerah. Bintik-bintik keringat bermunculan di pori-pori kulitnya. Padahal AC mobil Theo menyemburkan hawa dingin yang cukup. Entahlah, sebegini panasnyakah Jakarta? "Kamu mampir dulu ke rumah ya?" ujar Tiara memecah kebisuan. Mereka memang hanya berdiam diri sejak memasuki ruas Tol Cikampek. Tiara memilih memejamkan mata, sekalipun sebenarnya ia sama sekali tidak mengantuk. Sedangkan Theo, pemuda itu tak sekali pun mengusik Tiara. Baik dengan mencoba mengajak berbicara, maupun menghidupkan musik. Ia terus fokus pada jalanan ramai lancar di hadapan sana. "Emm, boleh deh. Tapi sepertinya nggak bisa lama ya," sahut Theo tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. Sepasang matanya melihat pintu keluar tol di kejauhan. "Oke, nggak apa-apa. Paling-paling nanti ditahan unt
BEGITU menurutnya Mama dan Theo tidak dapat mendengar suaranya, Tiara tekan tombol hijau pada layar untuk menerima panggilan. Suara Abdi langsung terdengar di telinga si gadis. "Kok belum kasih kabar? Apa belum sampai Jakarta?" tanya Abdi tanpa basa-basi. Wajah Tiara kontan berkerut. Hatinya jadi kecut akibat merasa bersalah. Harusnya tadi ia langsung memberi kabar begitu sampai. Meski hanya lewat chat. "Maaf," sahut Tiara cepat, dengan nada mengiba. "Tadi langsung keasyikan ngobrol sama Mama soalnya." "Oh, ya sudah. Tidak apa-apa kalau begitu," kata Abdi lagi. "Ya sudah kalau sudah sampai di Jakarta." "Iya, sudah kira-kira setengah jam lalu sih sampainya," timpal Tiara. Gadis itu mengatakan ucapan tersebut sembari hatinya berbunga-bunga. Abdi meneleponnya, menandakan pemuda itu menaruh perhatian besar. Bahkan andai saja tadi pagi Abdi tidak harus mengurus kepulangan ibunya dari rumah sakit, Tiara yakin sekali pemuda itu mau me
PANIK yang mendera Mbak Yem membuat suasana jadi geger. Asisten rumah tangga itu berteriak-teriak memanggil Bu Wardoyo. Ia tahu jika majikannya tersebut masih berada di ruang tengah."Nyonyaaa! Tolong, ini Mbak Tiara kenapa?" seru Mbak Yem sekuat tenaga. Kepanikan terhantar dari suaranya.Bu Wardoyo yang tengah berbincang dengan Theo jadi kaget. Buru-buru wanita paruh baya itu bangkit dari duduk."Sebentar ya, Theo. Tante lihat dulu ada apa di dalam," ujarnya berbasa-basi pada Theo.Tanpa menunggu jawaban orang, Bu Wardoyo bergegas melangkah ke dapur. Meninggalkan Theo yang melongo sendirian di tempatnya.Theo jelas sekali mendengar nama Tiara disebut tadi. Pemuda itu jadi menduga-duga, apa yang telah terjadi dengan Tiara? Ingin rasanya ia ikut ke belakang, tapi ragu-ragu karena khawatir dicap lancang.Sementara Bu Wardoyo langsung berubah wajahnya begitu melihat keadaan Tiara. Gadis itu tampak pucat, dengan keringat membasahi sekujur kulitn
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra