BELUM tengah hari ketika mobil yang dikendarai Theo memasuki Jakarta. Udara panas nan lembap menyambut kedua muda-mudi tersebut begitu memasuki ibu kota.
Tiara seketika merasa gerah. Bintik-bintik keringat bermunculan di pori-pori kulitnya. Padahal AC mobil Theo menyemburkan hawa dingin yang cukup. Entahlah, sebegini panasnyakah Jakarta?
"Kamu mampir dulu ke rumah ya?" ujar Tiara memecah kebisuan.
Mereka memang hanya berdiam diri sejak memasuki ruas Tol Cikampek. Tiara memilih memejamkan mata, sekalipun sebenarnya ia sama sekali tidak mengantuk.
Sedangkan Theo, pemuda itu tak sekali pun mengusik Tiara. Baik dengan mencoba mengajak berbicara, maupun menghidupkan musik. Ia terus fokus pada jalanan ramai lancar di hadapan sana.
"Emm, boleh deh. Tapi sepertinya nggak bisa lama ya," sahut Theo tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. Sepasang matanya melihat pintu keluar tol di kejauhan.
"Oke, nggak apa-apa. Paling-paling nanti ditahan unt
BEGITU menurutnya Mama dan Theo tidak dapat mendengar suaranya, Tiara tekan tombol hijau pada layar untuk menerima panggilan. Suara Abdi langsung terdengar di telinga si gadis. "Kok belum kasih kabar? Apa belum sampai Jakarta?" tanya Abdi tanpa basa-basi. Wajah Tiara kontan berkerut. Hatinya jadi kecut akibat merasa bersalah. Harusnya tadi ia langsung memberi kabar begitu sampai. Meski hanya lewat chat. "Maaf," sahut Tiara cepat, dengan nada mengiba. "Tadi langsung keasyikan ngobrol sama Mama soalnya." "Oh, ya sudah. Tidak apa-apa kalau begitu," kata Abdi lagi. "Ya sudah kalau sudah sampai di Jakarta." "Iya, sudah kira-kira setengah jam lalu sih sampainya," timpal Tiara. Gadis itu mengatakan ucapan tersebut sembari hatinya berbunga-bunga. Abdi meneleponnya, menandakan pemuda itu menaruh perhatian besar. Bahkan andai saja tadi pagi Abdi tidak harus mengurus kepulangan ibunya dari rumah sakit, Tiara yakin sekali pemuda itu mau me
PANIK yang mendera Mbak Yem membuat suasana jadi geger. Asisten rumah tangga itu berteriak-teriak memanggil Bu Wardoyo. Ia tahu jika majikannya tersebut masih berada di ruang tengah."Nyonyaaa! Tolong, ini Mbak Tiara kenapa?" seru Mbak Yem sekuat tenaga. Kepanikan terhantar dari suaranya.Bu Wardoyo yang tengah berbincang dengan Theo jadi kaget. Buru-buru wanita paruh baya itu bangkit dari duduk."Sebentar ya, Theo. Tante lihat dulu ada apa di dalam," ujarnya berbasa-basi pada Theo.Tanpa menunggu jawaban orang, Bu Wardoyo bergegas melangkah ke dapur. Meninggalkan Theo yang melongo sendirian di tempatnya.Theo jelas sekali mendengar nama Tiara disebut tadi. Pemuda itu jadi menduga-duga, apa yang telah terjadi dengan Tiara? Ingin rasanya ia ikut ke belakang, tapi ragu-ragu karena khawatir dicap lancang.Sementara Bu Wardoyo langsung berubah wajahnya begitu melihat keadaan Tiara. Gadis itu tampak pucat, dengan keringat membasahi sekujur kulitn
SEMENTARA di rumah Abdi, nun jauh di Indramayu, satu pertengkaran hebat pecah. Atisaya yang memergoki pemuda tunangannya menelepon perempuan lain, menjerit-jerit tidak karuan. Ini benar-benar kejadian yang tidak disangka-sangka oleh Abdi. Padahal pemuda itu sudah memastikan Atisaya sedang menenami Haji Sobirin berbelanja ke kota. Makanya Abdi berani menelepon Tiara. Siapa dapat menduga, tengah asyik-asyik dirinya mendengar kabar Tiara yang baru tiba di Jakarta, Atisaya tahu-tahu saja sudah berdiri di belakang punggungnya. Gadis itu berdiri diam, mendengarkan segala apa yang diperbincangkan Abdi dan Tiara. "Oh, ya sudah. Tidak apa-apa kalau begitu." Itu ucapan Abdi yang didengar Atisaya. Gadis itu masih belum tahu dengan siapa pemuda tersebut berbicara. "Ya sudah kalau sudah sampai di Jakarta." Lanjutan ucapan Abdi membuat Atisaya mendengus marah. Tidak salah lagi, pastilah tunangannya itu tengah menelepon perempuan atasannya itu. Meski dadanya
KERIBUTAN di teras belakang rumah itu membuat ibu Abdi keluar menghampiri. Begitu pula salah seorang kakak laki-laki bersama kakak iparnya yang tengah menunggui di kamar. Betapa kagetnya ketiga orang itu saat melihat Atisaya tengah mengamuk. Menjerit-jerit, berbicara tidak jelas sambil menunjuk-nunjuk Abdi. Sesekali memukul. Abdi terlihat hanya diam saja. Pemuda itu tidak menghindari pukulan demi pukulan Atisaya. Hanya kedua tangannya terus berusaha menangkap tangan tunangannya dengan susah payah. "Eh, Ati apa-apaan sih kamu? Kenapa pakai mukul-mukul gitu sih?" seru kakak ipar Abdi, sembari menubruk Atisaya. Dengan cekatan kakak ipar Abdi mencengkeram kedua tangan Atisaya. Membuat gadis itu tidak bisa lagi bergerak. Tapi dari mulutnya terus keluar jeritan-jeritan. Kedua perempuan itu sempat saling adu kekuatan sebentar. Atisaya berusaha memberontak dan lepas dari pegangan orang. Tapi kakak ipar Abdi segera mengunci kedua tangan gadis itu sedem
SUSAH payah Abdi mengatur jawaban untuk pertanyaan tersebut. Meski benar seperti dikatakan Atisaya, jawabannya cukup iya atau tidak, namun persoalannya tidak sesepele itu.Satu kata yang menjadi jawabannya bakal berbuntut panjang. Sangat panjang. Dan Abdi masih merasa belum siap menghadapi akibat apa pun yang timbul dari jawabannya. Baik iya maupun tidak.Di tempatnya, Atisaya tersenyum kecut sembari gelengkan kepala perlahan. Ia tahu Abdi tak akan bisa menjawab pertanyaan tersebut. Sepanjang pertunangan mereka yang berjalan nyaris setahun, tak pernah sekali pun ia mendengar Abdi menyatakan rasa cinta terhadapnya."Akang nggak bisa menjawab. Itu berarti jawabannya Akang nggak cinta sama Eneng," kata Atisaya kemudian.Abdi pandangi gadis di hadapannya dengan tatapan kuyu. Sedangkan pandangan mata Atisaya memancarkan sorot kekecewaan. Rasa sukanya pada Abdi ternyata hanya bertepuk sebelah tangan.Pertunangan keduanya memang ide Atisaya. Dengan
TAK menunggu lama dr. Faisal tiba. Dokter pribadi Keluarga Wardoyo itu langsung masuk ke dalam kamar untuk mengecek kondisi Tiara.Bu Wardoyo hanya menyambut kedatangan dokternya tersebut dengan basa-basi singkat. Begitu sang dokter mengeluarkan alat-alat dan mulai memeriksa, wanita paruh baya itu ikut menyaksikan dari tepi kasur."Mbak Tiara tadi nggak telat makan kan ya?" tanya dr. Faisal seraya menempelkan stetoskopnya ke dada Tiara.Bu Wardoyo tak langsung menjawab. Tadi Tiara sampai di rumah menjelang makan siang. Tapi wanita paruh baya itu tidak tahu kapan terakhir kali puterinya makan."Theo, tadi di jalan kalian terakhir kali makan jam berapa?" Bu Wardoyo ganti bertanya pada Theo yang berdiri di sudut kamar.Yang ditanya cepat-cepat turunkan kedua tangannya yang semula disedekapkan di depan dada."Mmm, kami tadi sarapan sekitar jam enam, Tante. Terus habis itu cuma ngemil di mobil, nggak berhenti makan karena Tiara minta cepat-cepat
JAWABAN sang mama membuat Tiara cepat memutar kembali ingatannya. Tapi tak banyak yang dapat ia ingat. Selain momen ketika dirinya sedang berbincang-bincang di ruang tengah bersama Mama dan ...."Theo, terima kasih ya kamu sudah bantu. Sekarang kalau mau pulang, silakan." Ucapan Bu Wardoyo membuat lamunan Tiara buyar."I-iya, Tante. Saya memang sudah ditunggu di rumah sama Papa," sahut Theo. Pemuda itu sama sekali tidak merasa diusir, sebab memang sejak tadi ia sudah ingin pulang.Usai berkata begitu Theo mendekat ke tempat tidur, berdiri di sisi Tiara. Senyum tak pernah sebentar pun lepas dari wajah pemuda itu."Cepat pulih ya. Nanti aku ajak makan di suatu tempat," ujar Theo. Tanpa ragu mau pun sungkan pemuda itu mengusap kepala Tiara."Iya, terima kasih," sahut Tiara sembari membalas senyum Theo. Ia merasa ada satu perasaan hangat nan menenteramkan yang menjalar dari usapan tangan Theo di kepalanya."Saya pamit dulu, Tante," pamit Theo pa
OTAK Tiara cepat berputar, mencari-cari jawaban apa yang sebaiknya disampaikan pada Mama. Tidak! Tidak mungkin ia menjawab jujur dan apa adanya. Setidaknya bukan sekarang.Tiara masih merasa belum siap menceritakan apa yang ia rasakan, harapkan, inginkan terhadap Abdi kepada Mama. Lebih-lebih karena urusan pertunangannya dengan Ryan masih belum selesai.Lagi pula, Abdi juga berstatus tunangan wanita lain. Entah apa komentar Mama nanti jika tahu puterinya jatuh cinta dengan lelaki tunangan orang lain. Tiara belum siap untuk itu semua."Engg ... anu, Ma ...." Ucapan Tiara tak pernah keluar sepenuhnya, melainkan sekadar gumaman tak jelas yang membuat kening mamanya berkerut dalam."Jadi, benar kan kamu ke Indramayu untuk menemui Abdi, bukan karena ada urusan kantor?" Bu Wardoyo mendesak tak sabar.Tiara menghela napas panjang. Sejenak dipalingkannya pandangan dari sang mama. Gadis itu menyadari ia tak bisa sepenuhnya mengarang jawaban."Iya, Ma
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra