TERGESA Tiara membuka kuncian layar pada gawai. Nama pengirim pesan yang tadi terlihat olehnya, membuat gadis itu tak sabar ingin segera membaca isinya.
"Theo? Apa yang mau dia katakan?" batin Tiara seraya menunggu aplikasi chatting terbuka.
Sembari menunggu, Tiara jadi ingat jika tadi ia sempat berencana menghubungi Theo. Mana tahu urusan pemuda itu sudah selesai, dan mana tahu adik salah seorang mitra bisnisnya itu berencana kembali ke Jakarta besok.
Mulanya Tiara berniat menumpang. Sembari mendekatkan diri dengan Theo. Gadis mana yang tak mau menjalin kedekatan dengan Theo jika tahu pemuda itu pangeran dari Keluarga Khusuma?
Namun apa yang kemudian terjadi antara dirinya dan Abdi, membuat Tiara membatalkan niat tersebut. Tiara pasrah. Kalau pun tidak bisa balik ke Jakarta pagi-pagi, pulang sore pun tidak masalah.
Tidak disangka-sangka, malah Theo yang kemudian mengirimi Tiara pesan.
[Besok pagi-pagi aku ajak ke pantai mau ya? Sekalian sar
MATAHARI kalah cepat pagi itu. Ketika benda langit bulat besar itu sama sekali belum menampakkan diri di ufuk langit timur, Theo sudah muncul di hotel tempat Tiara menginap.Theo memarkir mobil tak jauh dari pintu keluar, agar tidak usah berputar-putar nanti. Setelah itu bergegas itu melompat keluar dan melangkah cepat menuju lobi.Hotel masih sangat sepi. Theo hanya menjumpai seorang satpam yang mukanya merah menahan kantuk di depan lobi. Sambil memanggil nomor Tiara pemuda itu duduk di salah satu sofa empuk."Halo, Tiara? Aku sudah di lobi nih," seru Theo cepat begitu panggilannya diangkat."Ya, aku langsung turun," sahut Tiara di seberang panggilan."Oke," kata Theo sebelum menutup panggilan telepon.Sambil memasukkan gawai ke dalam saku celana, Theo mengulas sebuah senyum. Agak surprise juga pemuda itu mengetahui Tiara sudah siap dijemput.Tak sampai lima menit berselang Tiara sudah muncul dari pintu lift. Gadis itu melambaikan se
ANGIN dingin langsung menerpa kulit Tiara begitu gadis itu keluar dari mobil. Sengaja ia tak membawa jaket. Meski hawa masih cukup untuk membuat dirinya menggigil, tapi sebentar lagi matahari bakal muncul.Kedua pasangan tersebut lantas menuju ke sebuah warung makan. Theo memesan menu simpel saja untuk sarapan mereka, yakni nasi goreng seafood. Untuk minumnya cukup teh panas.Setelah itu mereka menyeberangi jalan aspal yang lengang menuju ke pantai.Seperti halnya pantai wisata lain, bagian pantai di sisi jalan dipenuhi tenda-tenda kecil dan kursi. Beberapa muda-mudi tampak sudah duduk di tiga-empat titik."Di sini?" tanya Theo sembari berhenti di sebuah tenda.Tiara tak langsung menjawab. Agaknya ia masih menimbang-nimbang. Tampak sepasang matanya lantas mengamati tenda lain yang lebih dekat ke pantai.Theo cepat tanggap. Dibawanya Tiara ke arah di mana pandangan mata gadis itu tadi tertuju. Rupanya Tiara lebih suka duduk di saung tanpa atap
PERPADUAN antara bangkitnya kenangan pahit dan pertanyaan Theo yang dianggap lancang, membuat suasana sarapan tidak menyenangkan bagi Tiara. Gadis itu menghabiskan nasi goreng di piringnya cepat-cepat.Theo diam-diam memerhatikan gelagat tersebut. Sejak dirinya bertanya tadi, Tiara langsung diam tanpa berkata-kata lagi. Sepanjang menyantap sarapan juga hanya diam.Bahkan di mata Theo, Tiara menyantap sarapannya dengan sangat tergesa-gesa. Jelas sekali terlihat jika gadis itu merasa tidak nyaman. Theo pun mengerti harus berbuat apa."Kamu sudah check out dari hotel kan?" tanya Theo kemudian.Tiara telan nasi yang tengah ia kunyah terlebih dahulu, baru menjawab, "Sudah. Tadi sebelum kamu datang aku sudah check out duluan.""Terus, barang bawaan kamu cuma tas yang tadi itu kan?" tanya Theo lagi."Iya, aku nggak bawa banyak barang," sahut Tiara cepat.Theo manggut-manggut. Ia tak mau menahan Tiara berlama-lama di tempat ini. Sebaiknya seg
BELUM tengah hari ketika mobil yang dikendarai Theo memasuki Jakarta. Udara panas nan lembap menyambut kedua muda-mudi tersebut begitu memasuki ibu kota. Tiara seketika merasa gerah. Bintik-bintik keringat bermunculan di pori-pori kulitnya. Padahal AC mobil Theo menyemburkan hawa dingin yang cukup. Entahlah, sebegini panasnyakah Jakarta? "Kamu mampir dulu ke rumah ya?" ujar Tiara memecah kebisuan. Mereka memang hanya berdiam diri sejak memasuki ruas Tol Cikampek. Tiara memilih memejamkan mata, sekalipun sebenarnya ia sama sekali tidak mengantuk. Sedangkan Theo, pemuda itu tak sekali pun mengusik Tiara. Baik dengan mencoba mengajak berbicara, maupun menghidupkan musik. Ia terus fokus pada jalanan ramai lancar di hadapan sana. "Emm, boleh deh. Tapi sepertinya nggak bisa lama ya," sahut Theo tanpa mengalihkan pandangan dari jalanan. Sepasang matanya melihat pintu keluar tol di kejauhan. "Oke, nggak apa-apa. Paling-paling nanti ditahan unt
BEGITU menurutnya Mama dan Theo tidak dapat mendengar suaranya, Tiara tekan tombol hijau pada layar untuk menerima panggilan. Suara Abdi langsung terdengar di telinga si gadis. "Kok belum kasih kabar? Apa belum sampai Jakarta?" tanya Abdi tanpa basa-basi. Wajah Tiara kontan berkerut. Hatinya jadi kecut akibat merasa bersalah. Harusnya tadi ia langsung memberi kabar begitu sampai. Meski hanya lewat chat. "Maaf," sahut Tiara cepat, dengan nada mengiba. "Tadi langsung keasyikan ngobrol sama Mama soalnya." "Oh, ya sudah. Tidak apa-apa kalau begitu," kata Abdi lagi. "Ya sudah kalau sudah sampai di Jakarta." "Iya, sudah kira-kira setengah jam lalu sih sampainya," timpal Tiara. Gadis itu mengatakan ucapan tersebut sembari hatinya berbunga-bunga. Abdi meneleponnya, menandakan pemuda itu menaruh perhatian besar. Bahkan andai saja tadi pagi Abdi tidak harus mengurus kepulangan ibunya dari rumah sakit, Tiara yakin sekali pemuda itu mau me
PANIK yang mendera Mbak Yem membuat suasana jadi geger. Asisten rumah tangga itu berteriak-teriak memanggil Bu Wardoyo. Ia tahu jika majikannya tersebut masih berada di ruang tengah."Nyonyaaa! Tolong, ini Mbak Tiara kenapa?" seru Mbak Yem sekuat tenaga. Kepanikan terhantar dari suaranya.Bu Wardoyo yang tengah berbincang dengan Theo jadi kaget. Buru-buru wanita paruh baya itu bangkit dari duduk."Sebentar ya, Theo. Tante lihat dulu ada apa di dalam," ujarnya berbasa-basi pada Theo.Tanpa menunggu jawaban orang, Bu Wardoyo bergegas melangkah ke dapur. Meninggalkan Theo yang melongo sendirian di tempatnya.Theo jelas sekali mendengar nama Tiara disebut tadi. Pemuda itu jadi menduga-duga, apa yang telah terjadi dengan Tiara? Ingin rasanya ia ikut ke belakang, tapi ragu-ragu karena khawatir dicap lancang.Sementara Bu Wardoyo langsung berubah wajahnya begitu melihat keadaan Tiara. Gadis itu tampak pucat, dengan keringat membasahi sekujur kulitn
SEMENTARA di rumah Abdi, nun jauh di Indramayu, satu pertengkaran hebat pecah. Atisaya yang memergoki pemuda tunangannya menelepon perempuan lain, menjerit-jerit tidak karuan. Ini benar-benar kejadian yang tidak disangka-sangka oleh Abdi. Padahal pemuda itu sudah memastikan Atisaya sedang menenami Haji Sobirin berbelanja ke kota. Makanya Abdi berani menelepon Tiara. Siapa dapat menduga, tengah asyik-asyik dirinya mendengar kabar Tiara yang baru tiba di Jakarta, Atisaya tahu-tahu saja sudah berdiri di belakang punggungnya. Gadis itu berdiri diam, mendengarkan segala apa yang diperbincangkan Abdi dan Tiara. "Oh, ya sudah. Tidak apa-apa kalau begitu." Itu ucapan Abdi yang didengar Atisaya. Gadis itu masih belum tahu dengan siapa pemuda tersebut berbicara. "Ya sudah kalau sudah sampai di Jakarta." Lanjutan ucapan Abdi membuat Atisaya mendengus marah. Tidak salah lagi, pastilah tunangannya itu tengah menelepon perempuan atasannya itu. Meski dadanya
KERIBUTAN di teras belakang rumah itu membuat ibu Abdi keluar menghampiri. Begitu pula salah seorang kakak laki-laki bersama kakak iparnya yang tengah menunggui di kamar. Betapa kagetnya ketiga orang itu saat melihat Atisaya tengah mengamuk. Menjerit-jerit, berbicara tidak jelas sambil menunjuk-nunjuk Abdi. Sesekali memukul. Abdi terlihat hanya diam saja. Pemuda itu tidak menghindari pukulan demi pukulan Atisaya. Hanya kedua tangannya terus berusaha menangkap tangan tunangannya dengan susah payah. "Eh, Ati apa-apaan sih kamu? Kenapa pakai mukul-mukul gitu sih?" seru kakak ipar Abdi, sembari menubruk Atisaya. Dengan cekatan kakak ipar Abdi mencengkeram kedua tangan Atisaya. Membuat gadis itu tidak bisa lagi bergerak. Tapi dari mulutnya terus keluar jeritan-jeritan. Kedua perempuan itu sempat saling adu kekuatan sebentar. Atisaya berusaha memberontak dan lepas dari pegangan orang. Tapi kakak ipar Abdi segera mengunci kedua tangan gadis itu sedem