MELINTASI jalan tol Trans Jawa, Pardi hanya butuh waktu kurang-lebih dua jam untuk mencapai Jakarta. Lalu lintas ibu kota yang ramai menyambutnya begitu memasuki tol dalam kota. Untung saja meski padat jalanan tidak macet.
Pardi mengarahkan mobilnya menyusuri jalur tol ke arah Bandara Internasional Soekarno Hatta. Keluarga Wardoyo tinggal di kawasan perumahan elite di Ancol. Tiara sebetulnya punya satu unit apartemen di bilangan Segi Tiga Emas Jakarta. Namun atas permintaan papa-mamanya, gadis itu lebih memilih tinggal di bersama orang tua.
Lelaki itu beruntung sudah sampai di jalur tersebut jauh sebelum magrib. Pasalnya, jalanan di jalur itu biasanya sangat padat selepas magrib karena dipenuhi truk-truk kontainer yang hendak masuk atau keluar dari pelabuhan.
Sampai di depan gerbang, kedatangan Pardi disambut dengan wajah penuh keheranan milik Mang Udin. Pardi membalasnya dengan tawa lebar khas miliknya.
"Sehat-sehat, Mang?" tanya Pardi saat mobilnya meli
SEJAK Pardi berkata soal "ada sesuatu yang sebaiknya disampaikan secara langsung", benak Tiara sibuk menebak-nebak. Apa sebetulnya yang dilihat lelaki itu selama di Indramayu, dan hendak disampaikannya padanya?Namun tebakan Tiara tidak jauh-jauh dari keberadaan Atisaya di rumah sakit. Siapa lagi memangnya yang mungkin menunggui Abdi di rumah sakit selain perempuan tersebut. Karenanya, pastilah Pardi bertemu dengan tunangan Abdi itu.Lalu entah apa yang disimpulkan Pardi setelah bertemu Atisaya, agaknya itulah yang disebut lelaki itu sebagai "sesuatu yang sebaiknya disampaikan secara langsung". Membuatnya memutuskan langsung ke Jakarta alih-alih sekedar menelepon."Kamu dari Indramyu langsung ke sini?" tanya Tiara membuka obrolan.Pardi tengah mengambil nasi dari dalam rice cooker yang terletak di sebelah meja makan. Ia memberi jawaban sambil meneruskan gerakannya."Iya, Mbak. Tadi habis Dzuhur dan makan bareng Abdi dan tunangannya, langsung deh ke
BERALASAN hendak menemui seorang kolega bersama Pardi, Tiara berpamitan keluar pada orang tuanya. Pak Wardoyo sebetulnya masih ingin mengajak Pardi mengobrol banyak, tapi akhirnya mengalah setelah diberi 'penjelasan' oleh puterinya."Nggak lama kok, Pa. Nanti kalau kami sudah selesai, Papa bisa sepuasnya ngobrolin soal pohon jati atau tambak lele sama Mas Pardi," kata Tiara, lalu memberi senyum manis pada papanya."Jangan malam-malam, nanti Papa keburu ngantuk," sahut Pak Wardoyo yang ikut melangkah menuju ke depan."Iya, Pa. Tiara janji paling telat jam sembilan sudah balik lagi," kata Tiara pula.Sementara itu Pardi sudah menuju ke garasi untuk mengambil mobil. Awalnya lelaki itu hendak naik ke minibus yang ia bawa dari Batang. Namun batal karena langsung diingatkan oleh Tiara kalau mereka akan membawa mobil Pak Wardoyo yang biasa dipakai gadis itu."Nanti jadi main catur kan, Di?" seru Mang Udin sewaktu lelaki paruh baya itu membukakan pintu ger
SATU yang kemudian mengganjal bagi Pardi, bagaimana kelanjutan jalinan pertunangan antara Tiara dan Ryan. Akankah perselingkuhan yang dipergoki gadis itu, sebagaimana diceritakan Abdi tadi, bakal mengubah hubungan tersebut?Obrolan mereka untuk sejenak dijeda karena kedatangan pelayan. Dengan cekatan pelayan tersebut meletakkan pesanan-pesanan Tiara dan Pardi ke atas meja. Setelah selesai dengan pekerjaannya, si pelayan mempersilakan kedua tamunya untuk menikmati hidangan."Terima kasih banyak, Mbak," ucap Tiara sebelum si pelayan kembali ke tempatnya.Si pelayan menyahut dengan senyuman ramah menghiasi wajah. Sedangkan Pardi yang tertarik pada tampilan minuman di hadapannya, langsung mengambil gelas hidangan tersebut dan menyeruput isinya."Enak, Di? Itu minuman favoritku kalau makan di sini," ujar Tiara, tak mampu menahan geli melihat tingkah Pardi.Yang ditanyai buru-buru menganggukkan kepala. Tapi bukannya menanggapi soal minuman, Pardi malah b
PARDI mungkin hanya seorang pekerja di Keluarga Wardoyo. Namun dengan mengajaknya berbicara seperti ini, tampak bagaimana Tiara menghormati lelaki itu. Menunjukkan bagaimana ia tak sekadar pura-pura menganggap Pardi sebagai saudara tua.Karenanya pula, setiap kata yang diucapkan Pardi saat itu benar-benar didengarkan oleh Tiara. Niatnya memang ingin mendapat masukan mengenai apa yang sedang membuatnya galau setelah mati. Selain tentu saja mendengar laporan mengenai kondisi Abdi.Tapi agaknya ini kali terakhir Tiara memedulikan Abdi. Keterangan Pardi bahwa pemuda yang telah mencuri hatinya itu begitu mesra dengan Atisaya, membuat Tiara berkeputusan untuk berhenti memikirkan Abdi. Seperti saran Pardi, gadis itu sadar jika yang terbaik baginya adalah menjauh dari sang pujaan hati."Mbak?" panggil Pardi dengan nada khawatir, setelah Tiara hanya berdiam diri selama bermenit-menit."Y-ya?" Tiara tergeragap, lalu terdengar mengembuskan napas panjang lagi berat.
SETELAH menjalani perawatan selama tiga hari, Abdi diizinkan pulang. Ibunya langsung berteriak senang ketika dikabari via telepon. Namun tak urung wanita tersebut bertanya ke Abdi, siapa yang akan membayar biaya rumah sakit.Pertanyaan sulit itu dapat dijawab dengan baik oleh Abdi. Mudah ditebak, Haji Sobirin berbaik hati menanggung seluruh biaya pengobatan calon menantunya tersebut. Namun kepada ibunya Abdi berkata bahwa dirinya meminjam uang dari Atisaya.Bukan bermaksud membohongi orang tua sendiri. Namun Abdi tahu betul jika ibunya bakalan tidak tenang pikirannya jika tahu lagi-lagi sudah membuat repot Haji Sobirin. Apalagi jika mendengar sendiri nominal yang harus dibayar haji tersebut ke rumah sakit."Terus, nanti pulangnya bagaimana?" tanya ibu Abdi lagi, penuh nada cemas.Abdi tertawa untuk menghibur ibunya. "Pak Haji nanti yang jemput, Mak. Sudah, Emak tenang-tenang saja di rumah. Nanti anak lanangmu ini bakal diantar sampai ke depan pintu."
MALAM harinya, Abdi mengulangi pernyataan tersebut di hadapan Trisna dan Murni. Sedangkan kakaknya satu lagi yang tinggal di Kuningan, menjadi saksi melalui video call. Semuanya terlihat lega setelah mendengar kemantapan hati Abdi.Atas saran Trisna sebagai kakak tertua, Abdi diminta segera menghadap Haji Sobirin. Meski sang haji sudah punya rencana untuk menikahkan bulan depan, Trisna mendesak Abdi untuk meminta izin untuk mengucap ijab-qabul terlebih dahulu. Sedangkan bulan depan untuk pesta resepsi."Akang takut saya berubah pikiran, ya?" tanya Abdi pada Trisna ketika mereka tinggal berdua di ruang tamu.Yang ditanyai jadi tergelak. "Ya, bolehlah dibilang begitu. Tapi, sebetulnya ini kan sudah jadi tuntunan. Kalau memang tidak ada yang harus ditunggu lagi, sebaiknya disegerakan. Walau cuma ijab-qabul dulu, pestanya belakangan.""Saya sih, nggak pesta-pestaan juga nggak apa-apa," sahut Abdi seraya tersenyum kecut, merasa keki karena pertanyaannya justru
SUNGGUH tak terperi kegembiraan Haji Sobirin saat ini. Salah satu impian terbesar dalam hidupnya, yakni menikahkan Atisaya, sebentar lagi bakal segera terwujud. Puterinya dan Abdi telah melisankan persetujuan mereka untuk dinikahkan lebih cepat dari rencana awal.Mulanya Abdi meminta dinikahkan secara agama saja terlebih dahulu, cukup dirinya mengucap qabul di hadapan wali Atisaya dengan disaksikan kerabat dekat. Namun Haji Sobirin punya pikiran berbeda. Ia sama sekali tidak keberatan sekalian menggelar pesta.Malam itu juga Ustadz Salim dipanggil. Selain seorang ulama desa, lelaki satu ini juga paham perhitungan-perhitungan 'hari baik'. Kepadanya Haji Sobirin diminta menghitungkan kapan sebaiknya pernikahan Abdi dan Atisaya dilangsungkan."Kamu sudah mengambil langkah yang tepat, Nang," ucap Ustadz Salim saat menyalami Abdi. "Calon istri sudah ada. Bahkan bobot, bibit, dan bebetnya tidak perlu diragukan lagi. Restu orang tua juga sudah diberikan. Jadi, memang s
ALIH-ALIH dapat terlelap, Abdi justru merasa tidak mengantuk sama sekali. Pemuda itu malah kembali bangun dari posisi berbaring, duduk di tepian ranjang. Bayangan wajah Tiara terus saja menghiasi kepalanya, seolah tak mau meninggalkannya sedetik pun.Abdi menghela napas panjang. "Maafkan aku, Tiara. Aku harus memutuskan begini karena satu dan lain alasan. Kalau kamu mau, aku siap menjelaskannya seharian penuh kepadamu. Dan aku harap kamu mau mengerti alasanku," desahnya.Napas panjang itu lantas diembuskan kembali. Ketika bayangan Tiara tak kunjung pergi, Abdi menangkupkan kedua belah tangannya ke muka."Aku sungguh tak mau kehilangan dirimu, Tiara. Aku ingin hidup bersamamu, menghabiskan hari-hariku di sisimu. Tapi, keadaanku juga keadaan keluargaku tidak memungkinkan untuk itu. Maafkan aku," desah Abdi lagi, seolah-olah sedang berbicara berhadap-hadapan dengan Tiara.Setelah beberapa saat susah payah berusaha mengusir bayangan Tiara, Abdi menyerah. Pemu
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra