MALAM jatuh diiringi suara orkestra hewan-hewan di balik rerumputan. Sesekali burung hantu terdengar menyeling dengan suara kukuknya di kejauhan. Lalu sesekali kepak kelelawar meningkahi, diiringi suara cicitnya yang nyaring.
Gelap menyungkupi seisi hutan yang sepi. Kemana pun mata memandang yang terlihat hanyalah kegelapan menghitam. Bulan sabit yang menggantung rendah di langit barat tak punya cukup sinar untuk melawan gelapnya malam.
Di antara kegelapan nan syahdu, ada satu tempat yang tampak dilingkungi cahaya lampu. Tidak terlalu terang, namun sudah cukup jelas untuk melihat siapa dan apa yang ada di sana. Tempat itu tak lain tak bukan adalah markas para pembalak liar di mana Tiara disekap.
Di dalam kamar tempatnya dikurung, Tiara duduk bertekuk lutut di sudut ruangan. Kedua tangannya terlipat di atas lututnya yang menyatu. Menjadi penyangga bagi kepalanya yang tertunduk dalam.
"Abdi, di mana kamu? Cuma kamu harapanku satu-satunya saat ini," desah Ti
DUA pembalak tersebut sontak buang rokok yang sedang mereka hisap. Lalu bersicepat masuk ke dalam rumah dengan setengah berlari. Di kepala mereka tiba-tiba saja muncul ketakutan kalau-kalau Tiara kabur.Ketakutan yang masuk akal. Sebab seingat mereka selama ini tidak pernah ada kucing di sekitar rumah tersebut. Jadi, kalau ada yang bisa memecahkan barang, bisa dipastikan itu ulah manusia.Karena sejak tadi mereka berdua berada di teras, maka kemungkinan pelaku satu-satunya hanyalah Tiara. Gadis itu sedang disekap di kamar dan terlihat ketakutan sejak pertama kali dibawa. Kalau ada kesempatan untuk melarikan diri, pastilah tak akan disia-siakan olehnya."Mana kunci kamarnya? Kamu yang bawa, kan?" seru salah seorang pembalak begitu tiba di depan kamar tempat Tiara disekap. Suaranya terdengar gugup.Pembalak satunya lagi, yang tak lain adalah orang yang dipanggil Ton, tidak menjawab sepatah kata pun. Hanya wajahnya yang terlihat tegang dan cemas. Buru-buru i
"KALAU nggak lewat pintu belakang, berarti cewek itu lewat depan dong," kata Ton lagi, dengan nada tak percaya. Sedangkan kalau benar ia lewat depan, seharusnya mereka berdua sudah melihat si gadis sejak tadi-tadi.Wid tak kalah bingung. Lebih dari itu, anggota komplotan pembalak liar tersebut sudah dirayapi rasa takut akan luapan amarah si bos. Sebelum si bos kembali ke base camp, gadis itu sudah harus mereka temukan.Di tempatnya, Ton diam-diam coba membaca rentetan kejadian barusan. Sejak tadi mereka berada di teras. Begitu mendengar suara benda pecah, ia dan Wid langsung masuk ke dalam untuk memeriksa.Mulut Ton berdecak saat menyadari kesalahan yang telah mereka lakukan. Dalam kepanikan tadi mereka langsung masuk memeriksa kamar. Padahal pecahan botol berada di luar kamar."Artinya, saat aku dan Wid masuk ke dalam kamar, cewek itu malah sudah berada di luar kamar," batin Ton sembari geleng-geleng kepala, tak percaya telah berbuat ceroboh."Seh
UNTUK beberapa saat, pembalak yang biasa dipanggil Wid itu berdiri diam di ambang pintu ruangan. Tangannya yang memegang korek gas diangkat tinggi-tinggi. Seolah-olah dengan cara begitu cahaya api pada ujung korek berubah menjadi lebih terang.Api pada korek gas tersebut hanya dapat menerangi sekitaran tubuh si pembalak. Kira-kira dalam radius satu langkah dari tempat pembalak itu berdiri. Sedangkan sudut di mana Tiara berada masih terlindung oleh kegelapan.Tiara memanfaatkan keadaan tersebut untuk beringsut, mencari sudut yang lebih tertutup. Sehingga andai kata si pembalak mengelilingi ruangan, tubuh mungil si gadis masih tak terlihat.Setelah mengamati kanan-kiri, Tiara memutuskan untuk pindah ke balik lemari besar di sebelahnya. Lemari tersebut sangat tinggi, serta berada di sudut ruangan. Andai pun si pembalak mendekat, tubuh Tiara dapat terlindungi.Tepat setelah Tiara berpindah tempat, pembalak yang biasa dipanggil Wid oleh rekan-rekannya mulai me
ABDI merasa sudah berjalan selama berjam-jam, namun base camp pembalak liar yang dituju masih belum kelihatan juga. Hati pemuda tersebut menjadi gelisah. Ia semakin khawatir hal buruk sedang menimpa Tiara saat itu.Diam-diam Abdi mengingat-ingat lagi. Gadis atasannya tersebut dibawa lari pada tengah hari. Artinya, setidaknya sudah enam jam Tiara bersama para pembalak. Banyak hal bisa terjadi dalam rentang waktu selama itu.Geraham Abdi bergemeletuk memikirkan hal tersebut. Ia benar-benar tak akan memaafkan dirinya jika sampai Tiara mengalami kejadian tak mengenakkan."Maaf, Pak Ramlan. Apakah tempatnya masih jauh?" tanya Abdi setengah berteriak, sebab yang ditanyai berada beberapa langkah di depannya.Rombongan tim gabungan tersebut sedang berjalan beriringan menyusuri jalan setapak yang tadi dilewati Pak Ramlan. Oknum polisi kehutanan tersebut diminta berjalan di bagian depan, tepat di belakang ketiga pucuk pimpinan tim.Di belakang Pak Ramlan, te
PUKULAN Tiara mendarat tepat pada sasaran. Begitu batang kayu menghantam tengkuknya, pembalak yang biasa dipanggil Wid oleh teman-temannya keluarkan keluhan tertahan. Lalu tubuhnya melosoh jatuh ke depan. Tiara juga jadi memekik tertahan melihat lelaki yang ia pukul langsung roboh. Agaknya pukulan tadi sangat keras. Mengakibatkan aliran darah dan juga aliran saraf di sekitar tengkuk berhenti untuk beberapa saat. Sehingga membuat si pembalak pingsan seketika, tergeletak diam di lantai. Sambil terus menutupi mulut dengan sebelah tangan, Tiara berjingkat melangkahi tubuh orang. Sejenak gadis itu berjongkok. Mengambil korek gas yang masih menyala dalam genggaman tangan si pembalak. "Aduh, maafkan aku ya. Semoga kamu cuma pingsan," gumam Tiara merasa bersalah. Bagaimana pun ia tidak ingin lelaki tersebut mendapat celaka akibat pukulannya barusan. Setelah menggenggam korek gas, Tiara menghidupkan benda tersebut. Ia mencari-cari senter, sebab dalam kegelapan
DALAM gelapnya malam, hanya berbekal sorot senter, Tiara menembus kerapatan semak belukar. Entah ke mana arah tujuan yang ia tempuh, gadis itu tak ambil peduli. Ia sekedar mengikuti jalan setapak yang tampak di hadapannya sembari berharap terus menjauh dari para pembalak.Entah sudah berapa lama berjalan setengah berlari, Tiara tak tahu. Yang jelas gadis itu tahu-tahu saja merasa capai sekali. Lututnya goyah, tak mau lagi diajak melangkah. Napasnya terengah-engah. Tenggorokannya pun terasa haus.Sialnya, Tiara sama sekali tidak membekal minuman. Boro-boro berpikir membawa minuman, mana sempat! Akhirnya Tiara duduk melosoh di sebatang tunggak pohon yang telah kering."Di mana aku sekarang?" desis Tiara sembari mengedarkan pandangan ke sekeliling. Senter di tangannya disorotkan ke sembarang arah.Berkali-kali Tiara menyorotkan senternya ke sekeliling, tetap saja gadis itu tak mengenali tengah berada di mana. Yang terlihat hanya batang-batang pohon tinggi da
DI tempat lain, sepeda motor yang dikendarai Abdi bersama Pak Ramlan dan Serka Agus tiba-tiba saja mogok. Mesinnnya tahu-tahu saja mati sendiri. Abdi pun buru-buru menekan pedal rem agar kendaraan tersebut berhenti, tidak menabrak apa saja yang tak terlihat di depan sana. Dalam kegelapan Abdi saling pandang dengan dengan Serka Agus dan Pak Ramlan di belakangnya. Ketiganya sama-sama menunjukkan wajah penuh keheranan. "Kenapa tiba-tiba mogok?" tanya Abdi dengan nada cemas. Sedari tadi yang ada di kepalanya hanya Tiara. "Coba periksa bensinnya," ujar Pak Ramlan kemudian. Lelaki paruh baya itu ingat, ia terakhir kali mengisi bensin pagi hari sebelum berangkat bekerja. Itu pun hanya dua liter. Serka Agus langsung tanggap, membawa Pak Ramlan turun dari atas jok sepeda motor. Abdi menyusul turun, memasang standar ganda agar kendaraan tersebut tetap berdiri pada tempatnya. Menggunakan senter kecil yang diulurkan Serka Agus, Abdi membuka tangki bensin
SI Bud yang baru saja mengulurkan sebelah tangan hendak menjamah buah dada Tiara yang membusung tersentak kaget. Suara dobrakan pada pintu pondok begitu keras.Dengan wajah menunjukkan ekspresi kekesalan si Bud berpaling ke arah pintu pondok. Sekali lagi daun pintu bergetar, pertanda ada yang berusaha mendobrak dengan keras dari luar."Sialan! Siapa itu?" geram si Bud, masih dengan menindih Tiara di bawahnya.Si Yud yang memegangi kedua kaki Tiara ikut berpaling ke daun pintu. Wajahnya tak kalah kesal. Tanpa berkata-kata lelaki itu lantas lepaskan pegangan tanganya pada kaki Tiara dan berdiri."Biar aku yang urus pengacau itu," ujar si Yud perlahan seraya melangkah ke arah pintu."Pintunya jangan dibuka!" seru di Bud dari tempatnya.Si Yud tak menjawab. Tapi pembalak satu itu sudah sampai di dekat pintu. Sekali lagi daun pintu bergetar karena didobrak dari luar. Benar kata si Bud, kalau tidak dibuka pintu itu tak akan dapat terbuka dari luar