"Kenapa mukamu asem gitu? Eh, kok ..." Dyas-teman satu kelompok stase gawat darurat mencium aroma tak sedap yang terendus dari dalam tas dan juga badan Valentina. "Kamu ngompol ya?"
"Sembarangan!" sembur Valentina melempar jas praktik berwarna peach ke arah gadis berjilbab itu.
"Ih ... jijay, Tina!!!" pekik Dyas membuang jas praktik itu sembarangan yang dibalas mata tajam temannya. "Lagian kok bisa bau, ada apa emangnya? Eh, gimana kemarin? Aman?"
Tak sempat menjawab kalimat Dyas, Okin datang dari kamar mandi sambil menguap lebar. Lingkaran hitam jelas tercetak di bawah mata sayunya, menyamakan panda yang kurang tidur sejak lahir. Dia menepuk bahu Valentina sambil mendelik kesal karena satu shift dengan gadis keras kepala malah berujung malapetaka. Apalagi sejak semalam, Fero sudah mengomeli mereka lagi hingga telinga Okin memerah dibuatnya.
"Yang ada kena hukuman sama penyihir," tukas Okin mengambil botol minum yang terletak di sisi kiri dekat dengan tumpukan tugas yang sama sekali belum disentuh. Pasien terus berdatangan tanpa henti dan rasanya Okin ingin menyalahkan waktu yang tidak bisa membuatnya tidur sejenak atau menarik napas sebentar tuk mengerjakan tugas. "Mana resume-ku belum selesai."
"Deloken aku woi! Mbok kiro aku wes mari nggarap?" Valentina ikut emosi karena menjadi sumber masalah jaga malam pertama mereka.
(Lihatlah aku woy! Kamu kira aku sudah selesai mengerjakan?)
Okin mengangkat kedua bahu lebarnya, meneguk minuman isotonik untuk menyegarkan pikiran yang sudah ruwet bagai benang layangan.
"Presentasi jam berapa?" tanya Valentina lalu menguap lebar hingga matanya berair. "Aku boleh tidur enggak sih?"
"Kita harus ngumpulin tugas ke Bu Fero. Enggak mungkin cuma ngumpulin kalau enggak ada tanya jawab. Aku sudah dengar dari anak-anak sebelumnya," kata Okin mulai menulis resume dengan sisa tenaga. "Kalau kamu enggak bisa jawab, bisa-bisa mengulang stase gawat darurat."
"Amit-amit ... mending aku disuruh nyemplung ke selat Madura daripada harus ketemu penyihir," timpal Valentina merinding.
Dyas menggeleng pelan, lalu mengeluarkan beberapa makalah yang sudah dijilid dan menyerahkan kepada temannya. "Kalian ke kampus sana, minta tanda tangan dosen."
"Lah, aku kira kamu kemarin udah dapet tanda tangannya," ketus Valentina.
"Ck, kemarin beliau sibuk ada ujian OSCE adik tingkat sampai sore. Ya kali aku nunggu beliau sampai malam," balas Dyas yang merasa tidak dihargai. "Aku sudah kirim WA ke dosennya kok, kalian tinggal datang nanti jam sembilan."
"Terus PPT-nya sudah kan?" sahut Okin yang dibalas dengan anggukan Valentina. "Sip, nanti aku bagian mindahin slide PPT, kalian yang presentasi."
Refleks ucapan lelaki tak tahu diri itu mendapat sundulan di kepala dari dua temannya. Dia meringis sambil terkekeh, kapan lagi bisa mendapat giliran duduk diam mendengarkan orang lain menjelaskan kasus yang akan dibawa. Selain itu, butuh kesiapan mental saat berdiri di depan audien dan menerangkan satu-persatu masalah dan teori dari buku serta jurnal. Belum lagi jika dikeroyok pertanyaan baik dari sesama teman, dosen, maupun pembimbing ruangan.
"Iya, iya, gitu aja main seruduk kalian!" protes Okin.
"Kamu yang jawab pertanyaan sama aku, biar Dyas yang presentasi. Besok kalau udah pindah ruangan gentian yang presentasi," usul Valentina. "Lagian perjalanan kita masih panjang."
"Siap-siap kurus," timpal Okin menaik-turunkan alis tebalnya.
###
Ritual mandi di masjid rumah sakit adalah satu kegiatan yang selalu dilakukan Valentina selepas jaga malam yang diharuskan mengikuti seminar kasus kelompok. Selain itu pula, guyuran dinginnya air mampu menjernihkan dan membangunkan kembali alam bawah sadar yang sudah tinggal lima watt. Ibarat lampu kuning yang sudah tidak mempunyai daya untuk menerangi tempat lagi. Lagipula, dia sempat mendapat teguran dari dosen pembimbing karena bau badan Valentina yang campur aduk tak karuan.
"Ya ampun, Dek ... mbok ya mandio kalau turun jaga itu, yang cantik dikit kalau praktik, Dek ..."
"Maaf, Bu,"cicit Valentina dengan sedih. Sejak kemarin hidupnya seperti serba salah hingga semua orang bisa memberinya komentar dengan seenaknya. "Saya enggak sempat mandi, napas aja enggak sempat."
Maka jangan heran, jika wajah-wajah anak ners tak lagi bercahaya layaknya awal masuk kuliah, akibat banyaknya tugas yang harus diemban sebagai mahasiswa tingkat akhir yang benar-benar terakhir sebelum mengarungi kerasnya pekerjaan di lapangan.
Dia menyemprotkan banyak parfum hingga setengah botol berharap orang-orang tidak melemparinya ejekan atau tatapan jijik. Sekalian pula dia ingin membuat mereka mabuk kepayang karena parfum yang dipakainya.
"Ini gara-gara si setan!" rutuk Valentina di dalam kamar mandi, membereskan pakaian kotor ke dalam plastik hitam sebelum dimasukkan ke dalam tas bekas acara hajatan. Beberapa saat, dia menepuk bibirnya sendiri tak harus menyebut kata itu untuk lelaki yang sudah menjadi teman hidup secara paksa.
Ah, jadi istri orang tak seenak malam pertama.
Malam pertama? Valentina mendecih hingga ingin menendang ember yang sudah menjadi saksi bisu semua keluhannya hari ini. Pernikahan yang baru berjalan satu tahun itu tidak pernah dipenuhi oleh hal-hal semanis madu seperti yang orang-orang bayangkan, bahkan setiap kali bangun tidur sampai kembali tidur, dia harus menghadapi kejamnya Raditya.
Seperti kemarin.
"Hah! Mimpi apa aku punya-"Valentina tidak bisa meneruskan keluhannya jika menyangkut status yang sengaja disembunyikan dari semua orang, termasuk teman satu tim bahkan dosen yang seharusnya memiliki aturan terkait 'tidak diperbolehkan menikah' selama pendidikan ners dengan alasan berisiko keguguran karena kelelahan. Dia menggeleng, memutuskan keluar dari kamar mandi untuk menyusul Okin yang sudah berjamuran menunggunya di teras masjid.
Seperti yang diduga gadis yang sudah memiliki lingkaran mata panda itu, Okin tengah tidur terlentang di salah satu sudut teras masjid dengan baju seragamnya sedikit tersingkap menampakkan pusar bodong yang memalukan. Bahkan terdengar suara ngorok yang cukup keras hingga beberapa orang menoleh kepadanya.
"Heh! Okin!" panggil Valentina menendang kaki Okin. "Bangun!"
Okin tidak bergeming, mirip dengan ayam mati, justru asyik menikmati buaian mimpi di siang hari. Valentina melirik jam di tangan kiri yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang, waktu mendekati ibadah dhuhur. Dia terduduk, sudah terlalu lemah jika mengeluarkan banyak tenaga untuk membangunkan Okin.
Sambil menguap, Valentina membuka ponsel dan puluhan notifikasi masuk. Di antaranya panggilan dari ibunya serta si raja tega-Raditya.
Monyet : Cuci bajuku. Malam ini aku jaga lagi.
Monyet : Jadwalmu masak nih! Cepet pulang!
"Dasar si setan ..."desis Valentina dengan kepala mendidih.
Curut : Situ kaya kan? Gk mampu beli baru?Masa dokter gk bisa beli baju 200 rb. Miskin amat.
Sang suami jadi-jadian menelepon Valentina namun ditolak sambil cekikikan membalas sikap lelaki yang mengadu kepada si penyihir. Tak berapa lama, suara adzan berkumandang membuat Okin mendadak terperanjat bangun dengan mata memerah seperti hellboy.
"Aku kira sudah di alam baka, Tin, kok ada yang manggil-manggil pakai bahasa Arab," lirih Okin dengan serak dan wajah polos membuat Valentina ingin melemparinya dengan sepatu.
###
"... didapatkan pasien Ibu S. usia enam puluh tahun dengan indikasi adanya infark
miokard akut. Saat datang ke UGD, pasien mengeluh nyeri dada kiri tembus ke punggung dan menjalar ke lengan kiri seperti ditusuk-tusuk sejak pukul empat sore. Berdasarkan riwayat penyakit dahulu, pasien memiliki riwayat serangan jantung sepuluh tahun lalu, tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol karena pasien malas berobat ..."Semua yang datang mendengar presentasi yang dibacakan oleh Okin, terhanyut dalam kasus seminar tentang penyakit jantung yang semakin hari semakin meningkat jumlah penderitanya. Apalagi dengan perkembangan jaman termasuk sosial, semua hal menjadi begitu mudah seperti membeli makanan online, belanja online, minuman manis, makanan aneka macam yang sangat berlemak yang bisa memicu adanya penumpukan di pembuluh darah.
Setelah selesai memaparkan materi, beberapa orang termasuk si penyihir yang duduk di belakang seakan tidak ingin melewati seminar besar stase gawat darurat itu, mengacungkan tangan. Valentina dan Okin saling melempar pandangan, mengirim sinyal pertanda bahwa kelompok mereka akan dibantai oleh Fero.
"Silakan, Ibu Fero selaku perwakilan dari UGD yang menggantikan Bu Fatma yang saat ini sedang cuti," kata moderator yang diwakilkan oleh kelompok lain dari ruangan ICU.
"Baik." Fero menengadahkan kepala seolah menantang dua mahasiswa yang sudah membuat mood-nya kemarin buruk. "Saya mau bertanya,"dia membolak-balikkan makalah yang dibagikan oleh Dyas,"berdasarkan hasil intepretasi EKG-nya ini kalian enggak salah?"
Seluruh peserta seminar langsung berpandangan begitu juga dengan dosen pembimbing Valentina yang membaca kembali hasil bacaan rekam jantung. Menurutnya, tidak ada yang salah, justru dia bingung dengan pernyataan Fero yang mendadak menjatuhkan kelompok Valentina.
"Bisa kalian jelaskan bedanya hasil EKG antara infark
miokard akut dengan yang sudah lama."Fero melipat kedua tangan di dada, menghunus satu persatu dada mahasiswa yang kini terpaku di depan audiens. Bibir merahnya tersungging tipis tak sabar menorehkan nilai standar untuk mahasiswa yang sudah melanggar aturan.
"Sudah pelatihan basic life support, kan?" sindir Fero kala tak mendengar suara dari ketiga mahasiswa itu. "Sudah diajari baca EKG kan?"
Valentina mencubit baju Dyas, mengirim sinyal untuk menjawab pertanyaan yang sama sekali tidak berhubungan dengan makalah.
Dyas melirik balik lantas menjawab, "Jadi, perbedaan intepretasi hasil EKG pada orang dengan infark miokard akut dan old infark miokard, pada kasus yang akut pastinya kita akan melihat adanya gelombang ST elevasi namun pada fase lama Q patologis yang dalamnya 25% dari tingginya gelombang R."
"Gambaran Q patologis di masing-masing lead bisa memperkirakan mana daerah yang mengalami penyumbatan di jantung. Namun, juga dibarengi dengan pemeriksaan enzim jantung," sahut Valentina.
Fero terdiam cukup lama lalu hanya mengatakan terima kasih membuat jantung ketiga mahasiswa itu bisa berdetak normal lagi. Untungnya Dyas masih hapal pelajaran EKG saat pelatihan basic life support, dan Valentina hanya menambahi apa yang dia ingat sekaligus penjelasan dari dosennya.
Usai seminar besar yang memakan waktu dan tenaga, buru-buru gadis yang sudah tidak memiliki energi untuk membuka mata itu bergegas pulang. Sejak tadi ponselnya tidak berhenti berdering dan puluhan pesan W******p masuk dari lelaki menyebalkan yang menunggunya di rumah.
"Hoi! Tin!" teriak Okin. "Dicariin Brian!"
Yang dipanggil berlari begitu saja, mengabaikan sosok lelaki tinggi dengab kacamata menatap sang pujaan hati melangkah cepat seperti dikejar oleh waktu.
"Kenapa si Tina? Dari kemarin WA enggak dibalas, telepon enggak diangkat," gerutu Brian yang menyempatkan diri datang ke ruang seminar sebelum naik jaga di ruang Anak.
"Udah biarin aja, nanti malam kan bisa ketemu. Nanti kami jaga malam lagi kok," kata Okin menepuk bahu kekasih temannya. "Dah ya, aku balik dulu."
Brian mengangguk pelan, mengitari pandangan dengan rasa kecewa yang dalam.
Infark miokard akut : serangan jantung yang disebabkan adanya penyumbatan di arteri koroner (pembuluh darah di jantung)
EKG; elektrokardiogram untuk merekam aktivitas jantung / kelistrikan jantung. Nanti ada istilah gelombang pqrst
ST Elevasi : gelombang ST naik kayak huruf U terbalik. Kalau ada ini berarti ada gangguan/penyumbatan di pembuluh darah jantung.
Q Patologis : gelombang pada EKG yang menjadi salah satu tanda adanya penyumbatan di pembuluh darah jantung.
Mesin motor matic Valentina terhenti di depan rumah bercat putih gading yang terlihat asri. Sudah hampir setahun rumah yang terlalu besar untuk ditinggali itu menjadi tempat tinggalnya selepas masa lajang. Dibuka pintu yang tak terkunci lantas membeliak mendapati area yang sudah ditandai dengan lakban merah terlepas tanpa sisa. Beberapa saat, Raditya terlihat keluar dari arah kamar mandi mengenakan kolor hitam seraya menggali lubang hidung begitu nikmat. Lantas, menjentikkan kotoran itu ke arah sang istri tanpa dosa."Jan--"Ucapan kasar ala anak Surabaya tersendat ketika wanita paruh baya berpotongan sebahu muncul dari dapur membawa sebuah piring berisi capcay yang masih mengepul panas. Buru-buru Valentina berlari kecil membantu ibu mertuanya membawakan masakan tanpa sempat mencuci tangan. Lantas, dia menatap nyalang ke arah lelaki yang masih sibuk menggali emas di gua berbulu. "Kamu kok siang banget pulangnya, Tin?" tanya Sofia--ibu Raditya khawatir. "Sampe kumel gitu mukamu. Eman
Kening Brian mengerut saat mematikan mesin motor di depan pagar minimalis bercat hitam. Dia mengecek kembali alamat yang jelas-jelas bukan alamat rumah Valentina sebelumnya. Dia berpikir, mungkinkah Valentina pindah? Jika ya, seharusnya Brian tahu bukan malah berlagak bodoh seperti sekarang. Tapi, jika tidak, lantas rumah siapa itu?Ada perasaan aneh yang menghantui Brian beberapa minggu ini. Entah kenapa setelah memasuki masa profesi ners, sikap Valentina berubah melebihi 360 derajat. Brian tahu kehidupan mahasiswa ners lebih menyeramkan daripada masa OSPEK yang dulu mereka lalui. Tugas dan ujian memberondong tiada henti seperti tidak mengizinkan tubuh untuk beristirahat. Belum lagi omelan dari pembimbing ruangan maupun perawat senior seakan menambah beban di pundak calon perawat masa depan itu. Valentina keluar, memanggul tas yang terlihat banyak menyimpan buku di dalam sana. Dia melempar senyum ke arah Brian meski sorot matanya menyimpan sesuatu yang tidak bisa lelaki it
Jarum jam rasanya bergerak begitu lamat saat pasien di UGD terus berdatangan tanpa henti. Ibarat sarang madu mengundang banyak lebah tuk menikmati manisnya, sementara di ruang gawat darurat mereka mencari pertolongan untuk mempertahankan nyawa melalui tangan-tangan yang dipercaya oleh Sang Pencipta. Termasuk Valentina yang tak sempat duduk barang sedetik saja untuk meluruskan otot betis yang mulai kaku. Walau mesin pendingin menyejukkan ruang P2 sebagai tempat tugasnya, bulir keringat sebesar biji jagung enggan pergi dari kening gadis itu. Rekannya, Okin juga tidak bisa diam. Justru perawat magang laki-laki sepertinya lebih banyak disuruh oleh senior perawat ketimbang perempuan. Bolak-balik, Okin mendorong brankar-brankar berisi pasien untuk dilakukan pemeriksaan di radiologi. Sekarang lihat saja, lelaki bertubuh jumbo itu tengah memindahkan pasien laki-laki lanjut usia yang tidak sadarkan diri ke salah satu bed. Buru-buru Valentina menghampiri Okin usai menyerahkan selembar ker
"Bangsat!" pekik Raditya mendapati mobil kesayangan bercat putih sudah tidak suci lagi. Coretan tak beraturan kehitaman menghiasi setiap sudut mobil yang sudah menemaninya sejak masa koas hingga sekarang. Rasanya tekanan darah residen tampan itu mendadak naik, apalagi saat menyentuh body mobil berharap noda hitam bisa hilang tapi nyatanya tidak. Semprotan bagai tinta cumi-cumi masih di sana, seolah mengolok Raditya bahwa mereka tak akan pergi apa pun yang terjadi. Saat ini, mana mungkin dia pulang dengan keadaan si putih seperti itu? Yang ada, mereka akan menjadi atensi selama di jalan walau sang pemilik bisa saja bersikap tak acuh karena bersembunyi di balik kaca mobil. Sayangnya, jiwa perfeksionis Raditya meronta-ronta, gemas ingin mencuil satu persatu cat dengan kuku jari. Alhasil, dia menelepon Julia berharap kalau kekasihnya tak jauh dari lokasi rumah sakit. Selagi menunggu suara lembut menyambutnya, Raditya berpikir keras siapa pelaku yang sudah mencoreng-coreng seenak dengku
Aroma telur bercampur daun bawang masih melambai-lambai di depan hidung setengah mancung milik Valentina. Dia menjunjung tinggi bungkusan berisi martabak spesial daging sapi berharap suami jahanamnya mau mengampuni kelakuan Valentina. Dia melongok sebentar ke arah pintu rumah bercat hitam sebelum menggeser pagar. Beruntung mobil milik perempuan imitasi Donita itu sudah tidak ada, berganti dengan motor matic Valentina yang masih teronggok tak berdaya dengan ban sepeda yang bocor.Derit pagar berbunyi, Valentina berjalan sambil berjinjit akibat sepatu kanannya tadi siang dilempar ke arah kekasih Raditya, menyisakan kaus kaki putih yang sudah tidak suci lagi. Setelah melepas sebelah pantofel dan kaus kaki, dia membuka pintu dan mendapati Raditya tengah duduk di ruang tamu seraya melipat tangan di dada seakan tahu kalau gadis itu akan pulang selepas maghrib.&nb
Harap-harap cemas, Valentina sembunyi-sembunyi membuka ponsel untuk mengintip apakah ada notifikasi dari si mata empat. Sayangnya, sampai matahari merangkak ke ubun-ubun pun tidak ada tanda-tanda Raditya mengomentari masakannya atau catatan kecil yang ditinggalkan di atas meja.Di sisi lain, dia sudah mengeluarkan semua tenaga, pikiran, dan hati untuk menulis sebuah surat yang bahkan belum tentu dikirim ke pacarnya sendiri, Brian. Valentina terpaksa memberi diskon besar-besaran atas harga dirinya kepada Raditya supaya lelaki itu memaafkan insiden coretan mobil."Dek mahasiswa!" teriak seseorang. "Mana siswa nersnya!"Tergopoh-gopoh, Valentina keluar dari kamar mandi dekat dengan salah satu bed pasien. Dia langsung mendekati seora
"Oke, jadi, itu pasien yang pojok dekat kamar mandi atas nama Pak siapa ya ..." Valentina membuka buku catatannya saat berdiri di depan ruang P2 untuk operan jaga. "Pak Herman dengan diagnosaclosefracturcosta3-5sinistrasamaclosefractur1/3humerussinistra. Tinggal tunggu kamar operasi, tadi dokter Raditya sudah konsul ke bagian Orthopedi.""Wajahmu kenapa, Tin?" tanya Okin yang menangkap gelagat ekspresi wajah temannya. "Dimarahikah sama si penyihir? atau diomeli sama kepala UGD?"Valentina menggeleng pelan tak berani membalas tatapan selidik Okin. "Enggak apa-apa. Oh iya, pasien yang dekat pintu ini, Ibu Sulastri kan diare, tadi sempat en
Antara ragu, malu, bercampur baper. Valentina merangkul erat pinggang ramping Raditya untuk pertama kali. Tubuhnya mengikuti motor matic yang dikendarai Raditya cukup cepat, meliuk-liuk melewati kendaraan yang memadati jalanan. Tapi, semua itu tak berarti kala jemarinya yang gemetaran merasakan pahatan perut suaminya sendiri. Jujur saja, pikiran kotor memenuhi otak gadis berusia 23 tahun tersebut. Entah malaikat akan mencatatnya sebagai pahala atau dosa, kala Valentina membayangkan bisa menjelajahi tubuh berotot Raditya.Sejak menikah, Raditya memang tidak seperti lelaki lain yang mengumbar perut sixpack di rumah. Bahkan saat keluar kamar mandi pun, suaminya langsung memakai kaus tipis. Hal ini mengingatkan kejadian viral di akun Tik tok kalau ada perempuan yang menikahi lelaki abal-abal.
"Ketan susu meses satu sama sekoteng satu," kata Valentina kepada seorang laki-laki berusia sekitar 20-an mengenakan seragam hijau dan kuning mencolok. "Sayang, kamu mau apa?""Ketan nangka keju sama susu jahe, Mas," titah Raditya. "Makan di sini atau bungkus?" tanya si lelaki."Makan di sini, Mas," jawab Valentina. "Ini uangnya.""Uangnya 50 ribu, total 38 ribu. Ini kembaliannya 12 ribu, silakan ditunggu di dalam, Mbak," ujar si lelaki menyilakan Valentina dan Raditya duduk di kursi selagi menunggu menu mereka disiapkan. "Makasih."Tidak afdal rasanya kalau ke alun-alun kota Batu tidak mengunjungi Pos Ketan yang sudah berdiri sejak 1967. Apalagi ini langganan Raditya sedari jaman-jaman kuliah ketika punya waktu untuk ke Cangar atau sebatas ngopi sambil haha-hihi. Tapi, dia tidak akan bercerita kepada Valentina kalau dulu Raditya pergi bersama Julia dan beberapa anak lain. Dia bersumpah untuk menyimpan rahasia itu seorang diri. Daripada perang dunia nggak dikasih jatah? Siapa yang
Our First and Re-honeymoonSenyum yang mengembang bagai roti kelebihan bahan tidak dapat lenyap begitu saja dari bibir bergincu merah menyala itu. Valentina mematut diri di depan cermin, menyisir rambut tebal nan hitam legam tersebut kemudian mengikatnya ala ekor kuda. Dia bersiul sebentar, memuji diri sendiri betapa cantik dirinya saat ini. Kemudian mengerling mata bagai remaja dilanda kasmaran lantas membenarkan posisi bra agar terkesan penuh dan seksi di depan suami.Baru sadar kalau habis punya anak, dadaku agak gedean dikit. Kalau gini kan dadaku agak mirip sama mantannya Radit si dokter Julia itu. Bawa lingerie yang modelnya kelinci nggak ya?Valentina terkikik sendiri membayangkan dirinya berkamuflase menjadi kelinci genit yang menjamu pria-pria nakal di kelab malam. Dia menggeleng keras mengurungkan niat untuk menggoda Raditya dengan cara seperti itu. Walau tanpa baju-baju cosplay menggiurkan mata, Valentina tahu di mana titik kelemahan Raditya. Di sisi lain, setelah sekian l
"Halo, Siang, Bu Siska," sapa Valentina melalui sambungan telepon. "Maaf, saya boleh titip Salsa sebentar? Ini saya masih di perjalanan, baru selesai rawat luka pasien.""Oh iya enggak apa-apa kok Mamanya Salsa," kata Siska--guru TK."Maaf ya, Bu Siska ... Salsa enggak nakal kan?" tanya Valentina menyalakan mesin motor. "Soalnya lusa kemarin habis bertengkar sama temennya sampai nangis.""Enggak, ini anaknya masih menggambar sama Tio," ucap Siska. "Mamanya Tio juag titip sebentar karena masih di Posyandu.""Salsa enggak borong jajan tanpa uang kan? Saya sungkan loh sama Bu Sri kantin, anak saya selalu minta jajan bayar belakangan," keluh Valentina. "Iya kalau satu buah, satu kresek penuh itu loh Bu
Lima tahun kemudian..."Mama ... Mama ..." teriak bocah kecil yang mengenakan kaus kutang bermotif stroberi juga celana pendek senada. Dia berlari seraya membawa es krim di tangan kanan sementara di tangan kiri menenteng plastik berlogo Indoapril berisi makanan ringan. Mulut anak perempuan berambut pendek itu terkena es krim cokelat yang sesekali dia makan begitu lahap tanpa takut giginya ompong."Tante ..." teriak beberapa anak bersamaan mengekori bocah kecil itu. "Tante! Salsa beli jajan enggak bawa uang lagi!"Valentina yang baru saja mensterilkan alat-alat rawat luka di mesin sterilizer, buru-buru menghampiri sumber suara dan bola matanya nyaris menggelinding mendapati penampilan anaknya sudah tak karuan. Seketika gelombang amarah langsung naik ke ubun
###Suara sirene menggaung keras manakala mobil ambulance melaju dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan padat merayap menuju rumah sakit. Mobil darurat tersebut membawa Valentina yang sedang mengerang kesakitan di bagian perut. Hingga peluh keringat sebesar biji jagung membasahi sekujur tubuh bersamaan napas cepat akibat tak bisa menahan lebih lama sensasi nyeri bagai tulang yang diremukkan bersamaan. Dia menangis seraya memanggil nama Raditya juga mamanya, memohon agar rasa ngilu tanpa ujung ini segera berakhir.Petugas medis yang mendampingi Valentina menyuruh gadis itu untuk menarik napas dalam dan jangan mengejan dulu karena pembukaan belum lengkap. Valentina menggeleng, panik bercampur nyeri, tidak bisa berpikir jernih akibat kontraksi yang menyayat-nyayat setiap lapisan kulit menuju bagian dalam perut. Sementar
Hal paling menyenangkan setelah menyelesaikan ujian akhir semester dua adalah mereka tidak perlu lagi ke lahan praktik, mengejar-ngejar dosen dan pembimbing klinik untuk minta nilai atau tanda tangan, tidak ada jam begadang untuk menulis laporan kasus di buku jurnal maupun presentasi besar sampai adu debat teori, tidak ada pula ujian-ujian yang menguras pikiran, tidak ada juga tumpukan buku yang menghiasi. Walaupun panggilan kebangsaan 'dek siswa' beserta semua kegiatanhecticdi tempat magang bakal dirindukan.Jujur saja, selama masa praktik, mereka bisa bertemu dengan mahasiswa dari kampus lain baik sesama mahasiswa perawat, dokter muda, farmasi, hingga bidan. Mereka saling tukar ilmu, tukar nomor telepon untuk mempererat pertemanan, hingga follow akun media sosial. Tak jarang pula cinta lokasi lintas jurusan maupun satu kelompok sering terjadi.
'Jangan berisik!''Sedang mengerjakan KTI''Ners ngenes garai duwek ambles!''OTW wisuda langsung ahh!!!'"Ambigu bener tulisannya," gumam Raditya mendapati deretan tulisan di atas kertas yang tertempel di pintu kamar istrinya. "Tin!" teriaknya sambil mengetuk pintu."Selamat datang Bapak Raditya yang terhormat," ucap Valentina melaluispeaker bluetoothyang sengaja ditaruh di atas laci dekat bersebelahan di antara bingkai foto pernikahan mereka dan vas bunga palsu. Raditya nyaris terperanjat kaget karena tidak menyadari sejak kapan laci itu dipindah dari ruang tamu ke samping pintu
"Saya mendapat kasus sepsis neonatorum, Bu, atas nama bayi Ny. S usia empat puluh hari," kata Valentina saat berhadapan dengan pembimbing klinik. "Maaf, Bu, untuk data subjektifnya saya agak kesusahan karena orang tua pasien jarang datang ke sini. Jadi, saya pakai data yang ada di rekam medis.""Masa enggak datang sama sekali?" tanya Bu Dewi tanpa memandang Valentina karena fokus mengoreksi hasil pekerjaan tangan gadis itu."Sungguh, Bu, saya sampai titip ke teman saya sama buattakenkontrak kalau ketemu keluarga pasien," jawab Valentina mengacungkan tangan kanan membentuk huruf V."Ini di pemeriksaan B1 kok tidak sesak tapi ada retraksi dinding dada?" tanya Bu Dewi menunjuk bagian pemeriksaan fisik B1--sistem pernapasan. "Ciri-ciri sesak napas
Maju-mundur seperti undur-undur yang hendak menggali jebakan di tanah ketika iris mata bulat nan lentik itu mengamati boks bayi cukup lama. Suasana hati yang biasanya antusias terhadap hal-hal baru di setiap stase kini mendadak luruh tanpa bekas. Menguap entah ke mana meski dia berusaha mencari sisa-sisa jejaknya. Menggenggam erat botol susu hangat yang sudah disiapkan untuk jadwal pemberian nutrisi bayi, Valentina malah mematung seakan-akan sandal khusus ruang Nicu memiliki perekat bagai lem tikus super.Justru matanya malah berkaca-kaca membayangkan bagaimana jika anaknya berada di dalam kotak itu? Bagaimana jika nanti saat dia melahirkan ada kelainan yang dialami sang jabang bayi? Bagaimana jika makanan dan minuman yang dia konsumsi selama ini tidak dapat memenuhi kebutuhan anaknya? Bagaimana?Kemarin saja ada salah