"Kenapa tidak bilang sejak tadi, aku jadi malu. Kesannya jahat sekali diriku." Sesampainya di rumah dinas Damar, mereka mulai membahas niat Damar membeli burung itu. Dengan tatapan merasa bersalah, Jenar menatap sang suami. "Tidak enak mau beri uang cuma-cuma, jadi ya aku beli saja peliharaannya. Nanti aku akan berikan pada Pak Danki karena dia suka koleksi burung, kalau kamu tidak suka." "Tugasku bertambah karenamu burung, tapi cantik juga ya." Mata Jenar menatap burung cantik itu dalam sangkar. Namun, dia juga kesal karena suaminya tidak bilang lebih dulu. "Kalau mau di tambah lagi saja biar ada temannya," sahut Damar. Seketika tatapan tajam itu mengarah pada sang suami. "Ya, sekalian nanti pelihara kucing, kelinci, angsa, bebek, semua saja. Biar aku yang urus." Dia melenggos kesal ketika sang suami tersenyum tipis. "Jangan begitu dong sayang. Kamu besok tidak bertemu denganku, awas kangen, apalagi di sana jarang sinyal. Ingat jika aku tidak langsung menjawab telepon atau memb
"Aku hanya 3 hari saja, bukan 3 tahun. Kenapa malah menangis?" "Masalahnya 3 hari juga acara kita, hatiku gelisah dan takut." Jenar dibuat menangis karena hatinya gelisah ketika suaminya akan pergi tugas. Walau hanya beberapa hari saja, jarak yang dia tempuh sangat jauh, belum lagi acara pernikahan mereka yang sudah dekat. Ini juga pertama kalinya untuk Jenar di tinggal tugas, biasanya mereka akan bertemu walau dengan kesibukan masing-masing. Belum lagi acara pernikahan mereka yang akan diadakan, menambah rasa khawatir Jenar. "Takut apa sayang? Aku hanya mengecek Prajurit di sana, dan bertemu pemimpin kelompok, tidak sampai pergi kepelosok." Damar coba untuk membujuk Jenar yang merasa khawatir. Bagaimana pun tugas tetap di jalankan, mau sepenting apa acara mereka, pengabdian pada Negara yang harus dijunjung tinggi sebagai abdi negera. "Mas seperti gampang sekali bicara seperti itu. Ini pertama kali untukku, jadi aku gelisah," gerutu Jenar dengan air mata yang menangis. "Baiklah,
Benar saja, ketika masuk rumah, orang yang sejak tadi di tunggu akhirnya menghubungi tanpa rasa bersalah. "Maafkan aku karena baru bisa menghubungimu, aku baru menyelesaikan tugasku untuk hari ini. Bagaimana harimu, apa sudah merasa rindu?" tanya seseorang dari balik sambungan telepon. Suaranya begitu candu, sejak berangkat suaranya begitu dirindukan. "Masih di tanya. Ya, iya—" Tangisnya pecah begitu mendengar suara sang suami. Pertama kalinya dia ditinggal tugas ketika perasaannya begitu mencintai. "Jangan menangis lagi, nanti kamu akan dianggap Mbak Kunti kalau terdengar menangis di rumah sendiri," goda Damar. "Biarkan saja, eh ... ngomong-ngomong barang apa saja yang mau di bawa, biar Mas langsung ke Jakarta setelah dari sana." Coba mengalihkan obrolan, dia tak ingin merasa sedih ketika sudah mendengar suara suaminya. Apalagi besok dia harus pulang, dan mempersiapkan pernikahan tanpa suaminya. "Beberapa pakaian saja, pilihkan untukku. Jangan banyak-banyak karena di ru
Meski tidak ada acara besar, tapi tetap saja di rumah Jenar repot. Ada beberapa saudara yang datang untuk membantu memasak. Suasana menjadi rame, namun tidak dengan hati Jenar. Seharian kemarin Damar tidak ada kabar, pagi ini dia yang berharap pesannya di balas terus menatap layar ponsel. Walau malam setelah sampai dia menonton konser, tapi seperti ada yang kurang. "Kau memang harus membiasakan diri untuk situasi seperti ini Jenar. Suamimu Abdi Negara, apa yang kau pilih, itu yang kamu harus jalani. Ya, kau harus tanamkan hal itu di hatimu." Jenar coba menenangkan diri, mungkin memang benar, seorang wanita yang menikah dengan Abdi Negera, dia hanya bisa memiliki cintanya, tidak dengan raganya. "Tapi ini bikin sesak di dada menunggu kabarnya," renggek Jenar yang masih saja tidak bisa merubah pikirannya agar tetap tenang. Bagaimana bisa tenang, ketika acara sudah di depan mata, namun suaminya tak memberi kabar. Jenar sampai sore kemarin di Jakarta, dan pagi ini dia hanya bermalas-ma
"Memangnya siapa dia, Mbak?" "Mantan istri Mas Damar. Ngomong-ngomong bagaimana bisa dia tau alamat rumahku." Jenar yang merasa aneh coba melihat karangan bunga seperti apa yang dia kirimkan. Apa karangan bunga duka. Tertulis happy wedding di bunga karangan itu, namun apa maksudnya mengirimkan bunga itu ketika dia juga yang memberikan luka dan trauma pada Damar. Belum lagi karena dia, Jenar menjadi korban dari Damar yang berpikir kalau wanita itu sama buruknya seperti Sheila. Saat ingin memgambil foto untuk mengirimkan pada Damar, seseorang memeluknya dari belakang. "Jeje—" Panggilan itu membuat Jenar tersenyum bahagia. "Kau datang juga, aku pikir kau tidak mau datang ke pernikahan temanmu ini. Aku merindukanmu." Jenar memeluk erat sahabatnya yang baru datang dari Medan. Karena karir, mereka terpisahkan, apalagi sahabatnya itu sudah memiliki pasangan. "Maafkan aku, menjadi ibu hamil itu repot, tapi untung perjalanan ke sini lancar. Keponakanmu yang ada di sini tidak merepotka
"Kau membuat semua orang panik karena menunggu kabarmu. Bagaimana bisa kau tidak memberi kabar pada kita." Pria tampan berlesung pipi disebelah kiri itu terlihat batang hidungnya. Sesampai di rumah, dia segera bersiap sambil mendengarkan omelal Wulan yang terus mencari kabar karena istri pria itu sampai tidak nafsu makan karena hilang kabar. "Ponselku mati, dan cuaca buruk membuat sinyal dan listrik mati. Lalu bagaimana aku bisa menghubungi kalian." "Kau hampir membuat anak orang mati karena gelisah. Jenar terus menangis sejak semalam, dia ingin tau kabarmu. Sekarang hubungi dia, dan buat dia tenang." Damar sampai pagi ini dengan rasa bersalah sudah membuat Jenar dan keluarga mereka berdua gelisah. Dia seperti ditelan bumi, tidak ada kabar karena kendala cuaca. "Tidak, setelah ini aku juga bertemu dengannya. Sebaiknya kita berangkat sekarang." "Damar—" "Sudahlah, kalian malah berdebat. Kita sudah ditunggu di sana sekarang," ujar Ibu Damar. Wulan membantu adiknya bersiap dengan
Setelah siap, Damar coba mengucapkan ikrar pernikahan dengan satu tarikan nafas. Meski gugup, tapi dia dengan lantang mengucapkannya hingga kata Sah! keluar dari mulut para saksi. Doa mereka panjatkan agar pernikahan mempelai bisa bahagia selamanya. Pendekatan setelah menikah agama, membuat mereka dekat dan menemukan perasaan satu sama lain. "Silahkan bawa mempelai wanitanya kemari dan bertemu suaminya," pinta penghulu. Dibantu sepupu dan sahabat Jenar, pengantin wanita berjalan keluar dengan riasan yang menambah kecantikannya. Damar saja sampai terpesona dengan kecantikan Jenar yang mengenakan pakaian pengantin warna putih, sederhana tapi terlihat elegan. "Akhirnya kalian sah menurut agama dan negara. Selamat untuk kalian, padahal tadi sudah panik kalau gagal ya, Mbak Jenar? Sekarang suaminya sudah berada di samping, bisa gas saja." Penghulu malah membuat candaan didepan mereka dan para tamu. Jenar hanya tersenyum akan godaan penghulu itu, bukan karena apa, dia merasa kepalan
"Makan sedikit saja, nanti istirahat lagi." Jenar menggeleng pelan, dia enggan untuk makan karena perutnya terasa mual. Damar sedang membujuk karena setelah sadar malah demamnya tinggi. "Lain kali jangan sampai tidak makan. Kamu tau bagaimana pekerjaanku, kamu baca dengan baik surat kesanggupan, dan bagaimana kamu harus menjadi isteri seorang Prajurit. Aku bukan ingin membuatmu tersiksa, ketika kamu mulai terbiasa akan tidak ada kabar dariku, bahkan kondisi terburukku, kamu harus terima itu. Semua memiliki resiko, dan menjadi pendamping Abdi Negara harus siap untuk itu. Aku mohon agar kamu bisa mengerti itu, sayang. Jangan sakit karena aku, maaf jika aku tidak memberimu kabar sebelumnya." "Aku tidak menyalahkan dirimu, Mas, aku tau dengan pilihanku. Hanya aku saja yang tidak bisa berhenti khawatir padamu ketika berharap kabar. Aku akan berusaha untuk itu, menjadi istri seorang Abdi Negera," tutur Jenar lirih, namun masih terdengar. "Sekarang sebaiknya buka mulut dan makan. Tid
"Izin, Ndan! Selamat sore! Baru pulang?" "Sore. Apa isteriku ada di dalam?" tanya Damar yang baru pulang dari latihan hari ini. Jam menunjukkan pukul 5 saat dia sampai Batalyon. "Iya, Ndan. Beliau ada di dalam." Damar melangkah masuk, coba melihat isterinya yang katanya di dalam. Terlihat dia sedang duduk sambil membungkus beberapa hadiah untuk acara besok. Damar tidak langsung menghampiri, dia menatap dari ambang pintu. Kadang dia merasa bersalah ketika melarang Jenar melakukan pekerjaannya. "Loh ... Pak Danyon di sini. Mau jemput Nyonya Jenar bukan, Pak?" Jenar yang mulanya tidak tau kedatangan Damar langsung mencari di mana suaminya berada. Senyumnya mengembang ketika ada pria yang dia cintai berjalan ke arahnya setelah menjawab pertanyaan salah satu anggota Persit. "Apa belum selesai?" tanya Damar. "Izin, sudah, Ndan. Semua selesai, tinggal persiapan untuk besok. Mau mengajak Nyonya Jenar pulang bukan, Ndan?" "Jika sudah selesai, boleh kah?" "Izin, boleh, Ndan. S
"Apa mual, Mbak?" "Sejauh ini tidak, Mbak. Apa memang maunya buah ya, Mbak. Sulit sekali makan nasi. Membayangkan saja sudah terasa mual." "Apalagi bayi kembar, seperti mualnya dobel, tetap semangat. Setelah trimester pertama akan sedikit merasa nyaman. Walau hanya sebentar. Besok ada kegiatan lomba, nanti pukul 2 siang sepertinya ibu-ibu coba untuk menyiapkan hadiah. Apa Mbak ikut?" "Ikutlah, Mbak, malu kalau gak ikut apalagi alasannya hamil. Semua orang juga merasakan itu, aku tidak mau malah di anggap seenaknya sendiri karena kedudukan suamiku." "Lalu untuk jabatan yang ketua berikan bagaimana?" tanya Widi. "Tidak, Mbak. Biar yang lain saja, aku belum siap saja." Jenar diminta menjadi ketua ibu-ibu Persit, dia malah menolaknya. Dia tidak mau dipikir suaminya Danyon, lantas dia bisa menjabat sebagai Ketua. Apalagi dia masih baru. Pengalamannya kurang, itu pikir Jenar. "Aku belum tau banyak, jadi takut salah. Apalagi banyak para senior yang mampu memimpin. Ketua sekarang
"Kenapa, sudah makan dan habiskan." Jenar hanya menatap makanan yang baru dia makan beberapa suap saja. Padahal tadi begitu senang bisa makan diluar berdua. Nyatanya, setelah mengisi perutnya beberapa suap, dia tidak ingin lagi. "Mas saja yang makan, aku mual." Mata yang berkaca-kaca tanda dia memang sedang menahan rasa mual. Kasihan juga jika sudah seperti ini, Jenar malah tidak bisa makan dengan lahap, rasa mual menyiksanya. Meski itu tanda baik, akan tetapi Damar kasihan pada istrinya. "Enak?" Jenar menangguk senang, dia menyedot susu pisang yang dia minum. Damar mengusap ujung kepala istrinya, dari makanan yang dipesan dia hanya makan 2 suap saja setelahnya Damar yang menghabiskan, dia sangat ingin makan itu, tapi malah mual. Jenar belum tau apa yang pas untuk perutnya, hanya susu pisang yang tidak membuatnya mual. "Maafkan aku, Mas," ucapnya. Usia kandungannya jalan 3 bulan, meski sesekali masih merasa sakit dibagian perutnya, kondisi kehamilan Jenar tetap terkontrol. Apa
"Izin, Pak Danyon. Apa kabar!" Dengan sikap hormat, orang dihadapan Damar menjabat sebelum dipersilahkan duduk kembali. "Lama tidak bertemu, Anda juga tidak ada kabarnya, ke mana saja?" Damar tampak senang teman satu satuan dulu datang berkunjung. "Aku masih menjalankan tugas ku di lapangan. Beruntung Anda sekarang sudah dengan tenang membuat rencana untuk Prajurit. Bekerja di balik meja kerja ini."Pria dihadapan Damar adalah seorang kapten, beliau pernah menjadi satu regu ketika penugasan. Belum lagi mereka sering di perintahkan untuk tugas sebelum akhirinya Damar menjadi seorang Komandan Batalyon sekarang. Mereka malah asyik bicara. Apalagi kedatangan Kapten Bambang memiliki sebuah tujuan bukan hanya saling sapa. Damar untuk pulang karena ada tamu, entah akan seperti apa Jenar nanti marah padanya, yang pasti dia tidak bisa pulang sekarang. "Tidak bisakah Anda bergabung latihan kita lusa, satuan mengadakan latihan gabungan aman bersama NKRI, jika mau saya kirimkan jadwalnya."
"Puas sekali menggoda orang, sekarang malah tertawa," gerutu bumil yang masih pagi sudah bawel setelah mengobrol dengan suaminya. "Makanya kamu juga jawabnya begitu. Tenanglah, Sayang, aku masih lama di sini. Karir yang aku jalani di sini masih terbilang baru. Untuk rumah baru, nanti aku coba bicarakan dengan salah satu teman. Kita pilih yang nyaman untukmu." Damar hanya membohongi Jenar tentang pindah tugas ke Papua. Dia diperbolehkan untuk fokus di Batalyon dan juga istrinya. Apalagi kondisi kehamilan sang istri sedang tidak baik, meski harusnya mengutamakan tugas. "Kamu suka sekali menggoda isterimu, sepertinya masa kehamilan Jenar sangat manja. Dikit menangis, ingat menangis, apa yang dia mau menangis," sahut Susi. "Mama sudah rapi, mau ke mana?" tanya Damar. "Mama hari ini mau pulang, ada Wulan dan ibumu juga di sini. Nanti 3 bulanan Mama akan datang. Beberapa minggu saja kan. Titip anak Mama yang bawel ini, dia akan semakin merepotkanmu dengan tingkah manjanya," balas Susi.
"Komandan!" Dika datang dengan 4 anggota Polisi, mereka yang awalnya menantang Damar hampir akan pergi sebelum Polisi mengejar mereka dan menendangnya karena lari. "Bahu kiri Anda—" "Ini hanya goresan saja. Apa wanita tadi sudah aman?" tanya Damar. "Ternyata wanita itu dikejar karena motor yang dia gunakan dianggap kredit macet, 2 pria itu mengikutinya sejak keluar dari tempatnya bekerja," jelas Dika yang tau sedikit masalah wanita itu. Damar menemui wanita itu dan memastikan dengan benar masalah mereka. Setelah itu Damar coba mengobati lukanya sebelum dia pulang. Ini akan menjadi masalah untuknya, ketika Jenar tau. Jam munjukan pukul 12 malam ketika Damar sampai di rumah. Rasa bersalah terlihat jelas ketika melihat isterinya menunggu di ruang tamu sampai tertidur. "Bukankah Mas bilang sudah sampai Bandara sejak pukul 8. Kenapa baru pulang?" "Ada masalah tadi di jalan, kamu bisa pastikan pada Mbak Widi besok kalau bertemu. Akh!" Rintihan lirih ketika Damar membuka jaket
Damar sampai di Bandara dan menunggu Dika yang akan menjemput, katanya mobil yang ditumpangi mengalami pecah ban di dekat Bandara, jadi Damar memilih menghampiri Dika menggunakan Taksi online. Jam menunjukan pukul 8 malam saat sampai di Solo. Rasa lelah dia rasakan, apalagi pesawat delay beberapa jam karena cuaca buruk. "Maaf, Komandan, harusnya saya tidak terlambat," ucap Dika ketika melihat Damar menghampirinya. "Apa sudah selesai?" Setelah meletakkan tas yang dibawa, Damar memghampiri Dika yang merapikan ban yang pecah itu ke bagasi, seperti baru selesai. "Mohon izin, baru selesai, Komandan, apa kita—" "Pak, tolong saya. Pria di sana mengikuti saya sejak tadi, bisakah saya pulang bersama dengan menggunakan motor di depan mobil Bapak."Seorang wanita pengguna jalan menghampiri Damar yang berniat akan pulang. Wanita itu tampak ketakutan ketika mengatakannya. Jalanan memang tidak begitu ramai, wanita itu langsung menghampiri Damar dan Dika. Wanita itu melihat Dika memakai seragam
"Ngidam pengen suaminya pulang, bagaimana kalau jadi pindah tugas, akan sulit." Suara seseorang menghentikan tangis Jenar karena mendengarkan kata-kata itu. Hatinya semakin gelisah, dia hanya ingin suaminya pulang sekarang, agar merasa lega. "Aku telepon lagi nanti, aku bicara dulu dengan seniorku. Tidak apa-apa kan?" Meski bekerja di lingkup orang yang lebih tua, tidak membuat Damar besar kepala, karena dia juga masih baru di posisinya sekarang dan harus banyak belajar dari seniornya. "Sudahlah, makin bikin kesal saja." Jenar mematikan sambungan telepon begitu saja karena suaminya masih saja sibuk, padahal dia merindukannya. Lawan bicaranya hanya menatap layar ponsel sesaat panggilan masuk itu tertutup. Mood Jenae Hal seperti ini tidak biasa dia lakukan, mungkin juga karena efek hamil karena beberapa hari kemarin terus bersama dan sekarang ada tugas keluar kota. Namun, jika memang suaminya di pindah tugas, dia sunggu harus merelakan pekerjaannya untuk fokus pada keluarganya.
"Rumah rapi walau kamu sedang sakit, kalau bukan suami yang baik, apa coba. Yang banyak bersyukur, Nak." "Jangan terus memarahi anakmu, nanti dia malah kabur dan Damar menyalahkan kita tidak becus merawatnya," sahut Anggi pada besan yang juga temannya. Mereka dekat karena memang sudah berteman sejak lama. "Aku gemas padanya kalau sudah keras kepala." Yang di marahi hanya diam bersandar di ruang tengah rumah dinas Damar, baru tadi siang dia pulang dan sesampainya di rumah diperlakukan bak ratu karena tidak boleh melakukan apapun, apalagi Dokter bilang harus melewati trimester pertama ini agar janinnya benar-benar kuat untuk diajak melakukan kegiatan. "Kamu tidak menginginkan sesuatu, Je? Makan apa gitu?" tanya Wulan. "Apa ya, Mbak, pengen ketemu Mas Damar saja sih, gak pengen makan apa-apa." "Mau di tungguin suamimu ya. Sabar ya, Nak, kita di sini bersamamu. Lain kali kalau ada apa-apa bilang. Atau kamu mau pulang ke Jakarta saja agar bisa kita bantu," tutur Anggi. "Dan m